![Ironis, Jumlah Doktor Meningkat Tapi Cendikiawan Merosot](https://s.kaskus.id/images/2013/06/02/5337218_20130602072536.jpg)
itu cuman ilustrasi gan
SOLO – Ketika semakin banyak dosen yang bergelar doktor, justru tokoh intelektual yang terlahir semakin rendah. Padahal pada era 1980-an, banyak tokoh intelektual, seperti Sumitro Djojohadikusumo dari Universitas Indonesia (UI), Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dan Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
“Ini sesuatu yang sungguh sangat memperihatinkan,” kata Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Sebelas Maret (UNS) Lukman Hakim, saat tampil sebagai pembicara Membangun Tradisi Intelektual dan Budaya Universitas: Knowledge for Prosperity, di Solo Jawa Tengah, Minggu (2/6/2013).
Lukman menyebut beberapa alasan semakin menurunnya intelektualisme di kalangan dosen di perguruan tinggi. Pertama, karena lemahnya tradisi menulis dikalangan dosen.
“Sangat tepat jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini memperkuat penumbuhan tradisi menulis di kalangan dosen. Baik dalam bentuk buku ajar, buku referensi, serta jurnal nasional maupun internasional,” ujarnya.
Penyebab kedua, menurut Lukman, semakin marak penyakit para akademisi yakni berkembangnya budaya by project. Maksudnya, hidup akademisi dikendalikan oleh proyek-proyek. Hal ini, tambahnya, akan mengurangi daya kritis dan independensi dosen untuk berkarya, sehingga menyebabkan para dosen cenderung pasif dan tidak lahir pemikiran yang lebih orisinal.
“Ini terjadi karena memang ada masalah dengan renumerasi. Untuk itu, Kemendikbud memberikan tunjangan sertifikasi dosen untuk meningkatkan pendapatan dosen,” jelas Lukman.
Penyebab ketiga, lanjut Lukman, pengembangan pemikiran yang orisinal sesuai dengan kepribadian bangsa masih lemah. Sebagian besar akademisi cenderung silau dan tidak kritis terhadap konsep-konsep asing.
"Indonesia adalah negara yang paling banyak melakukan proses peniruan kebijakan dari negara-negara lain. Sehingga tidak aneh sering terjadi kebijakan yang pada hakekatnya mengambil paham dari luar. Ini menyebabkan kita selalu gagal membangun paradigma pembangunan berdasarkan pandangan bangsa sendiri,” pungkasnya.
Budayakan Komeng selalu