PratiwipratiwiAvatar border
TS
Pratiwipratiwi
"STOP Memberi Kepada Pengemis, Tapi Jangan Stop Bersedekah"
Keringat Yang Tak Berharga


“Bu…. Minta sedekah, Bu…. Buat makan, Bu…. Bu…. Buat makan, Bu…. Minta sedekah, Bu….” Suara itu tiba-tiba saja terdengar di depan saya, mengacau obrolan nggak penting saya saat kami sedang duduk-duduk di warung nasi goreng. Saya kemudian menengok asal suara itu. Pemuda berbaju hitam dengan rambut kriting mirip mie instan habis diseduh berdiri di dekat kami. Kulitnya hitam. Barangkali gosong karena tiap hari hilir mudik di bawah panasnya matahari jakarta (atau tangerang?). Kakinya nyeker. Tak ada sendal barang sebiji melapisi salah satu apalagi kedua telapak kakinya. Dan kaki tersebut hitam, dekil oleh debu dan daki yang entah sudah berapa lama terkumpul tidak terkena air.

Saya merogoh kocek. Ah… Baru saya ingat. Saya tidak membawa recehan. Uang saya hanya selembar. “, ada receh gak?” Saya bertanya kepada Teman. “Nggak ada…. Bayar aja dulu, tar kan ada kembaliannya.” Saya pun kemudian menghampiri tukang nasi goreng yang sedang asyik bermain henpun (barangkali sibuk smsan sama pacarnya). Saya bayar. Tiba-tiba Teman saya memberikan usul. Daripada dikasih uang receh, yang barangkali kurang buat beli makan, mending dibeliin nasi goreng saja. Saya setuju. Saya tanya pemuda tadi apakah mau nasi goreng dan ia mengiyakan. Gud…. Saya mintakan nasi goreng ke tukang nasi goreng satu bungkus kemudian saya serahkan ke pemuda berbaju hitam tadi.

Namun yang terjadi kemudian sungguh membuat saya takjub. Setelah saya serahkan bungkusan tadi, kemudian saya bayar, rupanya pemuda tersebut belum beranjak dari tempatnya berdiri. Ajaib! Dia menunggu saya memberi uang receh yang sedianya saya berikan padanya tadi.

Saya pun memberikan selembar. Dan ia pun berlalu.

Setelah kejadian tersebut, saya berpikir. Saya tidak menyesali telah memberikan sedikit pertolongan. Yang mengusik pikiran saya adalah apa saja sebenarnya telah dilakukan pemuda ini seharian? Sudahkah ia mencoba mencari nafkah? Apakah memang ia tak mendapat sedikitpun rizki dari mencari nafkah tersebut?Dan sikapnya yang masih menunggu untuk diberi uang padahal apa yang diinginkannya sudah terpenuhi (sekedar buat makan), sungguh mengganggu pikiran saya.

Saya jadi teringat beberapa waktu sebelumnya ketika membaca sebuah tulisan yang menceritakan percakapan seorang tukang parkir dengan seorang pengemis. Sang tukang parkir bertanya, “Dapet berapa, bu?” “Akh…. Sepi…. Cuma dapet 180 rebu doang….” jawab si pengemis. 180 ribu sehari dikatakan sepi! Berapa rupiah yang ia dapat di waktu ramai? Bandingkan penghasilannya dengan kuli bangunan dan kuli angkut di pasar pagi dan pelabuhan yang pekerjaannya jauuuuh lebih berat. Atau bandingkan penghasilannya dengan seorang pemuda lumpuh di Semarang yang tetap berjualan minyak tanah, meskipun ia LUMPUH…! Apakah pemuda kriting itu termasuk salah satu dari mereka?

Entahlah…. Yang saya tahu, ada sesuatu yang salah dengan saya, dan kita pada umumnya. Kita terkadang lebih mudah memberikan sesuatu kepada orang yang mengemis daripada menghargai orang yang bekerja dengan keringatnya. Kita lebih mudah memberikan seribu rupiah kepada pengemis daripada memberikan lima ratus rupiah keuntungan kepada tukang asongan. Ini yang salah dengan kita. Dan kesalahan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh sebagian bangsa ini, yang ingin hidup nyaman tanpa berkeringat (karakter asli bangsa ini, sebenarnya….)

Dan kesalahan tersebut harus saya perbaiki mulai dari sekarang. Bagaimana dengan Anda?

Quote:


Diubah oleh Pratiwipratiwi 27-06-2013 09:03
0
3.3K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.