- Beranda
- The Lounge
kurang bersyukur atas keadaan agan sekarang? silakan baca ini gan
...
TS
langsa002
kurang bersyukur atas keadaan agan sekarang? silakan baca ini gan
Makasih udah mampir gan. di sini ane mau sedikit berbagi cerita tentang temen ane yang kurang bersyukur
makasih banget gan udah mampir mohon maaf kalo tulisannya rada-rada berantakan
semoga berkenan ya gan
Spoiler for ceritanya begini gan:
Langit tengah merona ketika aku tiba di depan pagar rumah itu. Lantunan suara tilawah bergaung dari masjid sekitar, penanda adzan magrib segera menjelang dalam hitungan menit. Aku hampir saja hendak menunda niat untuk memasuki halaman rumah itu andai tak nampak lambaian tangannya yang terlalu antusias menyapaku.
Dia kawan SD-ku dulu. Kilau kecerdasannya sudah nampak sedari saat itu hingga tak pernah ia mendapatkan peringkat kecuali ranking satu. Dan menurut kabar yang kudengar, kilau itu makin berpendar. Tak usah kusebutkan bahwa ia masuk SMP terfavorit di kotaku sementara aku harus puas meneruskan sekolah di SMP dekat rumah tersebab capaian nilai UN ku yang pas-pasan. Tak usah lagi kusebutkan ia kembali melanjut ke SMA terfavorit di kota sementara aku mesti berpuas diri sekolah di SMA kecamatan lagi-lagi karena capaian nilai UN ku yang dianggap lulus pun sudah kuanggap sebagai keajaiban. Pertemuan terakhirku sebelum ini adalah ketika kami berangkat bersama mengikuti ujian saringan di salah satu kampus kedinasan. Salah satu dari kami lulus, sementara yang satu lagi mesti gigit jari dan menerima realitas untuk tergerus arus urbanisasi berburu kerja di kota berbekal ijazah SMA. Tidak susah untuk menebak-nebak siapa yang mana.
Tangan itu menyambar tanganku ketika aku tiba di depannya, kemudian mengguncang-guncangku erat. Polo shirt merah marun yang ia kenakan dipadu denim berwarna terang nampak silau di mataku, membuatku agak minder karena muncul dengan pakaian batik lengan panjang nan lusuh bekas kupakai mengajar di madrasah diniyyah tadi siang.
Di teras rumah itu kami mengobrol panjang. Sempat terputus dua jenak untuk shalat magrib dan isya, sisanya kami menghabiskan malam itu dengan berbagi banyak hal. Berkeluh dan bersyukur atas hal-hal yang telah datang dan pergi. Berbagi tentang apa saja yang telah terlewatkan dalam ketidakbertemuan kami. Dan dari obrolan ini, nampak sekali bagiku kehidupannya nyaris telah sempurna. Tidak ada pencarian yang memaksanya untuk bangun terlalu pagi. Tidak ada penantian panjang yang kerap menciptakan kelelahan dalam tidak pasti. Semuanya ada dan tersedia di sini, saat ini. Jujur saja, kenyataan ini membuat diriku iri. Ah, dia nyaris sempurna.
Dia nyaris sempurna dan memiliki segalanya kecuali satu. Rasa syukur. Dia kikir sekali dalam bersyukur, dan malah sebaliknya, sedikit rakus dalam berkeluh. Ia mengeluh tentang penghasilannya yang dia rasa tak sepadan dengan kerja keras serta beban tanggung jawab yang diemban. Kali lain ia mengeluh tentang lokasi kerjanya yang berjarak jauh dari kampung halaman serta pola mutasi yang serba tak pasti. Ia juga mengeluh tentang sulitnya meneruskan pendidikan karena terbentur aturan. Dan ia pun mengaku bahwa ia menyimpan iri terhadap kawan-kawan sejawat di kampusnya dulu yang kini bekerja dalam induk yang sama, kementerian keuangan namun di unit yang berbeda. Ah, dia seperti lupa siapa yang tengah diajaknya bicara. Dia tidak tahu bahwa sementara selama empat tahun ini ia kuliah dan akhirnya langsung mendapat pekerjaan yang kupandang mapan, aku luntang-lantung saja mencari dan menanti lowongan pekerjaan bermodalkan ijazah SMA. Empat tahun dalam pencarian yang akhirnya berujung keputusasaan. Aku pulang kembali ke kampung dan menerima tawaran saudaraku yang berbaik hati mengajak mengajar di madrasah diniyyah. Jika dibanding-banding masalah penghasilan, satu-satunya hal yang boleh kuanggap penghasilan adalah gajiku di madrasah diniyyah ini yang tiga ratus lima puluh ribu rupiah sebulan. Aku tak mungkin berharap materi dari santri-santri yang mengaji sore-sore ke rumahku. Aku pun tak mungkin menjadi guru bakti di SD ataupun jenjang lain dengan bekal ijazah SMA ku ini. Melihat kenyataan ini, mau tak mau aku sakit hati juga mendengar keluhannya. Jika saja boleh, aku akan mau begitu saja jika ditawari untuk bertukar peran. Aku jadi dia, dan sebaliknya. Ah, tapi itu hanya akan terjadi dalam dunia dongeng.
Bicara tentang dongeng, aku jadi teringat sebuah kisah dalam buku hikayat Bahlul yang kubaca ketika berkunjung ke rumah keponakan. Sebuah buku yang berisi kumpulan kisah-kisah tentang kecerdasan dan kebijakan sang tokoh utama, Bahlul. Ilustrasi dan narasinya yang biasa saja, tak menghalangi ketakjubanku akan kelezatan materi dan isi buku ini. Dan ihwal kekurangbersyukuran kawanku ini, mengingatkanku pada salah satu kisah di buku ini.
Kisah dimulai dengan Bahlul yang berlayar ke pulau seberang dengan menumpang sebuah kapal milik seorang saudagar. Saudagar ini memiliki beberapa budak sahaya. Diantara budak ini ada salah satu yang bukan main takutnya sama ombak laut. Seharian di dalam kapal, budak ini terus tersedu-sedu dan menggigil menahan takut. Jika kapal sedikit bergoyang, ia akan menjerit panik. Mulanya ia hanya didiamkan saja oleh si saudagar. Ia pikir lama-kelamaan juga budak ini akan kelelahan sendiri. Tapi bukannya membaik, yang terjadi malah sebaliknya hingga kepanikan dan ketakutan budak sahaya ini dirasa mulai amat mengganggu ketentraman para awak kapal lain. Mengetahui bahwa Bahlul numpang kapal itu, dan teringat akan saran-saran dan idenya yang seringkali brilian namun kadang absurd, maka dia meminta Bahlul memecahkan masalah budak sahayanya ini.
Bahlul segera menyanggupi permintaan saudagar itu. Tanpa berbicara ia mendekati budak sahaya itu, berbisik sedikit yang entah apa, dan dibalas dengan lolongan ketakutan si budak sahaya. Seperti tak berhasil dengan cara pertama, dia menoleh ke awak kapal lain yang tengah menontoninya. Matanya menyipit, seolah menganalisa. Dan tatapan itu berhenti pada salah satu awak kapal yang berbadan besar dan kekar.
“Hei kamu sini, tolong bantu aku”
Si badan besar menuruti permintaan itu, dan berjalan mendekati Bahlul. Setelah si badan besar ini sudah cukup dekat jaraknya dengan dirinya, Bahlul berbisik kepada si badan besar ini. Entah apa yang Bahlul bisikkan. Yang jelas si badan besar ini langsung geleng-geleng kepala seperti menolak keinginan Bahlul. Kemudian beberapa jenak mereka seperti nampak berdebat. Perdebatan yang nampaknya dimenangkan Bahlul karena tak lama setelah itu si badan besar dan Bahlul bergerak kompak mendekati si budak cahaya, memegang badan dan tangannya, kemudian bersama-sama mengangkat si budak sahaya yang terus saja meronta-ronta dan menjerit-jerit minta dilepaskan. Para awak kapal menyingkir memberi jalan kepada keduanya dengan kepala penuh tanya. Rupanya Bahlul dan si badan besar mendekati pinggiran kapal. Dan begitu sampai di sana, mereka berbarengan mengayun-ngayun si budak sahaya yang terus saja menjerit dan meronta-ronta minta dilepaskan. Dan…
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…… Byuuurrr….. Si budak sahaya ini jatuh ke laut.
Hanya tersisa sepasang tangan melambai-lambai yang nampak di sana. Kepalanya terbenam ke dalam. Mungkin satu liter air garam telah masuk ke perutnya. Bahlul dan si badan besar tertawa-tawa di pinggiran kapal, nampak puas dengan apa yang telah mereka lakukan. Tak jauh dari mereka, si saudagar memandang dengan murka.
“Bahlul! Sinting kau! Apa-apan ini?! Bisa mati budakku nanti!”
Bahlul hanya melambaikan tangannya pada saudagar tersebut, sembari melempar senyum. Sementara si badan besar nampak tengah sibuk mengurai tali dan mengikat sebuah pelampung. Kemudian ia lempar pelampung itu ke budak yang tengah payah timbul tenggelam di tengah lautan. Si budak sahaya dengan payah berusaha menggapai-gapai pelampung, kemudian si badan besar menarik pelampung itu, dan membantu si budak sahaya kembali menaiki kapal.
“Bahlul sinting! Apa-apaan kau ini?! Untung saja dia tak mati!”
Saudagar tergopoh memburu budak sahaya nan malang ini. Kasihan, tak terhitung air laut yang sudah ditenggaknya.
Si budak sahaya segera mendapat perawatan. Dan di tengah sibuknya orang merawat budak sahaya ini, Bahlul memegang tangan si budak dan mengusap-usap kepalanya.
“Maafkan aku. Aku cuma ingin agar kau tahu betapa nyamannya berada dalam kapal ini”
Dalam kasus kawanku, sebenarnya dia ini sudah punya karir yang cukup mapan untuk dititi, hanya ia kurang menyadari bahwa berada dalam jalur karir yang saat ini tengah ia jalani, merupakan wujud nikmat dan rahmat kasih sayang Allah yang tak layak ia sia-siakan. Seandainya saja ia mau membuka mata, seandainya ia mau membuka hati, mungkin saja ia akan menjadi orang yang pandai bersyukur.
Gelap telah menelan semua yang bisa terlihat. Rasa kantuk berkali-kali memaksa untuk menguap. Setelah puas ngobrol berjam-jam, setelah pamit dan membuat janji untuk bertemu kembali besok siang, akhirnya aku pulang.
Dia kawan SD-ku dulu. Kilau kecerdasannya sudah nampak sedari saat itu hingga tak pernah ia mendapatkan peringkat kecuali ranking satu. Dan menurut kabar yang kudengar, kilau itu makin berpendar. Tak usah kusebutkan bahwa ia masuk SMP terfavorit di kotaku sementara aku harus puas meneruskan sekolah di SMP dekat rumah tersebab capaian nilai UN ku yang pas-pasan. Tak usah lagi kusebutkan ia kembali melanjut ke SMA terfavorit di kota sementara aku mesti berpuas diri sekolah di SMA kecamatan lagi-lagi karena capaian nilai UN ku yang dianggap lulus pun sudah kuanggap sebagai keajaiban. Pertemuan terakhirku sebelum ini adalah ketika kami berangkat bersama mengikuti ujian saringan di salah satu kampus kedinasan. Salah satu dari kami lulus, sementara yang satu lagi mesti gigit jari dan menerima realitas untuk tergerus arus urbanisasi berburu kerja di kota berbekal ijazah SMA. Tidak susah untuk menebak-nebak siapa yang mana.
Tangan itu menyambar tanganku ketika aku tiba di depannya, kemudian mengguncang-guncangku erat. Polo shirt merah marun yang ia kenakan dipadu denim berwarna terang nampak silau di mataku, membuatku agak minder karena muncul dengan pakaian batik lengan panjang nan lusuh bekas kupakai mengajar di madrasah diniyyah tadi siang.
Di teras rumah itu kami mengobrol panjang. Sempat terputus dua jenak untuk shalat magrib dan isya, sisanya kami menghabiskan malam itu dengan berbagi banyak hal. Berkeluh dan bersyukur atas hal-hal yang telah datang dan pergi. Berbagi tentang apa saja yang telah terlewatkan dalam ketidakbertemuan kami. Dan dari obrolan ini, nampak sekali bagiku kehidupannya nyaris telah sempurna. Tidak ada pencarian yang memaksanya untuk bangun terlalu pagi. Tidak ada penantian panjang yang kerap menciptakan kelelahan dalam tidak pasti. Semuanya ada dan tersedia di sini, saat ini. Jujur saja, kenyataan ini membuat diriku iri. Ah, dia nyaris sempurna.
Dia nyaris sempurna dan memiliki segalanya kecuali satu. Rasa syukur. Dia kikir sekali dalam bersyukur, dan malah sebaliknya, sedikit rakus dalam berkeluh. Ia mengeluh tentang penghasilannya yang dia rasa tak sepadan dengan kerja keras serta beban tanggung jawab yang diemban. Kali lain ia mengeluh tentang lokasi kerjanya yang berjarak jauh dari kampung halaman serta pola mutasi yang serba tak pasti. Ia juga mengeluh tentang sulitnya meneruskan pendidikan karena terbentur aturan. Dan ia pun mengaku bahwa ia menyimpan iri terhadap kawan-kawan sejawat di kampusnya dulu yang kini bekerja dalam induk yang sama, kementerian keuangan namun di unit yang berbeda. Ah, dia seperti lupa siapa yang tengah diajaknya bicara. Dia tidak tahu bahwa sementara selama empat tahun ini ia kuliah dan akhirnya langsung mendapat pekerjaan yang kupandang mapan, aku luntang-lantung saja mencari dan menanti lowongan pekerjaan bermodalkan ijazah SMA. Empat tahun dalam pencarian yang akhirnya berujung keputusasaan. Aku pulang kembali ke kampung dan menerima tawaran saudaraku yang berbaik hati mengajak mengajar di madrasah diniyyah. Jika dibanding-banding masalah penghasilan, satu-satunya hal yang boleh kuanggap penghasilan adalah gajiku di madrasah diniyyah ini yang tiga ratus lima puluh ribu rupiah sebulan. Aku tak mungkin berharap materi dari santri-santri yang mengaji sore-sore ke rumahku. Aku pun tak mungkin menjadi guru bakti di SD ataupun jenjang lain dengan bekal ijazah SMA ku ini. Melihat kenyataan ini, mau tak mau aku sakit hati juga mendengar keluhannya. Jika saja boleh, aku akan mau begitu saja jika ditawari untuk bertukar peran. Aku jadi dia, dan sebaliknya. Ah, tapi itu hanya akan terjadi dalam dunia dongeng.
Bicara tentang dongeng, aku jadi teringat sebuah kisah dalam buku hikayat Bahlul yang kubaca ketika berkunjung ke rumah keponakan. Sebuah buku yang berisi kumpulan kisah-kisah tentang kecerdasan dan kebijakan sang tokoh utama, Bahlul. Ilustrasi dan narasinya yang biasa saja, tak menghalangi ketakjubanku akan kelezatan materi dan isi buku ini. Dan ihwal kekurangbersyukuran kawanku ini, mengingatkanku pada salah satu kisah di buku ini.
Kisah dimulai dengan Bahlul yang berlayar ke pulau seberang dengan menumpang sebuah kapal milik seorang saudagar. Saudagar ini memiliki beberapa budak sahaya. Diantara budak ini ada salah satu yang bukan main takutnya sama ombak laut. Seharian di dalam kapal, budak ini terus tersedu-sedu dan menggigil menahan takut. Jika kapal sedikit bergoyang, ia akan menjerit panik. Mulanya ia hanya didiamkan saja oleh si saudagar. Ia pikir lama-kelamaan juga budak ini akan kelelahan sendiri. Tapi bukannya membaik, yang terjadi malah sebaliknya hingga kepanikan dan ketakutan budak sahaya ini dirasa mulai amat mengganggu ketentraman para awak kapal lain. Mengetahui bahwa Bahlul numpang kapal itu, dan teringat akan saran-saran dan idenya yang seringkali brilian namun kadang absurd, maka dia meminta Bahlul memecahkan masalah budak sahayanya ini.
Bahlul segera menyanggupi permintaan saudagar itu. Tanpa berbicara ia mendekati budak sahaya itu, berbisik sedikit yang entah apa, dan dibalas dengan lolongan ketakutan si budak sahaya. Seperti tak berhasil dengan cara pertama, dia menoleh ke awak kapal lain yang tengah menontoninya. Matanya menyipit, seolah menganalisa. Dan tatapan itu berhenti pada salah satu awak kapal yang berbadan besar dan kekar.
“Hei kamu sini, tolong bantu aku”
Si badan besar menuruti permintaan itu, dan berjalan mendekati Bahlul. Setelah si badan besar ini sudah cukup dekat jaraknya dengan dirinya, Bahlul berbisik kepada si badan besar ini. Entah apa yang Bahlul bisikkan. Yang jelas si badan besar ini langsung geleng-geleng kepala seperti menolak keinginan Bahlul. Kemudian beberapa jenak mereka seperti nampak berdebat. Perdebatan yang nampaknya dimenangkan Bahlul karena tak lama setelah itu si badan besar dan Bahlul bergerak kompak mendekati si budak cahaya, memegang badan dan tangannya, kemudian bersama-sama mengangkat si budak sahaya yang terus saja meronta-ronta dan menjerit-jerit minta dilepaskan. Para awak kapal menyingkir memberi jalan kepada keduanya dengan kepala penuh tanya. Rupanya Bahlul dan si badan besar mendekati pinggiran kapal. Dan begitu sampai di sana, mereka berbarengan mengayun-ngayun si budak sahaya yang terus saja menjerit dan meronta-ronta minta dilepaskan. Dan…
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…… Byuuurrr….. Si budak sahaya ini jatuh ke laut.
Hanya tersisa sepasang tangan melambai-lambai yang nampak di sana. Kepalanya terbenam ke dalam. Mungkin satu liter air garam telah masuk ke perutnya. Bahlul dan si badan besar tertawa-tawa di pinggiran kapal, nampak puas dengan apa yang telah mereka lakukan. Tak jauh dari mereka, si saudagar memandang dengan murka.
“Bahlul! Sinting kau! Apa-apan ini?! Bisa mati budakku nanti!”
Bahlul hanya melambaikan tangannya pada saudagar tersebut, sembari melempar senyum. Sementara si badan besar nampak tengah sibuk mengurai tali dan mengikat sebuah pelampung. Kemudian ia lempar pelampung itu ke budak yang tengah payah timbul tenggelam di tengah lautan. Si budak sahaya dengan payah berusaha menggapai-gapai pelampung, kemudian si badan besar menarik pelampung itu, dan membantu si budak sahaya kembali menaiki kapal.
“Bahlul sinting! Apa-apaan kau ini?! Untung saja dia tak mati!”
Saudagar tergopoh memburu budak sahaya nan malang ini. Kasihan, tak terhitung air laut yang sudah ditenggaknya.
Si budak sahaya segera mendapat perawatan. Dan di tengah sibuknya orang merawat budak sahaya ini, Bahlul memegang tangan si budak dan mengusap-usap kepalanya.
“Maafkan aku. Aku cuma ingin agar kau tahu betapa nyamannya berada dalam kapal ini”
Dalam kasus kawanku, sebenarnya dia ini sudah punya karir yang cukup mapan untuk dititi, hanya ia kurang menyadari bahwa berada dalam jalur karir yang saat ini tengah ia jalani, merupakan wujud nikmat dan rahmat kasih sayang Allah yang tak layak ia sia-siakan. Seandainya saja ia mau membuka mata, seandainya ia mau membuka hati, mungkin saja ia akan menjadi orang yang pandai bersyukur.
Gelap telah menelan semua yang bisa terlihat. Rasa kantuk berkali-kali memaksa untuk menguap. Setelah puas ngobrol berjam-jam, setelah pamit dan membuat janji untuk bertemu kembali besok siang, akhirnya aku pulang.
makasih banget gan udah mampir mohon maaf kalo tulisannya rada-rada berantakan
semoga berkenan ya gan
Diubah oleh langsa002 11-06-2014 16:32
0
1.6K
Kutip
14
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.3KThread•84.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru