echovAvatar border
TS
echov
KEMAMPUAN DAYA SAING PADA ERA GLOBAL MENURUT HANDRY SANTRIAGO
Handry Santiago mungkin agan agan uadah pernah dengar nama tersebut, beliau adalah CEO muda asli Indonesia dari Perusahaan Raksasa Amerika General Elektrik ( GE).
Ane pernah dengar beliau bicara saat perusahaan ane mengundang beliau untuk berbicara tentang motivasi dan ane sangat terkesan dengan apa yang beliau katakan melebihi kalo ane dengerin si botak Mario Teguh atau motivator lainnya, dengan kursi rodanya beliau bercerita tentang bagaimana dia bangkit dari keterpurukan karena mengalami penyakit yang menyerangnya dan menyebabkan dia cacat saat SMU, saat masa masa paling asoooy di perjalanan hidup manusia.
Berikut kata kata beliau :

Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana dan berjuang keras untuk dapat survive di Jakarta. Kedua orang tua saya tidak pernah punya kesempatan untuk menamatkan sekolah mereka lebih tinggi dari tingkat SMP. Mereka termasuk generasi perantau pertama dari kampungnya ke ibu kota ini. Berjibaku dengan keras untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anaknya. Masa kecil saya dilalui sebagai anak orang Padang dalam lingkungan perkampungan Betawi yang kental. Cita-citasaya waktu SD juga sangat sederhana: Asisten Apoteker. Bukan apotekernya, tapi asistennya. Entah kenapa saya selalu menjawab profesi itu kalau ditanya mengenai cita-cita, dan bukan cita-cita seperti kebanyakan anak-anak zaman itu, jadi dokter, insinyur, atau pilot. Mungkin karena ketika diucapkan terdengar seperti sesuatu yang canggih, sophisticated, walaupun saya tidak terlalu mengerti pekerjaan apa itu. Atau mungkin karena memang dari kecil saya selalu ingin berbeda dari apa yang umumnya orang-orang sukai.

Dengan masa kecil seperti itu,segala sesuatu yang berbau ”luar negeri” menjadi sangat luxurious dan tak terjangkau bagi saya, sehingga ketika mengetahui ada program pertukaran remaja Indonesia-Amerika, American Field Services (AFS) pada tingkat SMA, saya rasanya mau mengerjakan apa saja untuk dapat mengikutinya. Tetapi ketika kesempatan itu terbuka lebar, ternyata pada usia 17 tahun lebih beberapa hari, saya menderita sakit yang membuat saya tidak bisa berjalan lagi (di kemudian hari baru diketahui bahwa sakit tersebut ternyata kanker kelenjar getah bening, limphoma non-hodgkin yang tumbuh subur dan merusak sumsum tulang belakang, medulla spinalis, saya). Mimpi saya runtuh. Saat itu, semua cita-cita untuk dapat ke luar negeri terkubur dalam-dalam (jangankan ke luar negeri, melanjutkan sekolah atau berpergian dengan pesawat saja rasanya tidak mungkin). Tapi itulah, Tuhan adalah ahli strategic management yang terbesar. Saya ternyata masih diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan sekolah-kuliah saya, bekerja, dan astaga! setelah 11 tahun sesudah tragedi tak-bisa-berjalan-lagi tersebut dan menjalani kehidupan dengan kursi roda, saya terdampar bekerja di GE, (perusahaan yang sampai sekarang masih mempekerjakan saya). Hanya tiga hari sesudah hari pertama saya bekerja, perusahaan tersebut menyuruh saya pergi ke Singapore. Akhirnya, untuk pertamakali, paspor yang sudah saya buat sejak masa kuliah tersebut dicap oleh petugas imigrasi. Sesudah kepergian pertama tersebut, saya kemudian menjadi “warga negara” global yang memiliki paspor yang cukup kotor dengan berbagai cap imigrasi dari berbagai negara di penjuru dunia. Begitulah, God works in a mysterious way. Manusia sudah diciptakan untuk seharusnya tidak perlu berputus asa.

Bukan maksud saya untuk menjadi melankolis dan dramatis dengan bercerita tentang kisah ”oh mama oh papa” tersebut pada orasi kali ini. Tapi saya ingin berbagi pengalamandan pemikiran dari perjalanan hidup saya selama 42 tahun ini terhadap tiga hal yang ingin saya sampaikan pada orasi ilmiah kali ini: globalisasi, kemampuan daya saing, dan proses memimpin diri sendiri dalam menghadapi tantangan globalisasi tersebut, dilihat dari perspektif bangsa Indonesia di tengah kancah dunia yang terus mengglobal ini.

Akselerasi perubahan dunia yang menjadi semakin global tersebutlah yang saya coba amati dalam berbagai perjalanan dan pengalaman saya dalam 15 tahun terakhir ini. Saya mencoba melihatnya dengan kacamata yang biasa dialami oleh orang-orang yang berpergian, seperti misalnya supir taksi atau petugas hotel dan obrolannya, makanan dan restaurannya, serta barang oleh-oleh.

Supir taksi adalah fenomena globalisasi yang menarik. Di Amerika Serikat, pada tahun 1990-an saya masih merasakan naik taksi yang disupiri oleh orang ”bule”, begitu pula di beberapa negara di Eropa Barat. Pada tahun 2000-an, saya sudah sukar menemukan supir taksi ”bule” tersebut, kebanyakan mereka adalah imigran dari Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, Asia, ataupun India. Kalaupun ada yang ”bule”, biasanya berasal dari Eropa Timur bekas Uni Sovyet. Obrolan dengan mereka pun terasa benar bedanya. Tahun 90-an tersebut, rasanya obrolan mereka masih tentang kondisi negara mereka, tempat-tempat tourist spot, ataupun gosip tentang bintang olah raga dan bintang film mereka. Tapi ketika saya berkunjung di tahun 2000-an, pembicaraan mereka menjadi semakin global. Mereka tahu tentang Menteri Keuangan kita yang menjadi Direktur World Bank, mereka bicara tentang letusan gunung Merapi dan bencana alam lainnya yang terjadi di berbagai negara, kejatuhan sebuah rezim, atau tentang isu pertikaian agama. Bahkan di salah satu kesempatan di bulan Desember 2006, saya sempat ditanya oleh seorang supir taksi imigran Afganistan di Boston apakah “Inul is still singing with that kind of drilling dance”. Rupanya dia penggemar berat Inul di YouTube! Jika dulu dalam perjalanan taksi saya yang banyak bertanya kepada para supir ini, sekarang mereka yang bertanya melulu. Entahlah kalau ternyata saya yang selalu sial mendapatkan supir taksi yang cerewet.
Petugas hotel juga mengalami perubahan drastis. Dalam berbagai travelling saya di pertengahan tahun90-an, kebanyakan bell boy atau pegawai hotel adalah orang asli negara tersebut. Saya masih ingat betapa bangga rasanya dipanggil ”sir” serta dibawakan tas saya oleh seorang bell boy ”bule” di salah satu hotel di New York city (sebagai bekas bangsa terjajah, sepertinya rasa ”dendam” itu tetap masih ada, walaupun sudah mengaku menjadi warga global).
Sekarang ini, pegawai hotel sudah sangat diversified. Saya disambut orang ”bule” Jerman dengan bahasa Jepang yang fasih di Tokyo, petugas room service berkebangsaan Bangladesh dan Uruguay di hotel Innsbruck, Austria, ataupun concierge warga negara Belanda di Shanghai.
Makanan dan restauran. Kita sudah tahu bahwa restoran Jepang dan China ada di mana-mana sejak dulu. Tapi perubahan besar yang sekarang terjadi adalah menjamurnya restauran Thailand, Vietnam, India, dan Arab. Makanan “pendatang” ini dinikmati oleh tidak hanya para imigran, tapi juga oleh banyak orang lokal nya. Makanan dan restauran menurut saya sudah menjadi sangat global dan melintasi batas yang ditentukan oleh faham politik atau kepercayaan yang ada. Bayangkan di kota suci Makkah, restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) adalah salah satu restoran yang sangat digemari oleh orang-orang Arab, dan salah satu restauran KFC yang saya lihat letaknya persis berada di pinggir pelataran Masjidil Haram. Apa jadinya kalau para demonstran yang menyerukan boikot produk Amerika, karena haram tersebut, melihat betapa orang-orang yang setelah ibadah di Masjidil Haram berebutan membeli KFC. Nampaknya dunia yang global ini dapat digambarkan oleh industri makanan dengan baik, sampai-sampai Thomas Friedman pada tahun 2000 membuat theory yang dikenal dengan nama The Golden Arches Theory of Conflict Prevention. Restauran McDonald, yang memiliki logo busur emas atau Golden Arches tersebut, diyakini Friedman sebagai lambang globalisasi. Menurutnya, di dua negara yang memiliki restauran McDonald, tidak akan pernah terjadi perang, karena negara tersebut telah memiliki ekonomi cukup kuat yang menghasilkan kaum menengah yang sanggup menopang jaringan restauran McDonald, dan tidak akan tertarik lagi untuk berperang karena mereka telah larut dalam proses globalisasi. Theory ini dalam perjalanannya hanya ”gugur”dua kali (itupun hanya sebentar), yaitu ketika negara-negara Israel berperang dengan Lebanon tahun 2006, dan ketika Russia menyerang Georgia tahun 2008. Yang agak menyeramkan barangkali adalah, di Korea Utara saat ini belum ada restaurant McDonald.

Barang oleh-oleh atau souvenir juga merupakan cerita menarikdan sangat menggambarkan dunia global saat ini. Tahun 1997 saya melihat sebuah kios souvenir kecil di Grand Central Station New York yang bertuliskan ”Made in America”. Ketika saya tanya kenapa harus dipasangkan banner besar-besar seperti ini, si empunya toko menjawab ”we have to be proud of our own product, and keep promoting it....everything is made in China nowadays”. Saya membeli sebuahT-Shirt (bertuliskan Made in America di labelnya) dan sebuah mainan kereta api mini. Tahun 2000, saya kembali ke New York City, dan saya sempatkan untuk ke Grand Central Station kembali untuk mencari toko tersebut. Ternyata toko tersebut sudah tidak ada. Sebagai gantinya adalah sebuah toko souvenir standar yang menjual souvenir yang hampir semuanya“Made in China”. Ketika saya tanya kemana perginya toko “Madein America” tersebut, penjaga tokonya yang merupakan imigran Arab hanya mengangkat bahu. “Why looking for “Made in America”product? We have something similar with cheaper price here”, jawabnya. Fenomena invasi produk China di Amerika Serikat ini barangkali yang membuat Sara Bongiorni (2007) gusar dan membuat buku yang berjudul “A Year Without Made in China”. Saat ini kita tahu, bahwa untuk mendapatkan souvenir yang asli buatan negara yang kita kunjungi sudah semakin susah. T-Shirt misalnya, tidak jarang saya dapatkan yang “Made in Indonesia” (selain “Made in Honduras”, “Made in Bangladesh”, ataupun Made in Paraguay”) di berbagai toko souvenir di penjuru dunia, bahkan di toko-toko yang memiliki private brand sekalipun. Saya pernah membawakan oleh-oleh magnet unik dari Krakow, Polandia, untuk seorang teman, yang kebetulan tidak saya cek labelnya. Ketika saya berikan, dia mengecek labelnya, dan berkomentar “hmm, beli di Tanah Abang ya?” dengan ekspresi muka yang mengejek dan tidak berterimakasih sama sekali.`

Mengglobalnya produk China tersebut sangat mencolok saat ini. “Made in China” sepertinya kita temui di berbagai produk di seluruh dunia. Bahkan produk-produk berteknologi tinggi pun sudah “Made in China”. Lampu hemat energi (compact flourescent) misalnya (kebetulan salah satu bisnis GE adalah lampu), bagaimana caranya bersaing dengan China kalau di negeri tersebut terdapat lebih dari 2,000 buah industri rumah tangga yang sanggup membuat lampu seperti yang kami buat dengan pabrik super canggih, tapi dengan harga yang mungkin separuhnya?. Meredith (2007) menyatakan bahwa China adalah “factory of the world”, di mana berbagai perusahaan di dunia menjadikan China sebagai tempat untuk memproduksi barangnya. Terdapat kurang lebih 800,000,000 tenaga kerja di China, yang siap dipekerjakan dan dilatih untuk membuat berbagai produk dengan harga yang murah, karena ongkos kerja mereka yang murah,dan ketersediaan bahan baku maupun bahan setengah jadi yang juga berharga murah, ditambah dengan dukungan penuh dari pemerintanya. Metamorfosis China dari negara berbasis pertanian menjadi negara industri dilalui dengan sangat cepat. Menurut Meredith (2007), di tahun 2000, 30% dari produk mainan anak-anak di dunia berasal dari China. Lima tahun kemudian, angka tersebut meningkat menjadi 75%. Pada tahun 2004, nilai ekspor China adalah US$ 180 milyar, terbesar dari negara manapun di dunia ini. Dibandingkan dengan zaman ketika China masih dalam masa isolasi ekonominya, nilai ekspor China dalam satu hari sekarang ini lebih tinggi dari nilai ekspor mereka selama setahun penuh di tahun 1978. Para pelaku bisnis di dunia yakin bahwa China akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 1 di dunia dalam waktu yang tidak lama lagi (sekarang ini sudah nomor 2, di atas Jepang dan di bawah Amerika Serikat).

Apa yang membuat mereka sedemikian besar? Pada awalnya adalah pasar yang besar dengan 1.3 miliar penduduk, lalu ketersediaan tenaga kerja yang murah dan bahan baku yang berlimpah. Kemudian tentunya campur tangan pemerintah dalam mengelola modernisasi, masuknya modal asing (yang hanya akan masuk jika negara stabil dan infrastrukturnya memadai), dan yang tidak kalah penting adalah meningkatnya kemampuan sumberdaya manusia mereka. Lebih dari 4.1 juta orang tiap tahunnya lulus dari universitas di China dengan kebanyakan berlatar belakang engineering dan IT yang merupakan sumber daya menggiurkan bagi para perusahaan multinasional yang ingin berkembang di sana.

Selain China, negara yang juga menyeruak sebagai negara yang berperan penting dalam proses globalisasi adalah India. Kalau China adalah “factory of the world”, maka India saat ini menjelma sebagai“back office of the world”. Dengan revolusi intelektual nya, India saat ini menyediakan lebih dari 100,000,000 tenaga kerja english speaking[1]. Dengan jumlah seperti ini, lebih dari 3 juta pekerjaan dalam bidang industrijasa dan riset (customer center, call center, computer programming, legal researcher, laboratory researcher, dan sebagainya) telah berpindah dari negara-negara Barat ke India, dan jumlah ini akan terus bertambah setiap tahunnya. Dari 500 perusahaan-perusahaan besar di dunia (Fortune 500 Companies), sekitar 400 perusahaan-perusahaan tersebut telah memindahkan middle class pekerjaannya ke India saat ini, meningkat drastis dari hanya sekitar 150 perusahaan pada tahun 2005[2]. Investasi di India, terutama dibidang IT dan R&D meningkat pesat. Intel, Microsoft, Cisco, telah berinvestasi lebih dari US$ 1 miliar di India. GE pada dua tahun lalu membangun pusat riset dunia yang ketiganya di Bangalore, dan IBM saat ini menerima pegawai baru setiap lima menit sekali di seluruh India[3]. Dari berbagai cerita di atas, nampaknya definisi globalisasi yang paling menarik adalah sebuah lelucon yang saya dapatkan dari internet seperti terpampang di slide berikut ini.

Lalu, apa arti semua cerita globalisasi di atas bagi kita? Bagaimana dengan keberadaan negara kita tercinta, Indonesia, ini di dunia yang semakin mengglobal tersebut? Seberapa besar kita telah menangguk keuntungan dari proses globalisasi ini, dan bukan menjadi korban dari globalisasi dengan meningkatnya kesenjangan sosial, exploitasi sumberdaya alam dan tenaga kerja murah dalam tingkat pekerjaan yangr endah value? Seberapa siap kita bersaing di kancah global ini?. Jika dilihat dari sumberdaya alam,harusnya kita tidak kalah dari China maupun India, jumlah penduduk kitapun berada di peringkat ke-4 dunia (dengan 237 juta jiwa lebih[4]) sesudah mereka berdua dan Amerika Serikat.

Saya beruntung dibesarkan dalam keluarga yang membebaskan saya untuk bertanya apapun. Kedua orang tua saya bukan orang yang memiliki pendidikan tinggi yang menguasai psikologi anak ataupun menguasai teori-teori terbarukan untuk mendidik anak yang benar. Namun satu hal yang saya ingat benar, pertanyaan dan berpendapat selalu mendapat tempat yang bebas di dalam rumah tempat saya dibesarkan tersebut. Tidak pernah rasanya saya dilarang berpendapat berbeda, tidak pernah saya dilarang untuk bertanya, bahkan untuk sebuah pertanyaan yang paling tidak masuk akal atau paling nyeleneh pun. Bisa dijawab atau tidak oleh orang tua saya, disetujui ataupun tidak pendapat saya, itu hal lain lagi. Namun boleh kah ditanyakan dan diperdebatkan, itu suatu hal yang pasti boleh. Entah bagaimana kedua orang tua saya yang tidak pernah mengecap pendidikan di perguruan tinggi tersebut bisa sampai pada esensi dasar dari kehidupan berdemokrasi. Orangtua yang luar biasa hebat, yang saya kagumi perjuangannya.

Suatu hari pada sekitar tahun 70-an Ayah saya berkata kepada para familinya yang datang merantau dari kampung ke Jakarta. “Untuk hidup di Jakarta, yang penting punya KTP dan SIM. Sedangkan untuk hidup lebih dari normal, kalian harus bisa berbasaha Inggris”. Nasehat yang sederhana dari seseorang yang berpikiran sederhana. Walaupun begitu, beliau sesungguhnya sudah menemukan konsep competitiveness secara autodidak. Beliau percaya bahwa seseorang harus memiliki diferensiasi di tengah standard industri yang berlaku. Pada sekitar tahun 70-an tersebut, ijazah perguruan tinggi barangkali adalah differensiasi yang paling tinggi, dan dapat mengantarkan orang ke sebuah pekerjaan yang menjamin tingkat kemakmuran, namun tidak banyak yang memilikinya, dan kesempatan untuk mendapatkannya juga tidak mudah. Di sisi lain, jenis pekerjaan yang mengandalkan fisik tersedia cukup banyak di Jakarta, asalkan mau bekerja. Hanya saja, bekerja fisik dengan modal KTP dan SIM adalah standard industri. Untuk mendapatkan diferensiasi tanpa sekolah tinggi, diperlukan keahlian lain, dan ayah saya melihat menjamurnya perusahaan minyak asing saat itu adalah peluang untuk mendapatkan diferensiasi tersebut. Beliau ”walk the talk”, bermodalkan diferensiasi dengan bahasa Inggris tersebut, dirambahnya rimba Jakarta, dan sekurangnya sampai sekarang beliau telah berhasil menghantarkan anaknya menjadi doktor dan CEO dari sebuah perusahaan multinasional.

D zaman globalisasi individual ini, ijazah perguruan tinggi, mampu berbahasa Inggris, dan melek komputer serta internet (ingat, internet bukan hanya [url=http://www.facebook.com,www.twitter.com,]www.facebook.com,www.twitter.com,[/url] www.kaskus.co.id) adalah standard industri. Beberapa tahun yang lalu mungkin masih merupakan keunggulan bersaing, tapi dengan semakin cepatnya perubahan di dunia, keunggulan bersaing juga dengan cepat menjadi standard industri.'
Director dari sebuah perusahaan multinasional perbankan di Jakarta pernah bercerita, bahwa dia barus saja meng-hire seorang pegawai melalui proses yang unik. Biasanya, jika ada lowongan pekerjaan, team HR harus menyeleksi ratusan surat lamaran beserta CV nya. Semua orang HR setuju bahwa penilaian seseorang lebih ditentukan dari hasil wawancara ketimbang analisis dari CV mereka, tapi tentunya tidak mungkin melakukan wawancara kepada ratusan pelamar pekerjaan. Pegawai baru teman saya ini, sebut saja namanya Maya, menunjukkan hal yang berbeda, ketimbang hanya mengirimkan surat lamaran, dia mengirimkan lamaran berikut sebuah CD yang bertuliskan ”play me” pada amplopnya. Hal tersebut tentunya menarik perhatian, bukan karena team HR nya laki-laki semua, tapi karena ini adalah sesuatu hal yang unik, dan ketika team penyeleksi memutar CD tersebut, tampaklah Maya duduk disebuah kursi, dengan berpakaian rapi, di shoot dengan kamera telepon seluler. Maya bercerita tentang dirinya, cita-citanya dan keinginannya bekerja selama tidak lebih dari tiga menit. Hari itu juga Maya mendapatkan kesempatan untuk dipanggil wawancara, dan beberapa hari kemudiandia diterima bekerja diperusahaan teman saya tersebut, mengalahkan ratusan pelamar lainnya yang memiliki CV yang lebih hebat dari dia.

Jika kebetulan perjalanan anda menghadapi rintangan, jangan menyerah, tetap jalani perjuangan anda. Pada waktunya, pasti ada yang akan anda dapatkan, walaupun tidak semuanya seperti yang anda harapkan, tapi pasti akan ada hal baru yang anda dapatkan. Ingatlah, God works in a mysterious way…. Manusia sudah diciptakan untuk terus berusaha.
emoticon-I Love Indonesia (S)


0
2.9K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.