• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Surat Terbuka kepada Presiden Indonesia: BERJUANG UNTUK INDONESIA BARU

barong009Avatar border
TS
barong009
Surat Terbuka kepada Presiden Indonesia: BERJUANG UNTUK INDONESIA BARU
BERJUANG UNTUK INDONESIA BARU
Surat untuk Presiden Indonesia

Ditulis oleh: Andre Vltchek
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira


Anda baru saja dilantik beberapa hari lalu, Bapak Presiden, dan rakyat, setidaknya sebagian besar rakyat di negara Anda sekarang berharap, bahkan menuntut adanya perubahan atau transformasi bangsa sesegera mungkin. Dalam pikiran mereka, karena sekarang Anda sudah menjadi Presiden Indonesia, maka kehidupan mereka akan segera membaik, ketakutan mereka akan berkurang, dan penderitaan mereka akan hilang/berakhir.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade ini, kita lihat harapan di mata banyak orang miskin di Indonesia. Mereka percaya pada Anda, Bapak Presiden. Mereka merasakan optimisme. Bahkan sekarang sebagian dari mereka berani bermimpi lagi.

Harapan... Saya pernah diberitahu oleh seorang penulis dan cendekiawan/pemikir terkenal di Amerika Selatan, Eduardo Galeano bahwa "Seringkali harapan adalah satu-satunya yang dipunyai oleh orang miskin. Kalau kita berikan mereka harapan, dan kemudian mengambilnya kembali, hal itu lebih buruk daripada membunuh mereka."

Ketika itu pemerintahan sosialis mulai muncul di seluruh Amerika Selatan – mulai dari Venezuela sampai ke Chile, dari Argentina ke Bolivia. Pesan Galeano kepada mereka: "Kamerad, hati-hati! Tepati janjimu. Jangan bermain-main dengan harapan rakyatmu!"

Para pemimpin Amerika Selatan mendengar pesan ini, dan mereka menang. Mereka membuat harapan menjadi kenyataan. Mereka menyingsingkan lengan baju dan mulai bekerja atas nama rakyatnya. Mereka lupakan semua kebanggaan semu dan mereka belajar bagaimana melayani rakyatnya, bagaimana menjadikan rakyat sebagai prioritas, bagaimana membela mereka yang sampai saat itu diterlantarkan dan tak berdaya.

Bapak Presiden, sebuah negara atau negeri bisa dibilang hebat jika mempunyai satu tujuan tunggal saja, yaitu: menyejahterakan kehidupan rakyatnya, dan menyejahterakan kehidupan rakyat di seluruh dunia.

*

Di masa lalu saya sangat kritis terhadap Anda. Saya tidak percaya dan terus terang saja, saya masih tidak percaya bahwa di Indonesia seseorang bisa dipilih secara spontan, tanpa proses pra-seleksi oleh kaum 'elit' - sekelompok kolaborator yang korup dan yang sebenarnya menjadi masalah utama yang dihadapi negara ini.

Semua partai politik dan media massa yang besar dimiliki oleh kaum elit, dan tentu saja untuk kepentingan mereka sendiri.

Tapi sekarang saya merasa bahwa saya harus menghormati harapan rakyat yang percaya pada transformasi hebat dan cepat.

Saya tidak punya hak untuk mengatakan kepada rakyat bahwa harapan mereka sia-sia. Saya tidak akan mengatakan itu, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Setelah saya menulis surat ini, saya tidak akan mengungkapkan pendapat saya tentang 'demokrasi' Indonesia, setidaknya untuk waktu yang cukup lama.

Saya pastikan bahwa saya akan memberikan Anda waktu untuk bernapas dan bekerja, serta berharap bahwa orang lain juga akan melakukan hal yang sama.

Jauh di dalam lubuk hati ini saya berharap dengan tulus bahwa ketidakpercayaan saya pada politik Indonesia akan terbukti, setidaknya sebagian, salah atau berlebihan. Saya ingin percaya bahwa pendukung Anda benar, dan bahwa satu orang seperti Anda benar-benar bisa mengalahkan sistem yang sangat brutal dan korup, dan Anda bisa bertahan, dan kemudian secara dramatis memperbaiki negara Anda ini.

Saya tahu bahwa tangan Anda bersih, tidak berlumuran darah. Anda adalah salah satu dari sedikit orang yang bersih. Saya tahu bahwa Anda tahu seberapa dalam rasa sakit yang diderita oleh rakyat Anda. Saya tahu bahwa Anda peduli kepada mereka. Untuk saat ini, hal itu sudah cukup bagi saya.

Saya tidak setuju dengan beberapa pendapat dan kebijakan Anda. Meskipun demikian, dengan surat terbuka ini, saya mendukung Anda, Bapak Presiden.

*

Saya menawarkan dukungan saya, jika Anda memerlukannya.

Saya menawarkan bantuan saya, selama Anda bersedia untuk berdiri tegak dan membela mereka yang tidak berdaya, dan untuk memperjuangkan mereka yang melarat – yang merupakan sebagian besar dari bangsa Anda.

Saya akan berada di pihak Anda selama Anda tidak mengkhianati kepercayaann rakyat.

Perkenankan saya untuk mengatakan sekali lagi: saya ingin pendapat saya terbukti salah. Saya ingin analisis saya sebelumnya tidak benar. Menurut saya, saya tidak salah, tapi saya ingin pendapat saya itu salah.

Saya memohon kepada Anda: Tetap tegar, Bapak Presiden! Dan berjuanglah untuk bangsa Anda yang sudah penuh luka dan terlalu banyak ditipu.

Jangan dengarkan orang-orang asing yang berkata manis tapi penuh tipu daya. Pujian mereka tidak berarti, tanpa belas kasih, dan hanya untuk kepentingan mereka saja. Mereka telah merampok Indonesia selama beberapa dekade. Mereka telah menghancurkan hidupnya hampir 50 tahun yang lalu, dan sekarang mereka mengatakan padanya betapa cantik, bebas, toleran dan demokratis. Jangan dengarkan dan jangan percayai mereka. Indonesia masih dirantai, dibelenggu, dan kesakitan. Dia masih bingung dan marah karena kesakitan yang diterima dan ditimpakan padanya. Dia sangat tidak toleran karena putra-putri terbaiknya telah dibunuh, dipenjarakan, dan dibungkam.

Apa yang dilakukan oleh orang asing itu seperti kalau kita berkunjung ke seorang pasien yang sakit parah, yang sudah hampir botak, yang warna kulitya sudah berubah, yang sudah hampir buta, dan kemudian berkata padanya "Wah, kamu terlihat cantik sekali, amat menawan, dan menggairahkan!"

Untuk berbohong, tidak peduli, dan mengabaikan rasa sakit yang dirasakan oleh perempuan bernama Indonesia itu bukanlah manifestasi dari kasih sayang, Bapak Presiden. Wujud kasih sayang malah melakukan hal yang sebaliknya: segera memanggil ambulans, dan membopongnya ke rumah sakit. Tindakan kasih sayang adalah memaksa semua orang di rumah sakit untuk memperjuangkan hidupnya, baik itu dokter, perawat, dan staf teknis. Tindakan kasih sayang adalah untuk mendampinginya ketika dia sekarat dan ketika tampaknya hampir tidak ada harapan lagi. Tindakan kasih sayang adalah untuk tidak pernah menyerah dan berjuang untuknya, untuk perempuan yang bernama Indonesia. Jika diperlukan, berjuang bersamanya di malam-malam dan hari-hari yang panjang, berjuang dengan segenap kekuatan kita agar dia selamat dan hidup.

Cinta tidak pernah didasarkan pada kebohongan, Bapak Presiden, dan tidak pernah karena tipu daya. Cinta ada karena kebenaran dan kasih sayang, karena simpati, dan tekad untuk mengerti.

Sudah saatnya untuk mencintai Indonesia dengan cinta yang berbeda, cinta yang jujur, bukan dengan kata-kata palsu: “Kamu terlihat pucat, penuh bekas luka, pembuluh darahmu masih terbuka dan lukamu masih basah dan belum sembuh. Tubuhmu kotor dan penuh nanah. Kamu terlihat mengerikan sekali. Tapi kamu tidak akan diterlantarkan karena kamu dicintai. Kamu akan diperjuangkan. Kamu dicintai bukan karena semangat nasionalisme yang semu dan konyol; kamu dicintai terutama karena kamu merupakan ratusan juta nyawa manusia. Kamu tidak boleh dibiarkan jatuh karena kalau kamu jatuh, maka semua orang itu akan jatuh bersamamu.”

Tetapi untuk menyelamatkan Indonesia, harus segera diambil tindakan karena kerusakannya sudah terlalu besar. Harus segera dilakukan operasi atau serangkaian operasi. Parasit-parasit yang membahayakan harus segera dikeluarkan dari tubuhnya. Mereka yang sudah meracuninya selama bertahun-tahun harus segera diusir. Musuh sejati harus didefinisikan dan ditantang.

Anda hadir di waktu yang genting. Anda terpilih untuk memimpin perjuangan ini, atau setidaknya itulah yang dipercayai oleh puluhan juta pengikut Anda, dan banyak dari mereka yang miskin.

Tidak peduli bagaimana Anda sampai pada posisi Anda sekarang, Bapak Presiden, namun sekarang Anda ada di sini dan menjadi pusat perhatian. Tapi hal ini tidak cukup: sekarang Anda harus memimpin. Anda berkewajiban untuk memimpin. Anda tidak punya hak untuk bermanuver dan bermain 'dua arah'. Anda adalah Presiden Indonesia ketiga yang punya hati dan pantas untuk membawa raksasa ini ke masa depan yang lebih baik. Yang pertama adalah Ahmed Sukarno. Yang kedua adalah teman saya 'Gus Dur', Abdurrahman Wahid.

Beberapa waktu lalu saya menulis bahwa Anda memasuki Jakarta sebagai gubernur dengan 'menunggang kuda kayu'. Banyak hal yang sudah berubah: kali ini Anda diberi kuda yang besar dan gagah, serta di tangan Anda ada senjata yang amat hebat dan keris terbaik yang tajam dan bersinar. Anda terlihat hebat di atas pelana dan rakyat mengelu-elukan Anda. Tidak ada waktu lagi untuk melihat ke masa lalu. Anda harus bergerak maju dan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan negara Anda.

*

Pernahkah Anda memperhatikan kesedihan di mata rakyat Anda, Bapak Presiden?

Pernahkah Anda melihat raut kelelahan, tak berdaya, dan merasa direndahkan di wajah mereka yang tinggal di desa-desa dan kota-kota? Ekspresi orang-orang yang hanya punya kekhawatiran tetapi tidak punya masa depan yang cerah, yang tidak dapat mengandalkan fasilitas publik apapun, yang harus membeli dan membayar segala sesuatu mulai yang kecil sampai yang besar, karena negara tidak menyediakannya untuk mereka.

Pernahkah Anda melihat pulau-pulau yang dulunya menakjubkan tapi sekarang berubah menjadi mengerikan - Sumatera, Bangka, Kalimantan – habis dijarah/ditebang, tertutup bahan kimia beracun berwarna hitam, dengan hampir tidak ada lagi yang alami, dengan hilangnya seluruh spesies yang dulu hidup di sana, dengan orang-orang yang sekarat karena sakit kanker dan lari berobat menyeberangi perbatasan ke Malaysia. Pernahkah, Bapak Presiden? Tanah air ini adalah milik Anda dan rakyat Anda. Media-media korporasi bisa saja menyembunyikannya, propaganda Barat mungkin juga menyembunyikannya, tapi semua hal di atas adalah benar adanya. Saya dapat menunjukkannya dengan ribuan foto yang sudah saya kumpulkan, juga dengan ratusan jam rekaman film: dari Timor Barat ke Aceh, dari Pontianak ke Sungai Musi, dari Sumba ke Batam.

Apakah Anda pernah mengunjungi daerah kumuh perkotaan, Bapak Presiden? Apakah Anda pernah mengunjungi desa-desa? Sebenarnya saya tahu kalau Anda pernah lakukan itu. Saya harap Anda akan mengatakan hal sebenarnya yang telah Anda lihat, dan tidak meniru dengan mengatakan kebohongan yang disampaikan oleh pendahulu Anda, yang menyatakan bahwa hanya sekitar 18% rakyat Indonesia yang benar-benar miskin, sementara jelas bisa kita lihat bahkan dengan mata kepala sendiri bahwa sebagian besar rakyat di negara Anda hidup dalam kesengsaraan. Dan bahkan mereka yang kaya raya, bahkan mereka yang sudah korup dan merampok negara ini dengan istana-istana dan mobil-mobil Eropa mereka yang ‘kitsch’, standar hidupnya masih di bawah standar terendah dari negara-negara seperti Korea, Jepang, atau bahkan Afrika Selatan - mereka masih menghirup udara yang buruk, minum air beracun, dan dikelilingi kota-kota yang sudah tercemar dan hampir tidak punya budaya.

Apakah Anda akhirnya akan mengakui berapa jumlah penduduk di negara Anda, Bapak Presiden? Kita sama-sama tahu bahwa jumlah penduduk negara Anda bukannya 238 juta, bahkan bukan pula 245 juta, tapi sudah lebih dari 300 juta. Ketika saya menulis buku "Indonesia - Archipelago of Fear" (Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara), saya bertemu dan berdiskusi dengan beberapa ahli statistik internasional papan atas yang mengklaim bahwa pemerintah Indonesia (seperti juga pemerintah Pakistan) menyembunyikan jumlah penduduk yang sebenarnya, yang sudah melebihi 300 juta orang. Mengapa? Karena ‘un-people’ yang tidak dihitung ini tidak perlu diberi fasilitas apapun, bahkan layanan yang paling dasar sekalipun. Mereka tidak akan merusak ilusi bahwa Indonesia adalah 'negara yang sedang berkembang, membaik dan kembali menjadi bangsa yang normal', seperti kata-kata yang digunakan oleh dari beberapa akademik di ANU (Australia National University).

Pernahkah Anda memperhatikan bahwa Indonesia sudah hancur, Bapak Presiden? Bahwa dari berbagai indikator, Indonesia sekarang ada pada tingkatan yang sama dengan bangsa-bangsa dari Afrika Timur dan Afrika Barat, jauh di bawah sebagian besar negara-negara di Asia Pasifik? Saya pernah tinggal dan bekerja selama bertahun-tahun di Afrika dan Asia, dan saya dapat bersaksi bahwa analisis tersebut memang benar.

Jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta api, dan telekomunikasi / internet - semuanya dalam keadaan buruk, Bapak Presiden. Puluhan juta rakyat Indonesia tidak punya sambungan listrik, sementara sebagian besar rakyat hidup tanpa akses terhadap sanitasi dasar. Kualitas air di sini lebih buruk daripada di India, bahkan dibandingkan dengan di Bangladesh. Semua kota di Indonesia sudah tidak bisa disebut kota lagi karena tidak bisa memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh pusat-pusat perkotaan di seluruh dunia: budaya kosmopolitan, transportasi umum yang modern, efisien dan murah, trotoar yang lebar, fasilitas umum yang hebat termasuk taman, perpustakaan umum yang tak terhitung jumlahnya, dan arsitektur elegan yang dibangun untuk melayani rakyat. Pada beberapa kesempatan, Jakarta telah dipilih sebagai kota terburuk di Asia Pasifik, tapi berbagai jajak pendapat tersebut jelas tidak memasukkan beberapa kota buruk lain seperti Surabaya, Denpasar dan Medan.

Apakah pernah terpikirkan oleh Anda bahwa negara terpadat keempat di bumi ini tidak punya satu pun pemikir/cendekiawan atau seniman besar yang dikenal di seluruh dunia? Tidak ada satu pun, Bapak Presiden, tidak ada lagi sejak mantan tahanan politik dan kawan dekat saya Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. Dan dia meninggal masih dengan perasaan marah dan sakit hati karena muak dengan kondisi Indonesia, negara tercintanya, sekarang ini. "Orang Indonesia tidak punya budaya", demikian dia menyatakan dalam buku "Exile" (Saya Terbakar Amarah Sendirian!), yang merupakan perbincangannya dengan saya: "Sekarang mereka hanya punya budaya mencuri... mereka tidak menciptakan, mereka tidak menghasilkan/memproduksi... Seluruh pulau Jawa hanya menjadi pasar. Sangat memalukan!"

Kemana para ilmuwan, penulis, dan filsuf besar Indonesia? Mengapa tidak ada satu pun dari mereka berdiri kokoh di tengah-tengah negara dengan penduduk lebih dari 300 juta jiwa? China punya satu pasukan ilmuwan, filsuf, seniman dan penulis, begitu pula negara-negara seperti India, Brazil, Afrika Selatan, bahkan negara miskin seperti Nigeria! Setiap negara berkembang yang besar mengandalkan sejumlah besar tokoh luar biasa yang menjadikan negara mereka berbeda, yang membawa bangsanya menjadi bangsa yang maju; tokoh-tokoh yang memikirkan kesejahteraan rakyat mereka. Jadi mengapa Indonesia tidak ada tokoh-tokoh seperti itu?

Bapak Presiden, jelas dan kentara sekali bahwa ada sesuatu yang benar-benar salah.

Anda tentu sadar bahwa ketika sakit, orang-orang Indonesia yang punya uang langsung segera pergi menyeberang ke Malaysia atau Singapura untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih murah dan yang jauh lebih baik. Orang-orang yang mampu pergi ke luar negeri untuk berbelanja, karena di negara Indonesia yang jauh lebih miskin ini anehnya harga-harga berbagai barang, mulai dari bahan pakaian sampai makanan, jauh lebih tinggi dibandingkan harga-harga di negara-negara tetangganya - Malaysia dan Singapura. Orang Indonesia juga pergi ke luar negeri untuk belajar dan untuk mendidik anak-anak mereka.

Hal ini tentu menciptakan paradoks besar. Apakah anak-anak dan remaja dapat benar-benar belajar bagaimana menyelamatkan negeri mereka dengan melalui proses indoktrinasi di Eropa dan di Amerika Serikat, negara-negara yang telah menjarah dan menghancurkan negara kepulauan ini selama berdekade-dekade dan berabad-abad? Atau apakah anak-anak muda ini akan kembali ke Indonesia, setelah dikondisikan untuk melayani majikan-majikan neokolonialis, sementara dalam prosesnya mereka berusaha mengambil apapun yang dapat mereka peroleh dari kaum mayoritas yang miskin dan sangat tidak berpendidikan? Dan bahkan para dosen-dosen Indonesia yang mengajar di universitas-universitas paling bergengsi di Indonesia - mereka pun telah diprogram dengan dogma-dogma neokolonialis dan neoliberal, dan dengan persepsi konyol tentang keunggulan konsep-konsep (seperti misalnya demokrasi ala Barat) dan budaya Barat.

Korupsi di Indonesia yang amat dahsyat dan tidak punya belas kasihan kepada kaum mayoritas yang miskin berakar di jaman penjajahan. Dulu dan sekarang, yang disebut 'aristokrasi' dan 'elit' lokal melayani kepentingan para penjajah yang merupakan majikan mereka. Pada dasarnya, mereka bekerja sama dengan penjajah, melakukan pengkhianatan, sementara mengisi saku-saku mereka sendiri, kemudian pundi-pundi dan rekening bank mereka, semua dengan persetujuan dari Belanda. Akar dari korupsi selalu datang dari kolonialisme. Tidak ada yang berubah. Para kolaborator-kolaborator Indonesia sekarang ini yang merusak negara, menjarah sumber daya alam, semua atas nama korporasi multi-nasional asing dan rezim global Barat.

‘Perekonomian terbesar di Asia Tenggara’, demikian tulisan media massa Barat. Tentu saja, dengan penduduk yang berjumlah 300 juta orang, perekonomian negara ini terbesar di Asia Tenggara, tapi seberapa rendah jika dihitung per kapita? Apa yang diproduksi oleh negara ini, Bapak Presiden? Negara ini baru bisa merakit mobil dengan model lama yang sudah ditinggalkan/dibuang di luar negeri, dan beberapa produk elektronik serta pakaian jadi. Apa lagi? Perekonomian Indonesia benar-benar tidak kompetitif, dan hanya didasarkan pada penjarahan mutlak sumber daya alam dan harga komoditas global yang tinggi, yang tentu tidak wajar. Apa yang akan dimakan oleh penduduk Indonesia setelah tidak ada lagi yang dapat ditebang dan diambil sumber daya alamnya? Apa yang akan dilakukan oleh Jawa setelah tidak bisa lagi hidup dari minyak, hutan dan tambang di Aceh, Papua dan Kalimantan?

Tampaknya tak seorang pun yang melakukan pemikiran-pemikiran terlebih dahulu. Tentu tidak ada rencana lima tahun yang sosialis (pro-rakyat) seperti di China, tidak ada 'perencanaan terpusat', seperti perencanaan-perencanaan yang benar-benar ada agar negara-negara dapat berkembang dan maju, dan pasti bukan perencanaan yang memberikan ruang kepada kaum elit untuk mencuri/merampok dari bangsanya. Di Indonesia, prinsip ekonominya: 'ambil semua yang Anda bisa, sementara Anda bisa'. Negara ini adalah negara paling kapitalis yang paling pernah saya lihat di dunia ini, dan dalam jangka panjang, akan menjadi negara dengan kegagalan ekonomi dan sosial yang mutlak.

Bapak Presiden, mereka yang mencuri dari bangsa Indonesia bersembunyi di balik propaganda Barat yang dibuat untuk mempertahankan rezim yang sama di seluruh dunia. Tentu saja, pihak Barat mendukung sistem yang ada di Indonesia. Jelas sekali mengapa: karena mereka melayani kepentingan korporasi-korporasi di Eropa, Amerika Serikat dan Australia, sementara sebagian besar rakyat Indonesia tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari sistem tersebut, dan pada waktu yang bersamaan, kekayaan bangsa ini menguap dengan kecepatan tinggi.

Sekarang ini banyak terdengar slogan-slogan nasionalis. Teriakan-teriakan mereka penuh dengan 'cinta'. "Damn, I love Indonesia!”, begitu tertulis di poster yang tergantung dari balkon sebuah mal di kota Surabaya.

Nasionalisme murahan sedang naik daun. Apa yang benar-benar dicintai oleh para kaum nasionalis? Apakah mereka mengasihi daerah-daerah kumuh yang tersebar dimana-mana dan kualitas hidup yang amat buruk? Atau apakah mereka menyukai kenyataan bahwa hampir semua sumber daya alam sudah habis, dan bahwa kota-kota sudah hancur karena banyak korupsi dan tidak adanya perencanaan kota; bahwa di banyak desa anak-anak berlarian tanpa alas kaki dan terlihat kurang gizi? Atau apakah mereka mencintai kenyataan bahwa Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara lain di Asia Tenggara, dan oleh karenanya sekarang mereka bisa berbuat semaunya untuk kepentingan mereka sendiri; mereka dapat merudapaksanya jauh dari mata yang ngin tahu dan marah?

Lanjut ke thread ke-2
0
1.9K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.