Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BauJieGongAvatar border
TS
BauJieGong
[MASUK GAN] Wawancara para 'pemeran' film The Act of Killing.






Pengakuan Anwar Congo sang Pembantai PKI

Jakarta – KabarNet: Sebuah pengakuan yang mengejutkan dari seorang bernama Anwar Congo, ia mengaku terang-terangan telah melakukan pembunuhan terhadap ribuan anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966.

TAWA LEBAR menghias bibir seorang lelaki berjas hitam dipadu kemeja putih dengan topi koboi berlambang sherif di kepalanya. Seorang presenter televisi lantas memperkenalkan nama laki-laki itu. “Pak Anwar Congo.” Tepuk tangan sontak menggema.Sekelompok orang yang berseragam oranye loreng hitam yang duduk di deretan penonton tampak gembira dengan kehadiran Anwar di stasiun TV itu. Dari mereka inilah, tepuk tangan berasal. “Anwar Congo bersama rekan-rekannya menemukan sistem baru yang lebih efisien dalam menumpas komunis. Yaitu sebuah sistem yang manusiawi, kurang sadis, dan juga tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga langsung disikat habis saja ya,” kata presenter perempuan itu lagi.


Adegan lalu berpindah. Di sudut tak jauh dari presenter itu, Anwar yang berbaju hijau dipadu celana putih dan sepatu putih sedang melilitkan kawat ke leher seorang pria yang duduk berselonjor. Tangan laki-laki itu diikat ke belakang. “Pak, jangan disiksa dulu,” kata presenter itu begitu melihat Anwar mulai akan menarik kawat yang melilit leher pria itu. Anwar pun menengok dan memberikan senyum khasnya. Tak jelas kapan adegan talkshow itu digelar. Namun logo yang terpampang di sudut kanan atas merupakan logo kedelapan TVRI yang mulai dipakai sejak 1 April 2007 hingga kini.

Quote:


Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara. PP menjadi salah satu organisasi yang dilibatkan dalam pemberantasan PKI. Perlu diketahui, pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto dilakukan setelah terjadinya Gerakan 30 September pada 30 September 1965.

Pada 30 September 1965 itu, 7 perwira tinggi TNI AD di Jakarta diculik dan dibunuh. Berdasarkan catatan sejumlah buku sejarah, PKI disebut sebagai pelakunya. Beberapa minggu setelah tragedi itu, jutaan orang yang dituduh terlibat PKI pun dibantai. Banyak di antara korban itu adalah mereka yang tidak tahu menahu tentang pembunuhan para jenderal ataupun PKI.

Nah, Anwar mengaku telah melakukan pembunuhan terhadap anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966 itu. Ini pengakuan yang sangat mengejutkan. Sebelumnya tidak pernah ada pelaku yang mengaku melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga terlibat PKI. Pengakuan Anwar dan adegan talkshow yang mempertontonkan kemampuan Anwar membantai PKI ini terekam dalam trailer film garapan Joshua Oppenheimer berjudul The Act of Killing atau Jagal. Film ini telah diputar dalam Festival Film Toronto dan Festival Film Telluride, tetapi belum beredar di Indonesia. Inilah film pertama tentang peristiwa 1965 yang menggunakan sudut pandang pelaku.

Berbagai cuplikan yang didapat, kawat merupakan senjata andalan yang digunakan Anwar dalam pembantaian. Pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan bau dan kotornya ceceran darah. “Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72 tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.

Kali itu perbincangan dilakukan Anwar bersama rekannya, Adi Zulkardi, dalam sebuah mobil VW Safari berkap terbuka. Keduanya merupakan rekan dalam pembantaian tersebut. Mereka berkeliling kota Medan untuk mengenang kembali pembantaian yang dilakukan. Tak ada rasa sesal dalam pembicaraan itu. Kisah pembunuhan pada 1965-1966 itu mengalir bersama canda dan tawa. Mereka menganggap pembunuhan terhadap orang yang disangka PKI dengan kawat sebagai sebuah prestasi .

Clipper (papan penanda scene) bertuliskan Arsan dan Aminah diketuk. Riasan bekas penyiksaan tertempel di muka Anwar dan Adi. Mereka siap berakting sebagai korban.

Namun adegan tak menunjukkan akting keduanya. Mereka justru sedang berdebat mengenai film yang hendak digarap. Safit Pardede dan Herman Koto, kader PP, dan beberapa orang ikut dalam pembicaraan itu. Mereka tengah mengerjakan pembuatan film berjudul Arsan dan Aminah. Film ini akan menggambarkan pembantaian yang mereka lakukan. “Kalau kita sukses bikin film ini, maka kita lebih kejam dari komunis. Tapi ini bukan kesaksian. Ini masalah image, jalan hati masyarakat kita. Tapi penilaian sejarah akan berputar 180 derajat, bahkan 360 derajat,” ungkap Adi.

…”Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya”…

Sebuah skenario film memang telah disiapkan. Semua aksi pembunuhan dengan metode yang pernah dilakukan, termasuk dengan kawat. Semua orang siap berakting sebagai korban maupun pelaku pembunuhan. Anwar terobsesi untuk menuntaskan pembuatan film ini. Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya. Film ini akan menutup mimpi-mimpi buruk itu. Namun ia tak ingin sebuah cerita yang berakhir dengan penyesalan.

Adegan terakhir yang diinginkannya adalah penyerahan medali oleh korban yang dibunuhnya. Medali itu diterimanya karena mengantar korban ke surga. Penyerahan medali ini dilakukan di depan air terjun Sigura-Gura. Lenggok penari dengan iringan lagu Born Free menutup skenario film ini. Sesal bagi Anwar selesai di sini.

Pembuatan film ini berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah perkebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965. Namun pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai pembunuh kejam di Sumatera Utara sebagai Pasukan Kodok.

Quote:

The Act of Killingmerupakan film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film Arsan dan Aminah yang dibuat Anwar. Film juga merekam semua adegan dan wawancara dengan Anwar di sela-sela syuting Arsan dan Aminah.

Lewat The Act of Killing, Joshua menyajikan pengakuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan. “Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik,” ujar Joshua melalui surat elektronik, pada 28 September 2012.

Film ini jelas berlawanan dengan propaganda Orde Baru selama puluhan tahun. Masyarakat hingga kini takut atau kurang informasi ketika menerima kehadiran para pelaku pembantaian ini. Trailer film Jagal menunjukkan kedekatan pelaku pembantaian dengan PP, yang pada masa Orde Baru dinaungi oleh pemerintah. Joshua memperingatkan banyak cuplikan yang beredar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang ditayangkan di Toronto. Ia menyarankan untuk menunggu pemutaran resmi di Indonesia.

“Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa minta persetujuan saya”

Meski belum beredar di negeri ini, film ini langsung menyulut kontroversi. Anwar merasa ditipu oleh sutradara karena mengubah judul film tanpa sepengetahuannya. Bahkan hingga kini ia belum menonton hasil final film The Jagal/The Act of Killing itu. “Ya saya merasa ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu 26 September 2012.

Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya. Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah melakukan pembantaian pada PKI. “Sampai-sampai waktu itu komunisnya kocar-kacir kita buat,” kata anwar. Apa pun kontroversinya, yang jelas The Act of Killing menambah bukti dugaan pembantaian di Sumatera Utara pascatragedi G30S benar-benar terjadi.


Japto: Ini Masalah Anwar Congo Bukan Masalah PP

Berikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepada majalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.

Quote:

Berikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepada majalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.

Bagaimana tanggapan Anda atas film the Act of Killing, yang menggambarkan adegan Pemuda Pancasila memburu orang-orang PKI di Sumatera Utara?

Begini, yang namanya Joshua Oppenheimer ini, dia itu produsernya dan juga sutradaranya. Dia mengatakan, membuat film di Indonesia tentang kepemudaan di Indonesia dalam rangka mengambil Ph.D atau gelar S3. Saya nggak tahu kalau dia ketemu Anwar Congo buat film, katanya membuat film pribadi tentang Anwar Congo, itu katanya. Nah, kebetulan kita di sana sedang ada Muswil PP di Medan waktu itu, Muswil PP itu juga diambil gambarnya. Juga waktu acara di DKI Jakarta, waktu itu acara pelepasan di kantor Kemenpora diambil juga gambarnya. Saya nggak tahu kalau maksudnya untuk mendiskreditkan PP, saya nggak tahu sama sekali. Karena kalaupun untuk mendiskreditkan PP itu sangat jauh sekali. Itu tahun 1966, kita kan di tahun 1980-an, saat itu saya saja belum di PP dan masih pelajar.

Apakah Anwar Congo sudah lama di PP?

Memang Pak Anwar Congo merupakan tokoh PP, tapi PP di Medan. Namun itu yang digambarkan di film itu sebuah kejahatan terhadap komunis saja, kalau nggak salah ya. Kenapa nggak sebaliknya? Karena sebelumnya ada pembunuhan sekitar 80 orang, kenapa itu tidak diceritakan? Ini sebenarnya pembalasan atas perbuatan keji orang-orang komunis.

Apakah PP memang dilibatkan dalam kasus pemberantasan PKI tahun 1965?

Oh tidak hanya di sana saja, tapi seluruh Indonesia loh. Kalau waktu PKI, di DKI Jakarta yang merebut DPC-DPC PKI itu tidak hanya PP saja, ada unsur kepemudaan lain seperti Pemuda Ansor. Begitu juga di Jawa Timur, tidak hanya PP,ada Ansor dan Angkatan Darat. Jangan salah.

Apakah PP akan mempersoalkan film ini?

Mempermasalahkan apa? Ini masalah Anwar Congo, bukan masalah PP. Karena orang yang berbuat itu yang bermasalah. PP sebetulnya organisasi kemasyarakatan dan pemuda saja. Jadi biar itu diselesaikan Anwar Congo sama yang membuat film.

Kalau sampai film ini terpublikasi secara luas, apalagi ada penggambaran PP bagaimana?

Ya silakan dikeluarkan, asal acara-acara musyawarah kita tidak dimasukkan. Kalau itu dimasukkan, ini yang akan saya ajukan klaim ke pembuatnya. Itu saja.


Anwar Congo Merasa Ditipu
Quote:

AnwAr Congo, tokoh organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) Medan yang menjadi tokoh utama dalam film “The Act of Killing” besutan Joshua Oppenheimer, merasa telah ditipu oleh sang sutradara. Berikut pengakuan Anwar dalam jumpa pers di kantor Pemuda Pancasila Medan.

Kalau kita bicara mengenai sosok Joshua, kirakira keadaannya seperti apa? Apakah ada order tertentu?

Saya kira tidak seperti itu. Itu hanya kebijaksanaan dia sendiri untuk melengkapi tugas program S3-nya. Dia membuat film itu saya juga heran. Film dokumenter itu diambil dari sejarah Pemuda Pancasila pada tahun 1965.

Saat itu situasinya seperti apa?

Kita akui situasi saat itu memang cukup menegangkan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang.

Berarti ada ancaman?

Ya ada ancaman. Setelah film diputar, apa tanggapan masyarakat? Sampai saat ini saya bingung, karena saya belum pernah lihat. Sampai sekarang ini, macam mana bentuk film dan apa ceritanya saya juga nggak tahu.

Pada saat itu Anda bergabung dengan barisan komando aksi, siapa yang mengajak?

Itu hasrat hati macam-macam pemuda, kami para pemuda antusias terhadap PKI yang telah berbuat seenaknya. Mencederai pemuda. Apalagi kita itu pemuda yang agak susah. Jadi Pemuda Rakyat itu satu-satunya musuh berat kita waktu itu.

Bergerak sendiri-sendiri, atau ada yang mengatur?

Nggak, dulu ada namanya komando aksi waktu itu, Pak Kamal (Kamaluddin Lubis, sesepuh PP Medan) juga di dalam, Pak Effendi ketua aksinya juga. Di situ kegiatan mulai membesar sampai-sampai komunisnya kocar-kacir kita buat.

Pak Anwar khawatir tidak dengan reaksi masyarakat?

Semua saya serahkan saja ke pengacara saya.

Anda ingin melihat film itu secara utuh?

Siapa yang nggak mau melihat? Tapi sampai sekarang saya belum pernah lihat.

Komunikasi terakhir dengan sutradaranya?

Sudah ada satu bulan nggak komunikasi lagi.

Adakah Anda membuat perjanjian tertulis dengan Joshua (sutradara, red)?

Ada beberapa, cuma saya tidak pernah mengerti karena pakai bahasa Inggris. Kan saya sudah pernah cerita tentang pendidikan saya. Saya hanya orang lapangan. Saya nggak tahu ini apa, artinya apa. Ada memang, tapi saya nggak tahu apa yang diteken.

Anda punya berkasnya?

Nggak tahu saya. Sudah saya cari, tapi nggak kelihatan. Nggak ingat ditaruh di mana.

Kapan Anda gabung dengan komando aksi?

Dari awal saya sudah gabung, karena kantor tempat saya kerja dengan komando aksi itu sebelah-sebelahan.

Inisiatif sendiri?

Inisiatif sendiri.

Anda merasa ditipu dengan film ini?

Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya.



Joshua Oppenheimer : Aneh kalau tak Ada Kontroversi

Quote:

Berikut wawancara Monique Shintami dari majalah detik dengan sutradara The Act of Killing, Joshua Oppenheimer:

Bagaimana Anda memfilmkan Anwar Congo dalam The Act of Killing?

Saya mendengar nama Anwar Congo pertama kali dari wawancara dengan banyak pembunuh dan penggerak pembantaian massal 1965-1966 di Sumatera Utara selain membaca dari literatur mengenai premanisme di Medan atau dari buku sejarah resmi Pemuda Pancasila.
Lalu saya datangi rumahnya dan menyatakan maksud saya untuk mewawancarainya dan membuat film dokumenter mengenainya.

Berapa Anwar Congo dibayar?

Mengenai pembayaran, kami memberikan apa yang kami sebut sebagai ‘uang ganti kerja’ untuk setiap hari yang dihabiskan syuting bersama kami. Bukan honor, bukan uang kontrak atau semacamnya. Jangan bayangkan kami melakukannya seperti manajemen artis atau agensi untuk selebriti. Kami menekan serendah mungkin jumlah uangnya. Sebetulnya, untuk menjamin bahwa tidak seorang pun termotivasi ikut film kami karena uangnya. Yang kami takutkan, kalau bayarannya tinggi, nanti akan ada banyak orang yang datang mengarang-ngarang cerita agar terus bisa ikut film ini. Untuk setiap cerita yang disampaikan, kami ingin itu disertai dengan keinginan dan ketulusan bercerita.

Anwar Congo merasa tertipu, bagaimana tanggapan Anda?

Semua orang yang sudah melihat film ini sepenuhnya akan menyadari tidak mungkin semua adegan yang terdapat di dalamnya dibuat dengan menipu para partisipannya. Bagaimana mungkin? Begitu banyak adegan dibuat dengan disutradarai oleh mereka sendiri, skenario untuk film fiksi yang mereka buat ditulis oleh teman-teman Anwar Congo, dan Anwar menceritakan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI yang disiarkan untuk umum.

Mereka semua tahu bahwa saya merekam semuanya, tidak ada kamera tersembunyi digunakan dalam film ini. Setiap kali kami membuat film bersama mereka saya selalu menjelaskan apa yang sedang kita kerjakan dan untuk apa. Tanpa kesediaan dan pemahaman para partisipannya, film ini tidak akan pernah ada. Saya pun telah menjelaskan apa fungsi film fiksi Arsan dan Aminah dalam pembuatan film dokumenter mengenai dirinya itu. Saya yakin Anwar paham. Kalau Anwar kecewa dengan film ini, karena tujuan Anwar untuk mengglory-fikasi kekerasan tidak tercapai, semua orang seharusnya maklum, tujuan film ini tidak mungkin ‘mengamini’ propaganda bohong Orde Baru bahwa kalaupun ada kekerasan terhadap jutaan orang di tahun ‘65-‘66, itu karena diperlukan untuk mempertahankan keutuhan bangsa, semacam necessary evil (kejahatan tapi diperlukan) yang heroik. Itu bohong, yang ada hanya evil, hanya kejahatan.

Apakah sudah memperhitungkan film ini jadi kontroversi?

Kami tahu dan sadar bahwa film ini akan membawa kontroversi terutama di Indonesia, ini sama sekali tidak di luar dugaan kami. Tentu saja film ini jadi kontroversi. Kalau tidak ada kontroversi, maka film ini gagal membawa tugasnya. Bagaimana tidak, selama 47 tahun pembantaian massal terhadap jutaan orang yang dituduh terlibat dalam operasi militer yang amburadul bernama G30S tidak pernah diakui terjadi, ditutup-tutupi, dan tidak disebutkan dalam pelajaran sejarah. Negara belum minta maaf, para pelaku tidak ada yang diadili apalagi dihukum. Sebuah genosida yang penting dalam skala dunia, di negeri sendiri dibicarakan pun tidak. Dan kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik. Kami melawan propaganda yang gencar dilancarkan Orde Baru selama berpuluh tahun, tidak heran kalau menjadi kontroversi. Yang mengherankan kalau tidak ada kontroversi.

Berapa lama pembuatan film ini?

Tujuh tahun, dari Agustus 2005, pertama kali saya berjumpa dengan Anwar, sampai 2012.

Apakah kesulitan terbesar yang Anda hadapi?

Kesulitan yang terbesar sebetulnya adalah bagaimana saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya lakukan ini benar dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Film ini mempertanyakan cara kita membayangkan diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gampangan meyakinkan diri bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.

Akankah Anda akan meluncurkan film ini di Indonesia? Kapan?

Tentu saja. Saat yang tepat tentunya ketika film ini diputar perdana (premiere) di Indonesia, tapi kami belum bisa memastikan kapan dan di mana.Anwar Congo mengaku belum menonton film ini.

Mengapa Anda tidak memperlihatkan film ini kepada Anwar?

Kalau Anda menonton film ini, Anda akan melihat bagaimana Anwar sangat terpukul, bahkan secara fisik, ketika menonton salah satu adegan yang membangkitkan trauma psikologis dalam dirinya. Sebelum film ini diluncurkan di Toronto, saya menelepon Anwar dan menyampaikan minggu depan film ini akan main di Festival Film Toronto. Anwar minta agar ia bisa ikut menonton gala premiere film itu di Toronto. Alasan di atas adalah satu yang saya sampaikan, mengapa tidak mungkin bagi kami untuk membawa Anwar ke Toronto atau memutarkan film ini kepadanya.



Film The Act of Killing bercerita tentang kehidupan Anwar Congo di masa muda. Dulunya, Anwar dan gerombolannya hanyalah preman kelas teri pencatut karcis bioskop, tempat mereka nongkrong. Ketika pemerintahan Sukarno digulingkan pada 1965, Anwar ‘naik pangkat’. Dia diangkat menjadi pemimpin pasukan pembunuh, membantu tentara dalam membunuh lebih dari satu juta orang. Korbannya adalah orang-orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan para intelektual. Perjalanan ‘lembah hitam’ itu dilakoni Anwar dan kawan-kawa selama satu tahun.

Anwar Congo selaku pemeran utama dalam film itu belum pernah sekali pun melihat film ‘The Act of Killing’. Dia merasa kecewa pada sutradara. Apalagi saat pembuatan dia diberitahu film itu berjudul ‘Arsan dan Aminah’, bukan ‘The Act of Killing’. Anwar pun merasa ditipu. Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila (PP) menilai film itu melenceng dari kebenaran karena disajikan sepotong-sepotong. Dia pun berencana membuat film tandingan. Anwar Congo yang oleh MPW PP dianggap sebagai sesepuh Pemuda Pancasila di Medan, Sumut dinilai hanya korban.
[/size]

http://kabarnet.wordpress.com/2012/0...pembantai-pki/
Diubah oleh BauJieGong 17-01-2014 22:49
0
14.7K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.