- Beranda
- Pilih Capres & Caleg
Pencerahan Mengenai Jejak Rekam Prabowo Subianto Dalam Peristiwa 1998
...
![Moccacino.F1](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/03/30/avatar2763664_12.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
Moccacino.F1
Pencerahan Mengenai Jejak Rekam Prabowo Subianto Dalam Peristiwa 1998
Quote:
"Mohon Di Baca Dari Awal Hingga Akhir Agar KasKuser Semua Mendapat Pencerahan Tentang Prabowo Subianto Dalam Peristiwa 1998"
Quote:
Prabowo Subianto (kita sebut saja sebagai PS) lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen Kopasus, Pengusaha sukses, Politisi dan calon presiden 2014. PS adalah putera dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI dan juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya, tampak bahwa PS memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia, bahkan jauh sebelum republik ini lahir. PS menikahi Titiek, puteri Presiden Soeharto. Keputusan yang tampak prospektif saat itu, namun menjadi blunder dalam hidupnya di kemudian hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, PS mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di AKABRI. Beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa selulus SMA, PS juga diterima di Harvard University.
Karirnya di bidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer PS termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI. PS bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dan dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun. Sebagai sesama orang militer, PS bisa dianggap sebagai “antitesa” dari SBY. Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan, PS cenderung cepat “Take action”. Saat keputusan sudah dibuat, PS akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng nama baik & menjadi penyebab kehancuran karir militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mengungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada PS yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Wiranto sengaja mengambil manfaat agar “prasangka publik” menghukum PS lebih berat daripada dosanya. Meski PS bersikeras mengatakan tak pernah perintahkan, namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. Saya ambil alih tanggung jawabnya, begitu kata beliau saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan PS.
Jika PS benar bersalah, mengapa korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang & Desmond J. Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan PS justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, dan selalu terkesan ragu-ragu, tampaknya PS adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah, maka PS adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, PS memilih untuk ambil alih tanggung jawab & menanggung sendiri resikonya.
Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri saat kapal tenggelam, tapi justru yang terakhir. Sayang, karir militer PS yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan. PS bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998.
Berbicara tentang PS, kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya itu. Dan sebagai pihak yang kalah, PS menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan PS. Jika memang benar PS adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu, maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan PS yang karir gemilangnya di dunia militer yang begiitu dicintainya itu harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib.
Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah PS tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putera terbaiknya, hanya karena asumsi belaka?
Untuk dapat menilai PS secara lebih obyektif, maka kami akan bahas kembali secara detail peristiwa yang terjadi di tahun 1998 itu. Kami akan jelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa mei 1998 dari sudut pandang yang berbeda dari pemahaman umum selama ini.
Jauh sebelum peristiwa Mei ’98, proses penghancuran nama baik PS sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara PS & Wiranto. Ketidak-harmonisan PS dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama.
Jauh sebelum peristiwa Mei ’98, proses penghancuran nama baik PS sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo & Wiranto. Ketidak-harmonisan PS dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama. Mungkin karena background keduanya yang jauh berbeda. PS yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup. Namun PS yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa & tidak dijadikan personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat ‘Jawa Tradisional’ itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam menyikapi suatu rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karir militernya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara.
Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau sebagai Pangab dalam acara serah terima Pangkostrad Letjend. Soegiono kepada PS. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat PS sebagai perwira militer, beliau mencopot tanda-tanda pangkat PS dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir militer PS memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan perwira tua. PS sebagai representasi perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi PS saat itu benar-benar terjepit. Di satu sisi, dia adalah menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain, akibat manuver Wiranto cs, Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya (yaitu Habibie), beliau menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” PS.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Semua tidak terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih menghantui republik ini.
Sesungguhnya ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada PS:
1. Penculikan aktivis,
2. Penembakan mahasiswa Trisakti, dan
3. Dalang kerusuhan Mei 1998.
Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya PS bersalah, bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai Panglima, beliau yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini PS tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak bisa membela diri? Mengenai penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat?
Akibatnya, tuduhan kembali ke PS yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang di balik penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini, namun fitnah sudah mencapai sasaran, dan sekali lagi PS terlanjur menjadi pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo di balik penembakan, dengan konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan snipper. Teori konspirasi ini tak pernah terbukti karena peluru snipper diatas 7 mm & proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara random. Kalau snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan.
Lima hari setelah insiden Trisakti, PS datang ke rumah Herry Hartanto. Di bawah Al Qur’an dia bersumpah. Di depan Syahrir Mulyo Utomo orang tua korban; Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa.
Perihal keterlibatan PS atas penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal 14 terjadi pertemuan di Makostrad atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara PS & tokoh masyarakat antara lain; Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto (sekarang pimpinan KPK). Dalam pertemuan itu PS ditanya tentang keterlibatannya, dia menjawab: Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up. Menurut Buyung terlihat jujur.
Lanjutan Ada Di Post #2
Karirnya di bidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer PS termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI. PS bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dan dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun. Sebagai sesama orang militer, PS bisa dianggap sebagai “antitesa” dari SBY. Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan, PS cenderung cepat “Take action”. Saat keputusan sudah dibuat, PS akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng nama baik & menjadi penyebab kehancuran karir militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mengungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada PS yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Wiranto sengaja mengambil manfaat agar “prasangka publik” menghukum PS lebih berat daripada dosanya. Meski PS bersikeras mengatakan tak pernah perintahkan, namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. Saya ambil alih tanggung jawabnya, begitu kata beliau saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan PS.
Jika PS benar bersalah, mengapa korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang & Desmond J. Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan PS justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, dan selalu terkesan ragu-ragu, tampaknya PS adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah, maka PS adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, PS memilih untuk ambil alih tanggung jawab & menanggung sendiri resikonya.
Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri saat kapal tenggelam, tapi justru yang terakhir. Sayang, karir militer PS yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan. PS bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998.
Berbicara tentang PS, kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya itu. Dan sebagai pihak yang kalah, PS menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan PS. Jika memang benar PS adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu, maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan PS yang karir gemilangnya di dunia militer yang begiitu dicintainya itu harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib.
Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah PS tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putera terbaiknya, hanya karena asumsi belaka?
Untuk dapat menilai PS secara lebih obyektif, maka kami akan bahas kembali secara detail peristiwa yang terjadi di tahun 1998 itu. Kami akan jelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa mei 1998 dari sudut pandang yang berbeda dari pemahaman umum selama ini.
Jauh sebelum peristiwa Mei ’98, proses penghancuran nama baik PS sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara PS & Wiranto. Ketidak-harmonisan PS dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama.
Jauh sebelum peristiwa Mei ’98, proses penghancuran nama baik PS sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo & Wiranto. Ketidak-harmonisan PS dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama. Mungkin karena background keduanya yang jauh berbeda. PS yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup. Namun PS yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa & tidak dijadikan personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat ‘Jawa Tradisional’ itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam menyikapi suatu rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karir militernya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara.
Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau sebagai Pangab dalam acara serah terima Pangkostrad Letjend. Soegiono kepada PS. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat PS sebagai perwira militer, beliau mencopot tanda-tanda pangkat PS dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir militer PS memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan perwira tua. PS sebagai representasi perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi PS saat itu benar-benar terjepit. Di satu sisi, dia adalah menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain, akibat manuver Wiranto cs, Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya (yaitu Habibie), beliau menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” PS.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Semua tidak terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih menghantui republik ini.
Sesungguhnya ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada PS:
1. Penculikan aktivis,
2. Penembakan mahasiswa Trisakti, dan
3. Dalang kerusuhan Mei 1998.
Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya PS bersalah, bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai Panglima, beliau yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini PS tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak bisa membela diri? Mengenai penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat?
Akibatnya, tuduhan kembali ke PS yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang di balik penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini, namun fitnah sudah mencapai sasaran, dan sekali lagi PS terlanjur menjadi pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo di balik penembakan, dengan konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan snipper. Teori konspirasi ini tak pernah terbukti karena peluru snipper diatas 7 mm & proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara random. Kalau snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan.
Lima hari setelah insiden Trisakti, PS datang ke rumah Herry Hartanto. Di bawah Al Qur’an dia bersumpah. Di depan Syahrir Mulyo Utomo orang tua korban; Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa.
Perihal keterlibatan PS atas penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal 14 terjadi pertemuan di Makostrad atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara PS & tokoh masyarakat antara lain; Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto (sekarang pimpinan KPK). Dalam pertemuan itu PS ditanya tentang keterlibatannya, dia menjawab: Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up. Menurut Buyung terlihat jujur.
Lanjutan Ada Di Post #2
0
2.4K
Kutip
8
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Pilih Capres & Caleg](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-635.png)
Pilih Capres & Caleg![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
22.5KThread•3.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok