TS
st_illumina
[One-Shot] Matarmaja dan VW Kodok
Spoiler for 1:
Hari telah larut malam.
Kereta ekonomi Matarmaja berhenti di tengah pegunungan dalam rute regularnya, dari Jakarta menuju Malang. Jam telah menunjukkan pukul 10 malam.
Di dekat tempat itu tidak ada stasiun. Kota terdekat jaraknya masih puluhan kilometer. Alasan kenapa Matarmaja berhenti adalah untuk memberi jalan pada Kereta Ekslusif dengan jalur yang sama, Gajahyana. Seperti itulah takdir kereta ekonomi. Takdir rakyat kecil. Harus memberi jalan kepada mereka yang punya sedikit lebih banyak uang.
Tapi Christie tidak memperdulikan hal itu. Christie termenung, menatap kegelapan malam. Kini hutan-hutan semakin jarang menghiasi jalur kereta api, di gantikan daerah perindustrian, perumahan, atau sekedar lahan pertanian.
Bagi Christie, naik kereta kelas ekonomi adalah pilihan yang sebenarnya tidak ingin ia ambil. Kalau kota tujuannya ada bandara, dia akan naik pesawat terbang. Kalaupun tidak, dia akan naik kereta ekslusif atau setidaknya kelas bisnis.
Tapi kali ini Christie tidak punya pilihan. Mencari sebuah tiket ke daerah seminggu sebelum lebaran adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Mungkin bisa di katakan sebuah keajaiban bagi Christie ada orang yang memiliki urusan mendadak sehingga ia membatalkan tiketnya dan memberikan sebuah kursi kosong bagi Christie, walau itu kereta kelas ekonomi.
Rasanya baru tadi pagi Christie berangkat kantor seperti biasa, bekerja hingga sore dan pulang pukul lima. Hari ini tidak ada yang spesial, kecuali satu pesan singkat. Dari abangnya di kampung.
“Layla, pulanglah, ayah sakit keras. Setiap malam dia terus membisikkan namamu. Kami tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan.”
Sudah bertahun-tahun dia tidak mendengar kabar dari rumah. Dari keluarganya, yang rasanya telah menganggap dia anak durhaka. Pergi dari rumah, menikah dengan ekspatriat dan menghianati iman yang diwarisinya dari orang tuanya. Dan sudah lama pula orang-orang tidak memanggilnya dengan nama itu.
Dan kalau bisa, dia tidak ingin berurusan lagi. Dia tidak ingin membuka luka lama. Dia tidak ingin mengingat-ingat lagi kejadian yang paling berat kedua setelah kepergian ibunya.
Tapi, kini ayahnya sekarat. Dan ayahnya memanggil dia. Anak macam apa yang tidak mengabulkan permohonan orang tuanya yang mungkin akan menghadapi akhir kehidupannya?
Maka Christie segera beranjak, berkemas baju seadanya, dan mempersiapkan keberangkatan ke Kertosono. Dia menghubungi teman-teman lamanya mencari apakah masih ada tiket pesawat yang kosong ke Surabaya. Tapi nihil. Pilihan berikutnya adalah kereta api. Tapi semua tiket kelas ekslusif dan ekonomi telah habis untuk seminggu kedepan. Kalau tidak karena sebuah keberuntungan dan kemujuran, atau mungkin kehendak Tuhan, dia tidak akan berada di atas kereta malam ini.
Dan kini, dia berada puluhan kilometer dari tempat tinggalnya di Jakarta, di tengah hutan yang nyaris tanpa lampu jalan.
Telah lama sekali, sejak saat itu, pikir Christie dalam hatinya. Kereta Matarmaja ini telah puluhan tahun melayani jalur utama yang menghubungkan Jakarta dengan bagian paling timur Jawa. Dan angannya mundur ke belasan tahun lalu. Saat pertama kali ia naik kereta api ini. Kereta yang sama. Perjalanan liburan bersama Ayahnya, ke Jakarta.
---
Bagi Layla kecil, sebuah kereta api adalah keajaiban di luar nalarnya. Bagaimana mesin besar dan panjang itu bisa bergerak dengan cepat begitu membuatnya kagum. Merah, dan membara. Bagi gadis itu, kereta api yang selama ini hanya dikenalnya melalui lagu anak-anak yang di nyanyikan bersama sewaktu TK kini mewujud menjadi sebuah raksasa yang kuat, tetapi tenang dan memberikan rasa aman, atau setidaknya itulah yang ada di benak Layla.
“Ayah, ayah, kita naik itu kan? Naik kereta api yang besar kan?” kata Layla dengan semangat.
“Iya, sayang. Ayo ikut abang-abangmu naik.”
“Ke Jakarta kan yah? Ke Dufan, ke Monas, ke Taman Mini kan?” Layla menyebut tempat-tempat yang menempati daftar teratas tempat yang paling ingin dia kunjungi di Jakarta.
“Iya, iya,” ayahnya mengiyakan pertanyaan semangat anak bungsunya itu, “ayo masuk, sini ayah bantu,” kata pria itu sambil mengangkat tubuh sang gadis kecil agar bisa lebih mudah menapak tangga masuk pintu kereta.
Perjalanan dari Kertosono ke Jakarta adalah perjalanan yang penuh keajaiban bagi Layla waktu itu.
Orang-orang dengan berbagai penampilan dan sikap di temuinya di dalam kereta. Tua, muda, laki-laki, perempuan, dari berbagai suku di Nusantara seolah berkumpul di dalam perut raksasa.
Setiap menit selalu saja ada suara-suara yang menarik perhatian sang gadis. Dari penjual nasi pecel, penjual air minum, penjual gorengan, koran, sampai kondektur yang mengambil tiket dan menandai tiket mereka.
Ketika susana mulai tenang dan kereta perlahan berangkat di sertai suara lantang sirine, benak Layla semakin dibuat kagum.
Pemandangan hijau membentang sepanjang mata memandang. Sawah-sawah dan pepohonan silih berganti menemaninya di pinggir jendela kereta yang sedikit terbuka agar semilir angin bisa mendinginkan suasana kereta yang tidak di lengkapi pendingin ruangan itu.
Bagi Layla, setiap hembusan angin membawakan kisah yang tak terkatakan oleh bahasa manusia. Setiap rumput yang bergoyang menarikan tarian alam. Gunung yang kokoh di ujung cakrawala adalah raksasa yang menjaga kedamaian.
Dan kereta ini, Matarmaja, sang raksasa merah, adalah monster baik hati yang akan melindunginya sampai nanti dia tiba ke pusat peradaban, Jakarta.
---
“Nasi pecelnya bu, nasi pecel,” suara pedagang berkeliaran di gerbong kereta yang sempit membangunkan Christie dari lamunan setengah tidurnya.
Perutnya keroncongan. Baru sadar, dia belum ada memasukkan sesuatu dari mulutnya sama sekali sejak tadi sore.
Dia memanggil pedagang nasi pecel itu, yang entah dari mana masuknya, dan meminta sebungkus nasi pecel.
“Nasi pecelnya bu, masih hangat, nasi pecelnya.”
“Berapa satu bungkus bi?” kata Christie kepada pedagang itu.
“Lima ribu saja bu.”
Lima ribu? Murahnya. Bahkan harga air mineral di kantin kantornya lebih mahal dari itu, pikir Christie.
“Ini, bi,” kata Christie menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.
“Iya, bu, ini nasi pecelnya,” dia menyerahkan sebungkus nasi pecel, lalu membuka kantong dompetnya yang lusuh berisi lembar-lembaran seribu rupiah sudah tak berbentuk lagi.
“Ga usah bi, ambil saja kembaliannya.”
“Ga bisa gitu bu. Ga enak saya jadinya. Saya jual dengan harga lima ribu, jadi saya ga berhak atas uang ibu yang lima ribu lagi,” jawaban sang bibi penjual nasi pecel menghenyakkan benak Crhistie. Di saat pedagang biasanya langsung mengambil dengan ucapan terima kasih, ibu ini masih mempertahankan prinsipnya berdagang dengan tidak ingin mengambil keuntungan lebih dari pembelinya.
“Udah, untuk bibi saja.”
“Tidak usah bu. Ga enak saya.”
“Saya iklas kok.”
“Saya juga iklas bu. Ini kembaliannya,” kata bibi itu menyerahkan lima lembar uang seribuan.
“Yaudah gini saja, saya ambil satu lagi, jadi saya beli dua, ibu ga usah mengembalikan uang saya,” kata Christie memberikan penawaran.
Si bibi penjual nasi pecel berpikir beberapa saat.
“Iya deh. Ibu ini keras kepala. Ini nasi pecelnya satu lagi bu.”
“Bibi juga sama-sama keras kepalanya,” kata Christie membalas.
Dia mengambil satu bungkus nasi pecel lagi. Sang bibi mengucapkan terima kasih dengan begitu tulus, lalu berlanjut. Menjajakan jualannya.
“Nasi pecel, nasi pecelnya bu, nasi pecelnya pak,” suara itu terdengar semakin jauh.
Sekarang apa yang harus Christie lakukan dengan nasi pecel satu lagi.
“Bu, ibu? Sudah makan malam belum?” Christie mencoba membangunkan teman seperjalanannya yang duduk di hadapannya dengan lembut. Seorang ibu yang membawa anaknya serta barang bawaan yang sangat banyak.
“Ah, kenapa mbak?” ibu tersebut masih setengah terbangun.
“Ini, saya beli nasi pecel tadi, ibu mau?”
“Ah, ada penjual nasi pecel yang lewat ya,” sang ibu tampak melihat ke arah dimana sang penjual nasi pecel pergi. Sepertinya bibi tadi sudah pergi ke gerbong lain.
“Udah, ini saya beli dua untuk ibu.”
“Ah, makasih mbak,” sang ibu mengambil sebungkus nasi bungkus tadi, “berapa harganya?”
“Sudah ambil saja, tadi kebetulan si bibi ga ada kembalian yang cukup, jadi saya ambil dua,” kata Christie sedikit berbohong.
“Wah, jadi ga enak saya mbak, makasih ya,” kata ibu itu.
“Sama-sama,” kata Christie membalas.
“Hei, Adi, bangun, makan malam. Ini kita di beliin nasi pecel sama kakak di depan.”
“Ehm, ah,” sang anak masih terlihat mengantuk.
“Ayo bilang terima kasih,” kata ibu itu.
“Te-rima k-kasih,” kata sang anak setengah mengantuk.
“Sama-sama,” kata Christie sambil tersenyum.
Lalu Christie membuka bungkusan nasi pecelnya. Sang ibu yang ternyata lebih cepat membuka bungkusan itu kini sedang menyuapkan anaknya yang ogah-ogahan.
Aroma bumbu kacang khas nasi pecel memasuki penciuman Christie dan mengunggah seleranya yang telah tumpul selama berjam-jam karena memikirkan keluarganya di kampung.
Dia mengambil sendok plastik yang tersedia bersama bungkusan nasi pecel itu, mengambil sesuap nasi, dan memasukkannya ke mulutnya.
Nasinya keras, tempenya juga. Seperti nasi yang telah di panaskan berkali-kali. Kalau ini keadaan biasa, lidah Christie yang telah terlalu terbiasa makan makanan barat akan menolaknya dengan keras. Tapi dia kemudian mengingat sosok bibi penjual nasi tersebut. Mengingat tumpukan nasi pecel yang belum laku, padahal hari sudah larut malam. Mengingat ketulusannya.
Maka dia mencoba menikmati makanan yang sudah lama tidak pernah dia rasakan. Mengecap setiap lauk yang biasanya di tolak perutnya. Dan mengenang rasa yang sudah hampir di lupakan lidahnya.
Makanan kampung, tradisional Indonesia.
Lalu kereta Matarmaja mulai memanaskan mesin, bergetar sebentar, lalu perlahan bergerak membelah kegelapan malam.
---
Fajar pagi yang menyelinap dari jendela yang sudah kehilangan kacanya membangunkan tubuh Christie yang setengah tertidur.
Tubuh-tubuhnya terasa sakit karena getaran di rel kereta sepanjang perjalanan.
“Nganjuk! Nganjuk! Nganjuk!” kata Kondektur meneriakkan nama stasiun tempat kereta itu berhenti.
“Mbak, kami permisi dulu ya, saya dan anak saya turun di sini.”
Kata-kata ibu tersebut mengembalikan sisa-sisa kesadaran Christie yang masih melayang kembali ke benaknya.
“A-h. Iya bu. Hati-hati di jalan.”
“Mbak juga hati-hati ya. Selamat hari raya. Maaf lahir batin.”
“Maaf lahir batin juga bu. Adik jaga ibu ya,” kata Christi berpesan kepada sang anak.
“Tenang saja kak!” lalu mereka permisi dan turun di stasiun tersebut.
Kini empat kursi yang awalnya penuh menjadi milik Christie sendiri, setelah laki-laki yang duduk di sebelahnya turun jam delapan malam dan ibu dan anak tadi baru saja turun di stasiun Nganjuk.
Rasanya sepi. Tetapi mengingat kota tujuannya tinggal satu stasiun lagi, maka Christie berpikir ia tidak akan terlalu mempermasalahkan kesepian itu.
Pedagang kembali berseliweran melintasi gerbong. Pedagang resmi yang di sponsori oleh perusahaan kereta dan pedagang asongan yang dibiarkan masuk begitu saja bercampur dan susah di bedakan.
Christie sebenarnya ingin melewatkan makan pagi. Karena perkiraannya kemarin kereta Matarmaja akan sampai di Kertosono jam setengah lima, sesuai jadwal.
Tapi tampaknya dia lupa bahwa jadwal yang tertempel di papan pengumuman itu tak akan pernah jadi kenyataan.
“Kopi panas, teh panas, kopi susu,” terdengar suara petugas resmi kereta api membawakan nampan berisi minuman.
“Pak, kopi panas satu,” kata Christie, lalu dia menyerahkan sejumlah uang.
Minuman sudah ada. Kini tinggal makanan. Tapi dia bingung ingin makan apa karena pedagang yang berseliweran terlalu banyak.
Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan membeli nasi kuning dari seorang ibu yang usianya kurang lebih dengan bibi penjual nasi pecel tadi malam.
Setelah mengucapkan doa makan, ita menyantap nasi kuning, yang telah dingin dan mengkeras—nasi tadi malam mungkin. Ia hanya mampu menghabiskan setengah bungkus.
Selanjutnya ia menyeruput kopi, sambil memperhatikan kesibukan stasiun Nganjuk, dari balik jendela yang sudah tidak ada kacanya.
Berbagai macam orang berkumpul. Ada yang turun kereta. Ada yang naik. Ada yang berpelukan dengan penjemputnya, ada yang berpisah dengan pengantarnya. Pedagang-pedagang asongan hilir mudik untuk berpindah gerbong dengan cepat, sebelum kereta benar-benar berangkat. Tukang ojek, tukang becak, dan supir taksi berebut pelanggan yang kelihatannya tidak memiliki penjemput. Suasana stasiun ini begitu hidup di bulan puasa, di saat orang-orang yang merantau di kota besar kembali ke kampung halaman untuk merayakan hari raya bersama keluarganya.
Dan Christie mau tidak mau ikut merasakan suasana kemeriahan stasiun itu. Merasakan semangat positif dan canda tawa yang berseliweran di sana sini. Walau tujuannya sedikit berbeda dari mereka.
Kerta terlambat melebihi perkiraannya. Masih sempatkan dirinya bertemu ayah? Separah apakah penyakitnya?
Di tengah lamunannya tersebut, suara sirine yang nyaris merusak telinga mengembalikannya ke dunia nyata.
Kereta perlahan melaju.
Tinggal satu stasiun lagi. Satu stasiun lagi.
Kereta ekonomi Matarmaja berhenti di tengah pegunungan dalam rute regularnya, dari Jakarta menuju Malang. Jam telah menunjukkan pukul 10 malam.
Di dekat tempat itu tidak ada stasiun. Kota terdekat jaraknya masih puluhan kilometer. Alasan kenapa Matarmaja berhenti adalah untuk memberi jalan pada Kereta Ekslusif dengan jalur yang sama, Gajahyana. Seperti itulah takdir kereta ekonomi. Takdir rakyat kecil. Harus memberi jalan kepada mereka yang punya sedikit lebih banyak uang.
Tapi Christie tidak memperdulikan hal itu. Christie termenung, menatap kegelapan malam. Kini hutan-hutan semakin jarang menghiasi jalur kereta api, di gantikan daerah perindustrian, perumahan, atau sekedar lahan pertanian.
Bagi Christie, naik kereta kelas ekonomi adalah pilihan yang sebenarnya tidak ingin ia ambil. Kalau kota tujuannya ada bandara, dia akan naik pesawat terbang. Kalaupun tidak, dia akan naik kereta ekslusif atau setidaknya kelas bisnis.
Tapi kali ini Christie tidak punya pilihan. Mencari sebuah tiket ke daerah seminggu sebelum lebaran adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Mungkin bisa di katakan sebuah keajaiban bagi Christie ada orang yang memiliki urusan mendadak sehingga ia membatalkan tiketnya dan memberikan sebuah kursi kosong bagi Christie, walau itu kereta kelas ekonomi.
Rasanya baru tadi pagi Christie berangkat kantor seperti biasa, bekerja hingga sore dan pulang pukul lima. Hari ini tidak ada yang spesial, kecuali satu pesan singkat. Dari abangnya di kampung.
“Layla, pulanglah, ayah sakit keras. Setiap malam dia terus membisikkan namamu. Kami tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan.”
Sudah bertahun-tahun dia tidak mendengar kabar dari rumah. Dari keluarganya, yang rasanya telah menganggap dia anak durhaka. Pergi dari rumah, menikah dengan ekspatriat dan menghianati iman yang diwarisinya dari orang tuanya. Dan sudah lama pula orang-orang tidak memanggilnya dengan nama itu.
Dan kalau bisa, dia tidak ingin berurusan lagi. Dia tidak ingin membuka luka lama. Dia tidak ingin mengingat-ingat lagi kejadian yang paling berat kedua setelah kepergian ibunya.
Tapi, kini ayahnya sekarat. Dan ayahnya memanggil dia. Anak macam apa yang tidak mengabulkan permohonan orang tuanya yang mungkin akan menghadapi akhir kehidupannya?
Maka Christie segera beranjak, berkemas baju seadanya, dan mempersiapkan keberangkatan ke Kertosono. Dia menghubungi teman-teman lamanya mencari apakah masih ada tiket pesawat yang kosong ke Surabaya. Tapi nihil. Pilihan berikutnya adalah kereta api. Tapi semua tiket kelas ekslusif dan ekonomi telah habis untuk seminggu kedepan. Kalau tidak karena sebuah keberuntungan dan kemujuran, atau mungkin kehendak Tuhan, dia tidak akan berada di atas kereta malam ini.
Dan kini, dia berada puluhan kilometer dari tempat tinggalnya di Jakarta, di tengah hutan yang nyaris tanpa lampu jalan.
Telah lama sekali, sejak saat itu, pikir Christie dalam hatinya. Kereta Matarmaja ini telah puluhan tahun melayani jalur utama yang menghubungkan Jakarta dengan bagian paling timur Jawa. Dan angannya mundur ke belasan tahun lalu. Saat pertama kali ia naik kereta api ini. Kereta yang sama. Perjalanan liburan bersama Ayahnya, ke Jakarta.
---
Bagi Layla kecil, sebuah kereta api adalah keajaiban di luar nalarnya. Bagaimana mesin besar dan panjang itu bisa bergerak dengan cepat begitu membuatnya kagum. Merah, dan membara. Bagi gadis itu, kereta api yang selama ini hanya dikenalnya melalui lagu anak-anak yang di nyanyikan bersama sewaktu TK kini mewujud menjadi sebuah raksasa yang kuat, tetapi tenang dan memberikan rasa aman, atau setidaknya itulah yang ada di benak Layla.
“Ayah, ayah, kita naik itu kan? Naik kereta api yang besar kan?” kata Layla dengan semangat.
“Iya, sayang. Ayo ikut abang-abangmu naik.”
“Ke Jakarta kan yah? Ke Dufan, ke Monas, ke Taman Mini kan?” Layla menyebut tempat-tempat yang menempati daftar teratas tempat yang paling ingin dia kunjungi di Jakarta.
“Iya, iya,” ayahnya mengiyakan pertanyaan semangat anak bungsunya itu, “ayo masuk, sini ayah bantu,” kata pria itu sambil mengangkat tubuh sang gadis kecil agar bisa lebih mudah menapak tangga masuk pintu kereta.
Perjalanan dari Kertosono ke Jakarta adalah perjalanan yang penuh keajaiban bagi Layla waktu itu.
Orang-orang dengan berbagai penampilan dan sikap di temuinya di dalam kereta. Tua, muda, laki-laki, perempuan, dari berbagai suku di Nusantara seolah berkumpul di dalam perut raksasa.
Setiap menit selalu saja ada suara-suara yang menarik perhatian sang gadis. Dari penjual nasi pecel, penjual air minum, penjual gorengan, koran, sampai kondektur yang mengambil tiket dan menandai tiket mereka.
Ketika susana mulai tenang dan kereta perlahan berangkat di sertai suara lantang sirine, benak Layla semakin dibuat kagum.
Pemandangan hijau membentang sepanjang mata memandang. Sawah-sawah dan pepohonan silih berganti menemaninya di pinggir jendela kereta yang sedikit terbuka agar semilir angin bisa mendinginkan suasana kereta yang tidak di lengkapi pendingin ruangan itu.
Bagi Layla, setiap hembusan angin membawakan kisah yang tak terkatakan oleh bahasa manusia. Setiap rumput yang bergoyang menarikan tarian alam. Gunung yang kokoh di ujung cakrawala adalah raksasa yang menjaga kedamaian.
Dan kereta ini, Matarmaja, sang raksasa merah, adalah monster baik hati yang akan melindunginya sampai nanti dia tiba ke pusat peradaban, Jakarta.
---
“Nasi pecelnya bu, nasi pecel,” suara pedagang berkeliaran di gerbong kereta yang sempit membangunkan Christie dari lamunan setengah tidurnya.
Perutnya keroncongan. Baru sadar, dia belum ada memasukkan sesuatu dari mulutnya sama sekali sejak tadi sore.
Dia memanggil pedagang nasi pecel itu, yang entah dari mana masuknya, dan meminta sebungkus nasi pecel.
“Nasi pecelnya bu, masih hangat, nasi pecelnya.”
“Berapa satu bungkus bi?” kata Christie kepada pedagang itu.
“Lima ribu saja bu.”
Lima ribu? Murahnya. Bahkan harga air mineral di kantin kantornya lebih mahal dari itu, pikir Christie.
“Ini, bi,” kata Christie menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.
“Iya, bu, ini nasi pecelnya,” dia menyerahkan sebungkus nasi pecel, lalu membuka kantong dompetnya yang lusuh berisi lembar-lembaran seribu rupiah sudah tak berbentuk lagi.
“Ga usah bi, ambil saja kembaliannya.”
“Ga bisa gitu bu. Ga enak saya jadinya. Saya jual dengan harga lima ribu, jadi saya ga berhak atas uang ibu yang lima ribu lagi,” jawaban sang bibi penjual nasi pecel menghenyakkan benak Crhistie. Di saat pedagang biasanya langsung mengambil dengan ucapan terima kasih, ibu ini masih mempertahankan prinsipnya berdagang dengan tidak ingin mengambil keuntungan lebih dari pembelinya.
“Udah, untuk bibi saja.”
“Tidak usah bu. Ga enak saya.”
“Saya iklas kok.”
“Saya juga iklas bu. Ini kembaliannya,” kata bibi itu menyerahkan lima lembar uang seribuan.
“Yaudah gini saja, saya ambil satu lagi, jadi saya beli dua, ibu ga usah mengembalikan uang saya,” kata Christie memberikan penawaran.
Si bibi penjual nasi pecel berpikir beberapa saat.
“Iya deh. Ibu ini keras kepala. Ini nasi pecelnya satu lagi bu.”
“Bibi juga sama-sama keras kepalanya,” kata Christie membalas.
Dia mengambil satu bungkus nasi pecel lagi. Sang bibi mengucapkan terima kasih dengan begitu tulus, lalu berlanjut. Menjajakan jualannya.
“Nasi pecel, nasi pecelnya bu, nasi pecelnya pak,” suara itu terdengar semakin jauh.
Sekarang apa yang harus Christie lakukan dengan nasi pecel satu lagi.
“Bu, ibu? Sudah makan malam belum?” Christie mencoba membangunkan teman seperjalanannya yang duduk di hadapannya dengan lembut. Seorang ibu yang membawa anaknya serta barang bawaan yang sangat banyak.
“Ah, kenapa mbak?” ibu tersebut masih setengah terbangun.
“Ini, saya beli nasi pecel tadi, ibu mau?”
“Ah, ada penjual nasi pecel yang lewat ya,” sang ibu tampak melihat ke arah dimana sang penjual nasi pecel pergi. Sepertinya bibi tadi sudah pergi ke gerbong lain.
“Udah, ini saya beli dua untuk ibu.”
“Ah, makasih mbak,” sang ibu mengambil sebungkus nasi bungkus tadi, “berapa harganya?”
“Sudah ambil saja, tadi kebetulan si bibi ga ada kembalian yang cukup, jadi saya ambil dua,” kata Christie sedikit berbohong.
“Wah, jadi ga enak saya mbak, makasih ya,” kata ibu itu.
“Sama-sama,” kata Christie membalas.
“Hei, Adi, bangun, makan malam. Ini kita di beliin nasi pecel sama kakak di depan.”
“Ehm, ah,” sang anak masih terlihat mengantuk.
“Ayo bilang terima kasih,” kata ibu itu.
“Te-rima k-kasih,” kata sang anak setengah mengantuk.
“Sama-sama,” kata Christie sambil tersenyum.
Lalu Christie membuka bungkusan nasi pecelnya. Sang ibu yang ternyata lebih cepat membuka bungkusan itu kini sedang menyuapkan anaknya yang ogah-ogahan.
Aroma bumbu kacang khas nasi pecel memasuki penciuman Christie dan mengunggah seleranya yang telah tumpul selama berjam-jam karena memikirkan keluarganya di kampung.
Dia mengambil sendok plastik yang tersedia bersama bungkusan nasi pecel itu, mengambil sesuap nasi, dan memasukkannya ke mulutnya.
Nasinya keras, tempenya juga. Seperti nasi yang telah di panaskan berkali-kali. Kalau ini keadaan biasa, lidah Christie yang telah terlalu terbiasa makan makanan barat akan menolaknya dengan keras. Tapi dia kemudian mengingat sosok bibi penjual nasi tersebut. Mengingat tumpukan nasi pecel yang belum laku, padahal hari sudah larut malam. Mengingat ketulusannya.
Maka dia mencoba menikmati makanan yang sudah lama tidak pernah dia rasakan. Mengecap setiap lauk yang biasanya di tolak perutnya. Dan mengenang rasa yang sudah hampir di lupakan lidahnya.
Makanan kampung, tradisional Indonesia.
Lalu kereta Matarmaja mulai memanaskan mesin, bergetar sebentar, lalu perlahan bergerak membelah kegelapan malam.
---
Fajar pagi yang menyelinap dari jendela yang sudah kehilangan kacanya membangunkan tubuh Christie yang setengah tertidur.
Tubuh-tubuhnya terasa sakit karena getaran di rel kereta sepanjang perjalanan.
“Nganjuk! Nganjuk! Nganjuk!” kata Kondektur meneriakkan nama stasiun tempat kereta itu berhenti.
“Mbak, kami permisi dulu ya, saya dan anak saya turun di sini.”
Kata-kata ibu tersebut mengembalikan sisa-sisa kesadaran Christie yang masih melayang kembali ke benaknya.
“A-h. Iya bu. Hati-hati di jalan.”
“Mbak juga hati-hati ya. Selamat hari raya. Maaf lahir batin.”
“Maaf lahir batin juga bu. Adik jaga ibu ya,” kata Christi berpesan kepada sang anak.
“Tenang saja kak!” lalu mereka permisi dan turun di stasiun tersebut.
Kini empat kursi yang awalnya penuh menjadi milik Christie sendiri, setelah laki-laki yang duduk di sebelahnya turun jam delapan malam dan ibu dan anak tadi baru saja turun di stasiun Nganjuk.
Rasanya sepi. Tetapi mengingat kota tujuannya tinggal satu stasiun lagi, maka Christie berpikir ia tidak akan terlalu mempermasalahkan kesepian itu.
Pedagang kembali berseliweran melintasi gerbong. Pedagang resmi yang di sponsori oleh perusahaan kereta dan pedagang asongan yang dibiarkan masuk begitu saja bercampur dan susah di bedakan.
Christie sebenarnya ingin melewatkan makan pagi. Karena perkiraannya kemarin kereta Matarmaja akan sampai di Kertosono jam setengah lima, sesuai jadwal.
Tapi tampaknya dia lupa bahwa jadwal yang tertempel di papan pengumuman itu tak akan pernah jadi kenyataan.
“Kopi panas, teh panas, kopi susu,” terdengar suara petugas resmi kereta api membawakan nampan berisi minuman.
“Pak, kopi panas satu,” kata Christie, lalu dia menyerahkan sejumlah uang.
Minuman sudah ada. Kini tinggal makanan. Tapi dia bingung ingin makan apa karena pedagang yang berseliweran terlalu banyak.
Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan membeli nasi kuning dari seorang ibu yang usianya kurang lebih dengan bibi penjual nasi pecel tadi malam.
Setelah mengucapkan doa makan, ita menyantap nasi kuning, yang telah dingin dan mengkeras—nasi tadi malam mungkin. Ia hanya mampu menghabiskan setengah bungkus.
Selanjutnya ia menyeruput kopi, sambil memperhatikan kesibukan stasiun Nganjuk, dari balik jendela yang sudah tidak ada kacanya.
Berbagai macam orang berkumpul. Ada yang turun kereta. Ada yang naik. Ada yang berpelukan dengan penjemputnya, ada yang berpisah dengan pengantarnya. Pedagang-pedagang asongan hilir mudik untuk berpindah gerbong dengan cepat, sebelum kereta benar-benar berangkat. Tukang ojek, tukang becak, dan supir taksi berebut pelanggan yang kelihatannya tidak memiliki penjemput. Suasana stasiun ini begitu hidup di bulan puasa, di saat orang-orang yang merantau di kota besar kembali ke kampung halaman untuk merayakan hari raya bersama keluarganya.
Dan Christie mau tidak mau ikut merasakan suasana kemeriahan stasiun itu. Merasakan semangat positif dan canda tawa yang berseliweran di sana sini. Walau tujuannya sedikit berbeda dari mereka.
Kerta terlambat melebihi perkiraannya. Masih sempatkan dirinya bertemu ayah? Separah apakah penyakitnya?
Di tengah lamunannya tersebut, suara sirine yang nyaris merusak telinga mengembalikannya ke dunia nyata.
Kereta perlahan melaju.
Tinggal satu stasiun lagi. Satu stasiun lagi.
Diubah oleh st_illumina 23-06-2017 03:09
0
2.7K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•261Anggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru