Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ekijunedAvatar border
TS
ekijuned
Prahara Aceng Fikri dan Kejernihan Ketatanegaraan Kita
Prahara Aceng Fikri dan Kejernihan Ketatanegaraan Kita

Jika melihat hasil paripurna DPRD Garut terhadap pernikahan Aceng Fikri yang kemudian dikirimkan ke mahkamah Agung RI, dengan surat pengantar tertanggal 26 Desember 2012 perihal Penyampaian Keputusan Paripurna DPRD Kabupaten Garut nomor 30 tahun 2012 tentang Pendapat DPRD Kabupaten Garut. Sementara itu isi keputusan DPRD kabupaten Garut bukan memutuskan pemberhentian Aceng Fikri sebagai Bupati Garut, melainkan hanya pendapat:

1. DPRD Kabupaten Garut menduga Aceng Fikri telah melakukan pelanggaran UU no. 1/1974, dan UU no 32/2004.

2. DPRD Kabuten Garut mengusulkan agar Aceng Fikri sebagai Bupati Garut diberi sanksi sesuai UU no 32/2004.

3. DPRD Kabupaten Garut menyampaikan pendapat dan mengusulkan kepada MA sebagai yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRD Kabupaten Garut tersebut sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku.

Dimulai sejak dilayangkannya surat permintaan pendapat DPRD Kabupaten Garut kepada Mahkamah Agung itulah, ternyata membuat polemik tidak saja di berbagai media nasional, namun juga media asing. Sebut saja kantor berita BBC misalnya yang menurunkan berita dengan judul “After Indonesia Official Divorce Teenage Bridge”. Media Inggirs Guardian juga mengkritisi pernikahan Aceng ini, termasuk berbagai komentar dan opini dari berbagai kalangan, baik masyarakat umum, politisi lokal, ketua DPR, Mendagri, mantan Ketua MPR, gubernur Jawa Barat, dan masyarakat umum menyampaikan tanggapan miring terhadap pernikahan singkat Aceng Fikri ini. Walaupun berbagai pendapat yang disampaikan itu terasa hanya sebuah ungkapan emosional tanpa melihat secara jernih persoalan yang sebenarnya menerpa Aceng Fikri sebagai pribadi ataupun sebagai Bupati Garut.

Ketika berbicara Aceng Fikri yang menikahi Fanni Oktora, maka tentunya perlu dilihat sebagai pribadi yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan seorang warga negara Indonesia lainnya dalam menikahi seorang perempuan manapun sesuai hukum agama yang diyakininya, yang tentu dalam hal ini diakomodir dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkimpoian. Dan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat perkimpoian yang sah secara undang-undang yang berlaku. Yakni mencatatkan pernikahannya pada lembaga resmi keagamaan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut, adanya dua orang saksi, adanya persetujuan orang-tua mempelai perempuan, dan melaksanakan rukun pernikahan lainnya yang diatur oleh agama yang diyakininya.

Sementara itu, jika kita berbicara tentang Aceng Fikri sebagai Bupati Garut, maka perlu dilihat kembali berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Menariknya kasus Bupati Garut ini bisa kita eksplorasi berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam persepektif dari yang berbeda. Berikut sebagaimana disampaikan Sekjen DPD RI, Dr Ir Siti Nurbaya Bakar M.Sc yang juga pernah menduduki Sekjen Depdagri, memberikan pendapat agak berbeda dengan para politisi dan tokoh masyarakat lainnya.

Menurut Siti Nurbaya dalam salah salah satu media nasional pada Desember lalu, misalnya saja dalam Pasal 28 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah dilarang untuk mengambil keputusan yang bisa meresahkan masyarakat. Dalam Pasal 58 pada undang-undang yang sama juga disebutkan, kepala daerah tidak boleh melakukan perbuatan tercela. Kemudian pada pasal 110 yang mengatur tentang sumpah dan janji jabatan kepala daerah, antara lain, mengingatkan kepala daerah untuk melaksanakan undang-undang dengan selurus-lurusnya dan wajib mengabdi kepada masyarakat. Tak ada dalam undang-undang itu yang menyebut kata etika. Tetapi, bisa kita lihat semuanya sebenarnya bermuatan etika.

Disampaikan juga bahwa tentang Pasal 29 dalam UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur proses pemberhentian kepala daerah, seperti terhadap Bupati Garut, sebagaimana harapan masyarakat. Secara ringkas, isinya menyebutkan DPRD (dalam hal ini DPRD Garut) harus mengusulkan pemberhentian kepala daerah (Bupati Garut) ke Mahkamah Agung dengan alasan ada pelanggaran pidana.

Kemudian MA akan menjawab paling lambat 30 hari ke DPRD dan DPRD mengirimkan usul pemberhentian berdasarkan putusan MA kepada presiden dan presiden harus memutuskan paling lambat 30 hari untuk memberhentikannya.

Dijelaskannya bahwa paralel dengan itu, diatur juga dalam Pasal 32 bahwa dalam kondisi krisis kepercayaan yang meluas, DPRD bisa mengusulkan agar kepala daerah dinonaktifkan, dengan menyatakan bahwa ada pelanggaran pidana dan diusulkan untuk pemberhentian sementara yang disampaikan kepada presiden. Presiden kemudian bisa menonaktifkan kepala daerah atau memberhentikan sementara sambil menunggu hasil kerja dari MA.

Selanjutnya menurut Siti Nurbaya, memang mungkin kelihatannya cukup rumit. Tetapi, sebetulnya kalau DPRD Garut bekerja intensif melalui pansus, prosesnya bisa tidak lebih satu hingga dua minggu sejak pembentukan Pansus DPRD yang secara paralel mengerjakan proses mengacu Pasal 29 dan Pasal 32 UU Pemda. Apalagi, berbagai elemen masyarakat seperti juga pernyataan DPRD, secara bersama-sama akan berkolaborasi yang bermanfaat untuk kelengkapan informasi. Bisa ditekankan bahwa proses itu atas pertimbangan negara kita sebagai negara hukum dan sekaligus menjunjung tinggi HAM. Dengan demikian, masyarakat Indonesia dan dunia bisa memahami bahwa dasar dan pijakan hukum serta mekanisme kerja yang sistematis itu justru untuk menjawab keinginan masyarakat.

Disamping apa yang dijelaskan Siti Nurbaya di atas, perlu juga diketahui apakah prosedur dan administrasi ketatanegaraan telah ditempuh oleh DPRD Kabupaten Garut sesuai dengan undang-undangno 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 394 tentang hak DPRD Kota/Kabupaten yang menetapkan sebagai berikut:

- ayat (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat;

- ayat (2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
- ayat (3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- ayat (4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Berdasarkan hak DPRD Kabupaten Garut itu, jelas hanya berhak untuk melakukan a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat apabila ditemukan suatu kebijakan seorang Bupati atas pelanggaran pidana sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah.

Sementara itu seorang Aceng Fikri yang menikahi seorang perempuan, bertindak dan berkapasitas sebagai seorang pribadi warga negara dan seorang pemeluk agama Islam. Artinya yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat pernikahan yang berlaku dalam hukum Islam, bukan hukum positif. Karena hukum positif belum mampu menjangkau hukum Islam yang diyakininya. Aceng Fikri telah melakukan kewajiban seorang pribadi warganegara Indonesia lainnya, menikah dan menceraikan istrinya sesuai dengan aturan dan syarat-syarat agama yang diyakininya itu.

Prahara muncul kemudian, ketika pernikahannya itu ditangkap dan digulirkan sebagai isu politik menjelang pilkada Garut yang akan dimulai pada April 2013. Maka keputusan dan hak pribadi seorang Aceng Fikri telah dipolitisasi menjadi isu politik lokal dan bahkan menjadi isu politik nasional. Pernikahannya, menjadikan DPRD Kabupaten Garut menginisiasi Pansus Nikah Siri (apakah nikah siri sudah masuk perundang-undangan kita?), lalu dimusyawarahkan secara paripurna oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Garut, disusul dengan diajukan hasilnya ke Mahkamah Agung. Dengan demikian muncul pertanyaan, adakah pelanggaran pidana yang dilakukan Aceng Fikri yang mendasari MA melakukan pemeriksaan, persidangan, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRD Kabupaten Garut dalam kasus ini?

Apakah prahara pribadi Aceng Fikri, telah memenuhi substansi dan mekanisme pengambilan keputusan yang dilakukan DPRD Kabupaten Garut sesuai dengan syarat-syarat kebenaran dalam konstitusi sistem politik, hak asasi manusia, dan ketatanegaraan kita secara utuh? Lalu apakah kekeliruan beretika dapat dihukum dengan sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan sistem politik kita? ***

sumber: kompasiana.com
0
1.1K
4
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.5KThread41.3KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.