TS
maximillian48
[ORIGINAL FICTION] Du Bist Wunderbar
Summary : Kiriko Emanuelle adalah gadis Italia yang selalu bertindak tanpa berpikir terlebih sedangkan Friedrich Müller adalah pria pemarah yang seenaknya. Apa yang akan terjadi jika mereka tinggal di dalam satu atap?
Genre : Romance / Hurt & Comfort
Rate : M (later chapter)
Trieste, 2019
Namaku Kiriko Emanuelle-Orefice dan aku berusia delapan belas tahun. Pasti kalian bingung mengapa namaku berbau Jepang. Tenang saja, aku bukan weaboo tetapi memang sejak lahir namaku seperti ini karena mamma adalah wanita Jepang yang sejak muda sudah tinggal di Italia sedangkan padre adalah warga asli Italia. Mamma seorang putri diplomat sedangkan padre adalah pemilik restoran Mediterania dan Balkan yang terkenal di kota Trieste mengingat kota kelahiranku adalah kota yang dekat dengan perbatasan Italia dengan Slovenia.
Sejujurnya, aku merasa biasa-biasa saja. Rambutku brunette panjang dan bagian bawahnya bergelombang tetapi wajahku sangat Asia dengan bola mata biru sehingga banyak orang yang mengira aku menggunakan softlens dan mengecat rambutku sendiri. Bukan bermaksud sombong, tetapi banyak pria-pria Italia maupun dari negara tetangga yang senang menggodaku dan seumur hidup aku belum pernah pacaran. Apalagi berhubungan seksual, belum pernah sama sekali.
Itu karena mamma terlalu overprotektif terhadapku dan menganggapku seperti anak kecil.
Kupilin rambutku perlahan-lahan dan menjepitnya dengan jepitan bunga mawar yang kubeli di jalan tadi sambil merenung apakah suatu saat aku akan bertemu dengan pria yang kuidam-idamkan sejak lama? Apakah kisah cintaku akan sama seperti mamma dan padre? Apakah akan sama seperti novel percintaan yang selalu kubaca hampir setiap malam dan memimpikan hal itu setiap hari.
Ini rahasia, aku suka sekali novel erotis dan selalu membacanya diam-diam jika mamma dan padre sudah tertidur nyenyak karena mamma selalu mengomentarinya panjang lebar. Mamma memang kolot, berbeda dengan padre yang liberal. Cukup aneh saja mengingat mamma adalah putri diplomat.
Waktuku di Trieste, tidak, di Italia tidak akan lama lagi karena bulan depan aku akan pindah ke Jerman untuk kuliah. Berat rasanya aku meninggalkan Italia yang indah ini dan terasa berat karena aku harus tinggal bersama orang yang paling kubenci di seluruh dunia.
"Kiriko, sudah jangan bertindak seperti anak kecil lagi!" Luigi, sang ayah mengingatkanku dengan lembut. "Friedrich itu teman padre, dia tidak akan macam-macam padamu."
Aku menghela nafas panjang, lebih tepatnya nafas penuh kekesalan. Si! Si! Si! Siapa yang tidak ingat dengan Friedrich Müller yang menyebalkan dan sok itu. Grrr! Aku tidak akan pernah lupa ketika aku masih SMP, orang itu pernah menginjak kepalaku ketika aku terpeleset. Begitukah sikap gentleman? Mengapa sekarang banyak orang yang tidak punya otak, ya? Sudah cara bicaranya tidak enak didengar, menyebalkan, bau sosis lagi. Bahkan bisa dibilang tidak berperasaan, bukannya minta maaf malah aku dimarahi olehnya. Dia kira kepala diinjak sama dengan kaki diinjak.
Herannya adalah temanku, Fiorella Cassano, bilang kalau Friedrich itu seperti dewa Yunani. Hell no! Fiorella memang seleranya sedikit aneh, maka tidak heran ia bisa berkata seperti itu. Makan tuh dewa Yunani, mana ada dewa Yunani brengsek.
Tipe pria kesukaanku? Aku lebih suka pria Spanyol atau Perancis dibandingkan pria daerah Germanik, jujur saja. Selain itu ada syarat tambahan harus romantis, manis dan gentleman. Cowok melambai, abg labil, cowok anak mami jelas bukan tipeku. Apalagi tipe macam Friedrich, big no no.
Haha, untunglah aku bukan di Jepang. Kalau iya, pasti tindakanku dibilang kurang ajar karena melawan orang yang lebih tua. Pria itu berusia tiga puluh lima tahun dan punya restoran juga di daerah Heidelberg, herannya adalah banyak sekali yang suka kepadanya.
"Mungkin saja kalian jodoh, cinta tidak mengenal usia," Mitsuko menambahkan perkataan Luigi. "Mamma merasa kalian jodoh, karena Friedrich-san selalu melihatmu."
Okay! Stop this! Sudah cukup omong kosong ini! Makan tuh jodoh! Siapa juga yang mau sama om-om kesepian!
Heidelberg, 2020
Aku sudah dandan secantik mungkin ketika berangkat menuju kota Heidelberg. Kukenakan tank top ketat hitam dan celana hot pants merah menyala. Rambut kubiarkan tergerai dan tidak lupa kukenakan lipstik merah menyala. Musim panas seperti ini tentu sangat menyebalkan jika mengenakan pakaian panjang dan serba tertutup.
Sebenarnya, aku sengaja berpakaian seperti ini supaya aku tidak dianggap anak kecil lagi. Aku ingin membuktikan bahwa aku sendiri memang sudah dewasa. Sesampainya aku di rumah Friedrich, aku tidak menyapanya seperti orang Italia pada umumnya yaitu cium pipi kanan dan pipi kiri. Ew! Lebih baik tidak usah sama sekali.
"Kau tetap saja pendek, Fräulein! Dan ngapain boneka setinggi satu meter dibawa kemari?" tanya Friedrich dengan nada ketus seperti biasa sambil menunjuk boneka beruang berwarna coklat dengan kuping kuning. "Pantas saja kamu belum pernah berpacaran."
Perkatannya benar-benar membuat kupingku panas. "Herr Müller kuno sekali, itu namanya Rilakkuma, bodoh!" gerutunya jengkel. "Jomblo ngenes ya? Sampai iseng mengatur urusan orang!"
Biasanya memang aku di depan pria manapun bersikap manis dan lembut layaknya tuan putri tetapi di depan pria bajingan ini, kurasa tidak. Aku bisa saja galak dan menggigit, atau bahkan mencakar jika berani macam-macam denganku.
Walau begitu, aku tidak bisa hidup tanpa barang-barang Rilakkuma. Oleh karena itulah kupesan jauh-jauh dari Jepang dan dibawa ke Eropa. Harganya memang mencekik leher mengingat harga barang di Italia dengan Jepang jauh lebih mahal di Jepang. Ini menyiksanya, sungguh.
"Lalu, ngapain bawa sepuluh koper ke sini?" Friedrich balik bertanya padanya. "Aku tidak yakin isinya itu adalah buku pelajaran semua. Berani taruhan 1000€ kalau isinya adalah alat-alat make up dan baju-baju untuk menggoda pria yang ada di luaran sana!"
Wajah Kiriko bersemu merah. Si—sial! Bagaimana bisa tahu? Si brengsek ini pasti menguntitnya kemanapun ia pergi. Aneh saja mengapa ia bisa tahu segalanya tentang aku.
"Nah! Aku benar kan? Aku memang selalu benar!" gumamnya lagi. "Daripada dipakai untuk menggoda pria lain, lebih baik gunakan untuk menggodaku—ups."
Jangan senang dulu, sombong! Dasar German bastard! Satu lagi alasan ia tidak menyukai Jerman.
"NGGAK USAH GEER DULU DEH!" bentak Kiriko jengkel. "Daripada aku menggodamu lebih baik aku jadi perawan tua!"
Harus kuakui, sebenarnya Friedrich cukup tampan dengan rambut blonde-nya yang keemasan serta mata birunya yang tajam. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum sedikitpun dan itu membuatku sedikit penasaran.
"Ach so, apa ini menjadi kali pertamamu?"
Aku bingung dengan maksud perkataan Friedrich. Jangan bilang kalau— duh, bagaimana mengatakannya. Ini benar-benar memalukan dan tidak lucu.
"Hahaha—iya, aku baru pertama kali ke Heidelberg," jawabku dengan sok elegan. "Kota ini indah ya!"
Tiba-tiba, pria itu mendorongku dengan kasar. Aku tidak tahu mengapa tapi—tatapannya benar-benar mengerikan. Ia mengangkat daguku perlahan dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"HO—HOIIII! APAAN SIH INI!"
Semakin berdekatan dan sesuatu yang tidak diingkan terjadi. Ia mencium bibirku. Mein Gott!
"Jangan-jangan ini pertama kalinya kamu berciuman. Tebakanku benar, bukan?" ia bertanya kepadaku dengan nada yang kaget karena responku yang sama sekali tidak sesuai harapannya. "Atau jangan-jangan kau juga belum pernah bercinta?"
Semakin mengerikan saja jika mengingat harus tinggal bersamanya selama tiga tahun ke depan mengingat padre sudah menitipkanku di sini. Mau pindah ke wohnung lain tapi padre dan mamma tidak setuju, takut terpengaruh pergaulan yang tidak baik.
Dan ciuman pertamaku direbut oleh om-om tidak tahu diri yang bernama Friedrich Müller.
What a nice joke!
Genre : Romance / Hurt & Comfort
Rate : M (later chapter)
Spoiler for Chapter 1:
Trieste, 2019
Namaku Kiriko Emanuelle-Orefice dan aku berusia delapan belas tahun. Pasti kalian bingung mengapa namaku berbau Jepang. Tenang saja, aku bukan weaboo tetapi memang sejak lahir namaku seperti ini karena mamma adalah wanita Jepang yang sejak muda sudah tinggal di Italia sedangkan padre adalah warga asli Italia. Mamma seorang putri diplomat sedangkan padre adalah pemilik restoran Mediterania dan Balkan yang terkenal di kota Trieste mengingat kota kelahiranku adalah kota yang dekat dengan perbatasan Italia dengan Slovenia.
Sejujurnya, aku merasa biasa-biasa saja. Rambutku brunette panjang dan bagian bawahnya bergelombang tetapi wajahku sangat Asia dengan bola mata biru sehingga banyak orang yang mengira aku menggunakan softlens dan mengecat rambutku sendiri. Bukan bermaksud sombong, tetapi banyak pria-pria Italia maupun dari negara tetangga yang senang menggodaku dan seumur hidup aku belum pernah pacaran. Apalagi berhubungan seksual, belum pernah sama sekali.
Itu karena mamma terlalu overprotektif terhadapku dan menganggapku seperti anak kecil.
Kupilin rambutku perlahan-lahan dan menjepitnya dengan jepitan bunga mawar yang kubeli di jalan tadi sambil merenung apakah suatu saat aku akan bertemu dengan pria yang kuidam-idamkan sejak lama? Apakah kisah cintaku akan sama seperti mamma dan padre? Apakah akan sama seperti novel percintaan yang selalu kubaca hampir setiap malam dan memimpikan hal itu setiap hari.
Ini rahasia, aku suka sekali novel erotis dan selalu membacanya diam-diam jika mamma dan padre sudah tertidur nyenyak karena mamma selalu mengomentarinya panjang lebar. Mamma memang kolot, berbeda dengan padre yang liberal. Cukup aneh saja mengingat mamma adalah putri diplomat.
Waktuku di Trieste, tidak, di Italia tidak akan lama lagi karena bulan depan aku akan pindah ke Jerman untuk kuliah. Berat rasanya aku meninggalkan Italia yang indah ini dan terasa berat karena aku harus tinggal bersama orang yang paling kubenci di seluruh dunia.
"Kiriko, sudah jangan bertindak seperti anak kecil lagi!" Luigi, sang ayah mengingatkanku dengan lembut. "Friedrich itu teman padre, dia tidak akan macam-macam padamu."
Aku menghela nafas panjang, lebih tepatnya nafas penuh kekesalan. Si! Si! Si! Siapa yang tidak ingat dengan Friedrich Müller yang menyebalkan dan sok itu. Grrr! Aku tidak akan pernah lupa ketika aku masih SMP, orang itu pernah menginjak kepalaku ketika aku terpeleset. Begitukah sikap gentleman? Mengapa sekarang banyak orang yang tidak punya otak, ya? Sudah cara bicaranya tidak enak didengar, menyebalkan, bau sosis lagi. Bahkan bisa dibilang tidak berperasaan, bukannya minta maaf malah aku dimarahi olehnya. Dia kira kepala diinjak sama dengan kaki diinjak.
Herannya adalah temanku, Fiorella Cassano, bilang kalau Friedrich itu seperti dewa Yunani. Hell no! Fiorella memang seleranya sedikit aneh, maka tidak heran ia bisa berkata seperti itu. Makan tuh dewa Yunani, mana ada dewa Yunani brengsek.
Tipe pria kesukaanku? Aku lebih suka pria Spanyol atau Perancis dibandingkan pria daerah Germanik, jujur saja. Selain itu ada syarat tambahan harus romantis, manis dan gentleman. Cowok melambai, abg labil, cowok anak mami jelas bukan tipeku. Apalagi tipe macam Friedrich, big no no.
Haha, untunglah aku bukan di Jepang. Kalau iya, pasti tindakanku dibilang kurang ajar karena melawan orang yang lebih tua. Pria itu berusia tiga puluh lima tahun dan punya restoran juga di daerah Heidelberg, herannya adalah banyak sekali yang suka kepadanya.
"Mungkin saja kalian jodoh, cinta tidak mengenal usia," Mitsuko menambahkan perkataan Luigi. "Mamma merasa kalian jodoh, karena Friedrich-san selalu melihatmu."
Okay! Stop this! Sudah cukup omong kosong ini! Makan tuh jodoh! Siapa juga yang mau sama om-om kesepian!
Heidelberg, 2020
Aku sudah dandan secantik mungkin ketika berangkat menuju kota Heidelberg. Kukenakan tank top ketat hitam dan celana hot pants merah menyala. Rambut kubiarkan tergerai dan tidak lupa kukenakan lipstik merah menyala. Musim panas seperti ini tentu sangat menyebalkan jika mengenakan pakaian panjang dan serba tertutup.
Sebenarnya, aku sengaja berpakaian seperti ini supaya aku tidak dianggap anak kecil lagi. Aku ingin membuktikan bahwa aku sendiri memang sudah dewasa. Sesampainya aku di rumah Friedrich, aku tidak menyapanya seperti orang Italia pada umumnya yaitu cium pipi kanan dan pipi kiri. Ew! Lebih baik tidak usah sama sekali.
"Kau tetap saja pendek, Fräulein! Dan ngapain boneka setinggi satu meter dibawa kemari?" tanya Friedrich dengan nada ketus seperti biasa sambil menunjuk boneka beruang berwarna coklat dengan kuping kuning. "Pantas saja kamu belum pernah berpacaran."
Perkatannya benar-benar membuat kupingku panas. "Herr Müller kuno sekali, itu namanya Rilakkuma, bodoh!" gerutunya jengkel. "Jomblo ngenes ya? Sampai iseng mengatur urusan orang!"
Biasanya memang aku di depan pria manapun bersikap manis dan lembut layaknya tuan putri tetapi di depan pria bajingan ini, kurasa tidak. Aku bisa saja galak dan menggigit, atau bahkan mencakar jika berani macam-macam denganku.
Walau begitu, aku tidak bisa hidup tanpa barang-barang Rilakkuma. Oleh karena itulah kupesan jauh-jauh dari Jepang dan dibawa ke Eropa. Harganya memang mencekik leher mengingat harga barang di Italia dengan Jepang jauh lebih mahal di Jepang. Ini menyiksanya, sungguh.
"Lalu, ngapain bawa sepuluh koper ke sini?" Friedrich balik bertanya padanya. "Aku tidak yakin isinya itu adalah buku pelajaran semua. Berani taruhan 1000€ kalau isinya adalah alat-alat make up dan baju-baju untuk menggoda pria yang ada di luaran sana!"
Wajah Kiriko bersemu merah. Si—sial! Bagaimana bisa tahu? Si brengsek ini pasti menguntitnya kemanapun ia pergi. Aneh saja mengapa ia bisa tahu segalanya tentang aku.
"Nah! Aku benar kan? Aku memang selalu benar!" gumamnya lagi. "Daripada dipakai untuk menggoda pria lain, lebih baik gunakan untuk menggodaku—ups."
Jangan senang dulu, sombong! Dasar German bastard! Satu lagi alasan ia tidak menyukai Jerman.
"NGGAK USAH GEER DULU DEH!" bentak Kiriko jengkel. "Daripada aku menggodamu lebih baik aku jadi perawan tua!"
Harus kuakui, sebenarnya Friedrich cukup tampan dengan rambut blonde-nya yang keemasan serta mata birunya yang tajam. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum sedikitpun dan itu membuatku sedikit penasaran.
"Ach so, apa ini menjadi kali pertamamu?"
Aku bingung dengan maksud perkataan Friedrich. Jangan bilang kalau— duh, bagaimana mengatakannya. Ini benar-benar memalukan dan tidak lucu.
"Hahaha—iya, aku baru pertama kali ke Heidelberg," jawabku dengan sok elegan. "Kota ini indah ya!"
Tiba-tiba, pria itu mendorongku dengan kasar. Aku tidak tahu mengapa tapi—tatapannya benar-benar mengerikan. Ia mengangkat daguku perlahan dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"HO—HOIIII! APAAN SIH INI!"
Semakin berdekatan dan sesuatu yang tidak diingkan terjadi. Ia mencium bibirku. Mein Gott!
"Jangan-jangan ini pertama kalinya kamu berciuman. Tebakanku benar, bukan?" ia bertanya kepadaku dengan nada yang kaget karena responku yang sama sekali tidak sesuai harapannya. "Atau jangan-jangan kau juga belum pernah bercinta?"
Semakin mengerikan saja jika mengingat harus tinggal bersamanya selama tiga tahun ke depan mengingat padre sudah menitipkanku di sini. Mau pindah ke wohnung lain tapi padre dan mamma tidak setuju, takut terpengaruh pergaulan yang tidak baik.
Dan ciuman pertamaku direbut oleh om-om tidak tahu diri yang bernama Friedrich Müller.
What a nice joke!
0
1.6K
Kutip
7
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•259Anggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru