Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

icalbinkAvatar border
TS
icalbink
Koruptor Dan Burung Pemakan Bangkai
Permisi Mimin Momod ama Agan and Sista emoticon-Toastemoticon-Toast
Ane ijin bikin tread yakemoticon-Shakehand2emoticon-Salaman
Ane mao ngeshare tulisan Aslaksana yg sering ane baca di koran ja*ap*s di kolom halaman putih tiap hari minggu, Tapi kalo yg ini ane ambil di blognya....ntar ane kasih sumbernya emoticon-Selamat
And so...tanpa banyak cincong takutnya ntar di kejar emoticon-Betty (S)emoticon-Betty (S)
Cekidot ganemoticon-Cool

*) Kolom Ruang Putih, ja*a p*s,
Minggu 9 Juni 2013



Foto itu saya lihat pertama kali di
sebuah koran, tahun 1994. Seorang
gadis kecil, berkulit hitam dan
bertubuh keropos, tersungkur di
sebuah tanah lapang dan seekor
burung pemakan bangkai
menunggui di belakangnya. Burung
itu tampak sabar dan santun dan
tidak terburu-buru menanti
tibanya waktu berpesta. Dengan
posturnya yang melengkung, ia
terlihat seperti pertapa tua yang
tenteram menunggui kado yang
disiapkan oleh penguasa langit.
Kado untuk kesabarannya bertapa.
Jurufoto yang mengambil gambar
tersebut bernama Kevin Carter. Ia
wartawan foto dari Afrika Selatan
dan anak muda dengan emosi
meledak-ledak menurut mereka
yang mengenalnya. Fotonya
mendapatkan hadiah Pulitzer
untuk kategori foto feature. Saya
melihat foto tersebut ketika koran
memberitakan bahwa Kevin
meninggal di dalam mobil
pikapnya yang diparkir di pinggiran
Johannesburg. Polisi menyatakan
bahwa ia meninggal karena
keracunan karbon monoksida.
Diduga ia mencekik diri dengan
gas tersebut.
Ingatan tentang foto itu muncul
lagi pekan lalu, sembilan belas
tahun setelah saya melihatnya
pertama kali, ketika saya
bermaksud meminta para peserta
kelas penulisan membuat deskripsi
berdasarkan sebuah gambar. Saya
memilih foto tersebut. Kepada
mereka saya katakan bahwa mereka
bisa membayangkan berada di
tempat itu dan berjumpa dengan
gadis kecil yang ditunggui burung
pemakan bangkai dan membuat
laporan tertulis tentang situasi itu.
Salah seorang menulis sebagai
berikut: “Ini pemandangan yang
saya jumpai di hari ketiga, di
sebuah pinggiran, kira-kira empat
puluh kilometer dari tempat saya
menginap. Saya tidak pernah
membayangkan akan bertemu
dengan situasi seperti ini. Rasanya
seperti mendapatkan tugas untuk
pergi ke neraka dan meliput
kejadian-kejadian di sana—atau ke
surga yang porak-poranda karena
para penghuninya tidak cakap
mengurus. Matahari terasa
sejengkal di atas kepala. Tanah
mengeras dan rumput mengering.
Masih ada warna hijau pohon-
pohon di pinggir perkampungan,
tetapi para penduduk nya
meranggas. Angin bertiup panas,
menggugurkan daun-daun kering
dan menanggalkan nyawa dari
tubuh-tubuh yang meranggas
itu....”
Saya tidak tahu kenapa foto itu
yang segera muncul ketika saya
meminta mereka membuat
deskripsi, dengan detail yang
memadai untuk membuat pembaca
seolah-olah ikut hadir di dalam
situasi yang digambarkan. Mungkin
ia menjadi semacam trauma bagi
saya, sesuatu yang secara spontan
terpanggil lagi dalam situasi-
situasi tertentu. Atau mungkin ia
terlalu memukau bagi saya, sebuah
gambar artistik dari situasi yang
sangat mencekam.
Kevin Carter duduk menyendiri di
bawah sebatang pohon setelah
mengambil gambar itu, merokok
sigaret dan menghembuskan
asapnya dengan pikiran yang
gelisah. Ketika fotonya memenangi
hadiah Pulitzer, ia makin gelisah.
Teman karibnya, seorang wartawan,
mati tertembus peluru saat
meliput baku tembak. Empat puluh
delapan hari sebelum ia genap 34
tahun, Kevin kedapatan meninggal.
Fotonya terus hidup di dalam
benak saya. Seekor burung
pemakan bangkai dan seorang
gadis kecil yang tersungkur dalam
perjalanan ke pusat makanan di
Ayod. Sudan tengah dihajar oleh
kelaparan dan perang saudara saat
itu. Negara tak sanggup
melindungi warganya. Tanah di
mana mereka hidup tidak memberi
mereka makan. Gadis kecil itu
sendirian saja. Satu-satunya
makhluk yang setia menemaninya
adalah burung pemakan bangkai.
Dalam situasi kusut seperti itu,
Anda tahu, burung nasar adalah
penguasa. Mereka satu-satunya
kelompok yang berpesta pora
justru ketika kehidupan tanggal
satu demi satu. Bukan satu demi
satu, saya keliru, nyawa bisa
tanggal bersamaan seperti daun-
daun rontok oleh angin panas yang
menyapu lembah dan tanah yang
keras dan pecah-pecah.
Saya membayangkan sumur-sumur
kering, sungai-sungai kering, dan
orang-orang di pucuk
kepemimpinan berebut kuasa.
Mungkin air mata sudah tak ada di
sana. Gadis kecil itu tidak
menangis karena ia sudah tidak
bisa lagi mengeluarkan air mata.
Lalu muncul gambaran yang amat
sentimentil: jika saja ia masih bisa
menangis, ia bisa meminum air
matanya sendiri dan menjadi
cukup kuat untuk melanjutkan
jalan ke pusat makanan.
Kemudian ada lintasan pikiran,
mungkin dalam setiap masyarakat
akan selalu ada burung nasar yang
siap berpesta, dan mereka sama
sabarnya untuk menanti siapa
yang mati hari ini. Merekalah satu-
satunya kelompok yang bisa
bahagia ketika orang-orang lain
mengalami kesengsaraan. Benak
saya membangun adegan-adegan
sendiri tentang burung dan gadis
kecil itu. Si burung sesekali
mengepak-ngepakkan sayap,
seperti orang melakukan gerak
badan, seolah-olah itu cara mereka
untuk mempertahankan kesabaran.
Dan, seperti biasa, ingatan tentang
sesuatu sering membawa kita ke
ingatan-ingatan berikutnya. Saya
pernah datang ke lereng gunung
Merapi setelah ia memuntahkan
lahar panas di pertengahan tahun
1990-an dan merasakan mual-mual
ketika menyaksikan dari jarak dekat
seekor sapi berdiri tegak dengan
kulit terkelupas oleh usapan awan
panas beberapa hari sebelumnya.
Ada galur bekas air mata di sudut
matanya. Binatang itu menangis,
tetapi tidak bersuara. Ia seperti
seseorang yang tak lagi bisa
menyuarakan penderitaannya, dan
hanya bisa mengeluarkan air mata.
Juga ada kabar tentang para
pencuri yang beraksi di
perkampungan yang ditinggalkan
para penghuninya mengungsi.
Begitulah, burung pemakan
bangkai selalu ada di mana-mana.
Dalam situasi terburuk, hanya
mereka yang berpesta pora. Dalam
bis kota yang penuh sesak dan
Anda harus berhimpit-himpitan
dengan para penumpang lain,
hanya copet yang merasa bahagia.
Apakah mereka sama dengan para
koruptor di negeri yang hukumnya
tidak ditegakkan? Tidak. Para
koruptor adalah spesies lain.
Burung pemakan bangkai punya
perut dan mereka bisa kenyang.
Para koruptor adalah pemakan
segala dan mereka tidak pernah
kenyang.


Maap gan kalo kepanjanganemoticon-Maluemoticon-Malu mohon di komen ato di cendolin yak kalo bagusemoticon-Maluemoticon-Malu
Sumber
Spoiler for http://as-laksana.blogspot.com/2013/06/pemakan-bangkai-yang-setia.html?m=1:
Diubah oleh icalbink 07-07-2013 03:59
0
1.7K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.