TS
mca_trane
[Orific-Flashfic] Bulan Tanpa Maaf
Oke, mencoba untuk menulis sebuah fic religi. Mudah-mudahan momennya masih tepat. Sepulang dari rumah saudara langsung pengen nulis.
Mungkin agak kacau, tapi semoga pesannya tersampaikan
Mungkin agak kacau, tapi semoga pesannya tersampaikan
Spoiler for :
Teruntuk papah dan mamah,
apapun yang terjadi aku akan selalu mencintai kalian
apapun yang terjadi aku akan selalu mencintai kalian
Spoiler for :
Aku hanyalah anak pertama yang datang dari keluarga biasa. Keluarga ini hanyalah keluarga sederhana yang kebetulan dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Satu ayah, satu ibu, dan dua anak sesuai rekomendasi para dokter KB.
Dari luar, kelihatannya keluarga kami adalah keluarga yang bahagia. Tetangga melihat ayah dan ibu rukun-rukun saja. Teman-teman disekitar rumah juga memandang aku dan adikku sebagai saudara yang akur.
Tapi sebenarnya, ayah dan ibu tengah terlibat “perang dingin”. Sudah berkali-kali mereka tidak saling berbicara. Memandang lurus saja rasanya enggan. Aku tak tahu apa masalah mereka. Bahkan, aku tak peduli. Berkali-kali mereka saling menghiraukan, dan telah berkali-kali juga mereka bermaafan. Setelah itu, kembali legi ke nol.
Menurutku, masalah ini adalah masalah ayah dan ibu. Aku tak punya hak untuk mencampurinya. Lala-lama, aku membiarkan mereka. Karena aku pikir, toh mereka akan berbaikan juga.
Tapi kali itu, diam bukan lagi sebuah pilihan.
Suasana Idul Fitri di komplek ini tak berubah dari tahun ke tahun. Semua orang sudah terbiasa bersilaturahim selepas shalat dan ceramah. Bersalam-salaman dan beramah-tamah dengan tetangga.
Hari ini juga kami ikut shalat di lapangan masjid komplek. Bedanya, hari raya kali ini terasa sepi karena adik sedang sakit. Ayah dan ibu masih saja keras kepala dengan “perang dingin”-nya, dan aku...tetap diam. Mereka berdua pulang dalam waktu berbeda, dan aku sendiri ikut dengan ayah.
Setelah sampai di rumah, aku segera mencari adikku. Dia ada di kamarnya. Sepertinya tidurnya nyenyak sekali sehingga dia terlihat cukup bugar. Layaknya saudara sedarah, kami berpelukan sangat erat sehingga kami hampir terjatuh. Setelah itu, kami turun ke bawah dan bersalaman juga dengan ayah. Ibu belum sampai di rumah. Dan ketika ibu datang, kami juga berpelukan. Saling memaafkan kesalahan masing-masing.
Tapi ayah...dia tak bersalaman dengan ibu. Aku merasa tidak enak. Tak biasanya mereka bertingkah seperti ini.
Biasanya tradisi kami setelah itu adalah makan ketupat dengan opor ayam dan gulai sapi, sama seperti keluarga lainnya, tapi aku tak yakin dengan bagian gulai sapinya. Tetapi, lagi-lagi aku merasakan sesuatu yang janggal ketika ayah menyalakan mobilnya.
Tak biasanya kami pergi mengunjungi sanak saudara sebelum menyelesaikan makan di rumah. Tapi, kami tak berkata apa-apa. Kami ikut kedalam mobil. Ayah tak berkomentar tentang ibu, ataupun adik. Tidak satu kata pun.
Famili kami semua berdomisili di kota, jadi konsep mudik dalam keluarga kami hampir sama dengan jalan-jalan dalam kota. Perjalanan ke rumah nenek dari pihak ibu hanya makan waktu 30 menit. Begitu sampai, aku merasa lega bisa bertemu dengan saudara sebaya yang sudah lama tidak kutemui karena kesibukan kuliah dan proyek kemahasiswaan lainnya. Ibu juga kelihatan senang bisa menemui nenek Sri; ibunya yang kini hanya bisa terkulai di ranjang akibat penyakit stroke.
Suatu waktu setelah makan, aku duduk bersama ayah, membicarakan tentang konsepsi ziarah ke makam di hari raya. Tiba-tiba, dia berdiri. Katanya ayah ingin cari minuman. Aneh, padahal di dalam ada banyak minuman. Tapi dia bersikeras. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang. Tapi aku semakin curiga karena dia malah pergi ke arah mobil. Aku sudah memberitahunya kalau warung ada di sisi lain, tapi dia tak mendengarkanku. Aku hanya bisa mematuhi kata-katanya seperti seorang pegawai.
Ketika kutanya, dengan nada lurus dia berkata akan pergi ke rumah nenek Aminah, atau dalam kata lain adalah ibunya ayah. Ini jelas-jelas absurd, karena ibu dan adik masih ada di rumah nenek Sri, dan aku juga sadar kalau iPodku tertinggal disana. Aku ingin protes, tapi aku takut. Ayah bukan orang yang main-main jika marah. Maka sepanjang perjalanan, aku diam saja. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Sepanjang perjalanan, adik dan ibuku mengirim SMS, menanyakan dimana aku dan ayah. Tapi aku hanya menjawabnya dengan alasan yang juga ayah gunakan: cari minum. Dalam hati, aku ingin sekali menjawab yang sebenarnya.
15 menit perjalanan, dan akhirnya kami sampai di rumah nenek Aminah. Kami sedikit terkejut karena tidak ada siapa-siapa di sana. Ruang tamunya gelap, dan di meja masih tersaji hangat ketupat dan opor ayam. Rasanya percuma ada disini. Ayah lalu mengambil makanan dan berkata akan pulang ke rumah setelah makan.
Ini jelas-jelas lebih absurd dari yang tadi. Aku bilang kalau mau pulang, sekalian saja jemput adik dan ibu, tapi ayah hanya bilang mereka bisa pulang naik angkot atau taksi.
Saat itu, aku sudah merasa kan bahwa semuanya sudah berjalan salah. Impulsku akhirnya mengambil alih akal sehat. Aku memberanikan diri untuk mengutarakan keinginanku untuk kembali ke rumah nenek Sri. Alasannya jelas kan? Belum 30 menit ada disana, aku sudah diseret ke rumah nenek Aminah yang kosong. Apa gunanya disini? Lalu iPodku juga tertinggal.
Ayah kaget, apalagi aku. Tak pernah aku melawan satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Tapi dia membolehkanku untuk pergi sendiri. Dia menyerahkan kunci garasi nenek Aminah dengan ekspresi yang bisa kukatakan mengecewakan. Aku sangat paham dari nada suaranya, ayah tidak menyukai hal ini.
Mesi begitu, aku tetap pergi. Jalan kaki sampai tempat mencegat angkot. Barulah saat ini aku berani mengatakan yang sebenarnya kepada ibu dan adik. Kebetulan, mereka juga ingin pulang.
Satu hal yang cukup lucu dari ayahku, sering kali kami juga merasa sebal antara satu sama lain. Tapi akhirnya, dia menghubungiku dengan nada yang melunak. Dia kesal, tapi disaat yang bersamaan juga pasti membutuhkanku.
Sambil berjalan, aku berpikir. Apakah kali ini dia benar-benar serius? Apakah aku melakukan hal yang tepat? Jawabannya muncul saat teleponku berdering untuk kesekian kalinya. Dia menyuruhku untuk kembali karena kunci garasinya aku bawa.
Rupanya kecerobohanku menyelamatkanku. Tapi, orang macam apa yang meninggalkan kunci rumah menggantung didepan tanpa ada yang menjaga? Aku pun segera kembali. Untung belum terlalu jauh. Dia mengambil kunci itu. Aku bisa melihat dia kesal sekali, tapi tak mengucapkan apapun untuk menggambarkannya. Mungkin kesal dengan ibu, atau aku...
Kubilang saja kalau ayah mau pulang ke rumah, sekalian saja jemput ibu dan adik. Tapi dia diam saja. Kucoba mengkonfrontasi ayah soal hubungannya dengan ibu. Baru kali inilah aku berani menanyakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang tertahan sejak lama. Tapi jawaban dari pertanyaan itu tak tutemukan. Ayah diam saja.
Berbagai tindakan persuasif kucoba tapi percuma saja, ayah tetap diam. Diam hingga kami ada di tengah perjalanan 15 menit kembali ke rumah nenek Sri. Dalam diam ini, aku banyak berpikir. Apa aku membuat keadaannya tambah parah? Apa ini salah? Apa seharusnya aku mematuhi kata-kata ayah dan pulang tanpa memberi kepastian pada ibu dan adik?
Sebelum pikiran itu selesai, kami sudah sampai.
Ayah menyuruhku turun dari mobil.
Aku menuruti perintahnya kali ini dan menutup pintu mobil. Tapi...dia malah pergi. Tidak, tidak mencari tempat parkir di jalan raya. Dia pergi sendirian, meninggalkan aku. Tak punya pilihan lain, aku pergi ke rumah nenek Sri. Memang inilah tujuanku dari awal.
Dan ternyata, aku membuat keputusan tepat meski kenyataannya cukup pahit.
Adikku tengah menunduk memegangi kepalanya, dan kadang bangkit untuk duduk. Aku memegangi jidatnya. Seluruh wajahnya memerah. Ternyata pusingnya kambuh lagi, dan dia tak bawa obatnya. Di rumah nenek Sri hanya ada parasetamol, tapi aku tak terlalu yakin obat itu bisa berguna.
Refleks aku pergi ke luar dan segera menelepon ayah. Pasti dia belum jauh, jadi dia bisa menjemput kami. Tak kusangka jawaban selanjutnya bisa membuatku berubah dari sekedar tidak peduli dengan kata-katanya menjadi marah.
Dia menyuruh kami pulang naik taksi. Padahal aku yakin ayah belum terlalu jauh. Aku coba memaksanya untuk kembali tapi percuma untuk meyakinkan orang yang keras kepala. Ayah malah menyalahkan adik yang memaksa ikut, padahal aku yakin ayah tidak melarangnya pergi bersama kami.
Dan telepon pun ditutup.
Aku tak percaya. Hanya putar balik saja, mungkin tak sampai 10 menit, ayah tak mau. Dan dia lebih memilih untuk pulang. Sebegitu tidak sukanya ayah kepada ibu sampai-sampai adik yang jadi tumbalnya?
Meski mendapat jawaban seperti itu, aku tetap bergerak cepat. Aku segera memberi tahu ibu dan adik, lalu langsung pergi mencari taksi. Memang cukup sulit menemukan taksi kosong di hari raya ini, tapi akhirnya aku mendapatkannya. Dibantu salah satu saudara, kami membawa adik masuk kedalam taksi.
Kuyakinkan sekali lagi bahwa ayah tak menyuruh adik untuk tinggal, dan jawabannya adalah iya.
Selama di jalan, pikiranku tak bisa lepas dari ayah. Kenapa dia melakukan hal itu? Apalagi di hari raya ini. Aku tak habis pikir, jika memang begitu seharusnya sejak awal ayah tidak menyuruh adik untuk ikut. Bahkan menyuruh ibu untuk tinggal dan menjaga adik. Kalau begitu semua jadi beres kan?! Tak usah jadi seperti ini?!
Hari sudah semakin siang dan jalanan semakin ramai. Kota kembali macet seperti sebelum hari raya. Jika tidak cepat-cepat, keadaan adik bisa semakin parah. Beruntunglah kami sampai di rumah setelah satu jam perjalanan. Ibu membawa adik kedalam, sementara aku membayar taksi.
Kami sudah ada di rumah, tapi tak ada mobil ayah. Mungkin dia kesal, lalu memilih kembali ke rumah nenek Aminah.
Di dalam, ibu segera menyiapkan obat untuk adik dan membiarkannya beristirahat. Aku hanya bisa duduk di depan komputer dan tak melakukan apapun. Kejadian pagi tadi sudah cukup membuatku pusing.
Bisa kudengar ibu yang mengomel seperti biasanya. Baginya, hal ini sudah biasa. Dicueki ayah, hingga berhari-hari ditinggal ayah. Dan aku, seperti biasa, tidak peduli. Itu masalah mereka, sepasang suami istri yang dewasa. Merekalah yang harus menyelesaikan masalah yang kekanak-kanakan ini.
Tapi, saat ini aku berdiri di sebuah batas antara daerah bernama apatis dan peduli. Hanya butuh satu langkah saja untuk menentukan siapa yang aku bela.
Lalu, kudengar ibuku menangis. Terakhir kali ibu menangis, adalah ketika aku tidak mau makan wortel saat masih kelas 4 SD. Mungkin saat itu ibu sudah pasrah menyuruhku makan sayur. Tapi kali ini, tangisannya adalah tangisan seorang wanita yang tersakiti.
Bertahun-tahun ibu bersikap kuat, seakan dia bisa menanggung semuanya. Tapi kali ini dia membiarkan semuanya tumpah. Masalahnya, musuhnya, dan membuka semua hal yang tertutupi oleh facade sebuah keluarga normal. Untuk beberapa alasan, aku tak bisa menyebutkan masalah tersebut. Maaf ya.
Aku masih duduk, mendengarkan tangisan ibu dan isakan adik. Waktu untuk mengambil keputusan sudah semakin tipis. Aku tak boleh diam terus. Nyatanya, aku sudah muak.
Jujur saja, ini sudah terjadi sejak lama. Selama aku kost dekat kampus yang masih ada di dalam kota, jarang sekali aku pulang ke rumah. Aku berharap ketika aku kembali, mereka sudah berbaikan. Aku salah. Aku hanya melarikan diri. Menyibukkan diri demi melupakan masalah di dalam rumah sendiri.
Aku berdiri, dan masuk kedalam kamar ibu. Aku tidur disampingnya dan memeluknya.
Mungkin inilah satu-satunya momen keluarga yang benar-benar menyentuh selama beberapa tahun terakhir. Kami membiarkan semuanya tumpah dalam tangisan. Hanya aku yang tak menangis. Mungkin karena sikap apatisku yang telah membuatku seperti ini, atau karena tekadku untuk menjadi lebih baik setelah sering diejek dan menangis ketika SD.
Mungkin inilah rasa sakit yang dirasakan orang dewasa. Berbeda dengan anak kecil yang sering dipukul temannya, orang dewasa lebih tersakiti secara emosional dan psikis. Aku memang masih muda, tapi rasanya terlalu nyata.
Ibu selalu bersikap tangguh, seakan tak terjadi apa-apa. Tapi aku sangat tahu bahwa sebesar apapun peti yang digunakan untuk mengantar apel ke luar negeri, pasti akan pecah dan hancur jika dipaksa memuat lebih banyak apel.
Dalam tangisannya, ibu menarik nafas terlalu kuat. Sama seperti aku ketika marah. Rasanya kepala seperti mau meledak. Itulah bukti bahwa ibu tak sepenuhnya kuat menanggung beban ini. Tak ada tempat baginya untuk lari. Aku sendiri tak tahu apa aku bisa membantu membagi rasa sakitnya, tapi aku mencoba untuk itu...
Adzan dzuhur berkumandang lewat masjid. Meski masih sakit, adik mengajak kami untuk sholat berjamaah dan aku yang menjadi imamnya. Katanya, sholat itu bisa menenangkan jiwa. Memang benar itu, ibu langsung merasa lebih rileks setelah mengambir air wudhu.
Setelah sholat, kami berdoa agar semua masalah ini diberikan kelancarannya. Dan setelah itu, adik dan ibu memutuskan untuk beristirahat. Dan aku...aku tengah menulis diari ini.
Aku memang bukan seseorang yang sangat religius. Jadwal kuliah yang padat telah membuatku melewatkan sholat. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas dan tak menyisihkan waktu untuk membaca Alquran.
Aku yakin ini adalah sebuah ujian. Ujian akibat dari keacuhan dan kelalalianku. Tapi aku juga yakin, ujian ini masih berada dalam jangkauanku. Allah tak memberikan ujian yang tidak mungkin diatasi umat-Nya, itulah yang pernah kudengarkan dalam kajian agama rutin di kampus.
Dengan ditulisnya diari ini, aku berharap sholat dan doa kami diterima oleh Allah. Meski kemampuanku menjadi imam belum seberapa, namun aku mencoba untuk memanjatkan doa setulus mungkin dari hati yang kelam ini.
Aku juga harus menjadi semakin kuat agar bisa menopang adik dan ibu. Aku harap ini tak terjadi, tapi jika saat yang tak diinginkan itu tiba, aku sudah cukup kuat untuk menolong mereka.
Ayah selalu menganggapku sebagai anak kecil. Mungkin karena dulu aku tak suka makan sayur dan senang disuapi, hingga saat ini dia masih meremehkan semua pencapaianku. Dia hanya mau mengakuinya setelah orang lain yang berbicara. Mungkin inilah masalah utamanya. Trust, kepercayaan. Sebuah esensi yang harus ditanamkan kembali dalam hatinya.
Boleh saja ayah mengabaikan aku dan ibu. Tapi tidak dengan adik. Dia masih terlalu muda untuk konflik pahit ini. Menelantarkan anak itu dosa, seperti kata ibuku beberapa menit yang lalu. Jika nanti aku bertemu dengan ayah, aku akan mencak-mencak. Aku tak peduli.
Karena itu, aku akan mencoba melakukan apa yang aku bisa. Aku sudah punya hal-hal yang bisa membantuku, sebagian adalah pemberian dari ayah. Sekarang adalah giliranku agar ayah merasakan sakitnya diserang senjatanya sendiri. Ayah tak tahu kalau aku bisa, tapi aku akan membuktikannya.
“Assalamu’alaikum, pak Azka!”
“Wa’alaikumsalam, bung Rinto.”
Hari ini, aku berdiri di lobi sebuah gedung tiga lantai. Gedung ini disewa oleh Mawar Lestari, sebuah organisasi LSM non-profit yang mengkampanyekan bahaya dari kekerasan dalam rumah tangga. Kami berjabat tangan, lalu duduk untuk membicarakan sesuatu.
“Bagaimana dengan majalahnya?”
“Yah, sama seperti bulan-bulan lalu, cetak seminggu sebelum deadline aja udah syukur.”
Bung Rinto adalah klien rutin percetakan milikku. Kami biasa mendapatkan orderan pamphlet dan brosur darinya. Aslinya sih kami adalah kontraktor untuk sebuah majalah ibu dan anak, tapi aku mencoba berinvestasi ke bisnis percetakan on demand. Saat itulah aku bertemu dengan Rinto yang menawarkan sebuah proyek. Anehnya, hingga saat ini Rinto mengira perusahaanku adalah bagian dari majalah ibu dan anak tersebut. Mungkin dia juga mengira aku sebagai pemimpin redaksinya kali ya?
“Hari ini juga mau melakukan donasi?”
“Iya.”
Aku mengeluarkan sebuah cek yang nilainya tak seberapa.
“Ah, terima kasih pak Azka untuk donasi bulan ini. Meski kecil, pasti uang ini akan sangat berguna.”
“Setidaknya aku bersyukur karena uang itu bermanfaat untuk kalian.”
20 tahun yang lalu, aku masih ingat ketika aku akan membuktikan kemandirianku didepan ayah. Perjalanan untuk itu memang panjang, butuh 15 tahun untuk mencapainya.
Sayangnya, tidak dengan kehidupan ayah dan ibu. Ibu meninggal setelah aku lulus S1, dan ayah menyusul 4 tahun kemudian setelah aku diterima sebagai layouter full-time di sebuah majalah musik.
Ironisnya, mereka tak sempat berbaikan.
Rumah tangga ini benar-benar tak memiliki cinta lagi, namun mereka tetap tinggal di satu atap. Aku sudah mencoba berbagai cara agar ayah dan ibu setidaknya mau bertukar sepatah kata, tapi percuma saja. Ayah tak mau, dan ibu tak berani. Kalau begitu, kenapa dipertahankan?
Ketika ibu dimakamkan, ayah tidak ikut serta. Tapi itu tak serta merta membuatnya lebih baik. Justru keadaannya menyedihkan setelah ibu pergi. Ayah kena penyakit komplikasi karena sering merokok. Praktis hidupnya bergantung pada alat-alat medis berharga mahal.
Suatu hari dia pernah berkata padaku, bahwa dia tak menyesali apa yang sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Mendengar itu, aku marah sekali. Bagaimana tidak? Semua usaha berubah jadi abu dalam sekejap. Prestasi belajar adik jadi tidak sebagus dahulu karena dia minder, begitu pula denganku. Setelah semua itu, dia bilang tidak menyesal?!
Ingin sekali aku mencabut semua selang infus dan mematikan semua alat-alat yang singkatnya adalah sebuah ruh berwujud fisik. Tapi...dia masih ayahku. Tak mungkin aku melakukan itu kepada ayahku sendiri. Meski keduanya bermusuhan, aku tetap mencintai orang tuaku sendiri.
Yang bisa kulakukan saat itu hanya pergi dari ruangan rumah sakitnya sambil mendenguskan satu kalimat: “Terserah ayah saja.”, dan aku tak pernah mengunjungi dia lagi.
Satu minggu kemudian, dia meninggal di rumah sakit. Tak ada yang menemani karena adik juga merasakan hal yang sama. Ketika aku tiba di rumah sakit, suster mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu ayah terus menerus menggumamkan kata “Maaf...”
Tapi aku tahu itu sudah terlambat.
Dan aku, tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya sudah selesai, bahkan sebelum aku mendapat kesempatan.
Aku sudah menikah dengan perempuan yang sangat baik. Resepsinya sudah cukup lama, jauh setelah berpulangnya ayah dan ibu. Aku berusaha mengikuti pesan ibu untuk menjaga istriku sebaik-baiknya dan tak menyakiti hati kecilnya. Sekarang, kami dikaruniai tiga anak yang lucu. Meski sibuk di percetakan, aku masih menyempatkan diri untuk pulang ke rumah.
Sementara adikku, Rayi, dia sudah bekerja di sebuah rumah produksi game. Dia masih tinggal bersamaku di rumah yang baru, tapi sebentar lagi dia akan menikah. Calon istrinya sangat cantik, dan hatinya juga lembut.
Pertemuanku dengan Rinto seakan menjadi jawaban atas misi yang belum aku selesaikan. Organisasi Mawar Lestari bisa menjadi sebuah jalan bagiku agar kejadian yang terjadi pada ayah dan ibu tak terulang lagi di tempat lain. Sebuah usaha yang bisa dibilang percuma, memang. Tapi inilah jalan untukku untuk menyelesaikan apa yang aku mulai.
“Yah, aku harus pergi. Ada proyek yang harus aku awasi.”
“Sekali lagi terima kasih pak Azka!”
“Oh iya!”
Aku hampir saja melupakan sesuatu. Aku mengambil sebuah buku kecil yang kovernya lusuh, lalu meletakkannya di meja Rinto.
“Ini buku apa ya?”
“Ambil saja. Ini buku diariku yang lama. Aku menemukannya hari Sabtu kemarin di gudang rumahku yang lama.”
“Oh, rumah yang mau dijual itu ya?”
“Iya. Aku membacanya seharian, dan ada banyak sekali kenangan di dalamnya. Tapi lebih baik kamu yang memilikinya. Kamu boleh membacanya kok.”
“Pak Azka kenapa tiba-tiba memberikan saya buku ini?”
Aku hanya berjalan santai ke pintu. Sebelum pergi, aku mengatakan ini:
“Itulah alasan saya hadir setiap bulannya di kantor ini. Wassalamu’alaikum.”
Dari luar, kelihatannya keluarga kami adalah keluarga yang bahagia. Tetangga melihat ayah dan ibu rukun-rukun saja. Teman-teman disekitar rumah juga memandang aku dan adikku sebagai saudara yang akur.
Tapi sebenarnya, ayah dan ibu tengah terlibat “perang dingin”. Sudah berkali-kali mereka tidak saling berbicara. Memandang lurus saja rasanya enggan. Aku tak tahu apa masalah mereka. Bahkan, aku tak peduli. Berkali-kali mereka saling menghiraukan, dan telah berkali-kali juga mereka bermaafan. Setelah itu, kembali legi ke nol.
Menurutku, masalah ini adalah masalah ayah dan ibu. Aku tak punya hak untuk mencampurinya. Lala-lama, aku membiarkan mereka. Karena aku pikir, toh mereka akan berbaikan juga.
Tapi kali itu, diam bukan lagi sebuah pilihan.
***
Suasana Idul Fitri di komplek ini tak berubah dari tahun ke tahun. Semua orang sudah terbiasa bersilaturahim selepas shalat dan ceramah. Bersalam-salaman dan beramah-tamah dengan tetangga.
Hari ini juga kami ikut shalat di lapangan masjid komplek. Bedanya, hari raya kali ini terasa sepi karena adik sedang sakit. Ayah dan ibu masih saja keras kepala dengan “perang dingin”-nya, dan aku...tetap diam. Mereka berdua pulang dalam waktu berbeda, dan aku sendiri ikut dengan ayah.
Setelah sampai di rumah, aku segera mencari adikku. Dia ada di kamarnya. Sepertinya tidurnya nyenyak sekali sehingga dia terlihat cukup bugar. Layaknya saudara sedarah, kami berpelukan sangat erat sehingga kami hampir terjatuh. Setelah itu, kami turun ke bawah dan bersalaman juga dengan ayah. Ibu belum sampai di rumah. Dan ketika ibu datang, kami juga berpelukan. Saling memaafkan kesalahan masing-masing.
Tapi ayah...dia tak bersalaman dengan ibu. Aku merasa tidak enak. Tak biasanya mereka bertingkah seperti ini.
Biasanya tradisi kami setelah itu adalah makan ketupat dengan opor ayam dan gulai sapi, sama seperti keluarga lainnya, tapi aku tak yakin dengan bagian gulai sapinya. Tetapi, lagi-lagi aku merasakan sesuatu yang janggal ketika ayah menyalakan mobilnya.
Tak biasanya kami pergi mengunjungi sanak saudara sebelum menyelesaikan makan di rumah. Tapi, kami tak berkata apa-apa. Kami ikut kedalam mobil. Ayah tak berkomentar tentang ibu, ataupun adik. Tidak satu kata pun.
Famili kami semua berdomisili di kota, jadi konsep mudik dalam keluarga kami hampir sama dengan jalan-jalan dalam kota. Perjalanan ke rumah nenek dari pihak ibu hanya makan waktu 30 menit. Begitu sampai, aku merasa lega bisa bertemu dengan saudara sebaya yang sudah lama tidak kutemui karena kesibukan kuliah dan proyek kemahasiswaan lainnya. Ibu juga kelihatan senang bisa menemui nenek Sri; ibunya yang kini hanya bisa terkulai di ranjang akibat penyakit stroke.
Suatu waktu setelah makan, aku duduk bersama ayah, membicarakan tentang konsepsi ziarah ke makam di hari raya. Tiba-tiba, dia berdiri. Katanya ayah ingin cari minuman. Aneh, padahal di dalam ada banyak minuman. Tapi dia bersikeras. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang. Tapi aku semakin curiga karena dia malah pergi ke arah mobil. Aku sudah memberitahunya kalau warung ada di sisi lain, tapi dia tak mendengarkanku. Aku hanya bisa mematuhi kata-katanya seperti seorang pegawai.
Ketika kutanya, dengan nada lurus dia berkata akan pergi ke rumah nenek Aminah, atau dalam kata lain adalah ibunya ayah. Ini jelas-jelas absurd, karena ibu dan adik masih ada di rumah nenek Sri, dan aku juga sadar kalau iPodku tertinggal disana. Aku ingin protes, tapi aku takut. Ayah bukan orang yang main-main jika marah. Maka sepanjang perjalanan, aku diam saja. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Sepanjang perjalanan, adik dan ibuku mengirim SMS, menanyakan dimana aku dan ayah. Tapi aku hanya menjawabnya dengan alasan yang juga ayah gunakan: cari minum. Dalam hati, aku ingin sekali menjawab yang sebenarnya.
15 menit perjalanan, dan akhirnya kami sampai di rumah nenek Aminah. Kami sedikit terkejut karena tidak ada siapa-siapa di sana. Ruang tamunya gelap, dan di meja masih tersaji hangat ketupat dan opor ayam. Rasanya percuma ada disini. Ayah lalu mengambil makanan dan berkata akan pulang ke rumah setelah makan.
Ini jelas-jelas lebih absurd dari yang tadi. Aku bilang kalau mau pulang, sekalian saja jemput adik dan ibu, tapi ayah hanya bilang mereka bisa pulang naik angkot atau taksi.
Saat itu, aku sudah merasa kan bahwa semuanya sudah berjalan salah. Impulsku akhirnya mengambil alih akal sehat. Aku memberanikan diri untuk mengutarakan keinginanku untuk kembali ke rumah nenek Sri. Alasannya jelas kan? Belum 30 menit ada disana, aku sudah diseret ke rumah nenek Aminah yang kosong. Apa gunanya disini? Lalu iPodku juga tertinggal.
Ayah kaget, apalagi aku. Tak pernah aku melawan satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Tapi dia membolehkanku untuk pergi sendiri. Dia menyerahkan kunci garasi nenek Aminah dengan ekspresi yang bisa kukatakan mengecewakan. Aku sangat paham dari nada suaranya, ayah tidak menyukai hal ini.
Mesi begitu, aku tetap pergi. Jalan kaki sampai tempat mencegat angkot. Barulah saat ini aku berani mengatakan yang sebenarnya kepada ibu dan adik. Kebetulan, mereka juga ingin pulang.
Satu hal yang cukup lucu dari ayahku, sering kali kami juga merasa sebal antara satu sama lain. Tapi akhirnya, dia menghubungiku dengan nada yang melunak. Dia kesal, tapi disaat yang bersamaan juga pasti membutuhkanku.
Sambil berjalan, aku berpikir. Apakah kali ini dia benar-benar serius? Apakah aku melakukan hal yang tepat? Jawabannya muncul saat teleponku berdering untuk kesekian kalinya. Dia menyuruhku untuk kembali karena kunci garasinya aku bawa.
Rupanya kecerobohanku menyelamatkanku. Tapi, orang macam apa yang meninggalkan kunci rumah menggantung didepan tanpa ada yang menjaga? Aku pun segera kembali. Untung belum terlalu jauh. Dia mengambil kunci itu. Aku bisa melihat dia kesal sekali, tapi tak mengucapkan apapun untuk menggambarkannya. Mungkin kesal dengan ibu, atau aku...
Kubilang saja kalau ayah mau pulang ke rumah, sekalian saja jemput ibu dan adik. Tapi dia diam saja. Kucoba mengkonfrontasi ayah soal hubungannya dengan ibu. Baru kali inilah aku berani menanyakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang tertahan sejak lama. Tapi jawaban dari pertanyaan itu tak tutemukan. Ayah diam saja.
Berbagai tindakan persuasif kucoba tapi percuma saja, ayah tetap diam. Diam hingga kami ada di tengah perjalanan 15 menit kembali ke rumah nenek Sri. Dalam diam ini, aku banyak berpikir. Apa aku membuat keadaannya tambah parah? Apa ini salah? Apa seharusnya aku mematuhi kata-kata ayah dan pulang tanpa memberi kepastian pada ibu dan adik?
Sebelum pikiran itu selesai, kami sudah sampai.
Ayah menyuruhku turun dari mobil.
Aku menuruti perintahnya kali ini dan menutup pintu mobil. Tapi...dia malah pergi. Tidak, tidak mencari tempat parkir di jalan raya. Dia pergi sendirian, meninggalkan aku. Tak punya pilihan lain, aku pergi ke rumah nenek Sri. Memang inilah tujuanku dari awal.
Dan ternyata, aku membuat keputusan tepat meski kenyataannya cukup pahit.
Adikku tengah menunduk memegangi kepalanya, dan kadang bangkit untuk duduk. Aku memegangi jidatnya. Seluruh wajahnya memerah. Ternyata pusingnya kambuh lagi, dan dia tak bawa obatnya. Di rumah nenek Sri hanya ada parasetamol, tapi aku tak terlalu yakin obat itu bisa berguna.
Refleks aku pergi ke luar dan segera menelepon ayah. Pasti dia belum jauh, jadi dia bisa menjemput kami. Tak kusangka jawaban selanjutnya bisa membuatku berubah dari sekedar tidak peduli dengan kata-katanya menjadi marah.
Dia menyuruh kami pulang naik taksi. Padahal aku yakin ayah belum terlalu jauh. Aku coba memaksanya untuk kembali tapi percuma untuk meyakinkan orang yang keras kepala. Ayah malah menyalahkan adik yang memaksa ikut, padahal aku yakin ayah tidak melarangnya pergi bersama kami.
Dan telepon pun ditutup.
Aku tak percaya. Hanya putar balik saja, mungkin tak sampai 10 menit, ayah tak mau. Dan dia lebih memilih untuk pulang. Sebegitu tidak sukanya ayah kepada ibu sampai-sampai adik yang jadi tumbalnya?
Meski mendapat jawaban seperti itu, aku tetap bergerak cepat. Aku segera memberi tahu ibu dan adik, lalu langsung pergi mencari taksi. Memang cukup sulit menemukan taksi kosong di hari raya ini, tapi akhirnya aku mendapatkannya. Dibantu salah satu saudara, kami membawa adik masuk kedalam taksi.
Kuyakinkan sekali lagi bahwa ayah tak menyuruh adik untuk tinggal, dan jawabannya adalah iya.
Selama di jalan, pikiranku tak bisa lepas dari ayah. Kenapa dia melakukan hal itu? Apalagi di hari raya ini. Aku tak habis pikir, jika memang begitu seharusnya sejak awal ayah tidak menyuruh adik untuk ikut. Bahkan menyuruh ibu untuk tinggal dan menjaga adik. Kalau begitu semua jadi beres kan?! Tak usah jadi seperti ini?!
Hari sudah semakin siang dan jalanan semakin ramai. Kota kembali macet seperti sebelum hari raya. Jika tidak cepat-cepat, keadaan adik bisa semakin parah. Beruntunglah kami sampai di rumah setelah satu jam perjalanan. Ibu membawa adik kedalam, sementara aku membayar taksi.
Kami sudah ada di rumah, tapi tak ada mobil ayah. Mungkin dia kesal, lalu memilih kembali ke rumah nenek Aminah.
Di dalam, ibu segera menyiapkan obat untuk adik dan membiarkannya beristirahat. Aku hanya bisa duduk di depan komputer dan tak melakukan apapun. Kejadian pagi tadi sudah cukup membuatku pusing.
Bisa kudengar ibu yang mengomel seperti biasanya. Baginya, hal ini sudah biasa. Dicueki ayah, hingga berhari-hari ditinggal ayah. Dan aku, seperti biasa, tidak peduli. Itu masalah mereka, sepasang suami istri yang dewasa. Merekalah yang harus menyelesaikan masalah yang kekanak-kanakan ini.
Tapi, saat ini aku berdiri di sebuah batas antara daerah bernama apatis dan peduli. Hanya butuh satu langkah saja untuk menentukan siapa yang aku bela.
Lalu, kudengar ibuku menangis. Terakhir kali ibu menangis, adalah ketika aku tidak mau makan wortel saat masih kelas 4 SD. Mungkin saat itu ibu sudah pasrah menyuruhku makan sayur. Tapi kali ini, tangisannya adalah tangisan seorang wanita yang tersakiti.
Bertahun-tahun ibu bersikap kuat, seakan dia bisa menanggung semuanya. Tapi kali ini dia membiarkan semuanya tumpah. Masalahnya, musuhnya, dan membuka semua hal yang tertutupi oleh facade sebuah keluarga normal. Untuk beberapa alasan, aku tak bisa menyebutkan masalah tersebut. Maaf ya.
Aku masih duduk, mendengarkan tangisan ibu dan isakan adik. Waktu untuk mengambil keputusan sudah semakin tipis. Aku tak boleh diam terus. Nyatanya, aku sudah muak.
Jujur saja, ini sudah terjadi sejak lama. Selama aku kost dekat kampus yang masih ada di dalam kota, jarang sekali aku pulang ke rumah. Aku berharap ketika aku kembali, mereka sudah berbaikan. Aku salah. Aku hanya melarikan diri. Menyibukkan diri demi melupakan masalah di dalam rumah sendiri.
Aku berdiri, dan masuk kedalam kamar ibu. Aku tidur disampingnya dan memeluknya.
Mungkin inilah satu-satunya momen keluarga yang benar-benar menyentuh selama beberapa tahun terakhir. Kami membiarkan semuanya tumpah dalam tangisan. Hanya aku yang tak menangis. Mungkin karena sikap apatisku yang telah membuatku seperti ini, atau karena tekadku untuk menjadi lebih baik setelah sering diejek dan menangis ketika SD.
Mungkin inilah rasa sakit yang dirasakan orang dewasa. Berbeda dengan anak kecil yang sering dipukul temannya, orang dewasa lebih tersakiti secara emosional dan psikis. Aku memang masih muda, tapi rasanya terlalu nyata.
Ibu selalu bersikap tangguh, seakan tak terjadi apa-apa. Tapi aku sangat tahu bahwa sebesar apapun peti yang digunakan untuk mengantar apel ke luar negeri, pasti akan pecah dan hancur jika dipaksa memuat lebih banyak apel.
Dalam tangisannya, ibu menarik nafas terlalu kuat. Sama seperti aku ketika marah. Rasanya kepala seperti mau meledak. Itulah bukti bahwa ibu tak sepenuhnya kuat menanggung beban ini. Tak ada tempat baginya untuk lari. Aku sendiri tak tahu apa aku bisa membantu membagi rasa sakitnya, tapi aku mencoba untuk itu...
Adzan dzuhur berkumandang lewat masjid. Meski masih sakit, adik mengajak kami untuk sholat berjamaah dan aku yang menjadi imamnya. Katanya, sholat itu bisa menenangkan jiwa. Memang benar itu, ibu langsung merasa lebih rileks setelah mengambir air wudhu.
Setelah sholat, kami berdoa agar semua masalah ini diberikan kelancarannya. Dan setelah itu, adik dan ibu memutuskan untuk beristirahat. Dan aku...aku tengah menulis diari ini.
Aku memang bukan seseorang yang sangat religius. Jadwal kuliah yang padat telah membuatku melewatkan sholat. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas dan tak menyisihkan waktu untuk membaca Alquran.
Aku yakin ini adalah sebuah ujian. Ujian akibat dari keacuhan dan kelalalianku. Tapi aku juga yakin, ujian ini masih berada dalam jangkauanku. Allah tak memberikan ujian yang tidak mungkin diatasi umat-Nya, itulah yang pernah kudengarkan dalam kajian agama rutin di kampus.
Dengan ditulisnya diari ini, aku berharap sholat dan doa kami diterima oleh Allah. Meski kemampuanku menjadi imam belum seberapa, namun aku mencoba untuk memanjatkan doa setulus mungkin dari hati yang kelam ini.
Aku juga harus menjadi semakin kuat agar bisa menopang adik dan ibu. Aku harap ini tak terjadi, tapi jika saat yang tak diinginkan itu tiba, aku sudah cukup kuat untuk menolong mereka.
Ayah selalu menganggapku sebagai anak kecil. Mungkin karena dulu aku tak suka makan sayur dan senang disuapi, hingga saat ini dia masih meremehkan semua pencapaianku. Dia hanya mau mengakuinya setelah orang lain yang berbicara. Mungkin inilah masalah utamanya. Trust, kepercayaan. Sebuah esensi yang harus ditanamkan kembali dalam hatinya.
Boleh saja ayah mengabaikan aku dan ibu. Tapi tidak dengan adik. Dia masih terlalu muda untuk konflik pahit ini. Menelantarkan anak itu dosa, seperti kata ibuku beberapa menit yang lalu. Jika nanti aku bertemu dengan ayah, aku akan mencak-mencak. Aku tak peduli.
Karena itu, aku akan mencoba melakukan apa yang aku bisa. Aku sudah punya hal-hal yang bisa membantuku, sebagian adalah pemberian dari ayah. Sekarang adalah giliranku agar ayah merasakan sakitnya diserang senjatanya sendiri. Ayah tak tahu kalau aku bisa, tapi aku akan membuktikannya.
***
“Assalamu’alaikum, pak Azka!”
“Wa’alaikumsalam, bung Rinto.”
Hari ini, aku berdiri di lobi sebuah gedung tiga lantai. Gedung ini disewa oleh Mawar Lestari, sebuah organisasi LSM non-profit yang mengkampanyekan bahaya dari kekerasan dalam rumah tangga. Kami berjabat tangan, lalu duduk untuk membicarakan sesuatu.
“Bagaimana dengan majalahnya?”
“Yah, sama seperti bulan-bulan lalu, cetak seminggu sebelum deadline aja udah syukur.”
Bung Rinto adalah klien rutin percetakan milikku. Kami biasa mendapatkan orderan pamphlet dan brosur darinya. Aslinya sih kami adalah kontraktor untuk sebuah majalah ibu dan anak, tapi aku mencoba berinvestasi ke bisnis percetakan on demand. Saat itulah aku bertemu dengan Rinto yang menawarkan sebuah proyek. Anehnya, hingga saat ini Rinto mengira perusahaanku adalah bagian dari majalah ibu dan anak tersebut. Mungkin dia juga mengira aku sebagai pemimpin redaksinya kali ya?
“Hari ini juga mau melakukan donasi?”
“Iya.”
Aku mengeluarkan sebuah cek yang nilainya tak seberapa.
“Ah, terima kasih pak Azka untuk donasi bulan ini. Meski kecil, pasti uang ini akan sangat berguna.”
“Setidaknya aku bersyukur karena uang itu bermanfaat untuk kalian.”
20 tahun yang lalu, aku masih ingat ketika aku akan membuktikan kemandirianku didepan ayah. Perjalanan untuk itu memang panjang, butuh 15 tahun untuk mencapainya.
Sayangnya, tidak dengan kehidupan ayah dan ibu. Ibu meninggal setelah aku lulus S1, dan ayah menyusul 4 tahun kemudian setelah aku diterima sebagai layouter full-time di sebuah majalah musik.
Ironisnya, mereka tak sempat berbaikan.
Rumah tangga ini benar-benar tak memiliki cinta lagi, namun mereka tetap tinggal di satu atap. Aku sudah mencoba berbagai cara agar ayah dan ibu setidaknya mau bertukar sepatah kata, tapi percuma saja. Ayah tak mau, dan ibu tak berani. Kalau begitu, kenapa dipertahankan?
Ketika ibu dimakamkan, ayah tidak ikut serta. Tapi itu tak serta merta membuatnya lebih baik. Justru keadaannya menyedihkan setelah ibu pergi. Ayah kena penyakit komplikasi karena sering merokok. Praktis hidupnya bergantung pada alat-alat medis berharga mahal.
Suatu hari dia pernah berkata padaku, bahwa dia tak menyesali apa yang sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Mendengar itu, aku marah sekali. Bagaimana tidak? Semua usaha berubah jadi abu dalam sekejap. Prestasi belajar adik jadi tidak sebagus dahulu karena dia minder, begitu pula denganku. Setelah semua itu, dia bilang tidak menyesal?!
Ingin sekali aku mencabut semua selang infus dan mematikan semua alat-alat yang singkatnya adalah sebuah ruh berwujud fisik. Tapi...dia masih ayahku. Tak mungkin aku melakukan itu kepada ayahku sendiri. Meski keduanya bermusuhan, aku tetap mencintai orang tuaku sendiri.
Yang bisa kulakukan saat itu hanya pergi dari ruangan rumah sakitnya sambil mendenguskan satu kalimat: “Terserah ayah saja.”, dan aku tak pernah mengunjungi dia lagi.
Satu minggu kemudian, dia meninggal di rumah sakit. Tak ada yang menemani karena adik juga merasakan hal yang sama. Ketika aku tiba di rumah sakit, suster mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu ayah terus menerus menggumamkan kata “Maaf...”
Tapi aku tahu itu sudah terlambat.
Dan aku, tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya sudah selesai, bahkan sebelum aku mendapat kesempatan.
Aku sudah menikah dengan perempuan yang sangat baik. Resepsinya sudah cukup lama, jauh setelah berpulangnya ayah dan ibu. Aku berusaha mengikuti pesan ibu untuk menjaga istriku sebaik-baiknya dan tak menyakiti hati kecilnya. Sekarang, kami dikaruniai tiga anak yang lucu. Meski sibuk di percetakan, aku masih menyempatkan diri untuk pulang ke rumah.
Sementara adikku, Rayi, dia sudah bekerja di sebuah rumah produksi game. Dia masih tinggal bersamaku di rumah yang baru, tapi sebentar lagi dia akan menikah. Calon istrinya sangat cantik, dan hatinya juga lembut.
Pertemuanku dengan Rinto seakan menjadi jawaban atas misi yang belum aku selesaikan. Organisasi Mawar Lestari bisa menjadi sebuah jalan bagiku agar kejadian yang terjadi pada ayah dan ibu tak terulang lagi di tempat lain. Sebuah usaha yang bisa dibilang percuma, memang. Tapi inilah jalan untukku untuk menyelesaikan apa yang aku mulai.
“Yah, aku harus pergi. Ada proyek yang harus aku awasi.”
“Sekali lagi terima kasih pak Azka!”
“Oh iya!”
Aku hampir saja melupakan sesuatu. Aku mengambil sebuah buku kecil yang kovernya lusuh, lalu meletakkannya di meja Rinto.
“Ini buku apa ya?”
“Ambil saja. Ini buku diariku yang lama. Aku menemukannya hari Sabtu kemarin di gudang rumahku yang lama.”
“Oh, rumah yang mau dijual itu ya?”
“Iya. Aku membacanya seharian, dan ada banyak sekali kenangan di dalamnya. Tapi lebih baik kamu yang memilikinya. Kamu boleh membacanya kok.”
“Pak Azka kenapa tiba-tiba memberikan saya buku ini?”
Aku hanya berjalan santai ke pintu. Sebelum pergi, aku mengatakan ini:
“Itulah alasan saya hadir setiap bulannya di kantor ini. Wassalamu’alaikum.”
Diubah oleh mca_trane 08-08-2013 11:43
0
1.2K
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•261Anggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru