Kaskus

Entertainment

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

myanomaliAvatar border
TS
myanomali
Di Balik Sebuah Tatapan Kosong
Sejak lama saya memang punya hobi memperhatikan hal-hal di sekeliling saya, terutama perilaku orang-orang dan beragam hal di baliknya. Biasanya saya menghabiskan waktu – kadang cukup lama, bisa sampai beberapa jam – duduk di tengah keramaian agar bisa mengamati lebih banyak hal menarik di balik orang-orang di sekeliling saya.

Malam ini entah kenapa saya lebih penasaran dari biasanya. Tidak jauh dari tempat saya duduk menikmati kopi, ada seorang wanita yang juga duduk sendiri. Tidak terlalu cantik, usianya mungkin mendekati 30 tahun dan gaya berbusananya.

"Sorot matanya"
Matanya menatap kosong ke arah teko putih di hadapannya. Sesekali tangannya mengaduk teh yang sudah tertuang ke dalam cangkir; hanya diaduk, tidak diminum.

Ada yang salah dengan keingintahuan saya ini. Tidak biasanya saya sampai se-penasaran ini. Ada cerita apa di balik tatapannya yang kosong?

Kadang saya heran sendiri. Kenapa saya tidak lebih sering berusaha mengenal orang baru yang saya temui ya? Sudah ada berapa ribu orang yang turut mempengaruhi hidup saya tanpa pernah saya tahu nama dan cerita mereka?
Pikiran saya berkeliling memikirkan bagaimana seharusnya ada ribuan kisah menarik di balik setiap orang tak dikenal di sekeliling saya. Saya membayangkan betapa menariknya mendengarkan cerita mereka satu demi satu; sampai akhirnya saya kembali teringat tentang sebuah tatapan kosong yang sedang saya amati.

Jadi, ada cerita apa di balik tatapan kosong ini?

Tiba-tiba wanita tadi menatap ke arah saya. Matanya menajam; jantung ini mau lepas rasanya karena kaget. Saya nyaris percaya kalau dia mendengar pertanyaan saya tadi, pertanyaan yang terlontar tanpa suara.

Saya berusaha tersenyum ramah, berusaha mengubah raut muka saya agar terlihat lebih sopan. Ia ikut tersenyum tipis, tapi tidak kemudian mengalihkan pandangannya.

Mendadak ada rasa canggung yang luar biasa. Apakah dia marah karena terus menerus saya perhatikan? Saya mengalihkan pandangan, menatap layar ponsel yang isinya tidak lebih dari kicauan demi kicauan; tidak terbaca, karena saya memang tidak memperhatikan.

Saya paksakan diri ikut berkicau – nge-twit – hanya supaya terlihat sibuk. Udara seperti begitu pekat di sekeliling saya; napas terasa berat, untuk menggerakkan ibu jari saja rasanya sulit.

Sukses berkicau beberapa kali, saya kembali menengadah hanya untuk merasakan sorot mata tajam tadi kembali menusuk dalam; kali ini meninggalkan luka yang kentara. Bukankah tadi ia begitu syahdu dengan tatapannya yang kosong?

Tarik napas dalam-dalam. Akhirnya saya putuskan untuk bangkit dan mendekati wanita tadi.
Ada cerita apa di balik tatapannya yang kosong?

“Halo. Maaf kalau saya lancang memperhatikan Mbak dari tadi.”
“Nggak apa-apa kok,” jawabnya sembari tersenyum tipis, “mau gabung juga nggak apa-apa.”

Ia menunjuk ke arah kursi kosong di hadapannya. Sulit rasanya memutuskan antara ingin duduk dan menghindar karena situasinya yang kurang enak. Ia tak berhenti menatap saya lekat; sama sekali tidak membantu, terlebih karena saya bukan orang yang mudah berkenalan dengan orang baru.

“Nggak apa-apa kok pak. Daripada duduk sendiri, enak ada yang nemenin.”

Akhirnya saya duduk, dan kami pun mulai berbincang. Ternyata usianya jauh lebih tua dari yang saya perkirakan; sepertinya ia termasuk wanita yang suka merawat tubuh dan memperhatikan penampilan. Yang langsung saya kenali adalah wangi parfumnya; Dune by Dior.

Dari dekat saya bisa melihat jelas matanya. Bulat dan kecokelatan, dengan nuansa kehampaan yang tidak juga hilang. Senyumnya tipis dan tulus. Rambutnya pendek, tertata rapih dan terlihat tebal. Namanya Winda.

Kami bertukar cerita. Ia berasal dari Bangka Belitung, ternyata bepergian ke Bandung atas permintaan perusahaannya, sehingga tidak heran jika kami tidak pernah bertemu sebelumnya.

Ia bahkan sudah menginap di hotel tempat saya tinggal ini lebih lama; rasanya baru malam ini saya melihatnya, tapi bisa juga saya salah.

Tertawanya saat saya jelaskan tentang rasa ingin tahu saya tadi membuat saya merasa nyaman; ia sama sekali tidak menunjukkan rasa terganggu. Mungkin saya beruntung tidak harus dicap ‘usil’ atau menerima penolakan ketus kali ini.

“Jadi, ada apa di balik tatapan mbak yang kosong tadi?” tanyaku lagi, kali ini terucap jelas.
“Aku kangen anak, git,” ucapnya tiba-tiba. Ia meraih ponselnya, kemudian menunjukkan deretan foto gadis kecil yang cantik.

“Cantik Mbak,” ujarku. Matanya terlihat berbinar mendengar pujianku, tampak jelas kerinduan yang begitu besar.

“Papanya udah nggak ada. Kadang aku kepikiran Zahra lagi apa di rumah,” kali ini matanya berkaca. Ia meraih tissue kemudian mengusap matanya yang mulai tergenang.

Winda kemudian bercerita tentang bagaimana beberapa tahun lalu suaminya, seorang analis perbankan, meninggal karena sakit; tentang ia yang berusaha sekuat tenaga demi kesembuhan suaminya, meski akhirnya Tuhan berkata lain.

Kini ia harus bekerja untuk menghidupi anak dan orang tuanya. Harta peninggalan papanya Zahra lebih banyak terpakai untuk melunasi biaya rumah sakit dan mempersiapkan biaya pendidikan Zahra.

Juga tentang bagaimana senyum seorang Zahra cantik bisa menghapus kesedihan, rasa lelah dan keputusasaan, tidak peduli sebesar apa beban yang harus dihadapi Winda hari itu dan esok hari. Rupanya hari ini ada banyak masalah yang tidak terselesaikan di kantor; itulah kenapa ia menatap kosong, merindukan celoteh Zahra yang biasa menghiburnya.

“Suatu saat kamu pasti ngerti deh. Punya anak tuh banyak senengnya kok, git,” ucapnya mempertanyakan saya yang masih belum juga berkeluargai. “Jangan ditunda-tunda, mumpung kamu masih muda. Biar bisa ikut main sama anak.”
Saya hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

Saya tidak bisa berbohong; selalu ada rasa kagum yang luar biasa jika melihat wanita yang bekerja keras demi kebaikan anak dan keluarga, terlebih ketika suami yang seharusnya jadi tulang punggung keluarga sudah tiada.

Winda sedikit istimewa. Senyum dan sorot matanya membuat saya menyadari betapa besar kasih sayang seorang ibu; tidak terbatas, tidak bersyarat. Beberapa menit yang lalu saya masih berpikir ia wanita karier biasa yang – kalau pun punya anak – menyerahkan urusan rumah tangga pada pembantu.

Saya salah besar. Tapi saya senang bisa membuktikan kalau anggapan saya salah.

***

Saya memberitahu winda lewat sms bahwa saya menulis ceritanya dalam blog saya.

Ia tertawa membaca tulisan ini.

“You can post this, but you have to promise me one thing.”

“Apa tuh mbak?”

“Be here tomorrow and share me your story, Stranger.”

Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum dan mengangguk, tanda mengiyakan permintaannya.


Ternyata di balik sebuah tatapan mata yang kosong ada wanita yang tegar dan begitu banyak kisah hidup yang menarik. More importantly, ternyata dibalik tatapan mata yang kosong ada seorang Winda yang hangat dan seorang teman yang baik.
0
22K
19
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
924.3KThread88KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.