• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Caleg Gagal dan Gangguan Jiwa, Ketika Harapan Tidak Sesuai dengan Kenyataan

nur.asa.medikaAvatar border
TS
nur.asa.medika
Caleg Gagal dan Gangguan Jiwa, Ketika Harapan Tidak Sesuai dengan Kenyataan
Tahun 2014 merupakan tahun politik Indonesia. Di tahun ini akan diadakan dua pemilihan umum, pemilihan anggota legislatif wakil rakyat di bulan April 2014 ini dan pemilihan presiden serta wakil presiden di bulan Juli 2014. Tulisan ini secara umum menyoroti pemilihan anggota legislatif di bulan April yang memilih wakil rakyat mulai dari tingkat DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, hingga dengan DPR Pusat dan kaitannya dengan kesehatan jiwa.

Mungkin Anda pernah membaca atau mendengar berita yang menceritakan bahwa di beberapa tempat perawatan gangguan jiwa semacam Rumah Sakit Jiwa, bermunculan ruang-ruang khusus yang menampung para caleg yang gagal terpilih menjadi wakil rakyat. Fenomena ini baru mulai marak pasca pemilu 2009 dan diawali pasca pemilu 2004. Mengapa hal ini dapat terjadi? Menarik untuk mengamati kaitan antara ilmu psikiatri dan psikologi dengan peristiwa sosial ini.

Sekelumit Sejarah Pemilu Indonesia

Menurut catatan dan ulasan dari berbagai sumber, pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di Indonesia yang bersifat demokratis namun sistem pemilihan umum ini kemudian dikenal sebagai salah satu yang paling rumit di dunia. Pada pemilu 2004, seluruh rakyat Indonesia diharapkan untuk memilih wakil rakyatnya secara langsung, mulai dari tingkat kota/kabupaten hingga tingkat nasional.

Sistem pemilu baru yang berlangsung sejak 2004, sangat berbeda dengan pemilu-pemilu yang pernah berlangsung sebelumnya di Indonesia. Sistem pemilu sebelum tahun 2004 didasarkan atas sistem kepartaian. Masyarakat Indonesia memilih salah satu partai yang ikut dalam pemilu, kemudian partai yang menunjuk anggota-anggotanya untuk duduk dalam posisi wakil rakyat. Pada pemilu 2004, karena pemilihannya bersifat langsung maka sosok figur perseorangan menjadi sangat penting. Masyarakat bukan lagi hanya memilih partai, namun memilih juga anggota partai yang ia harapkan dapat mewakili aspirasinya sebagai wakil rakyat. Namun pada pemilu 2004 dampak gagal terpilih dalam pemilu tidak terlalu besar, karena caleg yang dapat masuk menjadi anggota DPR atau DPRD lebih didasarkan atas nomor urut pilihan caleg tersebut di partainya.

Sejak pemilu 2009, terjadi revisi sistem pemilu kembali. Seseorang dapat terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD bila ia mendapat suara dengan kuota tertentu dalam pemilihan langsung yang diikuti seluruh rakyat. Masa pemilu kemudian menjadi masa banyaknya spanduk, poster kampanye calon perseorangan, hingga iklan televisi. Calon anggota DPRD atau DPR berlomba-lomba memasang spanduk dan baliho di berbagai tempat. Mereka berharap dengan citra yang ditampilkan dalam berbagai media tersebut, mereka dapat menjaring suara pemilih sehingga akhirnya mendapat kuota suara yang cukup untuk dapat terpilih menjadi wakil rakyat.

Caleg Gagal dan Gangguan Jiwa

Dampak dari sistem pemilu yang baru, saat ini banyak orang yang berlomba menjadi calon anggota legislatif mengingat sistem ini memungkinkan siapapun untuk terpilih asalkan ia mendapatkan jumlah suara yang cukup. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena kuatnya citra di masyarakat bahwa seorang anggota legislatif memiliki kehidupan yang terjamin secara finansial sekaligus dihormati. Manusia umumnya membutuhkan rasa aman dan kepastian dalam hidupnya, sehingga hal ini semakin mendorong banyak orang mencoba peruntungannya untuk menjadi calon legislatif.

Di dalam ilmu psikiatri dan psikologi, suatu gangguan jiwa umumnya muncul akibat interaksi antara faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor sosial. Tidak mutlak harus ketiganya berinteraksi secara bersamaan, baru tercetus suatu gangguan jiwa. Interaksi antara dua faktor saja misalnya faktor sosial dan faktor psikologis sudah cukup untuk mencetuskan suatu gangguan jiwa. Yang dimaksud dengan faktor biologis misalnya adanya riwayat gangguan jiwa di dalam keluarga besar atau faktor genetik. Faktor psikologis berkaitan dengan aspek kepribadian seseorang, misalnya daya tahan seseorang terhadap tekanan psikologis, ciri kepribadian yang dimiliki, dan sebagainya. Sementara faktor sosial adalah situasi di lingkungan sosial yang dialami seseorang.

Pada suatu pemilu, kegagalan terpilih menjadi anggota legislatif merupakan faktor sosial penting yang dapat mengganggu kestabilan mental seseorang. Dalam istilah psikiatri, suatu hal yang mendorong timbulnya gangguan jiwa dikenal sebagai stresor. Dalam peristiwa pemilu, gagal terpilih tersebut menjadi stresor psikososial. Bila mana orang tersebut kurang mampu menahan tekanan secara mental (sebagai faktor psikologis) atau misalnya ia memiliki riwayat gangguan jiwa di dalam keluarganya (sebagai faktor genetik) maka ia lebih berpotensi untuk menderita gangguan jiwa dibandingkan orang yang tidak memiliki kedua faktor tersebut. Hal ini juga semakin berat karena umumnya untuk dapat dikenal maka seorang caleg akan mengeluarkan biaya yang sangat besar dalam masa kampanye.

Jenis gangguan jiwa yang muncul pada caleg yang gagal dapat bermacam-macam, mulai dari yang ringan seperti gangguan cemas hingga gangguan yang berat seperti gangguan psikotik atau skizofrenia. Bahkan pada beberapa orang kemudian bukan saja mentalnya menjadi terganggu, namun juga stres psikis tersebut kemudian mempengaruhi sistem imun tubuh sekaligus memicu pengeluaran hormon-hormon stres di tubuh. Akibatnya dapat muncul banyak keluhan fisik ringan seperti sakit kepala berulang, maag berulang, hingga yang berat semacam serangan jantung atau stroke mendadak.

Bersiap diri menghadapi kegagalan


Bagaimana sebetulnya agar kondisi-kondisi seperti yang telah dibahas di atas baik itu gangguan fisik ataupun mental, tidak sampai terjadi? Kuncinya adalah melakukan persiapan mental yang benar. Hal-hal sederhana ini dapat diterapkan untuk mencegah guncangan mental akibat suatu kegagalan, bukan saja kegagalan dalam pemilihan umum namun juga untuk antisipasi pada kegagalan-kegagalan lainnya.

1. Turunkan harapan Anda dan mengembangkan sikap antisipatif

Pernahkah Anda mendengar bahwa semakin besar harapan maka semakin besar pula dampaknya ketika Anda gagal? Hal inilah yang harus dicoba untuk diterapkan oleh mereka yang mendaftar sebagai calon legislatif. Sejak masa persiapan pemilu pun, seorang caleg sebaiknya memasang target yang realistis dan sudah harus menyusun rencana masa depan bila mana gagal terpilih. Tanpa sikap antisipatif ini, maka ketika kegagalan melanda maka orang tersebut merasa tidak siap dalam menghadapi masa depannya yang terasa menjadi tidak pasti. Masa depan yang tidak pasti ini akan dirasakan sebagai ancaman dan akhirnya dapat memicu gangguan jiwa.

2. Melakukan konseling sebelum masa pemilihan

Konseling diperlukan seseorang ketika harus menghadapi hal-hal yang besar dalam hidupnya. Di dalam konseling, utarakan kecemasan-kecemasan Anda dan diskusikan hal tersebut. Diharapkan dengan melakukannya maka seseorang akan lebih dapat mempersiapkan diri bila mana harapannya untuk terpilih tidak tercapai.

3. Relaksasi
Stres yang berkepanjangan, tidak baik dampaknya bagi tubuh. Walaupun sibuk, sempatkan diri untuk melakukan relaksasi dan kegiatan rekreasi lainnya. Kegiatan relaksasi akan merangsang pengeluaran endorfin di dalam tubuh yang akan mempengaruhi mood kita. Selain itu juga akan membantu menekan pengeluaran hormon-hormon stres seperti kortisol yang sifatnya merusak tubuh.

Kiranya tulisan ini dapat berguna baik bagi para caleg maupun masyarakat awam. Selamat memilih dan dipilih dalam pemilu.

Sumber: http://pantirehabilitasi.com/2014/04...gangguan-jiwa/
0
2.1K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.