- Beranda
- The Lounge
Fantine: Perempuan, Reproduksi, dan Penerimaan Sosial
...
TS
danielesrat
Fantine: Perempuan, Reproduksi, dan Penerimaan Sosial
Dalam layar perak lakon seorang manusia beserta problema dan karakternya seringkali dapat dijadikan pelajaran bagi para penikmatnya. Sederet imajinasi hingga kisah nyata telah ditampilkan. Berbagai watak, kebudayaan dan masalah hidup manusia dari zaman ke zaman terus menerus dipertontonkan, hingga kita dapat melihat dunia yang tidak pernah kita lihat secara langsung. Hingga kita dapat dipertemukan dengan gambaran kehidupan perancis tahun 1800-an yang digambarkan oleh manusia zaman sekarang lewat Film Les Misérables.
Les Misérables merupakan film drama musikal berdurasi dua setengah jam. Film ini akan mempertemukan kita pada tokoh cantik bernama Fantine. Diceritakan pada suatu hari Fantine menerima surat di pabrik tempat ia bekerja. Secara mengejutkan surat itu direbut dari Fantine oleh teman-temannya di pabrik dan akhirnya surat itu dibacakan di depan umum. Ternyata surat tersebut berisikan permintaan kepada Fantine agar segera mengirim uang kepada Thenardiers (pengasuh anaknya) karena anak tersebut sedang sakit. Seisi pabrik terkejut dan mencemoohnya mendengar fakta bahwa Fantine memiliki anak yang merupakan anak diluar pernikahan. Hingga akhirnya berita tabu tersebut memaksa sang mandor untuk memecat Frantine ditengah kesulitan ekonominya.
Dilihat secara sepintas dari kejadian itu tidak ada yang salah jika seisi pabrik mencemooh Fantine. Bahkan jatuhnya keputusan memecat Fantine dari sang mandor pun bisa kita anggap sesuatu yang benar secara nalar, walaupun mungkin ada perasaan iba di hati kita jika melihat posisi dari Fantine yang sedang kesulitan secara ekonomi. Tetapi kalau kita lihat lebih jauh layakkah jika kita mencemooh seorang perempuan yang mempunyai anak diluar nikah?
Pertanyaan ini menjadi penting apabila kita menghubungkan scene film tersebut dengan keadaan real jaman sekarang. Ditengah kemajuan teknologi kedokteran kita telah mengenal praktek aborsi. Secara hukum di Indonesia aborsi menjadi sah apabila dilakukan dengan alasan adanya indikasi dini kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa ibu/janin ataupun kehamilan bagi korban pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban rudapaksaan. Jika salah satu syarat itu tidak terpenuhi ada pelayanan pelaksanaan aborsi gelap yang siap membantu kita.
Praktek aborsi gelap pada saat ini sering sekali dijadikan salah satu cara penyelesaian bagi pasangan-pasangan yang hamil di luar ikatan perkimpoian. Berbagai macam alasan menjadi latar belakang dari tindakan ini. Mulai dari ketidaksiapan untuk menikah, keadaan ekonomi, ataupun ditinggal oleh pasangan seperti halnya Fantine sering kita dengar menjadi pemicunya
Lalu bagaimana nasib seorang perempuan yang tetap melahirkan bayi dalam kandungannya? Berbeda dengan mereka yang memutuskan untuk mengaborsi janinnya, perempuan yang tetap melahirkan bayinya diluar pernikahan yang sah harus menerima nasib sial. Bukan nasib sial karena sang bayi. Tapi nasib sial dimana harus menghadapi berbagai stigma dari masyarakat, stigma yang justru tidak didapatkan oleh perempuan yang berhasil menutup rapat perihal kehamilannya dengan aborsi. Sikap apakah yang harus diambil oleh masyarakat melihat gambaran tersebut? Masih bijakkah kita memberikan stigma kepada seorang perempuan yang tetap memperjuangkan darah dagingnya seperti Fantine? Fantine, seorang perempuan yang terbuang dari pekerjaannya dan akhirnya harus melacur demi sang anak.
Sumber Artikel
0
954
2
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925.1KThread•91KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya