- Beranda
- The Lounge
KISAH NYATA: Bunda..Tunggu Aku
...
TS
edogawa9871
KISAH NYATA: Bunda..Tunggu Aku
Misi agan-agan dan sista.. newbie mau berbagi kisah nyata, maaf kalo dan kalo kepanjangannya yah dibaca sampe selesai ya gan biar kita bisa ambil hikmahnya
Sumbernya gan
Maaf kalo tritnya berantakan ya..
Quote:
BUNDA TUNGGU AKU…..
Teet..! Bel berbunyi tiga kali dengan nyaring. Ia telah selesai memeriksa seluruh soalnya dan bunyi bel tadi pertanda dari akhir ulangan ini, akhir ulangan dari 1 minggu, dan mungkin akhir dari ulangan yang ia kerjakan..
Akhir ulangan untuk menentukan kelulusan. Ia berjalan keluar kelas menuju asrama, matanya sayup padam, warna hitam melingkari matanya, urat-urat merah merekah jelas di sekitar pupilnya, sesekali ia menguap dan menutup mulutnya dengan tangan kirinya, kantuk berat yang ia rasakan karena semalaman tak tidur untuk belajar. Brruukk.. terdengar bunyi kasur di punggungnya. Ia telah berbaring di atas kasur dalam hitungan detik bunyi dengkurnya terdengar jelas & berat. Lelap…
Beberapa lembar Al Qr’an telah ia baca. Tak terasa, ia telah duduk selama 1 jam setelah sholat Isya. Ia menoleh melihat keadaan sekitar. Sepi, dan hanya ada beberapa anak yang sedang mengaji seperti dia. Setelah mengambil jeda untuk bernapas, ia kembali melanjutkan bacaannya, suaranya yang lantang namun indah ikut menghiasi gemerlap malam itu. Tiba-tiba, bacaannya terhenti. Ketika hendak melanjutkan bacaannya, air matanya yang hangat telah melewati pipinya, seolah-olah akan jatuh membasahi Al Qur’an yang dibacanya. Sebelum menetes, ia mengusapnya. Ia ingin mengulang bacaannya kembali, akan tetapi ia kembali terhenti & terisak, bahkan menangis tersedu-sedu. Begitu sulit ayat itu dibaca. Sangat susah dan sulit..
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu.” (QS.Lukman: 14)
Ayat tadi seolah membuka kembali setiap sel kenangan bersama bundanya. Bunda yang ditinggal wafat suaminya. Ia tidak pernah bertemu bundanya selama 6 tahun belajar di pesantren ini. Hanya secarik foto yang telah usang yang bisa menghilangkan sedikit rindunya. Tidak, itu bahkan membuatnya makin rindu. Ia berada begitu jauh di pulau sebrang sana. Angin malam ini terasa dingin saat bergesekan dengan kulitnya, tapi tak sedingin rindunya dengan Bunda Iza.
Hari-hari di pesantren telah mengalir sangat deras, menghanyutkan seluruh asa, lara, duka & suka, bahkan semua euphoria para santri. Begitu juga dengan rasa akan penasaran mereka tentang kelulusan. Hanyut ketepian pada akhir ini.
Kertas putih yang menempel di papan pengumuman itu telah dikerumuni para santri seolah-olah mereka adalah kawanan semut yang mengelilingi gula. Mereka saling rapat & berebut. Ia mencoba menerobos kerumunana para santri, sesekali sikut para santri mendarat di dagu & bibirnya. Ketika ia telah cukup dekat dengan kertas itu, ia bisa membaca judulnya, “Pengumuman Kelulusan”, ia terdiam di antara seribu perasaan para santri.
Tak heran mengapa para santri, khususnya kelas 12 I’dad mu’allimin begitu berebut, dan sesekali mereka tersenyum, kemudian berpelukan dengan temannya. Ada juga yang tertunduk lesu, malu menjauh dari temannya. Ketika ia mencari namanya di bagian bawah, ia tidak mendapatkan namanya tercantum. Ketika mencari di bagian tengah, seperti itu juga hasilnya. Perasaannya tak menentu, jantungnya berdetak lebih kencang, nafasnya berhembus tak beraturan. Takut…
Ia mulai panik & cemas. Seluruh sendinya terasa ingin lepas kemudian jatuh luluh ke bumi. Tapi dengan optimis ia kembali mencari namanya di bagian atas. Ketika jari telunjuknya mengurut setiap nama, akhirnya ia berhenti di nama yang paling atas. “Mulky Nurullah”, ya itu namanya. Ia mendapatkan nilai tertinggi di antara nilai yang ada. Rasa kaget bercampur bahagia saling bercampur, matanya berkaca-kaca terharu. Itu semua karena bantuan Allah, nomor satu, karena semangatnya nilai tertingginya itu tak luput dari doa bundanya. Batinnya berbicara dan beradu di depan kertas yang mewarnai kanvas para santri hari ini.
Ia berbaring di atas bangku yang berada di geladak sebuah kapal yang melaju cepat membelah lautan, membawa rindunya, mengumpulkan setiap kenangan yang tercecer selama 6 tahun. Bintang-bintang berpendar memberi petunjuk arah rumahnya, arah rindunya, arah cintanya..ia kini dalam perjalanan pulang.
Angin malam itu bermain-main dengan rambutnya, membuatnya bergerak bebas, dan terkadang menutupi matanya yang memandang lepas gelap langit berhias bintang itu. Suara deburan ombak ikut dalam lamunannya. Lamunan ketika ia datang, lalu memeluk bundanya, ketika ia mencium keningnya, ketika ia memberitahu nilainya yang tinggi, ketika ia melihat senyumnya yang indah secara langsung. Lamunan indah tentang bundanya..
Setelah menempuh perjalanan dengan kapal, lalu disambung dengan angkot. Akhirnya ia tiba di depan gang. Gang di depannya seolah melambaikan tangan tanda selamat datang. Ia menatap jauh kedalam lorongnya. Aspal hitam itu tak merasa asing dengan jejak langkahnya, jejak 6 tahun lalu sering bermain bola di atasnya.
Langkahnya terhenti, matanya terpaku oleh 1 bangunan di depannya. Ya, rumahnya. Pintu itu, pagar itu, semuanya sama seperti dulu, kecuali jumlah sandal yang berserakan di teras & halamannya, banyak sekali dan tak terhitung.
Ketika ia membuka pintu rumahnya, banyak orang yang sedang menangis, tertunduk tak saling bicara. Suara tangis saling beradu dengan suara isak. Ada apa ini? Mana bundaku? Mana bunda yang akan memelukku? Aku membawa kisah rindu & nilai bagus untuk kuceritakan padanya. Batinnya bertanya-tanya…
Di ruang tengah, terdapat hal yang menjadi pusat rasa sedih yang memuncak kemudian berjatuhan, karena tubuh yang terbaring kaku dan tertutupi kain kafan. Siapa itu? Tidak mungkin itu bundaku? Bundaku sedang menungguku seribu cerita rindu yang kubawa… hatinya menolak & mengingkari.
Ia telah dekat dengan tubuh yang telentang kaku. Kain kafan yang menutupi tubuh itu adalah pembatas antara rasa penasaran dan kebenaran, sedih & kehilangan. Membatasi angan dengan bundanya.
Saat kain kafan yang menutupi wajah ia tarik, ia terdiam dan membisu. Nafasnya berhenti sejenak, begitu juga aliran darahnya. Bibir itu, bibir yang ia kenal lekuknya dan sering mengecup dahinya. Mata, yang selalu memandangnya dengan lembut. Tapi kini, bibir itu telah membiru dan mata itu telah terpejam.
Tiba-tiba ia terjatuh melemah, memeluk, dan mendekap tubuh bundanya yang terbujur kaku dihadapannya. Seluruh ototnya mengendor, napasnya bersaingan dengan isak dan tangis yang bereaksi bersamaan. Rasanya dingin, tak hangat seperti yang dulu ia rasakan. Tak terdengar suara dari mulutnya dan jantungnya. Bundanya telah tertidur dan tak akan pernah bangun untuk menjemput fajar esok, untuk mendengarkan seribu cerita, untuk memeluk & mencium, untuk apapun. Takkan pernah, karena bundanya telah wafat..Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un
Ia tidak bergeming, diam seribu kata. Biarlah air matanya mengalir dan menceritakan suasana hatinya, perasaannya, segalanya. “ Ya Allah, hanya kepadaMulah kami kembali, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka, sebagaimana mereka menyayangiku ketika aku masih kecil.”
Doanya dalam sedih dan hampa..
Teet..! Bel berbunyi tiga kali dengan nyaring. Ia telah selesai memeriksa seluruh soalnya dan bunyi bel tadi pertanda dari akhir ulangan ini, akhir ulangan dari 1 minggu, dan mungkin akhir dari ulangan yang ia kerjakan..
Akhir ulangan untuk menentukan kelulusan. Ia berjalan keluar kelas menuju asrama, matanya sayup padam, warna hitam melingkari matanya, urat-urat merah merekah jelas di sekitar pupilnya, sesekali ia menguap dan menutup mulutnya dengan tangan kirinya, kantuk berat yang ia rasakan karena semalaman tak tidur untuk belajar. Brruukk.. terdengar bunyi kasur di punggungnya. Ia telah berbaring di atas kasur dalam hitungan detik bunyi dengkurnya terdengar jelas & berat. Lelap…
Beberapa lembar Al Qr’an telah ia baca. Tak terasa, ia telah duduk selama 1 jam setelah sholat Isya. Ia menoleh melihat keadaan sekitar. Sepi, dan hanya ada beberapa anak yang sedang mengaji seperti dia. Setelah mengambil jeda untuk bernapas, ia kembali melanjutkan bacaannya, suaranya yang lantang namun indah ikut menghiasi gemerlap malam itu. Tiba-tiba, bacaannya terhenti. Ketika hendak melanjutkan bacaannya, air matanya yang hangat telah melewati pipinya, seolah-olah akan jatuh membasahi Al Qur’an yang dibacanya. Sebelum menetes, ia mengusapnya. Ia ingin mengulang bacaannya kembali, akan tetapi ia kembali terhenti & terisak, bahkan menangis tersedu-sedu. Begitu sulit ayat itu dibaca. Sangat susah dan sulit..
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu.” (QS.Lukman: 14)
Ayat tadi seolah membuka kembali setiap sel kenangan bersama bundanya. Bunda yang ditinggal wafat suaminya. Ia tidak pernah bertemu bundanya selama 6 tahun belajar di pesantren ini. Hanya secarik foto yang telah usang yang bisa menghilangkan sedikit rindunya. Tidak, itu bahkan membuatnya makin rindu. Ia berada begitu jauh di pulau sebrang sana. Angin malam ini terasa dingin saat bergesekan dengan kulitnya, tapi tak sedingin rindunya dengan Bunda Iza.
Hari-hari di pesantren telah mengalir sangat deras, menghanyutkan seluruh asa, lara, duka & suka, bahkan semua euphoria para santri. Begitu juga dengan rasa akan penasaran mereka tentang kelulusan. Hanyut ketepian pada akhir ini.
Kertas putih yang menempel di papan pengumuman itu telah dikerumuni para santri seolah-olah mereka adalah kawanan semut yang mengelilingi gula. Mereka saling rapat & berebut. Ia mencoba menerobos kerumunana para santri, sesekali sikut para santri mendarat di dagu & bibirnya. Ketika ia telah cukup dekat dengan kertas itu, ia bisa membaca judulnya, “Pengumuman Kelulusan”, ia terdiam di antara seribu perasaan para santri.
Tak heran mengapa para santri, khususnya kelas 12 I’dad mu’allimin begitu berebut, dan sesekali mereka tersenyum, kemudian berpelukan dengan temannya. Ada juga yang tertunduk lesu, malu menjauh dari temannya. Ketika ia mencari namanya di bagian bawah, ia tidak mendapatkan namanya tercantum. Ketika mencari di bagian tengah, seperti itu juga hasilnya. Perasaannya tak menentu, jantungnya berdetak lebih kencang, nafasnya berhembus tak beraturan. Takut…
Ia mulai panik & cemas. Seluruh sendinya terasa ingin lepas kemudian jatuh luluh ke bumi. Tapi dengan optimis ia kembali mencari namanya di bagian atas. Ketika jari telunjuknya mengurut setiap nama, akhirnya ia berhenti di nama yang paling atas. “Mulky Nurullah”, ya itu namanya. Ia mendapatkan nilai tertinggi di antara nilai yang ada. Rasa kaget bercampur bahagia saling bercampur, matanya berkaca-kaca terharu. Itu semua karena bantuan Allah, nomor satu, karena semangatnya nilai tertingginya itu tak luput dari doa bundanya. Batinnya berbicara dan beradu di depan kertas yang mewarnai kanvas para santri hari ini.
Ia berbaring di atas bangku yang berada di geladak sebuah kapal yang melaju cepat membelah lautan, membawa rindunya, mengumpulkan setiap kenangan yang tercecer selama 6 tahun. Bintang-bintang berpendar memberi petunjuk arah rumahnya, arah rindunya, arah cintanya..ia kini dalam perjalanan pulang.
Angin malam itu bermain-main dengan rambutnya, membuatnya bergerak bebas, dan terkadang menutupi matanya yang memandang lepas gelap langit berhias bintang itu. Suara deburan ombak ikut dalam lamunannya. Lamunan ketika ia datang, lalu memeluk bundanya, ketika ia mencium keningnya, ketika ia memberitahu nilainya yang tinggi, ketika ia melihat senyumnya yang indah secara langsung. Lamunan indah tentang bundanya..
Setelah menempuh perjalanan dengan kapal, lalu disambung dengan angkot. Akhirnya ia tiba di depan gang. Gang di depannya seolah melambaikan tangan tanda selamat datang. Ia menatap jauh kedalam lorongnya. Aspal hitam itu tak merasa asing dengan jejak langkahnya, jejak 6 tahun lalu sering bermain bola di atasnya.
Langkahnya terhenti, matanya terpaku oleh 1 bangunan di depannya. Ya, rumahnya. Pintu itu, pagar itu, semuanya sama seperti dulu, kecuali jumlah sandal yang berserakan di teras & halamannya, banyak sekali dan tak terhitung.
Ketika ia membuka pintu rumahnya, banyak orang yang sedang menangis, tertunduk tak saling bicara. Suara tangis saling beradu dengan suara isak. Ada apa ini? Mana bundaku? Mana bunda yang akan memelukku? Aku membawa kisah rindu & nilai bagus untuk kuceritakan padanya. Batinnya bertanya-tanya…
Di ruang tengah, terdapat hal yang menjadi pusat rasa sedih yang memuncak kemudian berjatuhan, karena tubuh yang terbaring kaku dan tertutupi kain kafan. Siapa itu? Tidak mungkin itu bundaku? Bundaku sedang menungguku seribu cerita rindu yang kubawa… hatinya menolak & mengingkari.
Ia telah dekat dengan tubuh yang telentang kaku. Kain kafan yang menutupi tubuh itu adalah pembatas antara rasa penasaran dan kebenaran, sedih & kehilangan. Membatasi angan dengan bundanya.
Saat kain kafan yang menutupi wajah ia tarik, ia terdiam dan membisu. Nafasnya berhenti sejenak, begitu juga aliran darahnya. Bibir itu, bibir yang ia kenal lekuknya dan sering mengecup dahinya. Mata, yang selalu memandangnya dengan lembut. Tapi kini, bibir itu telah membiru dan mata itu telah terpejam.
Tiba-tiba ia terjatuh melemah, memeluk, dan mendekap tubuh bundanya yang terbujur kaku dihadapannya. Seluruh ototnya mengendor, napasnya bersaingan dengan isak dan tangis yang bereaksi bersamaan. Rasanya dingin, tak hangat seperti yang dulu ia rasakan. Tak terdengar suara dari mulutnya dan jantungnya. Bundanya telah tertidur dan tak akan pernah bangun untuk menjemput fajar esok, untuk mendengarkan seribu cerita, untuk memeluk & mencium, untuk apapun. Takkan pernah, karena bundanya telah wafat..Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un
Ia tidak bergeming, diam seribu kata. Biarlah air matanya mengalir dan menceritakan suasana hatinya, perasaannya, segalanya. “ Ya Allah, hanya kepadaMulah kami kembali, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka, sebagaimana mereka menyayangiku ketika aku masih kecil.”
Doanya dalam sedih dan hampa..
Sumbernya gan
Maaf kalo tritnya berantakan ya..
0
1.9K
Kutip
10
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.4KThread•84.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya