Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yykmbixAvatar border
TS
yykmbix
[OPINI] Pigovian Tax solusi kemacetan di Yogyakarta (dan di kota besar lainnya) ?


Saya ingat, waktu kecil, Ibu saya selalu siapkan uang pecahan seribuan di laci mobil. Beliau bilang sambil tersenyum, itu untuk bayar parkir. Pecahan tersebut lah yang Ibu gunakan untuk membayar Pak Parkir setiap habis parkir di pinggir jalan.

Sekian tahun berselang, kebiasaan menyiapkan uang pecahan di mobil tersebut masih keluarga kami lakukan. Dan sepertinya, kebiasaan yang sama juga dilakukan oleh hampir setiap pengendara mobil di Indonesia. Selalu ada uang pecahan untuk membayar parkir. Bedanya, kalau dulu seribuan, sekarang dua ribuan.

Bagi pengendara mobil, dua ribu rupiah tidak mahal, sama dengan harga es teh satu gelas di kantin sekolah, setengah gelas di kafetaria kantor, atau sepersepuluh gelas di hotel berbintang. Barangkali karena saking murahnya, pengendara mobil cenderung mengeksploitasi saat memarkir kendaraannya di pinggir jalan, berbeda dengan ketika mereka harus parkir di hotel, mal, atau area-area lain yang dikelola oleh pihak swasta. Sayangnya, sebidang jalan berbeda dengan segelas es teh. Satu orang menikmati es teh tidak mengurangi manisnya es teh di gelas orang lain. Satu orang parkir di tepi jalan, maka badan jalannya akan semakin sesak, dan karenanya kenyamanan orang lain akan tergerus.

Saya coba bandingkan biaya parkir di pinggir jalan di tiga kota besar di Indonesia dengan di tiga kota terbesar di Amerika Serikat. Di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, biayanya sekitar 2.000 rupiah sekali parkir. Di New York City, Los Angeles, dan Chicago, kurang lebih 5 dolar, atau setidaknya 50.000 rupiah, itu pun per jam. Memang benar ada perbedaan daya beli masyarakat di Indonesia dan di Amerika. Namun dengan standar setempat, biaya parkir di Amerika tetap saja tergolong mahal. Silakan sandingkan biaya tersebut dengan harga sekaleng minuman soda di masing-masing negara, di Indonesia kira-kira 6.000 rupiah, sedangkan di Amerika sekitar 1 dolar, atau 10.000 rupiah. Dengan asumsi seseorang parkir satu jam saja, maka biaya parkir di Indonesia sama dengan sepertiga, sedangkan di Amerika sama dengan 5 kali harga sekaleng minuman soda.

Parkir di pinggir jalan menghadirkan eksternalitas negatif, terutama di jalan-jalan yang dilalui oleh banyak orang. Pengendara lain harus memperlambat laju kendaraannya, bahkan terpaksa terjebak macet sebab ruang geraknya yang kian menyempit. Beberapa jalan, seperti Jalan Urip Sumoharjo atau Jalan Solo di Yogyakarta, Jalan Juanda di Jakarta, dan Jalan Manyar Kertoarjo di Surabaya, kesemuanya adalah jalan protokol, dan setiap orang hanya membayar dua ribu rupiah setiap kali parkir di tepinya. Apabila tidak ada pungutan liar dan hasil penarikannya 100 persen masuk ke kas daerah, jumlahnya memang tidak kecil. Namun angka ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kerugian dan kemacetan yang ditimbulkan.

Untuk mengatasi eksternalitas negatif di masyarakat yang demikian, studi kebijakan publik mengenalkan istilah Pigovian Tax. Skema ini memberikan alternatif kepada pemerintah untuk membebankan pajak, atau semacam biaya ekstra, pada perilaku-perilaku yang dianggap merugikan lingkungan sekitar. Pemasukan dari penarikan pajak tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk mengkompensasi kerugian-kerugian yang ditimbulkannya, baik yang terlihat maupun yang tak kasat mata. Parkir di pinggir jalan adalah salah satu contoh.

Di Amerika, dan saya yakin juga di negara-negara maju lainnya, pemerintahnya memahami bahwa parkir di sisi jalan membawa eksternalitas negatif. Maka dibuatlah kebijakan, tidak dengan melarang, tetapi dengan mengatur zona-zona parkirnya di sepanjang jalan, kemudian menerapkan tarif yang sepadan. Uniknya, di zona-zona tertentu, parkir di pinggir jalan justru gratis sama sekali. Kenapa? Karena jalan tersebut biasanya sepi, sehingga parkirnya seseorang di sana tidak terlalu berpengaruh pada aktivitas para pengguna jalan yang lain. Di sini, Pigovian Tax berperan sebagai senjata pemerintah untuk “menyeimbangkan” masyarakat. Ditetapkannya Pigovian Tax tergantung pada besar-kecilnya eksternalitas negatif yang timbul dari suatu perilaku di lingkungan tertentu.

Pigovian Tax sangat mungkin diterapkan di pinggir jalan kota-kota di Indonesia. Bahkan lebih luas lagi, skema tersebut dapat pula diberlakukan pada aktivitas sehari-hari masyarakat yang memiliki eksternalitas negatif, seperti asap rokok, konsumsi plastik yang tidak dapat didaur ulang, atau papan reklame yang mengganggu pemandangan kota. Sebaliknya, subsidi perlu diberikan kepada masyarakat yang kegiatannya melahirkan eksternalitas positif. Skema ini dikenal dengan sebutan Pigovian Subsidy, dapat disalurkan misalnya kepada masyarakat yang memilih naik kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi, rumah tangga yang memilah sampah, atau kaum muda yang melestarikan seni dan budaya tradisional.

Dalam kehidupan bermasyarakat, pemerintah wajib hadir. Termasuk untuk masalah parkir di pinggir jalan ini, tidak akan pernah tuntas kalau yang punya senjata tidak melakukan apa-apa. Jika benar dampak macetnya akut, kenapa tidak dinaikkan saja tarifnya? Segera hitung untung-ruginya, terbitkan payung hukumnya, sampaikan kepada masyarakat, lalu tegakkan! Saya sungguh yakin pemerintah mampu, tinggal masalah mau atau tidak mau saja, titik. Kelak suatu hari nanti, anak-anak kita akan bertanya, kenapa di laci mobil ada uang pecahan besar sekali, seratus ribuan. Dan kita bisa menjawab sambil tersenyum, itu untuk bayar parkir.

Diambil dari tulisan Aichiro Suryo di :
https://www.selasar.com/politik/pigo...-pinggir-jalan

0
1.9K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.