JAKARTA, KOMPAS.COM — Di sebuah permukiman kumuh di ibu kota Jakarta, pemegang topeng monyet, Tardi tidak berani membawa monyet keluar untuk tampil di jalan-jalan karena takut terjaring razia topeng monyet.

Dia dan rekannya seprofesi telah tiarap beberapa hari terakhir setelah pemerintah provinsi DKI gencar melakukan razia topeng monyet.

Monyet-monyet yang di Indonesia dijadikan atraksi topeng monyet, biasanya dalam kesehatan yang buruk setelah disimpan selama bertahun-tahun di kandang yang sempit dan kotor.

Monyet-monyet juga menderita karena dilatih untuk berdiri di atas dua kaki seperti manusia, dengan leher dan lengan diikat kabel.

Tapi, Tardi dan rekannya protes dengan tindakan razia tersebut, karena mematikan mata pencaharian mereka. "Saya sudah melakukan pekerjaan ini selama lebih dari 10 tahun, " katanya kepada AFP. "Saya tidak sekolah. Ini satu-satunya keahlian saya untuk mendapatkan uang."

Pemegang monyet mendapatkan sebanyak Rp 1,7 juta per bulan untuk bekerja beberapa hari dalam seminggu, lebih Rp 500.000 dari gaji pokok bulanan buruh pabrik, yang bekerja lama setiap hari.

Mereka menyewa monyet Rp 15.000 sampai Rp 30.000 per hari, namun harus membayar ke pemilik monyet Rp 1 juta jika mereka kehilangan monyet.

"Saya selalu memberi makan monyet, kami memperlakukannya seolah-olah ia adalah bagian dari keluarga kami," kata Kholid Mawar, 25 tahun.

"Mereka mengatakan kami telah membuat monyet menderita, tapi bagaimana dengan kami?"