Kaskus

Story

monicasilAvatar border
TS
monicasil
Di Bawah Gerimis Tiga November
Di Bawah Gerimis Tiga November
(karya : Monica Silvia)

Mimpi adalah nyawaku. Bermimpi membuatku hidup, berharap membuatku bernafas. Cita-citaku membuatku bertahan. Aku akan mewujudkan harapanku. Aku yakin aku bisa meskipun aku harus bersakit-sakit, meskipun banyak yang akan kukorbankan. Tapi, harapanku untuk hidup lebih lama bisakah terwujud?
Aku duduk berdua dengan Nadia di bangku di teras kelas. Nadia bercerita dengan asyiknya, tapi aku tak mendengarkannya. Mataku tertuju pada seseorang yang sedang asyik tertawa. Dia melihatku dan tersenyum.
“ Mampus Nad, gue ketahuan liatin dia tuh.” kataku mengejutkan Nadia.
“Siapa? Siapa sih? Jadi dari tadi lo gak dengerin gue ya. Terlalu lo Dian.” kata Nadia kesal.
“Hhm, sori Nad, gue nggak bermaksud. Tapi si Adit loh, si Adit senyum ke gue.” kataku gregetan.
Nadia diam saja. Mungkin dia kesal, tapi sekali lagi aku tak mengiraukannya.
Bel berbunyi, jam pelajaran dilanjutkan. Aku dan Nadia berjalan menuju ruang kelas. Kami akan memulai pelajaran matematika, pelajaran yang sangat kubenci. Terlebih lagi pada gurunya, mendengar namanya saja membuatku merinding.
“Baiklah anak-anak, hari ini kita melanjutkan pelajaran yang kemarin yaitu ‘Determinan Matriks Berordo Tiga’.” kata ibu Friska memulai pelajaran.
“Dian, si Adit lihatin lo tuh.” bisik Nadia yang duduk disebelahku. Sepertinya dia ingin balas dendam padaku.
“Ssst... Berisik tahu.”
“Dia lagi liatin lo tahu.”
“Berisik...” teriakku
Suasana kelas menjadi hening. Semua mata tertuju padaku. Kakiku gemetar, aku tak berani melirik wajah ibu Friska yang garang dan wajah Adit yang akan menertawaiku. Nadia terdiam, bibirnya gemetar. Aku menunduk, tapi ibu Friska berjalan ke arah mejaku, dan ‘Plaakk’. Tangan kasarnya mendarat di pipiku. Tanpa berkata apa-apa, dia melanjutkan pelajaran. Teman-teman juga tak lagi menghiraukanku, seolah tidak terjadi apa-apa.
Pulang sekolah, Nadia terus meminta maaf padaku. Matanya berkaca-kaca, padahal aku tak pernah mempersoalkan tamparan ibu Friska. Aku hanya tertawa melihatnya terus meminta maaf padaku. Tiba-tiba kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang, dan kakiku gemetar. Sayup-sayup kudengar suara Nadia khawatir. Kakiku tak kuat lagi menopang berat tubuhku, aku terjatuh. Lalu kulihat orang-orang mengerumuniku, sekilas kulihat Adit. Ya Adit.
Kudengar suara seseorang, sepertinya laki-laki dan suara itu bernada sedih. Kucoba membuka mataku pelan-pelan. Mataku kelayaban menerawang tempat aku berada, kulihat tak ada siapa-siapa. Aku semakin bingung. Aku berusaha mengingat kejadian terakhir yang menimpaku.
“Dian, lo dah sadar? Lo itu buat gue ketakutan tahu.” Nadia menghampiriku dengan mata berkaca-kaca. “ Untung aja kita masih di lokasi sekolah, jadi lo bisa dibawa ke ruang UKS.” jelas Nadia.
“Hhm, ya.”
“Lo kok bisa pingsan sih? Apa karena ditampar tadi?”
“Bukan, mungkin karena gue nggak sempat sarapan tadi.” kataku bohong.
“Yaudah, ayo kita makan. Gue yang traktir.”

Aku sampai di rumah.langsung kucari ibu. Kuceritakan padanya kejadian aku pingsan.
“Dian, ini efek dari obat penghilang rasa sakit itu. Kamu yang sabar ya.” Air mata ibu hampir jatuh.
“Ooh... Tapi apa Dian harus pingsan tiap hari?” tanyaku dengan senyum sok tegar.
“Ibu juga nggak tahu, tapi Insyaallah kamu akan segera sembuh.”
“Bukan Bu, obat itu hanya akan mengulur waktu kematian Dian.”
Air mata ibu jatuh dengan deras. Aku juga tak sanggup menyembunyikan tangisku. Kami berdua berpelukan. Berpelukan dalam keharuan. Aku menderita penyakit radang otak. Meningitis non-infeksi, bukan karena terkena virus. Namun karena aku pernah mengalami kecelakaan kecil di bagian kepala. Dan tak kusangka dampaknya besar seperti ini. Penyakit itu menyerang pusat koordinasiku.Terkadang aku akan kejang-kejang menahan rasa sakit di kepalaku. Bahkan penglihatanku sempat terganggu karenanya. Walaupun begitu, tak satupun temanku yang tahu keadaanku. Aku ingin hidup sebagai gadis biasa. Bukan gadis penyakitan yang menunggu ajalnya.
Handphone-ku berdering. Kulihat ada pesan yang masuk.

“ Tadi itu lucu. Tamparan dari guru tercinta.
Hahaha...
Besok belajar sama gue. Jam 3 sore di rumah gue.
-Adit “
Aku mengusap air mataku, kulepas pelukan ibu. Kuambil handphone-ku dan aku mengurung diri di dalam kamar. Aku melompat kegirangan meskipun air mataku masih berlinangan. Bahagia mendapat sms dari Adit. Ternyata dia sangat memperhatikanku. Pesan ini adalah penyejuk hatiku yang sedang pilu. Kalau bercerita tentang Adit takkan pernah ada habisnya. Adit adalah orang yang kusukai semenjak di SMP, laki-laki tercuek padaku. Tapi akhir-akhir ini dia baik sekali. Malam ini pasti aku memimpikannya,seperti malam-malam sebelumnya.
Xxx
Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, aku dalam perjalanan ke rumah Adit. Aku sangat gugup, namun aku akan tampil sebaik mungkin dihadapannya.
Aku sampai di depan rumahnya.
“Assalamualaikum, Adit.” panggilku malu-malu.
Tak ada yang menjawab, rumahnya sunyi. Kuulangi sampai beberapa kali, sampai seorang gadis kecil keluar.
“Dik, Bang Adit ada?” tanyaku dengan lembut.
Gadis itu tersenyum manis. Dia masuk dengan malu-malu. Dan beberapa saat kemudian dia keluar dengan orang yang kutunggu.
“Kok lama sih Dian?” Adit keluar dengan mata merah. Sepertinya dia ketiduran saat menungguku.
“Eh iya, sori.”
Mamanya Adit keluar dan menyuruhku masuk. Mamanya cantik sekali, senyumannya juga sangat manis. Dalam benakku aku berharap dia menyukaiku.
Aku dan Adit sibuk belajar. Dia mengajariku dengan sabar sampai-sampai kami berdua larut dalam keromantisan. Kami berdua tak peduli dengan aktivitas orang-orang di sekeliling kami. Kemudian lagu ‘Separuh Aku’ dari band keseukaanku mengalun lembut dari laptopnya. Menciptakan keheningan diantara kami berdua. Karena kami sempat hening sejenak mendengar alunan nadanya. Sesekali kudengar dia bergumam seperti sedang melantunkan setiap lirik lagu tersebut. Dalam hati aku bertanya apakah dia sedang mencoba untuk mengungkapkan perasaannya.
“Dian, lo mau melanjutkan kuliah kemana?” tanyanya memulai pembicaraan.
“Fakultas Teknik Industri ITB, gimana?” jawabku bersemangat.
Adit terdiam, sesekali dia melirikku. Sepertinya dia meragukan mimpiku sama seperti teman-teman yang lain.
“Gue harap lo bisa lulus di ITB.”
Aku tersenyum, ternyata perkiraanku salah. Dia mendukungku.
“Kalau gitu gue juga mau ke ITB deh.” tambahnya.
Aku senang sekali mendengar ucapannya. Aku rasa dia memang menyukaiku, dia selalu ingin dekat denganku.
Di luar gerimis, tapi aku bersikeras untuk pulang,takut hujannya tiba-tiba deras. Mamanya Adit menyuruh Adit untuk mengantarku, dan Adit kelihatan bersemangat. Dalam hati aku mengucapkan terima kasih pada mamanya. Beliau mengerti yang kuinginkan.
“Dian, dingin ya? Pakai nih.” dia menyodorkan jaketnya untuk kupakai.
Adit menyalakan motornya. Lalu kami melaju di bawah gerimis yang mengusik pembicaraan kami.
“Dit.” panggilku.
“Hhm, ya?”
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo.” kataku malu. “Sebenarnya, gue suka sama lo sejak kita SMP.” Jantungku berdegup kencang. Aku menyumpahi mulutku, menyesal menyatakan itu padanya. Sialan.
“Apa?”
“Gue suka sama lo, kalau lo suka nggak sama gue.”
“Apa?” kata Adit.
“Sok nggak dengar, payah lo.” kataku kesal.
Tiba-tiba kepalaku pusing,mataku berkunang-kunang. Aku yakin aku akan pingsan lagi. Tapi mengapa dalam keadaan seperti ini? Adit terus berbicara, mungkin dia sedang menjawab pertanyaanku, tapi aku tak mendengarnya lagi.
Aku turun di depan rumah. Adit tersenyum padaku lalu pergi. Aku berjalan ke teras ingin membuka pintu, dan semuanya gelap.
Xxx

Aku terbangun, ini bukan kamarku. Kulihat selang infus tersambung ke lenganku. Ini adalah kamar rawat. Huh, akhirnya ke rumah sakit lagi. Kulihat ibu dan ayah menghampiriku dengan wajah murung. Mungkin baru saja selesai berkonsultasi dengan dokter.
“Dian, kamu nggak akan minum obat itu lagi.” kata ayah menghiburku.
Aku senang mendengarnya, itu berarti aku takkan pingsan lagi. Namun bagaimana dengan rasa sakit yang menggila di kepalaku, apakah takkan sakit lagi?
“Dian, ibu dan ayah sepakat bahwa kita akan menggadaikan surat tanah toko kita untuk biaya operasi kamu.” kata ibu sedih.
Aku tersentak mendengar perkataan ibu. Tentu saja aku ingin sembuh, tapi ini bukanlah caranya. Aku tak ingin hanya karena aku puluhan juta rupiah melayang. Lalu bagaimana nasib kami setelahnya?
“Dian nggak mau, pokoknya nggak mau. Lalu adik-adik Dian harus dikorbankan. Mereka masih butuh dana untuk sekolah.” kataku sambil mengeluarkan air mata.
“Ini demi kau.” kata ayah setengah marah
“Ayah,nyawa itu di tangan Allah. Dian akan selamat dan hidup selama Allah mengkehendaki. Lagi pula Dian ingin kuliah. Dian ingin buat ayah bangga.”
“Jangan pasrah anakku.” kali ini ibu menangis.
“Bagaimana bisa kuliah kalau kau tak hidup?” kata ayah marah.
“Ayah sudah tahu kalau Dian nggak akan bertahan hidup, lalu untuk apa operasi? Hanya sia-siakan?” tangisku keluar.
Ayah, aku dan ibu menangis, berpelukan dalam kesedihan. Dalam hati aku bertanya, apakah aku tak menghargai nyawaku? Tapi seperti prinsipku aku akan meraih cita-citaku dan aku akan selalu berharap untuk hidup.


Beberapa hari kemudian aku kembali ke sekolah. Teman-teman menyambutku dengan baik, terutama Nadia, tingkahnya membuatku geli. Tapi yang membuatku sedih adalah saat bertemu dengan Adit.
“Dian lo kemana aja sih?” tanya Adit.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Lebih baik bagiku segera menjauhinya. Walaupun sebenarnya aku sangat membutuhkannya.
“Dian, lo kenapa sih?”
“Sori, gue nggak mood ngomong sama lo.” kataku sinis.
Dahinya berkerut, dia heran. Lalu cepat-cepat kupalingkan wajahku.
“Tapi lo ingat di bawah gerimis tiga november kan?”
Aku terheran, ternyata aku berharga baginya. Tapi aku tak mau berlarut, bagaimana kalau dia tahu keadaanku.
“Gerimis tiga november? Apaan tuh? Aduh Dit, gue hanya bercanda. Jangan diambil hati dong.” jelasku bohong.
“Jadi lo hanya mainin perasaan gue? Terlalu lo. Tapi perasaan gue nggak pernah main-main.” katanya dengan wajah kecewa, seperti menahan tangis. Lalu wajah itu lenyap dari pandanganku.. Aku takut lemah tanpa wajah itu.
Tiba-tiba kepalaku sakit. Aku lari menuju kelas. Kuambil botol minuman dari tasku yang berisi minuman herbal untuk mengatasi rasa sakitku.
“Di, minum apaan lo?” Tanya seseorang dari belakang.
Aku terkejut, kulihat ternyata itu Nadia.
“Oh lu Nad. Gue minum jus kok.” Kataku bohong.
“Kok minum jus sampai nangis gitu sih?”
“Abis, gak enak sih. Pahit…” kataku sambil tertawa.
Nadia sedikit bingung, namun aku pura-pura tidak menghiraukannya.
xxx
Empat bulan telah berlalu, hari ini adalah hari yang sangat istimewa bagiku. Handphone-ku berdering, kulihat ternyata ada panggilan dari ibu Friska.
“Selamat pagi Bu, ada apa?” sapaku
“Selamat ya nak, kamu lulus jalur undangan ke ITB.” katanya girang.
Aku terkejut, rasanya senang dan bangga. Aku melompat kegirangan sampai tak kuperdulikan lagi telpon dari ibu Friska. Ayah dan ibu heran melihat gelagatku.
“Dian ngapain kamu?” tanya ibu heran.
“Ye, ye, Dian lulus di ITB.” teriakku.
Ayah dan ibu yang sudah tahu mengucapkan selamat, memeluk dan menciumku. Aku bangga pada diriku, meskipun aku tahu umurku tak lama lagi, tapi aku bisa mewujudkan mimpiku lulus di ITB dan membuat orang tuaku bangga untuk terakhir kalinya.
Aku teringat pada Adit, apakah dia juga lulus di ITB seperti angan-angannya? Selama empat bulan ini aku putus komunikasi dengannya. Bahkan di sekolah pun dia tak mau tersenyum padaku lagi. Namun wajar baginya membenciku, aku telah melukai perasaannya.
Handphone-ku berdering lagi. Kali ini pesan masuk, ternyata dari Adit. Aku cukup terkejut, kubaca setiap kata yang tertulis dengan perlahan.
“ Dian selamat lo lulus juga.
Kita bakalan ketemu lagi di ITB. ”

Air mataku mengalir tak kusadari. Dalam hati aku merasa bersalah padanya. Aku tak ingin dia berburuk sangka padaku. Aku berlari ke arah meja belajar, kuambil laptop dan kuketikkan sebuah e-mail untuk Adit.

“ Terima kasih. Dit, gue minta maaf atas sikap gue empat bulan yang lalu. Sebenarnya gue benar-benar suka sama lo. Bahkan semenjak kita masih SMP. Gue punya penyakit yang membuat gue nggak akan bertahan hidup lebih lama. Gue nggak mau lo kepikiran sama gue. Apalagi kalau kita sempat berpacaran, mungkin lo nggak konsentrasi lagi sama pelajaran lo. Gue tahu lo juga suka sama gue. Gue ingat kalau lo yang ada di ruang UKS waktu kejadian gue pingsan. Gue yakin lo yang gendong gue waktu itu. Dan gue juga ingin, lo ikut gendong keranda jenazah gue nanti ke pusara. Dit, jujur waktu tiga november itu gue nggak pernah mainin perasaan lo. Satu lagi Dit, gue nggak dengar lo bilang apa saat tiga november itu.”


Aku mengetikkan setiap kata dengan sedih. Yang kubayangkan adalah bagaimana reaksi Adit membacanya. Kepalaku sakit lagi, aku menunggu e-mail balasan dari Adit dengan sabarnya. Sesekali kuusap air mataku. Aku lelah sekali.

Kulihat ayah dan ibu di dapur sedang memasak untuk merayakan hari bahagia ini. Air mataku mengalir, aku takut berpisah dengan mereka. Kulihat lagi laptopku, belum ada balasan e-mail dari Adit.Tapi aku mencoba menunggu, semoga Adit membalas e-mail -ku.
Dua puluh menit kemudian ku terima balasan dari Adit.

“ Di bawah gerimis tiga november itu aku mencintaimu.”
T_T

Aku kesal dan terharu membaca pesan darinya. Menurutku dua puluh menit adalah waktu yang lama untuk mengetikkan beberapa kalimat itu. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca e-mail ini? Apakah dia menagis, atau dia tak peduli? Tapi yang membuatku senang Adit memakai kata ‘aku’ bukan ‘gue’. Itu adalah ucapan teromantis yang pernah kudengar seumur hidupku. Itu berarti Adit masih menyukaiku dan tak marah lagi padaku.

Kepalaku bertambah sakit. Mungkin aku lelah menghadapi hari ini. Mataku juga sudah sayu dan mengantuk. Lalu kubiarkan kepalaku istirahat di atas meja belajar di hadapan pesan yang membuatku senang. Aku tertidur. Tidur yang luar biasa berbeda dari sebelumnya. Dan tidur ini adalah tidur yang sangat indah, ditemani keabadian juga ditemani mimpi-mimpi bersama Adit.
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.2K
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.2KThread46.6KAnggota
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.