- Beranda
- Cerita Pejalan Domestik
234 Trip (Jakarta - Surabaya - Makassar - Toraja - Tj. Bira)
...
TS
permenkaramel
234 Trip (Jakarta - Surabaya - Makassar - Toraja - Tj. Bira)
“Once a year, go someplace you’ve never been before.”
-Dalai Lama
-Dalai Lama
I couldn’t agree more with that statement! Setelah menghabiskan dua puluh tahun masa hidup mengelilingi beberapa wilayah di Sumatra-Jawa-Bali-Kalimantan, akhirnya di usia yang baru kemarin, saya berhasil menginjakkan kaki di tanah baru, bukan, bukan temannya Tanah Tinggi ataupun Kebon Baru. One step closer to East Indonesia, Sulawesi!
Lalu, apa hubungannya dengan 234? Apakah ini trip bersponsor? Atau salah satu di antara saya dan rekan-rekan seperjalanan merupakan penggemar berat rokok merk tersebut? Ya, sebenarnya ini buah keisengan saya ketika menyiapkan itinerary dan segala perlengkapan perang. Pada trip kali ini, saya dan ketiga teman lainnya memilih rute via transit di Surabaya untuk menuju ke Makassar yang merupakan destinasi utama. Itulah hasil konsesi antara pilihan dan peluang yang ada saat itu. Kode area telepon untuk ketiga tempat itu adalah 021, 031, dan 0411, jadi saya hanya berinisiatif menggabungkan angka kedua di setiap kode area telepon tersebut yang lucunya berurutan.
Bermodal tiket kereta api Gaya Baru Malam seharga IDR 120k dan ketebalan iman yang tidak bisa diragukan, kami berkumpul di Stasiun Kota tanggal 15 Januari untuk keberangkatan pukul 11:30. Dan seperti trip biasanya, meski kali ini banjir belum heboh melanda Jakarta saat keberangkatan seperti trip Bali tahun lalu, namun tetap muncul kekhawatiran karena hambatan-hambatan yang kami alami berpotensi membuat tragedi tertinggal kereta di trip sebelum-sebelumnya terulang. But, finally tout s’est bien passé.
Setelah berhasil memperoleh tempat duduk masing-masing dan kereta mulai melaju, tidak dibutuhkan banyak waktu untuk membuat kami bosan dengan keadaan di dalam kereta. Well, sebenarnya saya sudah mulai merasa terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan kereta api kelas ekonomi, namun ini yang terjauh. Dan, semoga perjalanan Jakarta Kota – Gubeng tersebut membuat kami sahih sebagai budget traveler. Percayalah, di dalam kereta ekonomi, waktu terasa immortal.
Praise the Lord! Dengan segala gaya tidur yang telah terlewati, kami akhirnya tiba dengan selamat di Stasiun Gubeng sekitar kurang dari pukul 03:00 WIB di 16 Januari. Ya, sekitar. Awalnya saya berniat mengandalkan Path untuk mereview waktu-waktu pada trip ini, sehingga saya memutuskan untuk lebih berfokus membuat catatan pengeluaran. Namun ternyata, kesulitan signal membuat semua rencana gagal. Keadaan stasiun yang masih sangat gelap dan udara yang dingin membuat kami tergiur untuk melanjutkan tidur dalam keadaan yang lebih nyaman, meluruskan tubuh.
Setelah sempat menghabiskan segelas minuman hangat bersama para supir taksi di warung kopi terdekat, kami menuju Bu Rudy untuk mencari sarapan dan menunggu waktu flight sekitar pukul 13:00. Kami memesan beberapa jenis menu yang serupa tapi tak sama, isinya seputar pecel dan sambalnya yang legend itu. Sebagai orang yang bukan berasal dari kalangan penggemar sambal, saya menilai Bu Rudy ini agak overpriced untuk rasa makanannya yang so-so, seporsi IDR 24k. Kemudian acara dilanjutkan dengan membeli beberapa cemilan serta obat, tentunya saya hampir selalu sakit di setiap trip. Oh ya, kami tidak perlu repot mencari taksi lagi karena bapak supir yang mengantar kami ke Bu Rudy tadi sepakat untuk menunggu dan mengatar kami ke bandara tanpa biaya tunggu. Benissimo!
Tiba di Juanda International Airport, kami segera check-in dan asik berlomba mengecek carrier siapa yang paling ringan. Awalnya kami cukup terkejut karena ternyata keempat tiket yang kami booked memperoleh hot seat. Wah, Air Asia SUB-UPG IDR 100k including hot seat? Big thanks to Agan Enggar! Terbebas dari beban hampir 20kg yang menempel di pundak, kami pun melakukan pengamatan bandara, atau hemat kata sih, jalan-jalan. Delay sekian menit membuat pesawat kami akhirnya take off sekitar pukul 14:00
Kurang dari pukul 16:00, kami sudah tiba di Sultan Hasanuddin International Airport. Dibandingkan Ngurah Rai, SMB II, ataupun Sepinggan versi lama, ini jadi bandara favorit saya! You can feel the atmosphere of simplicity. Oh ya, sayangnya pelayanan di bandara ini tidak ditunjang dengan SDM yang mumpuni. Kami lumayan tarik urat dengan beberapa petugas di sini karena masalah keadaan bagasi yang tidak sesuai ketika sampai di tangan kami yang diduga kuat disebabkan oleh kelalaian petugas. But, basically they tried to solve the problem with good intentions. Sekitar pukul 16:00, kami meninggalkan bandara dengan taksi kijang (even if they use Avanza or Xenia, for me it’s still taksi kijang) menuju Terminal Daya.
Destinasi pertama kami adalah Toraja. Menurut seorang teman anak Makassar yang sudah bersedia direpotkan untuk memandu jarak jauh dari Jakarta selama trip ini, kami harus naik bus dari Terminal Daya untuk menuju ke sana. Well, karena tidak terbiasa menggunakan moda transportasi bus dan sudah terlalu sering melihat terminal di Jakarta, saya merasa Terminal Daya ini sangat luas, bahkan jika dibandingkan dengan Terminal Air Sebakul di Bengkulu, terminal besar terakhir yang pernah saya kunjungi. Mungkin sebagian besar dari kita yang bukan orang lokal, pertama-tama akan kebingungan begitu memasuki terminal ini. Ternyata ada begitu banyak PO bus yang melayani rute ke Toraja. Namun, berdasarkan hasil observasi, kami memutuskan untuk membeli tiket bus Litha sebaiknya. Jadilah kami menempuh banjir, ya saat itu hujan sedang rutin turun di Makassar dan sekitarnya, membeli tiket, kemudian mencari makan untuk menunggu perjalanan sekitar pukul 19:00.
Kami memutuskan untuk menggunakan bus ekonomi tanpa AC dengan tiket seharga IDR 100k. Setelah sedikit mengobrol dengan seorang penduduk lokal yang juga ingin menuju Toraja, kami akhirnya mengetahui bus mana yang harus kami naiki di antara lautan bus malam itu. Ternyata tidak terlalu buruk, dan AC tidak lagi terlalu diperlukan untuk perjalanan panjang malam hari ke daerah dataran tinggi. Jadi, pilihan bus malam kelas ekonomi ini bisa dipertimbangkan untuk menghemat biaya transport. Namun, untuk yang lebih prefer menikmati pemandangan perjalanan yang konon cukup memesona itu, sebaiknya menaiki bus siang dengan AC tentunya. Malam itu, malam kedua, lagi-lagi kami harus tidur dengan menekuk-nekukkan tubuh. Dan sepanjang perjalanan saya mengalami sulit tidur, sindrom pergantian umur katanya.
Udara di Rantepao pukul 04:00 pagi membuat kami begitu malas turun dari bus. Rantepao merupakan pusat kota di Toraja, bagian yang relatif cukup ramai di Tanah Toraja. Di sana juga tempat para traveler berkumpul umumnya, karena penginapan yang menjamur, mulai dari yang murah meriah bertipe homestay sampai hotel berbintang ada semua. Kami akhirnya memutuskan untuk menaiki sitor, moda transportasi khas yang hanya ada di Toraja (menurut klaim dari pengemudinya sendiri), untuk menuju penginapan pilihan kami, Pia’s Poppies. Entah kenapa nama penginapan itu selalu berhasil membuat saya teringat akan Poppies Lane-nya Bali, dan benar, konsep mereka agak-agak mirip dengan penginapan di sepanjang Poppies Lane. Homey, clean, and very affordable, IDR 200k/room/night for 4 people; breakfast excluded.
Pagi itu, 17 Januari, trip kami resmi dimulai. Walaupun cuaca dingin, keadaan tidak membuat kami takut akan suhu air. Setelah mandi, kami segera bertemu dengan Pak Enos, driver kami yang sangat ramah. Awalnya kami merasa aneh kalau harus menghemat biaya sana-sini tapi mengeluarkan cukup banyak untuk menyewa driver. Sayangnya, rata-rata penyedia rental mobil di Toraja ini pada umumnya ga membiarkan mobilnya dipinjam untuk dibawa sendiri, lagipula berdasarkan yang orang-orang bilang, trip ke Toraja tanpa didampingi guide itu sama seperti wisata religi rasanya. Ke sana-sini cuma bisa lihat batu-batu, peti-peti, tanpa paham maknanya. Ya, kami pun sepakat. Akhirnya memutuskan sewa jasa Pak Enos ini, namun tidak sekalian merangkap sebagai guide, jadi sistemnya setiap turun di satu destinasi kami akan mengamati, kembali ke mobil kami bisa tanya-tanya ke Pak Enos ini. Cerdas, bayar jasa driver tapi sekalian dapat guide.
Inilah destinasi pertama kami, Ke’te Kesu! Pertama kalinya melihat Tongkonan, rumah adat Toraja, secara langsung, saya langsung jatuh cinta, sampai akhirnya saya memutuskan untuk membuat kolase beberapa Tongkonan yang ada di berbagai tempat di Toraja. Jadi, Ke’te Kesu ini merupakan kampung adat yang di dalamnya terdiri dari beberapa kepala keluarga yang umumnya saling bertalian darah. Selain tongkonan, bagian depannya banyak lumbung-lumbung yang terlihat seperti tongkonan mini. Di bagian belakang kampung ini terdapat kuburan-kuburan, membawa senter jadi penting kalau ingin berkunjung ke sini. Namun karena saat itu kami lupa membawa senter dan merasa sangat penasaran tapi tidak ada tempat bertanya, jadilah kami menghampiri dua adik-adik yang sedang bermain di sana untuk mengajak ngobrol dan kemudian mereka sepakat memandu kami memasuki gua dan menjelaskan banyak hal. Adik yang berbaju merah itu, kebetulan saya lupa mencatat nama keduanya, he really did his job like a pro! Dia tahu banyak tentang sejarah kebudayaan mereka di usianya yang masih di awal belasan, dan dia terlihat mampu menyampaikannya dengan baik kepada kami. Ini juga salah satu cara menghemat biaya loh, memperoleh guide dengan harga di bawah rata-rata, tapi...termasuk mempekerjakan anak di bawah umur ga yah?
Peti kuburan yang ada di tebing-tebing batu itu terdiri dari dua bentuk, babi dan perahu. Si adik bilang, babi itu berarti petinya berisi mayat wanita, sedangkan perahu berarti mayat laki-laki. Kenapa demikian? Karena wanita mengurus ternak dan pria melaut, simple! Sedangkan Tau-tau atau patung yang berbentuk manusia itu, kenapa mereka dilindungi dengan pagar, karena ternyata sering terjadi pencurian di sana. Tau-tau itu bernilai jual tinggi, terutama di luar sana. Si adik juga sempat menceritakan seorang foreigner yang mencoba membawa Tau-tau balik ke negaranya dan mengalami banyak hal-hal mistis sampai harus mengembalikannya lagi ke Toraja. Di bagian dalam gua, tulang-tulang mayat dibiarkan berserakan bersama dengan barang-barang peninggalan atau kesayangannya semasa hidup, mirip seperti di Trunyan, Bali. Bahkan, kami bisa melihat sertifikat milik seorang atlet PON yang masih bisa dibaca jelas di samping kerangka-kerangkanya, menarik.
Meninggalkan Ke’te Kesu, kami menuju Karambi Baby Grave. Sesuai dengan namanya, di sini hanya ada sebuah pohon sangat besar dan tinggi yang di sekelilingnya dipenuhi dengan pahatan-pahatan untuk mengisi mayat-mayat bayi dan ditutup oleh sejenis rami. Pohonnya sendiri sejenis pohon damar atau cendana. Sayangnya, menurut Pak Enos, pohon tersebut sudah mati karena disambar petir baru-baru itu. Seperti terlihat di foto, bagian keliling pohon itu dipenuhi bambu yang menjulang tinggi-tinggi, so creepy. Tanpa berlama-lama, kami kembali ke Rantepao untuk makan siang di Sop Saudara. Berhati-hatilah makan di Toraja, kebanyakan restoran dan warung makan tidak menyediakan menu yang disertai dengan harga.
Januari merupakan low-season di Toraja. Biasanya Toraja sangat ramai di saat upacara Ma’nene’ diselenggarakan, di mana mayat dimandikan dan dilakukan pembersihan pada kuburannya sehingga menimbulkan kesan mayatnya dapat hidup kembali. Namun, kami cukup beruntung untuk dapat menyaksikan Rambu Solo, upacara pemakaman adat khas Toraja di hari itu. Begitu menerima kabar bahwa sedang ada upacara di Lemo, Pak Enos segera membawa kami ke sana. Di perjalanan, kami serius memperhatikan wejangan-wejangan Pak Enos tentang bagaimana harus bersikap di upacara nanti. Dan ia bilang bahwa kami hanya dapat menonton dari kejauhan, buat kami sama sekali tidak masalah.
Tiba di Lemo, lagi-lagi kami beruntung. Setelah sekian lama mematung di jalur masuk karena takut salah tingkah, kami dipersilakan untuk masuk oleh salah seorang guide yang sedang membawa turis Belanda. Well rata-rata pengunjung hari itu adalah turis Belanda, Prancis, Italia, hanya kami yang dari Indonesia. Jadilah kami duduk bersamaan dengan turis-turis lainnya, disuguhkan makanan, dan mengamati jalannya acara dengan santainya. Menarik melihat peti mayat yang dipenuhi ornamen indah diarak keliling kampung diiringi puisi-puisi lokal hingga diantar naik ke tempat yang tinggi. Selama acara berjalan, sekian banyak babi dibunuh dengan sadisnya, ini yang bikin tidak tahan berdiam lama-lama di sana, mendengar hewan-hewan berteriak menghadapi kematiannya.
Selesai dari Lemo, kami kembali ke penginapan dan membersihkan diri. Malamnya, mencoba mengamati kehidupan sekitar dan mencari makan, kami berjalan kaki mengelilingi jalan utama di Rantepao. Sepi, benar-benar sepi, keramaian hanya terlihat di sekitar pasar. Setelah mampir sebentar di mini market, kami menuju Cafe Aras, salah satu cafe yang cukup fancy di Rantepao. Suasananya menarik, interior dipenuhi dengan kayu. Orang-orang banyak berkunjung untuk sekadar ngopi, ngebir, ataupun makan berat. Salah satu makanan khas Toraja, pa’piong pun tersedia di sana. Setelah seharian penuh mengamati Toraja, saya berkesimpulan bahwa umumnya yang berkeliaran di sana merupakan foreigner yang berasal dari Eropa, tipikal yang tertarik dengan budaya, cenderung berkisar di antara thirty something sampai oma-opa. Merasa lelah, kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Istirahat nyaman pertama kami selama perjalanan ini.
18 Januari, kami mengawali hari dengan sarapan di salah satu warung yang menjual berbagai makanan khas Toraja, dan saya memilih Sop Ubi. Potongan singkong goreng, mie, dengan kuah yang menyerupai bakso di dalam satu mangkuk seharga IDR 8k. Biasanya warga setempat memakannya dengan cabai lokal yang mirip jalapeno ini. Selain itu, ada pula sagu, ketan, dan macam-macam penganan lainnya di sini. Dan tentunya, kopi Toraja yang terkenal seantero dunia itu. Setelah memastikan perut kenyang, kami melanjutkan perjalanan dengan Pak Enos.
Pertama kami menuju Kampung Palawa, seperti nama tulisan huruf Sansekerta itu. Di sana kita bisa memasuki Tongkonan yang open house, di dalamnya dijual kerajinan-kerajinan hasil buatan tangan penduduk lokal. Nah, walaupun sudah bayar tiket masuk, kita akan dipaksa secara halus untuk membeli lagi produk-produk yang dijual di dalam Tongkonan itu. Satu per satu barang yang didisplay dipindahkan ke tubuh kita oleh si penjual sambil sibuk berujar “cantik itu, cocok ini, bagus kan”. Jadi, untuk yang tidak memiliki niat belanja, lebih baik ga perlu masuk ke dalam Tongkonan.
Berdasarkan catatan saya, kami mengunjungi dua tempat setelah dari Palawa, yaitu Melo dan Dere. Ketika mencoba mengingatnya, I don’t have any clue, yang jelas salah satunya merupakan desa tenun, sepertinya Dere. Wisatawan dapat membeli kain tenun untuk oleh-oleh di sana, namun kalau tidak tahu harga pasaran di Makassar, kemungkinan besar akan merugi kalau beli di sana. Namun, sebagian besar penenun di sana adalah nenek-nenek dan anak-anak sekolah, jadi lumayan untuk membantu mereka. Di antara perjalanan ini, kami sempat berhenti dan mengambil foto di area persawahan yang menurut saya cukup unik. Jadi, di tengah-tengah sawah ini banyak terletak batuan besar yang telah dipahat menjadi kuburan, di dalamnya terisi mayat-mayat.
Selanjutnya kami naik sampai ke bagian teratas Toraja. Menuju restoran tempat makan siang kami, Mentirotiku Batutumonga. Menurut Pak Enos, restoran ini yang terbaik di sana, dan saya setuju. Lokasinya sangat oke, berada di puncak bukit di mana kita bisa memandang keseluruhan Rantepao, dingin, tamannya dipenuhi bunga-bunga. Pelayanan dan rasa makanannya pun baik. Mulai dari chinese, western, sampai local food semua ada di sana. Dan, lagi-lagi yang kami temui di sini hanya beberapa turis Eropa bersama para guide-nya.
Kemudian Kalimbuang Bori’ menjadi destinasi yang mengakhiri perjalanan di Toraja ini. Kalimbuang Bori’ adalah situs megalithikum di mana banyak batuan besar dan kubur batu di dalamnya. Menarik walaupun areanya relatif kecil. Selesai dari sana kami segera kembali ke Rantepao untuk melanjutkan perjalanan ke Makassar, lagi-lagi dengan bus Litha. Saatnya berpisah dengan Pak Enos! Sekitar pukul 19:00, bus melaju kembali menuju Terminal Daya. Kami kembali menikmati tidur di perjalanan.
..to be continued
0
4.3K
7
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cerita Pejalan Domestik
2.1KThread•3KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya