- Beranda
- Stories from the Heart
[CERPEN] Watashi No Atama Kara
...
TS
aurora..
[CERPEN] Watashi No Atama Kara
Di sebuah SMA negeri di kota Bandung, yang gedungnya tidak terlalu besar tetapi penuh dengan suara tawa para murid, hiduplah seorang remaja laki-laki bernama Tame Okamoto, usia 16 tahun.
Tame adalah anak yang sedikit kurus, rambutnya yang curly low fade selalu sedikit acak-acakan, dan tatapannya sering gugup. Bukan gugup kepada guru, bukan pula kepada para preman sekolah yang sering nongkrong di belakang kantin, melainkan kepada seseorang yang sama sekali tidak menakutkan bagi orang lain, yaitu Bu Yuli, sang ibu kantin.
Bu Yuli. Wanita yang setiap pagi datang paling pertama ke sekolah, membuka warung kantin, memasak soto ayam, bakwan, dan nasi goreng dengan wajah ramah. Tidak ada yang salah dengan Bu Yuli. Tidak pernah terdengar kabar wanita itu memarahi murid, apalagi sampai menyakiti anak-anak. Namun, bagi Tame, melihat sosok Bu Yuli seperti melihat bayangan monster penyiksa yang sangat kejam.
Setiap kali Tame bertemu Bu Yuli, Tame langsung berlari sekuat tenaga seperti dikejar monster.
“Pagi, Nak Tame!”
“Whoaaa—!”
Tame spontan berlari zig-zag menghindari wanita itu sambil berteriak histeris, membuat teman-temannya tertawa.
“Kamu kenapa, Tame?” tanya Ayako Kitahara suatu kali, sambil menutup mulutnya menahan tawa
Ayako Kitahara, pacar Tame, adalah teman sekelas Tame. Rambutnya panjang dan lurus, matanya tajam tetapi lembut, dan Ayako terkenal sebagai salah satu siswi dengan nilai terbaik. Tame sangat menyukai Ayako. Hubungan mereka baru berjalan 7 bulan, tetapi bagi Tame, Ayako adalah cahaya dalam hidupnya.
“A—aku… aku nggak tahu, Ayako. Kalau lihat Bu Yuli, rasanya kayak… dia mau jahatin aku,” jawab Tame dengan terbata-bata
“Aduh Tame, yang lebih bahaya itu kalau nilai kamu jelek gara-gara kamu terlalu fokus sama ketakutan kamu,” goda Ayako, sambil mencubit lengan Tame
Tame hanya meringis malu.
“Ayako, aku sama sekali nggak bercanda! Bu Yuli itu beneran bisa jahatin aku!” ucap Tame dengan nada panik
Ayako tertawa kecil.
“Tame, Bu Yuli itu tidak jahat. Itu cuma ada di kepalamu saja. Kimi no atama kara. Ketakutan itu cuma ada di kepalamu.” ucap Ayako
Tame ingin menyangkal, tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Tame sendiri tidak mengerti mengapa ketakutan aneh itu bisa muncul.
***
Hari itu, matahari siang menyorot keras melalui jendela kelas. Ayako tampak gelisah, duduk di kursinya sambil memainkan ujung rambut. Tame mendekatinya dengan senyum gugup seperti biasa.
“Ayako, nanti kita makan siang bareng, ya? Tapi jangan ke kantin, aku—”
“Tame.” ucap Ayako
Nada suara Ayako terlalu serius.
Tame berhenti.
“A—ada apa?” tanya Tame
Ayako menatap Tame lama, lalu menghela napas.
“Aku mau kita putus.” ucap Ayako tegas
Waktu seolah berhenti. Dentingan di kelas, suara tawa teman-teman, langkah kaki guru di lorong, semuanya lenyap digantikan dengan dengungan kosong.
“Putus?” tanya Tame, sambil memaksa untuk tersenyum
“K—kenapa? Aku salah apa?”
“Aku dengar kamu jalan sama cewek kelas sebelah minggu lalu. Katanya kamu sama cewek itu kelihatan akrab. A—aku… aku nggak mau pacaran sama cowok yang nggak jujur kayak kamu.”
“Hah? Cewek mana? Aku cuma—” ucap Tame dengan ekspresi bingung
“Tame, aku nggak mau pacaran sama cowok pengkhianat kayak kamu. Kita sudahi saja hubungan kita sampai di sini.” ucap Ayako tegas
Tame nyaris tersedak saat menelan ludah, tetapi ia mencoba tegar dan tidak menangis. Dengan kekuatan yang ia sendiri tidak tahu dari mana, ia berusaha tersenyum.
“Oke, kalau itu keputusan kamu.” ucap Tame
Ayako menunduk seperti merasa bersalah, tetapi tetap berdiri dan pergi. Tame terpaku. Hatinya tercekat, tetapi ia menahan semua rasa sakit itu dengan senyuman palsu, setidaknya sampai malam tiba.
Di kamarnya, ketika lampu telah menyala redup dan suara kendaraan di luar mulai sepi, Tame mulai menangis. Bantalnya basah. Tame menggenggam dadanya, merasa sesak sekaligus kelelahan.
“Ayako…”
Kata itu keluar berkali-kali, seperti mantra patah hati yang tidak bisa ia hentikan.
***
Sejak putus dengan Ayako, hidup Tame berantakan. Nilai sekolahnya turun drastis. PR-nya sering lupa dikumpulkan. Tame juga sering kehilangan fokus. Guru BK akhirnya terpaksa memanggil orang tua Tame.
“Anak kalian mengalami penurunan prestasi yang sangat signifikan. Jika Tame begini terus, Tame bisa tidak naik kelas. Bahkan, Tame bisa saya kembalikan ke orang tua,” ucap Bu Galuh, sang wali kelas
Ayah dan ibu Tame terkejut. Tame hanya bisa menunduk, wajahnya pucat.
“Kamu ini sebenarnya kenapa, Tame?” tanya ibu Tame, suaranya bergetar
“A—aku… aku cuma terlalu capek.” jawab Tame
Ayahnya memandang Tame tajam, tetapi tidak marah.
“Kalau memang ada masalah, bilang saja ke Papa. Jangan dipendam.” ucap ayah Tame
Tame ingin bicara, tetapi lidahnya kelu. Tame tidak bisa mengatakan bahwa ia sudah mencapai titik patah emosional. Dan Tame juga tidak bisa mengakui bahwa ia takut setengah mati kepada Bu Yuli, ketakutan yang bahkan tidak masuk akal untuk diceritakan kepada orang tuanya.
***
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Tame merasa kepalanya berat dan badannya demam. Hidungnya tiba-tiba berdarah. Tame panik, memegangi tisu, tetapi darah keluar terus. Tubuhnya lesu, lemas, dan di kakinya mulai muncul lebam biru keunguan tanpa sebab.
“Kakiku kenapa ini?” gumam Tame dengan suara yang hampir tidak terdengar
Ketika Tame pulang, Bu Yuli, yang kebetulan lewat di depan rumah Tame, melihat kondisi Tame dari kejauhan.
“Nak Tame, kamu kelihatan pucat. Kamu demam?”
“A—AAHHH!!” teriak Tame dengan histeris, seperti melihat hantu
Tame berlari masuk kamar, dan langsung mengunci pintu.
Bu Yuli terkejut sampai mundur setengah langkah.
“Tame? Kamu kenapa, Nak? Ibu cuma mau pastikan kalau kamu sehat…”
Tidak ada jawaban. Tame menaikkan semua kunci, menutup gorden, dan menyembunyikan dirinya di balik ranjang.
Tame gemetar hebat. Dalam benak Tame, Bu Yuli adalah ancaman yang bisa menyakitinya. Ketakutan yang lahir entah dari mana, tetapi nyata baginya. Padahal itu semua hanya berasal dari kepalanya sendiri.
***
Tame akhirnya dibawa ke rumah sakit ketika suatu pagi ia pingsan di kamar mandi. Tes darah, biopsi sumsum tulang, dan beberapa pemeriksaan medis akhirnya dilakukan.
Hasilnya keluar 3 hari kemudian.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, Tame terdiagnosis menderita leukemia akut jenis T-cell ALL,” ucap dokter itu dengan nada hati-hati
Ibu Tame menutup mulutnya menahan tangis. Ayahnya duduk diam, wajahnya menegang. Tame hanya menatap kosong.
Leukemia akut.
Kanker darah.
Tenaga Tame seperti diperas paksa sampai kering.
Yang paling menyakitkan bukanlah penyakitnya, melainkan kenyataan bahwa Ayako sekarang tidak peduli sama sekali. Setelah mengetahui kondisi Tame dari teman-teman kelas, Ayako hanya mengangguk tanpa ekspresi. Keesokan harinya, Ayako terlihat menggandeng tangan laki-laki baru, seorang atlet renang sekolah yang tinggi, tampan, dan disukai semua orang.
Tame merasa hancur, tetapi ia terlalu lelah untuk marah.
Namun, ada satu hal aneh.
Setiap hari di depan kamar kemoterapinya, selalu ada setangkai mawar putih. Tidak pernah absen. Diletakkan tepat di depan pintu, diam-diam. Tanpa kartu, tanpa pesan, tanpa kata-kata.
“Mawar ini dari Papa?”
Ayah Tame menggeleng.
“Dari Mama?”
Ibu Tame juga menggeleng.
“Dari Ayako?”
Ayah dan ibunya hanya saling pandang, tidak tega mengatakan kenyataan bahwa Ayako bahkan tidak mau datang.
Siapa pun pemberinya, Tame menyimpan setiap mawar putih itu di buku catatannya, lalu menekannya perlahan supaya tetap awet.
Mawar putih dan warna sel darah putih. Entah mengapa, dua hal itu terasa terlalu pas.
***
Keadaan Tame memburuk dalam 2 bulan. Trombositnya sangat rendah, dan Tame juga menderita anemia berat. Dokter menyarankan supaya Tame menjalani cangkok sumsum tulang di luar negeri. Setelah berdiskusi dan mengumpulkan biaya dari tabungan keluarga serta bantuan saudara, dokter memutuskan untuk membawa Tame ke Bangkok, Thailand, untuk menjalani prosedur yang lebih canggih.
Kota Bangkok terasa asing. Bau antiseptik rumah sakit internasional terasa menusuk hidung Tame. Tame harus tinggal di ruang isolasi steril, tanpa sentuhan manusia, tanpa udara luar.
Hari-hari berlalu lambat. Tubuhnya semakin kurus, rambutnya rontok. Kadang, Tame merasa ingin menyerah, tetapi setiap kali melihat lembar-lembar mawar putih kering yang ia bawa dari Bandung, ia merasa harus bertahan.
“Siapa pun orang yang sudah kasih aku mawar ini, terima kasih, ya,” gumam Tame
Operasi itu berlangsung selama beberapa jam. Dan akhirnya, setelah berminggu-minggu lamanya, dokter menyatakan bahwa kondisi Tame stabil. Tame boleh keluar dari ruang isolasi.
Saat itulah, ayah Tame bercerita.
“T—Tame.”
“Hmm?”
“Kamu beneran ingin tahu, sayang, siapa yang selama ini kirim mawar putih itu?” tanya ayahnya
Tame mengangguk.
Ayahnya tersenyum, lalu mengusap kepala putranya yang kini hampir botak.
“Itu… Bu Yuli.” jawab ayahnya
Tame terdiam.
“Bu… Yuli?” ulang Tame
“Iya, sayang. Katanya Bu Yuli, warna putih itu lambang kekuatan untuk pasien kanker sel darah putih. Katanya, Bu Yuli selalu mendoakan kamu setiap hari.” jawab ayahnya
Tame membeku. Dunia seperti berhenti sesaat. Kenangan tentang Bu Yuli yang terlihat menakutkan menari-nari di kepalanya. Semua lari paniknya, semua ketakutannya yang tidak beralasan, semuanya tiba-tiba tampak begitu memalukan.
“Tapi… aku… aku takut sama beliau…” ucap Tame
“Ayah tahu,” jawab ayahnya dengan lembut
“Tapi, ketakutan kamu itu tidak nyata. Ketakutan itu cuma ada di kepalamu sendiri. Kimi no atama kara.” lanjut ayahnya
Kata-kata itu seperti palu besar yang menghantam Tame. Tame menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan menangis lama. Perasaan menyesal, terharu, dan lega bercampur menjadi satu.
***
Tiga bulan setelah operasi, Tame diperbolehkan pulang ke Indonesia. Tubuhnya jauh lebih sehat. Lengannya mulai berisi, matanya lebih cerah. Meskipun rambutnya masih tipis, Tame merasa seperti hidup sebagai manusia baru.
Ketika Tame kembali ke sekolah untuk mengambil berkas administrasi, banyak teman memandangnya dengan rasa bersalah karena dulu sempat menjauhinya. Namun, Tame tidak marah. Ia justru bersyukur bisa kembali menghirup udara Bandung.
Yang pertama ia datangi bukan kelas, bukan ruang guru, melainkan kantin sekolah.
Di sana, Bu Yuli tengah menata gorengan. Wanita itu terkejut luar biasa saat melihat Tame.
“T—Tame? Ya ampun! Kamu sudah pulang?” tanya Bu Yuli
Tame menelan ludah. Meskipun rasa takutnya sudah jauh mereda, jantungnya masih sedikit berdebar dan wajahnya sedikit pucat. Namun, Tame berusaha tersenyum.
“Bu Yuli, terima kasih.” ucap Tame tulus
“Terima kasih?” ulang Bu Yuli bingung
Tame mengangguk.
“Untuk semua mawar putihnya. Untuk doanya. Untuk semuanya…” ucap Tame
Saat itu, barulah Bu Yuli menutup mulutnya dengan tangannya. Mata Bu Yuli seketika berkaca-kaca.
“Oh, Tame. Ibu cuma ingin kamu sehat. Maaf kalau Ibu dulu suka buat kamu takut. Tapi Ibu sayang sama semua anak di sekolah ini. Termasuk kamu.” ucap Bu Yuli tulus
Untuk pertama kalinya, dalam 16 tahun hidupnya, Tame memeluk Bu Yuli. Dan untuk pertama kalinya juga, Tame merasa hangat, tidak takut.
“Maafkan saya, Bu. Semua ketakutan itu cuma…”
“Watashi no atama kara,” lanjut Tame dengan senyum malu-malu
Bu Yuli tertawa, sambil mengusap pelan kepala Tame.
“Tidak apa-apa, Nak. Yang penting sekarang kamu sudah sembuh.”
***
Hari-hari berikutnya, Tame kembali bersekolah. Nilainya membaik. Tame lebih rajin belajar. Bahkan, Tame mulai membantu Bu Yuli di kantin setelah jam pelajaran selesai, sekadar untuk mengobrol, atau membantu mengangkat galon air.
Tame juga tidak lagi memikirkan Ayako. Ayako memang pernah menjadi cahaya, tetapi cahayanya telah padam. Dan kini, Tame tidak membutuhkan cahaya itu lagi. Sebab, ia sudah menemukan cahaya lain, baik dari dirinya sendiri, dari keluarganya, dan dari orang-orang yang tulus mendoakannya, termasuk Bu Yuli.
Setiap pagi, ketika datang ke sekolah, Bu Yuli selalu menyapa Tame.
“Pagi, Tame!” sapa Bu Yuli
Dan kini, tanpa lari atau panik, Tame menjawab dengan wajah tenang.
“Pagi, Bu Yuli! Hari ini Ibu jualan soto, ya?” tanya Tame sopan
Dan hidup Tame terus berjalan. Tidak sempurna, tetapi cukup. Tidak selalu indah, tetapi kini lebih hangat.
Dan semua ketakutan yang dulu terasa begitu menyiksa dan melelahkan bagi Tame, ternyata hanya “kare no atama kara”, hanya berasal dari kepalanya sendiri.
TAMAT
@yuki26 @siloh @bukhorigan
Tame adalah anak yang sedikit kurus, rambutnya yang curly low fade selalu sedikit acak-acakan, dan tatapannya sering gugup. Bukan gugup kepada guru, bukan pula kepada para preman sekolah yang sering nongkrong di belakang kantin, melainkan kepada seseorang yang sama sekali tidak menakutkan bagi orang lain, yaitu Bu Yuli, sang ibu kantin.
Bu Yuli. Wanita yang setiap pagi datang paling pertama ke sekolah, membuka warung kantin, memasak soto ayam, bakwan, dan nasi goreng dengan wajah ramah. Tidak ada yang salah dengan Bu Yuli. Tidak pernah terdengar kabar wanita itu memarahi murid, apalagi sampai menyakiti anak-anak. Namun, bagi Tame, melihat sosok Bu Yuli seperti melihat bayangan monster penyiksa yang sangat kejam.
Setiap kali Tame bertemu Bu Yuli, Tame langsung berlari sekuat tenaga seperti dikejar monster.
“Pagi, Nak Tame!”
“Whoaaa—!”
Tame spontan berlari zig-zag menghindari wanita itu sambil berteriak histeris, membuat teman-temannya tertawa.
“Kamu kenapa, Tame?” tanya Ayako Kitahara suatu kali, sambil menutup mulutnya menahan tawa
Ayako Kitahara, pacar Tame, adalah teman sekelas Tame. Rambutnya panjang dan lurus, matanya tajam tetapi lembut, dan Ayako terkenal sebagai salah satu siswi dengan nilai terbaik. Tame sangat menyukai Ayako. Hubungan mereka baru berjalan 7 bulan, tetapi bagi Tame, Ayako adalah cahaya dalam hidupnya.
“A—aku… aku nggak tahu, Ayako. Kalau lihat Bu Yuli, rasanya kayak… dia mau jahatin aku,” jawab Tame dengan terbata-bata
“Aduh Tame, yang lebih bahaya itu kalau nilai kamu jelek gara-gara kamu terlalu fokus sama ketakutan kamu,” goda Ayako, sambil mencubit lengan Tame
Tame hanya meringis malu.
“Ayako, aku sama sekali nggak bercanda! Bu Yuli itu beneran bisa jahatin aku!” ucap Tame dengan nada panik
Ayako tertawa kecil.
“Tame, Bu Yuli itu tidak jahat. Itu cuma ada di kepalamu saja. Kimi no atama kara. Ketakutan itu cuma ada di kepalamu.” ucap Ayako
Tame ingin menyangkal, tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Tame sendiri tidak mengerti mengapa ketakutan aneh itu bisa muncul.
***
Hari itu, matahari siang menyorot keras melalui jendela kelas. Ayako tampak gelisah, duduk di kursinya sambil memainkan ujung rambut. Tame mendekatinya dengan senyum gugup seperti biasa.
“Ayako, nanti kita makan siang bareng, ya? Tapi jangan ke kantin, aku—”
“Tame.” ucap Ayako
Nada suara Ayako terlalu serius.
Tame berhenti.
“A—ada apa?” tanya Tame
Ayako menatap Tame lama, lalu menghela napas.
“Aku mau kita putus.” ucap Ayako tegas
Waktu seolah berhenti. Dentingan di kelas, suara tawa teman-teman, langkah kaki guru di lorong, semuanya lenyap digantikan dengan dengungan kosong.
“Putus?” tanya Tame, sambil memaksa untuk tersenyum
“K—kenapa? Aku salah apa?”
“Aku dengar kamu jalan sama cewek kelas sebelah minggu lalu. Katanya kamu sama cewek itu kelihatan akrab. A—aku… aku nggak mau pacaran sama cowok yang nggak jujur kayak kamu.”
“Hah? Cewek mana? Aku cuma—” ucap Tame dengan ekspresi bingung
“Tame, aku nggak mau pacaran sama cowok pengkhianat kayak kamu. Kita sudahi saja hubungan kita sampai di sini.” ucap Ayako tegas
Tame nyaris tersedak saat menelan ludah, tetapi ia mencoba tegar dan tidak menangis. Dengan kekuatan yang ia sendiri tidak tahu dari mana, ia berusaha tersenyum.
“Oke, kalau itu keputusan kamu.” ucap Tame
Ayako menunduk seperti merasa bersalah, tetapi tetap berdiri dan pergi. Tame terpaku. Hatinya tercekat, tetapi ia menahan semua rasa sakit itu dengan senyuman palsu, setidaknya sampai malam tiba.
Di kamarnya, ketika lampu telah menyala redup dan suara kendaraan di luar mulai sepi, Tame mulai menangis. Bantalnya basah. Tame menggenggam dadanya, merasa sesak sekaligus kelelahan.
“Ayako…”
Kata itu keluar berkali-kali, seperti mantra patah hati yang tidak bisa ia hentikan.
***
Sejak putus dengan Ayako, hidup Tame berantakan. Nilai sekolahnya turun drastis. PR-nya sering lupa dikumpulkan. Tame juga sering kehilangan fokus. Guru BK akhirnya terpaksa memanggil orang tua Tame.
“Anak kalian mengalami penurunan prestasi yang sangat signifikan. Jika Tame begini terus, Tame bisa tidak naik kelas. Bahkan, Tame bisa saya kembalikan ke orang tua,” ucap Bu Galuh, sang wali kelas
Ayah dan ibu Tame terkejut. Tame hanya bisa menunduk, wajahnya pucat.
“Kamu ini sebenarnya kenapa, Tame?” tanya ibu Tame, suaranya bergetar
“A—aku… aku cuma terlalu capek.” jawab Tame
Ayahnya memandang Tame tajam, tetapi tidak marah.
“Kalau memang ada masalah, bilang saja ke Papa. Jangan dipendam.” ucap ayah Tame
Tame ingin bicara, tetapi lidahnya kelu. Tame tidak bisa mengatakan bahwa ia sudah mencapai titik patah emosional. Dan Tame juga tidak bisa mengakui bahwa ia takut setengah mati kepada Bu Yuli, ketakutan yang bahkan tidak masuk akal untuk diceritakan kepada orang tuanya.
***
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Tame merasa kepalanya berat dan badannya demam. Hidungnya tiba-tiba berdarah. Tame panik, memegangi tisu, tetapi darah keluar terus. Tubuhnya lesu, lemas, dan di kakinya mulai muncul lebam biru keunguan tanpa sebab.
“Kakiku kenapa ini?” gumam Tame dengan suara yang hampir tidak terdengar
Ketika Tame pulang, Bu Yuli, yang kebetulan lewat di depan rumah Tame, melihat kondisi Tame dari kejauhan.
“Nak Tame, kamu kelihatan pucat. Kamu demam?”
“A—AAHHH!!” teriak Tame dengan histeris, seperti melihat hantu
Tame berlari masuk kamar, dan langsung mengunci pintu.
Bu Yuli terkejut sampai mundur setengah langkah.
“Tame? Kamu kenapa, Nak? Ibu cuma mau pastikan kalau kamu sehat…”
Tidak ada jawaban. Tame menaikkan semua kunci, menutup gorden, dan menyembunyikan dirinya di balik ranjang.
Tame gemetar hebat. Dalam benak Tame, Bu Yuli adalah ancaman yang bisa menyakitinya. Ketakutan yang lahir entah dari mana, tetapi nyata baginya. Padahal itu semua hanya berasal dari kepalanya sendiri.
***
Tame akhirnya dibawa ke rumah sakit ketika suatu pagi ia pingsan di kamar mandi. Tes darah, biopsi sumsum tulang, dan beberapa pemeriksaan medis akhirnya dilakukan.
Hasilnya keluar 3 hari kemudian.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, Tame terdiagnosis menderita leukemia akut jenis T-cell ALL,” ucap dokter itu dengan nada hati-hati
Ibu Tame menutup mulutnya menahan tangis. Ayahnya duduk diam, wajahnya menegang. Tame hanya menatap kosong.
Leukemia akut.
Kanker darah.
Tenaga Tame seperti diperas paksa sampai kering.
Yang paling menyakitkan bukanlah penyakitnya, melainkan kenyataan bahwa Ayako sekarang tidak peduli sama sekali. Setelah mengetahui kondisi Tame dari teman-teman kelas, Ayako hanya mengangguk tanpa ekspresi. Keesokan harinya, Ayako terlihat menggandeng tangan laki-laki baru, seorang atlet renang sekolah yang tinggi, tampan, dan disukai semua orang.
Tame merasa hancur, tetapi ia terlalu lelah untuk marah.
Namun, ada satu hal aneh.
Setiap hari di depan kamar kemoterapinya, selalu ada setangkai mawar putih. Tidak pernah absen. Diletakkan tepat di depan pintu, diam-diam. Tanpa kartu, tanpa pesan, tanpa kata-kata.
“Mawar ini dari Papa?”
Ayah Tame menggeleng.
“Dari Mama?”
Ibu Tame juga menggeleng.
“Dari Ayako?”
Ayah dan ibunya hanya saling pandang, tidak tega mengatakan kenyataan bahwa Ayako bahkan tidak mau datang.
Siapa pun pemberinya, Tame menyimpan setiap mawar putih itu di buku catatannya, lalu menekannya perlahan supaya tetap awet.
Mawar putih dan warna sel darah putih. Entah mengapa, dua hal itu terasa terlalu pas.
***
Keadaan Tame memburuk dalam 2 bulan. Trombositnya sangat rendah, dan Tame juga menderita anemia berat. Dokter menyarankan supaya Tame menjalani cangkok sumsum tulang di luar negeri. Setelah berdiskusi dan mengumpulkan biaya dari tabungan keluarga serta bantuan saudara, dokter memutuskan untuk membawa Tame ke Bangkok, Thailand, untuk menjalani prosedur yang lebih canggih.
Kota Bangkok terasa asing. Bau antiseptik rumah sakit internasional terasa menusuk hidung Tame. Tame harus tinggal di ruang isolasi steril, tanpa sentuhan manusia, tanpa udara luar.
Hari-hari berlalu lambat. Tubuhnya semakin kurus, rambutnya rontok. Kadang, Tame merasa ingin menyerah, tetapi setiap kali melihat lembar-lembar mawar putih kering yang ia bawa dari Bandung, ia merasa harus bertahan.
“Siapa pun orang yang sudah kasih aku mawar ini, terima kasih, ya,” gumam Tame
Operasi itu berlangsung selama beberapa jam. Dan akhirnya, setelah berminggu-minggu lamanya, dokter menyatakan bahwa kondisi Tame stabil. Tame boleh keluar dari ruang isolasi.
Saat itulah, ayah Tame bercerita.
“T—Tame.”
“Hmm?”
“Kamu beneran ingin tahu, sayang, siapa yang selama ini kirim mawar putih itu?” tanya ayahnya
Tame mengangguk.
Ayahnya tersenyum, lalu mengusap kepala putranya yang kini hampir botak.
“Itu… Bu Yuli.” jawab ayahnya
Tame terdiam.
“Bu… Yuli?” ulang Tame
“Iya, sayang. Katanya Bu Yuli, warna putih itu lambang kekuatan untuk pasien kanker sel darah putih. Katanya, Bu Yuli selalu mendoakan kamu setiap hari.” jawab ayahnya
Tame membeku. Dunia seperti berhenti sesaat. Kenangan tentang Bu Yuli yang terlihat menakutkan menari-nari di kepalanya. Semua lari paniknya, semua ketakutannya yang tidak beralasan, semuanya tiba-tiba tampak begitu memalukan.
“Tapi… aku… aku takut sama beliau…” ucap Tame
“Ayah tahu,” jawab ayahnya dengan lembut
“Tapi, ketakutan kamu itu tidak nyata. Ketakutan itu cuma ada di kepalamu sendiri. Kimi no atama kara.” lanjut ayahnya
Kata-kata itu seperti palu besar yang menghantam Tame. Tame menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan menangis lama. Perasaan menyesal, terharu, dan lega bercampur menjadi satu.
***
Tiga bulan setelah operasi, Tame diperbolehkan pulang ke Indonesia. Tubuhnya jauh lebih sehat. Lengannya mulai berisi, matanya lebih cerah. Meskipun rambutnya masih tipis, Tame merasa seperti hidup sebagai manusia baru.
Ketika Tame kembali ke sekolah untuk mengambil berkas administrasi, banyak teman memandangnya dengan rasa bersalah karena dulu sempat menjauhinya. Namun, Tame tidak marah. Ia justru bersyukur bisa kembali menghirup udara Bandung.
Yang pertama ia datangi bukan kelas, bukan ruang guru, melainkan kantin sekolah.
Di sana, Bu Yuli tengah menata gorengan. Wanita itu terkejut luar biasa saat melihat Tame.
“T—Tame? Ya ampun! Kamu sudah pulang?” tanya Bu Yuli
Tame menelan ludah. Meskipun rasa takutnya sudah jauh mereda, jantungnya masih sedikit berdebar dan wajahnya sedikit pucat. Namun, Tame berusaha tersenyum.
“Bu Yuli, terima kasih.” ucap Tame tulus
“Terima kasih?” ulang Bu Yuli bingung
Tame mengangguk.
“Untuk semua mawar putihnya. Untuk doanya. Untuk semuanya…” ucap Tame
Saat itu, barulah Bu Yuli menutup mulutnya dengan tangannya. Mata Bu Yuli seketika berkaca-kaca.
“Oh, Tame. Ibu cuma ingin kamu sehat. Maaf kalau Ibu dulu suka buat kamu takut. Tapi Ibu sayang sama semua anak di sekolah ini. Termasuk kamu.” ucap Bu Yuli tulus
Untuk pertama kalinya, dalam 16 tahun hidupnya, Tame memeluk Bu Yuli. Dan untuk pertama kalinya juga, Tame merasa hangat, tidak takut.
“Maafkan saya, Bu. Semua ketakutan itu cuma…”
“Watashi no atama kara,” lanjut Tame dengan senyum malu-malu
Bu Yuli tertawa, sambil mengusap pelan kepala Tame.
“Tidak apa-apa, Nak. Yang penting sekarang kamu sudah sembuh.”
***
Hari-hari berikutnya, Tame kembali bersekolah. Nilainya membaik. Tame lebih rajin belajar. Bahkan, Tame mulai membantu Bu Yuli di kantin setelah jam pelajaran selesai, sekadar untuk mengobrol, atau membantu mengangkat galon air.
Tame juga tidak lagi memikirkan Ayako. Ayako memang pernah menjadi cahaya, tetapi cahayanya telah padam. Dan kini, Tame tidak membutuhkan cahaya itu lagi. Sebab, ia sudah menemukan cahaya lain, baik dari dirinya sendiri, dari keluarganya, dan dari orang-orang yang tulus mendoakannya, termasuk Bu Yuli.
Setiap pagi, ketika datang ke sekolah, Bu Yuli selalu menyapa Tame.
“Pagi, Tame!” sapa Bu Yuli
Dan kini, tanpa lari atau panik, Tame menjawab dengan wajah tenang.
“Pagi, Bu Yuli! Hari ini Ibu jualan soto, ya?” tanya Tame sopan
Dan hidup Tame terus berjalan. Tidak sempurna, tetapi cukup. Tidak selalu indah, tetapi kini lebih hangat.
Dan semua ketakutan yang dulu terasa begitu menyiksa dan melelahkan bagi Tame, ternyata hanya “kare no atama kara”, hanya berasal dari kepalanya sendiri.
TAMAT
@yuki26 @siloh @bukhorigan
bobibotaktak dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2.5K
20
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
petrukdublajaya
#7
bu yuli kudunye ketemunye ame masako enden roiko bray
akh elah
akh elah
MemoryExpress memberi reputasi
1
Tutup