choyukidesuAvatar border
TS
choyukidesu
[Cerpen] Invisible Love from Father

“Sebenarnya ayah dimana?” Lagi – lagi kalimat itu muncul di benakku. Sebuah Pikiran sederhana namun berubah menjadi beban hidupku akhir – akhir ini, ketika aku sudah beranjak dewasa. Mungkin dulu, aku tidak terlalu menganggap hal ini berlebihan.

Aku akan menurut dan langsung mempercayai Ibuku ketika ia mengatakan bahwa ayah sedang merantau. Tapi sekarang? Aku bukan anak kecil lagi, aku juga tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban ibu. Merantau? Selama inikah? Bahkan aku belum pernah melihatnya sama sekali semenjak kecil hingga sekarang, hingga usiaku menginjak 17 tahun. Apa benar yang dikatakan Ibuku? Apa hanya membohongiku saja? Aku yakin Ibu bohong.
Ku ambil setumpuk kayu bakar itu dan langsung menaruhnya di atas punggungku. Sebuah pekerjaan yang sudah menjadi kebiasaan sehari – hariku. Aku memang bukan anak orang kaya, bahkan kehidupanku teramatlah sederhana. Terkadang aku merasa sedih, aku juga ingin seperti anak – anak lain, belajar dengan tenang dan merasakan kehidupan yang lebih baik dari ini. Bukan karena aku tidak mensyukuri takdir yang diberikan Tuhan, aku hanya iri kepada teman – temanku, dimana mereka memiliki figur seorang Ayah yang menjadi tulang punggung dan pemimpin dalam sebuah keluarga. Sedangkan aku? Ibukulah yang menggantikan peran Ayah selama ini. Berjuang mati – matian demi menghidupi keluarga kami. Sebenarnya aku tidak rela jika Ibu berjuang sendirian, sedangkan suaminya? Berada jauh entah dimana, bahkan aku yakin pasti Ibu juga tidak mengetahui dimana Ayah berada sekarang.
Kulangkahkan kakiku menuju pelataran sebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Bahkan dengan lantai yang masih beralaskan tanah. Kukencangkan tali yang mengikat setumpuk kayu bakar itu dipunggungku saat akan memasuki tempat tinggalku ini. Suasana sepi menyambutku seketika, aku tidak heran. Memang Ibuku sedang sibuk memasak dan adikku satu – satunya itu pasti sedang bermain dengan anak tetangga. Aku berjalan ke arah Ibuku lalu meletakkan kayu bakar hasil jerih payahku itu di dekat pawon, sebuah kata yang asing sepertinya pada jaman global seperti ini. Kami memang masih memasak menggunakan kayu bakar karena kami tidak mampu membeli kompor gas layaknya orang – orang modern itu.
“Istirahat dululah nak. Bukankah sebulan lagi kau akan ujian?” Ucap Ibuku di sela – sela aktivitas memasaknya.
“Nanti saja bu, Narni masih ingin membantu Ibu kok.” Jawabku sembari mengusap peluh yang sudah memenuhi mukaku saat itu.
“Ya sudah, cucilah piring saja.” Sambung Ibuku halus dengan logat jawa yang masih kental di dalamnya.
Segera aku menuruti perintah Ibu, ku posisikan tempat dudukku di depan sebuah tumpukan piring yang sudah menantiku untuk segera membersihkannya. Lagi – lagi sekelumat pertanyaanku tentang siapa ayahku hadir kembali.
“Ayah itu seperti apa?” Tanyaku tiba – tiba, membuat Ibuku sejenak menghentikan aktivitasnya menggorengnya. Aku yakin Ibu masih berpikir untuk menjawab pertanyaanku ini. Aku harap bukan kebohongan lagi yang Ibu akan katakan, aku ingin jawaban yang sebenarnya.
“Ayahmu pribadi yang baik. Hanya saja kamu belum mengetahuinya.” Jawab Ibuku datar. Membuatku merasa tidak puas atas jawaban yang kudapatkan baru saja.
“Mengapa Ayah tak mengirimi ibu uang?”
“Mungkin ayah belum sempat.” Lagi – lagi Ibu tak menanggapi masalah ini serumit yang aku pikirkan. Untuk kesekian kalinya Ibu hanya sabar dan sabar. Bukannya aku tak senang, tapi aku kasihan sama Ibu, tega- teganya laki – laki yang disebut Ayah bagi kita itu tidak mempedulikan Ibu saat ini, saat kondisi Ibu yang sudah makin renta. Aku kasihan, aku khawatir.

****

“Narni, kau sudah punya rencana untuk meneruskan kuliah?” Seorang teman di dekatku tiba – tiba bertanya.
“Belum sama sekali.” Jawabku yang masih tetap mencoba memecahkan soal Limit di hadapanku ini.
“Hah? Bukannya sebentar lagi kita kuliah?” Tanyanya lagi penuh keheranan.
“Bahkan aku tidak tahu, apakah aku bisa melanjutkan untuk kuliah atau tidak.” Jawabku lega saat soal yang terbilang sulit ini berhasil kupecahkan.
“Oh.” Ujarnya pelan, sepertinya dia merasa bersalah menanyakan hal itu kepadaku.
“Kalau kamu, Lisa?” Untuk pertama kalinya, aku memandang lawan bicaraku tersebut.
“Ayahku menyarankanku untuk melanjutkan ke UGM. Tapi, aku tidak yakin bisa menembus tes masuknya.” Ucap Lisa sedih. Ku tepuk pundak Lisa berulang untuk meyakinkannya.
“Kamu pasti bisa. Jangan jadikan keraguanmu menjadi sebuah hambatan untuk meraih impianmu itu. Dan jangan pula kecewakan Ayahmu, Lisa.”
“Terima kasih Narni, pasti Ayahmu bangga memiliki anak sebaik dan secerdas dirimu.”
Tidak ada kata yang terlontar dari mulutku. Diam adalah satu – satunya jalan yang bisa kulakukan. Memang apa yang bisa kuperbuat untuk membanggakan orang tuaku apalagi ayahku yang belum pernah sedetikpun menemuiku? Bahkan sempat terpikir, membanggakan ayah bukanlah hal yang penting lagi saat ini. Bagaimana bisa aku membahagiakan seseorang yang tidak pernah mempedulikan kehidupan kami.
Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi. Ku masukkan seluruh bukuku ke dalam tas, dan ku tata sedemikian rupa. Tak banyak waktu yang kubuang sia – sia sepulang sekolah, aku hanya ingin langsung pulang untuk melihat keluarga kecilku dan tentunya membantu ibuku. Aku berpamitan dengan beberapa teman dekatku, dan sedikit melepas canda dengan mereka walau hanya sebentar. Tanpa membuang banyak waktu lagi, aku berjalan menuju gerbang sekolah. Tapi suasana aneh datang saat aku melihat sosok anak kecil yang sepertinya tak asing lagi bagiku, terlihat sedang menunggu seseorang. Sepertinya aku kenal dengannya. Sinta? Adik kecilku itu, kenapa dia kemari? Bergegas aku menghampirinya.
“Sinta? Ngapain kamu di sini?” Pertanyaanku yang tiba – tiba ini sedikit mengagetkannya. Sontak Sinta mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Ada apa?” Sekarang keterkejutan bergantian menghinggapiku saat menatap wajah adikku yang penuh dengan kecemasan.
“Ibu sakit kak.”
Kalimat singkat yang terdengar sangat lirih itu membuat jantungku berdegup lebih kencang. Aku sempat kehilangan jiwaku sendiri ketika mendadak ragaku tidak bisa digerakkan. Namun aku segera sadar, ku gandeng tangan adikku dan mengajakknya untuk lekas pulang ke rumah. Kecemasan mulai melingkupi seluruh tubuhku dan keringat dingin pun mulai keluar dari setiap pori – pori kulitku. Bagaimana mungkin, Ibu sakit?
Untung saja jarak antara sekolah dan rumahku tidak terlalu jauh. Dalam kurun waktu setengah jam, kami sudah memasuki area rumah. Segera kubuka pintu rumah yang kebetulan terkunci, lalu kulangkahkan kakiku menuju kamar ibuku. Wajahku mendadak pucat saat kulihat sosok perempuan yang kusayangi terbaring lemah di atas ranjang. Perlahan kudekati ibuku yang sepertinya sudah mengetahui kehadiranku di sampingnya.
“Narni, kau sudah pulang? Maaf ibu tidak bisa berjualan saat ini, tiba – tiba kepala ibu ter,”
“Sudah, Ibu tidak usah terlalu banyak berpikir. Istirahatlah saja, biar Narni yang akan berjualan siang ini.” Ujarku terpaksa memotong pembicaraan ibu. Aku tidak ingin pada saat kondisi ibu yang sedang sakit seperti ini, Ibu masih sempat berpikir terlalu berat. Aku sangat khawatir jika saja kondisi Ibu semakin buruk.
“Narni, maafkan Ibu. Jika saja Ayahmu di sini, pasti kamu tidak perlu bekerja sekeras seperti ini.” Ujar Ibuku, raut wajahnya mendadak lesu dan sebulir embun berhasil jatuh mengalir pipinya. Kuusap air mata itu lembut.
“Tidak Ibu, aku tidak keberatan bekerja sekeras ini. Walau tanpa ayahpun, aku juga tidak merasa menderita untuk hidup seperti ini.”
Kutundukkan kepalaku sejenak, pikiran – pikiran tentang ayah yang sangat merisaukanku begitu juga dengan ibuku bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan masalah saat ini. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana cara menyembuhkan ibuku, sementara kami tidak memiliki cukup uang untuk membawa ibu ke rumah sakit.
“Kita ke rumah sakit ya bu?” Tawarku cemas sembari kuletakkan punggung tanganku di atas dahi ibuku sekedar untuk mengecek temperatur tubuhnya sekarang.
“Tidak usah nak, Ibu hanya sedikit kelelahan. Jangan terlalu cemas ya!” Jawab Ibu sembari tersenyum, senyum yang benar – benar tulus untuk kami.
“Sinta, tolong ambilkan air hangat untuk Ibu.” Suruhku kepada adikku yang dari tadi tidak berani berucap sepatah katapun, mungkin dia juga merasa khawatir. Sinta mengangguk kemudian melangkah keluar untuk mengambilkan minum. Sejenak kupijat tangan kurus Ibuku, berusaha membuat keadaan Ibu menjadi lebih baik.
“Ngomong – ngomong, kamu berencana melanjutkan kuliah kemana, Narni?”
Pertanyaan Ibu barusan membuatku terkejut untuk kesekian kalinya. Rasanya tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Ibu, saat mengingat keadaan ekonomi kami yang sangat bertolak belakang dengan impianku saat ini. Bagaimana caranya aku harus menjawab bahwa sebenarnya impianku dari kecil adalah menjadi seorang dokter. Tapi biaya darimana? Dengan sangat terpaksa, kulupakan impian besarku itu, impian yang bisa dibilang mustahil untuk dicapai oleh orang sepertiku.
“Belum tahu bu.”
“Maaf nak, jika Ibu tidak bisa menyekolahkanmu nanti. Kau harus banyak berdoa dan berusaha, agar Tuhan memberikan berkahNya kepada kita, dan membuatmu bisa meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi jika hanya mengandalkan keadaan ekonomi kita, kamu tahu sendiri bukan? Sekali lagi maafkan Ibu ya, Nak.” Terlihat kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam pada diri Ibu. Aku pun hanya bisa menundukkan wajahku dan menyembunyikan kesedihanku, saat mendengar pengakuan tulus dari Ibuku baru saja.
“Tidak apa – apa, bu. Semoga saja Narni bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Narni akan berjuang.” Saat itu pula ia mencurahkan segala perasaan sayangnya kepada ibunya sendiri, dipeluk erat ibunya sembari mengucapkan bertubi – tubi terima kasih atas pengorbanan ibu yang sudah merawatnya hingga saat ini, walau tanpa peran seorang ayah sekalipun.

****

“Terima kasih bu.” Ujarku mengucapkan terima kasih kepada pemilik toko ini. Aku memang sengaja menitipkan dagangan ibu ke toko tetangga, karena aku harus masuk sekolah sementara kondisi ibuku tidak memungkinkan untuk berjualan sepanjang hari. Ku ambil wadah yang sebelumnya menjadi tempat menjual daganganku. Syukurlah, daganganku ludes terjual hari ini.
“Sebentar Narni.” Pangilan pemilik toko itu menghentikan langkahku.
“Sepertinya kamu punya tamu ya? Aku melihat seorang laki – laki berada di depan rumahmu sepanjang hari tadi, dan adikmu mempersilakannya masuk.”
“Seorang laki – laki?”
Secepat mungkin aku melangkahkan kakiku menuju rumah sebelum kuucapkan terima kasih kepada pemilik toko tersebut. Kepanikan mendadak menyelimuti ragaku, aku harap tidak terjadi apa – apa, aku harap laki – laki itu bukan orang jahat, aku harap, Ya Allah. Kupercepat langkahku saat rumahku sudah mulai tampak. Hingga akhirnya aku sudah berada di depan pintu rumahku sendiri.
“Ibu?” Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahku tak ada tanda – tanda tamu yang singgah, namun mendadak kedua bola mataku memfokuskan pandangan pada sepasang sepatu, yang sepertinya milik seorang laki – laki.
Sesegera mungkin aku berlari menuju kamar ibuku dan betapa terkejutnya ketika kudapati seorang laki – laki paruh baya yang sedang bersimpuh mencium tangan ibu yang sedang berbaring lemah bersamaan dengan air mata yang berleleran keluar dari kedua pelupuk mata laki – laki asing itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Ibu?” Suaraku seketika membuyarkan suasana. Pandangan ibu dan laki – laki asing itu sontak mengalihkan fokus mereka kepadaku. Aku hanya bisa mematung di tempat tanpa mengetahui apapun.
“Narni?” Laki – laki asing itu terkejut saat melihatku, tiba – tiba ia berjalan mendekatiku. Matanya yang penuh dengan misteri itu membuatku takut, refleks aku melangkah mundur untuk menjauhinya.
“Berhenti! Anda siapa?” Tanyaku gemetar menahannya agar berhenti untuk mendekatiku.
“Aku, ayahmu. Kau sudah besar sekarang.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Ayah? Ayah siapa?” Ujarku sama sekali tidak percaya.
“Aku ayahmu.” Jawab Laki – laki asing itu berusaha meyakinkan.
“Dia ayahmu, nak.” Ibuku menimpali secara tiba – tiba. Entah kenapa pernyataan ibuku ini membuatku lemas seketika, tidak ada aura kebahagiaan secuilpun muncul dalam diriku. Malah kebencianlah yang tiba – tiba menggantikannya.
“Aku tidak punya ayah selama ini. Kenapa engkau yang hanya orang asing tiba – tiba mengaku sebagai ayahku?” Kebencianku mulai merambah ke sekujur tubuhku
“Maafkan ayah, nak. Selama ini ayah tidak bisa menemani kalian.” Laki – laki asing itu jatuh berlutut di hadapanku. Benar – benar memuakkan.
“Jangan sekali – kali menyebut nama ayah di hadapanku!” Sepertinya kemarahanku sudah mencapai puncaknya. Lagi – lagi aku melangkahkan kakiku mundur untuk menjauhinya.
“Maafkan ayahmu nak. Ibu mohon.” Terdengar lemah suara ibuku yang memohon kepadaku. Tiba – tiba perasaanku luluh seketika saat memandang ibuku yang menangis, raut wajahnya tergambar jelas memintaku untuk memaafkan ayah. Aku tahu, Ibu adalah pribadi yang sangat sabar, dia mendidik kami untuk menjadi pribadi yang kuat sekaligus pemaaf. Tapi apa aku bisa memaafkannya, memaafkan seorang Ayah yang harusnya mendampingi kami dalam menghadapi beratnya hidup, yang harusnya melindungi kami, dan menjadi seorang pemimpin dalam sebuah keluarga, tapi ia tidak melakukannya satupun. Aku jatuh terduduk, tidak kuat menahan beban yang amat menyakitkan ini. Laki-laki itu memeluk tubuh kecil Narni, ia akhirnya menyerah, keinginan terpendam akan hadirnya seorang ayah saat kecil dululah yang menjadi alasannya saat itu.
“Nak, ayah minta maaf. Ayah terpaksa meninggalkan kalian dalam jangka waktu selama ini. Itu murni kesalahan ayah. Ayah harus berjuang membayar hutang yang menumpuk karena perusahaan ayah bankrut, ayah harus merantau dan terpaksa meninggalkan kalian. Tapi sekarang ayah sudah berhasil nak.” Laki – laki yang mengaku sebagai ayah Narni itu mempererat pelukannya. Air mata Narni tumpah ketika keinginan untuk mendapat pelukan seorang ayah itu akhirnya terwujud.
“Ayah sama sekali tidak melupakan kalian. Tanpa kalian ketahui, Ayah benar-benar merindukan kalian, selama 16 tahun ini. Cinta dan kasih sayang ayah tidak akan pudar untuk kalian, percayalah.”
“Maafkan Narni, Ayah.” Ujarku lemas. Ia menyesal, selama ini ia hanya mementingkan egonya sendiri. Dengan gamblangnya ia menghakimi bahwa Ayah yang selama ini ia nanti-nantikan sama sekali tidak mempedulikan kehidupan mereka, tetapi semua dugaan-dugaannya itu ternyata salah besar. Tiba – tiba Ayah melepaskan pelukannya dan menatap Narni lekat – lekat.
“Ayah dengar, Narni ingin jadi dokter, ya?”
Narni mengangguk dengan sedikit terisak.
“Jangan pikirkan biaya lagi. Kejarlah mimpimu setinggi mungkin, sekarang ayah akan selalu mendukung dan berjuang untuk kebahagiaan kalian, untuk anak – anak ayah.”
“Terima kasih, Ayah.” Suasana haru tersebar menyelingi mereka. Dipeluknya lagi ayah yang selama ini ia rindukan, ia berjanji akan selalu menyayanginya.
“Tidak semua kasih sayang seorang Ayah itu harus benar – benar tampak di mata anak – anaknya karena kasih sayang seorang ayah itu akan selalu ada untuk kita, walau tersembunyi sekalipun.”
Kalimat terakhir ibu melengkapi suasana haru biru bercampur kebahagiaan siang itu. Keluarga yang dulunya terpisah, sekarang saling berbagi kebersamaan dan ketulusan sebuah kasih sayang.

TAMAT
ummuzaAvatar border
ummuza memberi reputasi
1
1.3K
0
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
B-Log Collections
B-Log CollectionsKASKUS Official
3.1KThread6.4KAnggota
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.