TS
dantd95
The Meaning
Cerita ini juga diikutkan di lomba [URL="http://www.S E N S O R/topic/show/1170454-lomba-cerbul-kasfan---edisi-epik-januari-13"]Cerpen Bulanan Edisi Januari (Edisi Epik) [/URL]di [URL="http://www.S E N S O R/group/show/63141-kastil-fantasi"]Grup Kastil Fantasi Goodreads.[/URL] Enjoy!
Matahari sore hari bersinar cerah, menghangatkan badan Reva. Dia sudah berjalan selama setengah jam karena ketinggalan satu-satunya bus yang melewati tujuannya, dan bukan main rasa gembira yang meluap dari dalam dadanya ketika baru saja tadi dia melihat tujuannya sudah dekat : sebuah desa kecil yang indah di pulau yang kecil pula, dihubungkan dengan darat oleh sebuah jembatan pendek. Rasa lelah mulai membuat kakinya gatal dan berat, tapi bantuan sinar matahari memberinya sedikit tenaga ekstra yang membuatnya bisa mencapai desa itu dengan mudah.
Dia mempercepat langkahnya dan tanpa lama mencapai jembatan. Ada plang di samping jembatan yang berbunyi : Desa Knorr. Reva berjalan terus, memasuki desa. Jalan di desa itu sempit dan curam, tapi rapi dan bersih. Bangunan-bangunannya tidak ada yang besar. Semua rumah disini terlihat agak tua, tapi warnanya beragam. Ada dermaga kecil tempat orang-orang menambatkan perahu mereka, yang semuanya dihiasi jala dan kail-kail.
Reva tiba disini dari tempat yang jauh. Demi suatu tujuan. Dia berjalan terus, sekedar untuk melihat-lihat desa ini dan merasakan suasananya. Aroma garam samar-samar menyeruak, menggenggam hidungnya. Sinar matahari yang cerah seolah memijat bahu dan sendi-sendinya. Suasana desa ini sendiri bagaikan selimut baginya. Baru beberapa menit dan dia sudah merasa betah.
Sayangnya, dia tidak bisa tinggal lama di sini. Ini hanyalah perhentian terakhir menuju sesuatu yang ingin ia capai. Segera ia berjalan menuju sebuah bangunan di ujung desa. Sebuah bangunan yang berdiam sendiri, tapi ramai. Ada tulisan di atas pintunya : Jack’s Tavern & Inn.
Saat langkah kaki Reva terdengar, semua orang melihat. Tidak biasanya ada seseorang dengan penampilan seperti dia : kulit sawo matang, badan tinggi, dan hidung pesek. Jelas, mereka tahu Reva bukan penduduk asli desa Knorr. Yang ditatap tidak begitu mengindahkan tatapan semua orang dan langsung bertanya pada bartender yang sedang berdiri di belakang meja bar, mengelap gelas,
“Ada yang bisa bawa saya ke Kastil?”
Sontak tatapan semua orang beralih dari Reva ke apapun yang bisa ditatap. Beberapa tertawa. Beberapa lagi pura-pura tidak mendengar. Terang saja Reva merasa aneh. Tapi dia sudah tahu beberapa hal mengenai Kastil dari sumber-sumber yang menurutnya bisa dipercaya.
Bartender itu menjawab, “Sepertinya kau terlalu sering baca novel fantasi, Nak.”
“Kenapa?” tanya Reva lagi, bingung.
“Biar kutekankan. Tak ada, tak ada yang pernah menemukan Kastil. Itu cuma mitos. Mengerti?”
“Terus kenapa kalian jadi aneh pas saya nanya soal Kastil? Jangan bilang kalian menutupi fakta kalau Kastil itu benar ada dari saya.”
“Itu...” tenggorokan si bartender serasa tercekat. Dia tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menjawab.
“Kalian takut? Oke, kalau gitu aku beli salah satu perahu yang ada disini dan pergi sendiri kesana. Gimana?”
Bisikan-bisikan terdengar di seluruh sudut bar. Si bartender sendiri tidak langsung menjawab. Dia melihat sosok Reva sekali lagi, dari kepala sampai kaki. Setelah puas barulah dia membuka mulutnya,
“Oke. Kamu bisa beli kapalku. Ayo ikut aku.”
Si bartender pun keluar dari bar itu, diikuti Reva. Mereka berjalan ke arah dermaga.
“Itu kapalnya.” Katanya sambil menunjuk ke arah sebuah kapal warna coklat. “Tahu cara pakainya?”
Reva mengangguk. Dia anak seorang nelayan, dan sejak kecil sering membantu ayahnya menjalankan kapal untuk mencari ikan.
“Nah, semua orang yang mencari Kastil biasanya akan mengarahkan kapalnya ke timur sampai sebelah sana, kemudian belok kiri dan lurus terus sampai desa ini tak bisa dilihat lagi.”
“Dari situ?”
“Aku tak tahu, Nak. Semua orang yang mencari Kastil menempuh jalur yang sama dan mereka semua tak pernah kembali. Bahkan aku tak yakin kalau Kastil itu sebenarnya ada. Aku sendiri berani menawarkan ini karena firasat. Matamu kosong. Sepertinya kamu sedang butuh tujuan, butuh sesuatu. Dan lagi, perahu itu nganggur. Lumayan uangnya bisa buat beli macam-macam.”
Reva terdiam sebentar. Ia mulai mengkhawatirkan keselamatannya sendiri. Tapi dia sudah menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk mencapai Kastil. Dia tipe orang yang tidak bisa mundur kalau dihentikan menjelang tujuannya. Sifat itu keluar, dan dia memutuskan untuk maju terus. Dia menyerahkan segepok uang pada si bartender, dan berkata,
“Aku akan tetap pergi, Pak. Terima kasih sarannya.”
“Kalau ada apa-apa, cepat putar balik dan kembali, Nak!”
Maka Reva menyalakan mesin perahu itu dan bergegas. Saat itu dia mulai berpikir. Merenung, mengingat bagaimana dia bisa sampai ke sini.
Sebulan yang lalu dia masih berada di depan komputer. Di meja kerja. Duduk dan mengetik, menangani berkas, menjalankan rutinitas yang bisa membuat siapa saja menguap. Dia seorang pekerja kantoran. Dan dia punya sebuah masalah.
Tiba-tiba saja dia mendengar soal Kastil dari beberapa orang. Awalnya dia meremehkannya karena menganggap hal itu cuma mitos, tapi dia tetap berniat untuk mencoba pergi kesana. Liburan, alasannya. Tabungannya sudah cukup banyak untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya.
Entah kenapa, makin mendekati akhir perjalanannya, ia makin percaya dengan cerita-cerita mengenai Kastil. Ia juga bermimpi enam hari berturut-turut soal kastil merah yang memiliki jawaban atas semua masalahnya. Rasa penasarannya menang, maka sekarang dia berada di perahu, di tengah laut.
Desa Knorr mulai jauh dari pandangan. Hati Reva mulai cemas. Di benaknya mulai terpikir untuk memutar balik dan kembali ke desa. Tapi entah kenapa dia tidak melakukannya. Pikiran itu tetap menjadi pikiran.
Tak lama, Desa Knorr benar-benar hilang dari pandangan. Kecemasan Reva bertambah. Tiba-tiba saja datanglah badai dan awan hitam dari langit, menutupi semuanya. Reva panik. Ia mencoba memutar balik, tapi anehnya dia tidak bisa keluar dari badai dan awan hitam ini. Desa Knorr sudah tidak terlihat lagi. Dia jadi tak tahu arah, dan penyesalan mulai menguasai isi hatinya.
Tapi saat asanya mulai hilang, itulah saat badai dan awan hitam itu tiba-tiba hilang dan Reva mendapati ada sebuah kastil merah yang besar di depannya. Kastil. Yang membuat ia heran bukan hanya fakta bahwa ia telah berhasil menemukan Kastil dan bahwa Kastil memang benar-benar ada. Ia juga kaget karena Kastil tidak seperti bayangannya.
Kastil ini bernuansa Asia, tepatnya Jepang. Atapnya oriental. Bentuknya seperti bangunan-bangunan yang bertumpuk. Warnanya merah, dominan merah. Bahkan sekeliling Kastil pun, yakni pulau kecil yang pas sekali besarnya untuk menampung Kastil, diisi tanaman bambu.
Perahu Reva segera berlabuh, dan dia turun. Pintu Kastil ternyata tidak ditutup, dikunci, ataupun dijaga. Kembali Reva dibuat bingung. Dia memilih untuk tidak langsung masuk dan diam sebentar, mengagumi keindahan eksterior Kastil sekaligus berpikir. Berpikir kenapa ada kastil seperti ini di tengah laut. Kastil bergaya Jepang yang tak begitu jauh dari sebuah desa di Eropa Utara, di tengah laut lepas! Bagaimana bisa?
Tidak, pikiran itu enyah dengan cepat. Dia tahu ada hal fantastis yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Orang-orang di kampung halamannya sangat percaya akan hal-hal yang gaib, hingga yang paling tua di antara mereka tidak percaya penjelasan Reva kalau telepon itu menggunakan teknologi, bukan ilmu hitam. Dan dia tahu kalau Kastil memang sesuatu yang mistis dari berbagai cerita, sumber, dan anekdot yang ia dapat.
Kaki Reva akhirnya bergerak, memasuki Kastil. Anehnya di Kastil nampaknya hanya ada satu ruangan yang besarnya bukan main, dengan isi yang kosong melompong. Putih. Semuanya putih. Kecuali satu titik hitam yang kecil di ujung ruangan, sekecil mungkin hingga dapat disebut “kecil” oleh kebanyakan orang tapi masih bisa dilihat Reva.
Satu demi satu langkah dijalani Reva. Setelah beberapa belas langkah, dia sadar titik itu makin lama makin besar. Saat ia mencapai titik tengah ruangan, warna hitam itu sudah sebesar dirinya sendiri. Bentuknya sendiri tidak beraturan, seperti gumpalan.
“Halo.”
Telinga Reva serasa disetrum mendengar suara itu. Suara itu sulit dijelaskan dengan kata-kata. Harus didengar agar bisa dimengerti bagaimana bentuk suaranya. Kata paling tepat untuk menjelaskannya mungkin ambigu. Suaranya bernada tinggi dan rendah di saat bersamaan, bervolume keras dan pelan di saat bersamaan, bahkan terdengar seperti laki-laki dan perempuan di saat bersamaan. Seolah gabungan dari semua suara manusia yang ada.
Reva menoleh ke belakang, ke depan, ke samping. Tidak ada lagi makhluk lain selain dia dan gumpalan hitam di depannya.
“Ini aku. Disini.”
Suaranya memang datang dari gumpalan hitam tak berbentuk itu. Reva terdiam kaku, antara ngeri, jijik, dan bingung.
“Oh, bentukku mungkin terlalu mengagetkan.” kata gumpalan hitam itu sambil berubah bentuk. Perlahan-lahan gumpalan itu menjadi debu hitam yang berkumpul dan membentuk sesosok orang tua pendek.
“Berapa kecepatan burung layang-layang yang tidak membawa apa-apa?”
“Yang dari Afrika atau Eropa?”
Orang tua itu tertawa. “Ah! Akhirnya ada juga yang tahu Monty Python.”
“Siapa mereka?”
Spoiler for Part 1:
Matahari sore hari bersinar cerah, menghangatkan badan Reva. Dia sudah berjalan selama setengah jam karena ketinggalan satu-satunya bus yang melewati tujuannya, dan bukan main rasa gembira yang meluap dari dalam dadanya ketika baru saja tadi dia melihat tujuannya sudah dekat : sebuah desa kecil yang indah di pulau yang kecil pula, dihubungkan dengan darat oleh sebuah jembatan pendek. Rasa lelah mulai membuat kakinya gatal dan berat, tapi bantuan sinar matahari memberinya sedikit tenaga ekstra yang membuatnya bisa mencapai desa itu dengan mudah.
Dia mempercepat langkahnya dan tanpa lama mencapai jembatan. Ada plang di samping jembatan yang berbunyi : Desa Knorr. Reva berjalan terus, memasuki desa. Jalan di desa itu sempit dan curam, tapi rapi dan bersih. Bangunan-bangunannya tidak ada yang besar. Semua rumah disini terlihat agak tua, tapi warnanya beragam. Ada dermaga kecil tempat orang-orang menambatkan perahu mereka, yang semuanya dihiasi jala dan kail-kail.
Reva tiba disini dari tempat yang jauh. Demi suatu tujuan. Dia berjalan terus, sekedar untuk melihat-lihat desa ini dan merasakan suasananya. Aroma garam samar-samar menyeruak, menggenggam hidungnya. Sinar matahari yang cerah seolah memijat bahu dan sendi-sendinya. Suasana desa ini sendiri bagaikan selimut baginya. Baru beberapa menit dan dia sudah merasa betah.
Sayangnya, dia tidak bisa tinggal lama di sini. Ini hanyalah perhentian terakhir menuju sesuatu yang ingin ia capai. Segera ia berjalan menuju sebuah bangunan di ujung desa. Sebuah bangunan yang berdiam sendiri, tapi ramai. Ada tulisan di atas pintunya : Jack’s Tavern & Inn.
Saat langkah kaki Reva terdengar, semua orang melihat. Tidak biasanya ada seseorang dengan penampilan seperti dia : kulit sawo matang, badan tinggi, dan hidung pesek. Jelas, mereka tahu Reva bukan penduduk asli desa Knorr. Yang ditatap tidak begitu mengindahkan tatapan semua orang dan langsung bertanya pada bartender yang sedang berdiri di belakang meja bar, mengelap gelas,
“Ada yang bisa bawa saya ke Kastil?”
Sontak tatapan semua orang beralih dari Reva ke apapun yang bisa ditatap. Beberapa tertawa. Beberapa lagi pura-pura tidak mendengar. Terang saja Reva merasa aneh. Tapi dia sudah tahu beberapa hal mengenai Kastil dari sumber-sumber yang menurutnya bisa dipercaya.
Bartender itu menjawab, “Sepertinya kau terlalu sering baca novel fantasi, Nak.”
“Kenapa?” tanya Reva lagi, bingung.
“Biar kutekankan. Tak ada, tak ada yang pernah menemukan Kastil. Itu cuma mitos. Mengerti?”
“Terus kenapa kalian jadi aneh pas saya nanya soal Kastil? Jangan bilang kalian menutupi fakta kalau Kastil itu benar ada dari saya.”
“Itu...” tenggorokan si bartender serasa tercekat. Dia tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menjawab.
“Kalian takut? Oke, kalau gitu aku beli salah satu perahu yang ada disini dan pergi sendiri kesana. Gimana?”
Bisikan-bisikan terdengar di seluruh sudut bar. Si bartender sendiri tidak langsung menjawab. Dia melihat sosok Reva sekali lagi, dari kepala sampai kaki. Setelah puas barulah dia membuka mulutnya,
“Oke. Kamu bisa beli kapalku. Ayo ikut aku.”
Si bartender pun keluar dari bar itu, diikuti Reva. Mereka berjalan ke arah dermaga.
“Itu kapalnya.” Katanya sambil menunjuk ke arah sebuah kapal warna coklat. “Tahu cara pakainya?”
Reva mengangguk. Dia anak seorang nelayan, dan sejak kecil sering membantu ayahnya menjalankan kapal untuk mencari ikan.
“Nah, semua orang yang mencari Kastil biasanya akan mengarahkan kapalnya ke timur sampai sebelah sana, kemudian belok kiri dan lurus terus sampai desa ini tak bisa dilihat lagi.”
“Dari situ?”
“Aku tak tahu, Nak. Semua orang yang mencari Kastil menempuh jalur yang sama dan mereka semua tak pernah kembali. Bahkan aku tak yakin kalau Kastil itu sebenarnya ada. Aku sendiri berani menawarkan ini karena firasat. Matamu kosong. Sepertinya kamu sedang butuh tujuan, butuh sesuatu. Dan lagi, perahu itu nganggur. Lumayan uangnya bisa buat beli macam-macam.”
Reva terdiam sebentar. Ia mulai mengkhawatirkan keselamatannya sendiri. Tapi dia sudah menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk mencapai Kastil. Dia tipe orang yang tidak bisa mundur kalau dihentikan menjelang tujuannya. Sifat itu keluar, dan dia memutuskan untuk maju terus. Dia menyerahkan segepok uang pada si bartender, dan berkata,
“Aku akan tetap pergi, Pak. Terima kasih sarannya.”
“Kalau ada apa-apa, cepat putar balik dan kembali, Nak!”
Maka Reva menyalakan mesin perahu itu dan bergegas. Saat itu dia mulai berpikir. Merenung, mengingat bagaimana dia bisa sampai ke sini.
Sebulan yang lalu dia masih berada di depan komputer. Di meja kerja. Duduk dan mengetik, menangani berkas, menjalankan rutinitas yang bisa membuat siapa saja menguap. Dia seorang pekerja kantoran. Dan dia punya sebuah masalah.
Tiba-tiba saja dia mendengar soal Kastil dari beberapa orang. Awalnya dia meremehkannya karena menganggap hal itu cuma mitos, tapi dia tetap berniat untuk mencoba pergi kesana. Liburan, alasannya. Tabungannya sudah cukup banyak untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya.
Entah kenapa, makin mendekati akhir perjalanannya, ia makin percaya dengan cerita-cerita mengenai Kastil. Ia juga bermimpi enam hari berturut-turut soal kastil merah yang memiliki jawaban atas semua masalahnya. Rasa penasarannya menang, maka sekarang dia berada di perahu, di tengah laut.
Desa Knorr mulai jauh dari pandangan. Hati Reva mulai cemas. Di benaknya mulai terpikir untuk memutar balik dan kembali ke desa. Tapi entah kenapa dia tidak melakukannya. Pikiran itu tetap menjadi pikiran.
Tak lama, Desa Knorr benar-benar hilang dari pandangan. Kecemasan Reva bertambah. Tiba-tiba saja datanglah badai dan awan hitam dari langit, menutupi semuanya. Reva panik. Ia mencoba memutar balik, tapi anehnya dia tidak bisa keluar dari badai dan awan hitam ini. Desa Knorr sudah tidak terlihat lagi. Dia jadi tak tahu arah, dan penyesalan mulai menguasai isi hatinya.
Tapi saat asanya mulai hilang, itulah saat badai dan awan hitam itu tiba-tiba hilang dan Reva mendapati ada sebuah kastil merah yang besar di depannya. Kastil. Yang membuat ia heran bukan hanya fakta bahwa ia telah berhasil menemukan Kastil dan bahwa Kastil memang benar-benar ada. Ia juga kaget karena Kastil tidak seperti bayangannya.
Kastil ini bernuansa Asia, tepatnya Jepang. Atapnya oriental. Bentuknya seperti bangunan-bangunan yang bertumpuk. Warnanya merah, dominan merah. Bahkan sekeliling Kastil pun, yakni pulau kecil yang pas sekali besarnya untuk menampung Kastil, diisi tanaman bambu.
Perahu Reva segera berlabuh, dan dia turun. Pintu Kastil ternyata tidak ditutup, dikunci, ataupun dijaga. Kembali Reva dibuat bingung. Dia memilih untuk tidak langsung masuk dan diam sebentar, mengagumi keindahan eksterior Kastil sekaligus berpikir. Berpikir kenapa ada kastil seperti ini di tengah laut. Kastil bergaya Jepang yang tak begitu jauh dari sebuah desa di Eropa Utara, di tengah laut lepas! Bagaimana bisa?
Tidak, pikiran itu enyah dengan cepat. Dia tahu ada hal fantastis yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Orang-orang di kampung halamannya sangat percaya akan hal-hal yang gaib, hingga yang paling tua di antara mereka tidak percaya penjelasan Reva kalau telepon itu menggunakan teknologi, bukan ilmu hitam. Dan dia tahu kalau Kastil memang sesuatu yang mistis dari berbagai cerita, sumber, dan anekdot yang ia dapat.
Kaki Reva akhirnya bergerak, memasuki Kastil. Anehnya di Kastil nampaknya hanya ada satu ruangan yang besarnya bukan main, dengan isi yang kosong melompong. Putih. Semuanya putih. Kecuali satu titik hitam yang kecil di ujung ruangan, sekecil mungkin hingga dapat disebut “kecil” oleh kebanyakan orang tapi masih bisa dilihat Reva.
Satu demi satu langkah dijalani Reva. Setelah beberapa belas langkah, dia sadar titik itu makin lama makin besar. Saat ia mencapai titik tengah ruangan, warna hitam itu sudah sebesar dirinya sendiri. Bentuknya sendiri tidak beraturan, seperti gumpalan.
“Halo.”
Telinga Reva serasa disetrum mendengar suara itu. Suara itu sulit dijelaskan dengan kata-kata. Harus didengar agar bisa dimengerti bagaimana bentuk suaranya. Kata paling tepat untuk menjelaskannya mungkin ambigu. Suaranya bernada tinggi dan rendah di saat bersamaan, bervolume keras dan pelan di saat bersamaan, bahkan terdengar seperti laki-laki dan perempuan di saat bersamaan. Seolah gabungan dari semua suara manusia yang ada.
Reva menoleh ke belakang, ke depan, ke samping. Tidak ada lagi makhluk lain selain dia dan gumpalan hitam di depannya.
“Ini aku. Disini.”
Suaranya memang datang dari gumpalan hitam tak berbentuk itu. Reva terdiam kaku, antara ngeri, jijik, dan bingung.
“Oh, bentukku mungkin terlalu mengagetkan.” kata gumpalan hitam itu sambil berubah bentuk. Perlahan-lahan gumpalan itu menjadi debu hitam yang berkumpul dan membentuk sesosok orang tua pendek.
“Berapa kecepatan burung layang-layang yang tidak membawa apa-apa?”
“Yang dari Afrika atau Eropa?”
Orang tua itu tertawa. “Ah! Akhirnya ada juga yang tahu Monty Python.”
“Siapa mereka?”
0
1.6K
Kutip
14
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•261Anggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru