Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

pwsp1989Avatar border
TS
pwsp1989
Memilih Calon Pemimpin terbaik
Pada saat sekarang ini, di musim kampanye Pilek dan sebentar lagi Pilpres, bangsa Indonesia dihadapkan pada tugas penting, yaitu memilih calon pemimpin terbaik. Tugas itu, jika akan dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukanlah merupakan pekerjaan mudah. Pilihan itu bukan antara yang jelek dan atau yang baik, tetapi semuanya mengkampanyekan bahwa dirinya adalah yang terbaik.

Memilih kualitas orang bukan perkara mudah. Orang baik tidak bisa hanya diukur dari penampilan tubuhnya, jenis pekerjaannya, umurnya, kekayaannya, pangkatnya, afiliasi partai politiknya, organisasinya, dan seterusnya. Selain itu, perilaku orang juga bisa berubah-ubah. Seseorang yang semula dianggap baik, ternyata setelah menduduki jabatan, seketika berubah menjadi tidak baik. Begitu pula sebaliknya, ada orang yang semula tidak diperhitungkan, namun ternyata mampu berbuat baik, atau bahkan sangat baik.

Dalam sebuah diskusi informal, beberapa orang mengemukakan pendapatnya bahwa, orang-rang baik dalam arti mereka yang berpenddidikan tinggi harus berani merebut posisi-posisi penting dalam politik bangsa ini. Manakala tidak mau mengambil bagian dalam kekuasaaan, kata beberapa orang, negara ini akan ditentukan oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan atau tidak berkualitas. Sekarang ini pada saatnya memilih calon pemimpin itu. Jika salah memilih, kata sementara orang yang berdiskusi itu, maka sama artinya dengan membiarkan negara ini diurus dan ditentukan oleh orang-orang yang tidak berkualitas.

Pendapat itu kiranya tidak ada orang yang tidak menyetujui. Bahwa orang-orang yang berkualitas lah yang seharusnya mengurus bangsa ini. Hanya pertanyaannya adalah, siapa yang dimaksud sebagai orang yang baik dan berkualitas itu. Sebab pada kenyataannya, orang baik dan atau sebaliknya, orang tidak baik selalu ada di mana-mana. Disebut orang baik tidak cukup hanya dilihat dari afiliasi partai politiknya, golongannya, kekayaannya, latar belakang pendidikannya, dan seterusnya. Kebaikan itu ternyata ada pada hati masing-masing orang, dan sayangnya, suasana hati seseorang tidak bisa diduga oleh siapapun.

Sementara orang mengatakan bahwa, agar mendapatkan pemimpin yang baik, hendaknya memilih orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Jangan memilih orang yang masih sibuk dengan dirinya dan juga keluarganya. Sedangkan yang dimaksud dengan orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri itu misalnya adalah orang yang sudah kaya, memiliki pengalaman, pernah menjabat di berbagai posisi penting, dan seterusnya. Akan tetapi pertanyaannya adalah, apakah ada orang yang disebut benar-benar telah selesai dengan dirinya sendiri itu.

Pada kenyataannya orang yang dianggap telah selesai dengan dirinya sendiri, ternyata belum juga selesai. Orang yang sudah kaya dan lagi pula telah berumur, ternyata keinginannya terhadap harta dan jabatan tidak kalah besarnya dibanding mereka yang secara ekonomi dan umurnya lebih rendah. Orang yang dianggap telah selesai dengan dirinya sendiri itu ternyata tidak ditemukan, kecuali mereka yang telah mati. Sebab pada kenyataannya, seseorang baru berhenti mengumpulkan harta hanya tatkala yang bersangkutan sudah dimasukkan ke liang kubur.

Demikian pula misalnya, tatkala memilih orang yang tidak mau korupsi, ternyata amat sulit. Orang yang sehari-hari bertugas memberantas korupsi pun ternyata juga ada yang melakukan jenis penyimpangan itu. Semangat melakukan korupsi ternyata ada di mana-mana, yakni di berbagai partai politik, berbagai pemeluk agama, suku bangsa, berbagai jenis jabatan, golongan dan organisasi. Buktinya, pada akhir-akhir imi setelah digalakkan gerakan pemberantasan korupsi, maka menjadi jelas, bahwa ternyata kasus-kasus korupsi ada di mana-mana dan bahkan tidak ada institusi atau komunitas apapun yang berani mengklaim bahwa dirinya paling bersih dari tindakan korupsi.

Terbukti bahwa latar belakang pendidikan tidak menjamin terhadap kejujuran seseorang. Pada kenyataannya tidak sedikit orang bergelar akademik tertinggi dan bahkan berjabatan akademik puncak, ada juga yang ketahuan melakukan korupsi. Demikian pula status ekonomi, agama, afiliasi partai politik, dan lain-lain. Sedemikian sulit mencari orang yang benar-benar jujur. Padahal ukuran ideal bagi seorang pemimpin adalah kejujuran atau sebagai orang yang bisa dipercaya. Betapa sulitnya mencari orang jujur, hingga orang yang semula secara akademik disebut sangat hebat, dan oleh karena itu banyak orang yang mengagumi atas pikiran-pikiran cerdasnya, namun ternyata yang bersangkutan melakukan plagiat, akibatnya ia harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dosen di perguruan tinggi ternama.

Namun betapapun, calon pemimpin yang terbaik harus dicari dan dipilih. Meninggalkan tugas memilih atau golput juga bukan sikap arif. Betapapun, dalam memilih pemimpin, sudah ada mekanisme, tata cara, dan prosedur yang telah disepakati bersama. Bahkan, selain mempertimbangkan aspek-aspek yang tampak, yaitu yang bisa dilihat lewat mata kepala, sebenarnya masih ada piranti lain, yaitu menggunakan mata hati. Jangan dikira mata hati tidak handal, bahkan justru lewat mata hati itu, di sana ada kejujuran, obyektivitas, dan kebenaran. Hati nurani tidak sebagaimana piranti yang lain, tidak akan bisa dipengaruhi, bahkan lewat uang misalnya. Hati nurani tidak mau mengikuti ajakan yang bersifat rendah dan sederhana. Hati nurani tatkala memilih calon pemimpin, akan memilih yang benar-benar terbaik demi bangsa dan negaranya. Wallahu a’lam.
0
647
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.