koang46Avatar border
TS
koang46
Saya Dokter, Saya Malapraktek
Dan tiba-tiba ingat Bantilang. Sebuah pelosok di sisi timur Sulawesi Selatan. Bersebelahan dengan batas Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di sini saya memulai karir sebagai dokter PNS. Cukup mudah diakses. Kalo dari Makassar naik bus di terminal regional Daya. Ambil jurusan ke Kabupaten Luwu Timur. Sampaikan ke petugas loket atau langsung bicara sama sopir mau turun di pasar wawondula. Bayar 180 rb, naik (pastikan nomor kursi), tarik selimut (AC-nya cukup sejuk) dan tidurlah. Oh, iya ke sana hanya ada bus malam, berangkat pukul 7. Kalo tidak tidur, sebentar lagi sopir akan memaksa tidur dengan bantuan Pance Pondaag, Nia Daniati, dan rekannya Dian Pisesha. Pukul 7 pagi sampai di pasar wawondula. Ojek dan supir angkot akan menyambut anda. Katakan mau ke pelabuhan timampu. Kalo tak punya bawaan berat lansung saja naik ojek. Karena angkot harus menunggu penumpang penuh. Jaraknya tidak jauh, mungkin 19 menit sudah sampe di pelabuhan. Pelabuhan penyeberangan danau. Tidak ada akses lain menuju ke Bantilang selain menyeberangi Danau Towuti. Naik katinting (semacam perahu motor). Wow, mesinnya sangat gaduh (jangan coba-coba untuk bicara karena tak ada yang bisa mendengar), mereknya Jiandong, menyalakannya pake engkol. Butuh 1 jam untuk sampai dipelabuhan sebelah, Desa Loeha. Dari sini naik ojek lagi. Tak jauh lagi. 10 menit lagi.Di Bantilang saya dapat rumah dinas tipe 36. Paling mewah diseluruh kampung. Berdiri mungil di atas bukit. Halamannya sangat luas. Paling luas se Kabupaten Luwu Timur bahkan di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Kiri kanan muat lapangan sepakbola ukuran internasional. Halamanan belakang berbatas tak terhingga. Tak ada pagar. Hanya semak, kemudian tumbuhan perdu, menyusul pohon-pohon liar, tinggi dan rindang (mungkin ini yang disebut hutan), kemudian saya tidak tau lagi, gelaap. Konon setelah hutan itu, dibelakang gunung, ada sungai. Mungkin disitulah batasnya. Sungai tempat rusa, anoa, dan babi hutan melepas dahaga. Hewan yang saya sebut terakhir itu masih sering kesasar dibelakang rumah mengais-ngais sisa makanan. Rusa masih sering datang sekali seminggu. Sudah terpotong-potong dibawa warga yang suka berburu.Saya bertanggung jawab melayani empat desa diseberang danau itu. Dibantu 1 bidan PTT  dan 1 perawat sukarela (walau kadang saya tidak rela melihatnya dan jangan tanyakan darimana dia digaji). Disini saya lebih banyak bergentayangan dari desa ke desa (hehehe...sama nama acara TVRI yang dulu diasuh oleh Sambas, setelah acara Hiburan Lepas Senja) melayani warga yang tak punya ongkos ojek. Atau karena si sakit tak mampu berjalan menjangkau Puskesmas Pembantu tempat saya melayani.

Apa yang saya ingin katakan melalui cerita ini. Bukan kisah heroik seperti dalam film Suster Apung (saya tau tak akan ada artinya dibanding teman-teman yang bertugas dipelosok-pelosok papua, pedalaman kalimantan, pulau-pulau terpencil yang tak terlihat dipeta, atau dilorong-lorong dunia yang lain yang tak pernah disebut namanya). Bukan mengulang kisah-kisah sukses atau mengungkit jasa-jasa luhur sehingga merasa paling berhak menyandang profesi mulia. Atau mau diangap pahlawan dan harum namanya.

Saya ingin bilang, ini pengakuan, supaya masyarakat tau, supaya LSM tau, supaya aparat tau atau siapapun yang merasa perlu untuk tau bahwa saya telah melakukan malpraktek. Saya tidak tau lagi ada berapa banyak tindakan yang saya lakukan dan semua tanpa persetujuan tertulis. Pernah mengamputasi jari pasien, dua ruas, karena hancur terjepit kayu yang ia tebang (hhmm sepertinya itu ilegal loging). " Saya potong, ya? Kemudian dia bilang : Iya. Itu saja. Saya potong dengan pisau bisturi. Sudah dipake 5 kali, disterilkan diatas kompor dengan panci masak. Carilah distandar prosedur operasional. Itu salah. Saya malpraktek. Ada Pak Guru yang minta dioperasi, ada lipoma di jidatnya. Cukup besar mengganggu sujudnya ketika shalat. Saya operasi dengan silet yang dibeli diwarung sebelah. Dibakar dengan alkohol. Lipoma diangkat. Luka dijahit benang catgut. Luka sembuh dengan bekas jahitan seperti lipan. Saya malpraktek. Seorang warga digotong ke rumah. Habis melompat dipinggir danau. Maksud hati menangkap ikan. Apa daya kakinya mendarat disebuah kayu runcing, tak terlihat didasar danau. Bergegas menolong. Orangnya pingsan saat saya anestesi. Orang-orang mengira sudah mati. Tapi kemudian pasien sadar dan jalan sendiri setelah kayu diangkat. Bagaimana kalo orangnya betul-betul mati? Tak matipun saya sdh harus masuk penjara.

Saya malpraktek. Saya menyalahi prosedur. Seperti apa kesalahannya? Nanti pengadilan yang membuktikan.Putusan MA terhadap dr. Ayu telah membuka mata seluruh masyarakat tentang "arti malpraktek" dan bagaimana mereka harusnya bertindak terhadap dokter yang malpraktek itu. Kini, sebentar lagi pahlawan-pahlawan itu (saya menyebutnya pahlawan sebagai penghargaan dan rasa hormat saya) dokter, perawat dan bidan yang berjuang dipelosok-pelosok negeri akan pulang satu-satu dengan wajah tertunduk. Saat ini ribuan tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) dengan semangat yang gemilang kini berdiri gamang. Mereka akan pulang bukan sebagai pahlawan tapi pecundang.

Sumber : http://m.kompasiana.com/post/read/614630/3/saya-dokter-saya-malpraktek
0
1.7K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.8KThread82.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.