- Beranda
- Stories from the Heart
The Naive Winged Man & The Wicked Goddess Of Love
...
TS
Rebek22
The Naive Winged Man & The Wicked Goddess Of Love
Quote:

Quote:
Quote:
Quote:
ARC 1 : When Wisdom and Love Fall
PROLOG: Sekuntum Mawar Berduri
Venus
Venus
Banyak orang mengira namaku diambil dari sebuah planet dalam tata surya. Planet indah, terang, dan memesona. Venus—bintang kejora, bintang fajar—adalah yang pertama menyapa pagi.
Tapi ayah pernah berkata, namaku bukan sekadar nama planet. Venus juga adalah Aphrodite, dewi kecantikan dalam mitologi Yunani. Sosok menawan yang diabadikan dalam rupa sempurna—cantik, indah, dan menggoda.
Ayah memberiku nama itu bukan tanpa alasan. Karena, menurutnya, nama adalah doa.
Dan doanya terkabul.
Aku terlahir dengan paras yang tak dapat disangkal. Cantik—bahkan terlalu cantik. Lesung pipi di wajahku bisa membuat siapa saja ingin menyentuh. Rambutku panjang menjuntai sampai punggung, hitam pekat serupa langit malam. Tubuh ramping, dan tidak hanya itu, aku juga dikaruniai suara yang seindah mimpi.
Keindahan ini menjadi tangga menuju impianku—menjadi diva paling terkenal di dunia. Aku ingin menghibur hati yang terluka, menyembuhkan raga yang diterpa sakit, menjadi suara bagi mereka yang terbungkam realita, serta menjadi cahaya bagi jiwa-jiwa yang tersesat.
Namun, tidak selamanya menjadi indah itu menyenangkan.
Layaknya mawar. Ia tercipta dengan mahkota yang begitu indah. Ia memiliki ragam warna dan setiap warna memiliki arti tersendiri dalam bahasa bunga. Biru untuk keajaiban. Putih untuk kesucian dan ketulusan. Sementara yang paling indah bagiku adalah merah, karena artinya cinta sejati. Walaupun demikian, aku rasa mawar yang paling melambangkan diriku justru mawar putih, karena ketulusan adalah sesuatu yang menggerakanku dalam bernyanyi.
Menurutmu, apa yang akan terjadi saat sesuatu terlalu menawan dan terlampau indah? Jawabannya sederhana: akan ada banyak jiwa yang terdorong untuk memilikinya. Mereka tak mau berbagi. Mereka hanya ingin menguasai.
Nafsu menggantikan nalar, hasrat menenggelamkan logika. Dan sekarang, aku menyaksikannya sendiri.
Tuhan tahu, mawar akan terus dipetik manusia karena raganya yang begitu indah. Maka dari itu, Dia menganugerahkannya tangkai yang dipenuhi duri untuk melindungi diri.
Sementara aku? Tuhan hanya menganugerahkan diri ini keindahan, tanpa satu pun hal yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Aku begitu lemah di hadapan mereka yang telah dikuasai nafsu untuk memiliki raga ini.
Lima orang pria, para penggemar setia. Saat ini mereka saling bertarung di hadapanku. Mereka saling menghunus pisau dan melukai satu sama lain. Darah berceceran. Pisau mencabik daging. Satu per satu dari mereka merintih, kesakitan, hingga akhirnya mati.
Aku tidak percaya jika nyanyian indahku dibalas dengan jeritan penuh keputusasaan seperti ini
.
Apa salahku?
Bukankah keindahan itu anugerah?
Lantas, mengapa sekarang hal itu malah terasa seperti kutukan?
Apa yang bisa kulakukan selain terdiam? Aku ingin sekali berteriak, meminta mereka berhenti. Tapi lidah ini begitu kelu, karena ketakutan menjalar ke seluruh tubuhku.
Andai aku punya duri yang dapat melindungi raga ini.
Andai saja aku tidak terlahir begitu menawan...
Apakah ini salahku? Semua ini terjadi juga karena aku?
Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Mataku sudah tidak sanggup lagi melihat kengerian yang tergambar tepat di hadapanku. Mereka harus kuhentikan.
Jika tidak, maka akan ada nyawa yang melayang.
“Venus, beranikan dirimu. Kau adalah dewi cinta, maka tugasmu adalah menebarkan perasaan sayang,” bisikku dalam hati.
Aku telah memutuskan sesuatu. Benar, sebuah tindakan harus segera kuambil, apa pun risikonya.
Aku pun memberanikan diri untuk menurunkan tangan. Sialnya, gambaran pertama yang kulihat justru keadaan yang jauh lebih menakutkan. Salah satu dari mereka berhasil menebas kepala lawannya.
Aku terlambat.
Seseorang baru saja mati.
Seketika darah berhamburan ke segala arah, bahkan beberapa terciprat ke wajahku. Aroma amis dari cairan merah itu mulai tercium. Aku buru-buru mengelap darah di wajahku dengan tangan.
Namun, sebuah hasrat aneh tiba-tiba muncul, bersamaan dengan pemikiran yang sama sekali tak masuk akal.
“Bagaimanakah rasa darah?”
Rasa penasaran itu langsung mendorongku untuk menjilat tangan yang masih berlumuran darah. Dan pada akhirnya, aku benar-benar melakukannya.
Setelah itu, layaknya akar yang menyerap air, darah ini berhasil membuat sesuatu tumbuh di dalam diriku.
Seketika gemetar di sekujur tubuhku terhenti. Lalu aku berteriak pada mereka:
“Jangan berhenti! Berikan aku lebih banyak lagi warna. Ubahlah mahkota putihku ini menjadi merah dengan darah kalian!”
Kalian pikir aku akan meminta mereka berhenti? Ayolah, jangan bergurau. Justru aku menikmati pemandangan penuh darah seperti ini. Mengapa aku harus mengakhiri sesuatu yang sudah kumulai sendiri?
Aku adalah sekuntum mawar putih yang serakah. Tuhan menjadikanku lambang ketulusan, namun dengan keras aku menolaknya. Bagiku, ketulusan bukanlah hal yang indah, apalagi sesuatu yang bisa dibanggakan.
Maka dari itu aku melawan takdir, dengan terus melumuri raga ini dengan darah, hingga akhirnya aku menjadi mawar merah. Karena mawar merah adalah sesuatu yang cocok untuk menggambarkan diriku: cinta sejati dan hasrat.
Akulah yang membuat mereka saling membunuh. Itulah bentuk duriku: melemahkan nalar dengan nafsu, sehingga mereka bisa kuatur sesuka hati, bahkan untuk saling menghabisi nyawa.
Bahkan kalian sempat simpati padaku, bukan? Mengira aku adalah gadis lemah yang siap dimangsa oleh kelima orang ini.
Haha. Kalian salah! Akulah pemangsa yang sebenarnya. Akulah puncak rantai makanan di sini.
Aku adalah setangkai mawar yang tumbuh subur di atas pemakaman umum. Warnaku merah pekat, dipupuk oleh darah dari para jasad yang sudah tak terhitung jumlahnya. Duriku juga setajam pedang, karena akar ini telah melahap begitu banyak tulang rapuh yang remuk terhimpit tanah.
“Lagi! Lagi! Berikan aku lebih banyak darah!” teriakku sambil tertawa.
Diubah oleh Rebek22 04-10-2025 23:40
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
479
26
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Rebek22
#8
Chapter 5: Even Puppeteers Can Be Tangled in Their Own Strings
Ikarus
Venus mulai menjelaskan semuanya sesuai skenario-lima orang yang saling bunuh, dia yang terpojok karena hendak dirudapaksa, dan aku yang datang sebagai pahlawan hingga sempat tertembak oleh salah satu dari mereka.
Aktingnya sungguh sempurna sehingga semua orang nampak begitu simpati kepadanya.
Caly terlihat berusaha menenangkan Venus, sementara dua petugas yang tadi datang bersamanya menelepon tim medis. Dari raut wajah mereka, tampaknya mereka percaya sepenuhnya pada cerita Venus.
Rencana berhasil..
Dua petugas membopongku perlahan masuk ke dalam, sementara Caly menggandeng Venus, menuntunnya dengan hati-hati. Kami tiba di restoran yang kini sudah kosong. Sepertinya mereka langsung meminta staf mengumumkan keadaan darurat dan mengevakuasi para tamu. Aku didudukkan di kursi, dan tak lama kemudian tim medis datang serta langsung mengobatiku.
Beberapa staf restoran menghampiri Caly dan menanyakan apa yang terjadi. Ia mulai menjelaskan semuanya secara tenang dan profesional. Itu yang kusukai dari Caly-selalu mampu bersikap dingin dalam setiap kondisi. Jika bukan karena dia pemuja uang, mungkin dia sudah jadi sosok yang sempurna.
Venus masih berada dalam mode akting penuh: duduk gemetar di sofa VIP, wajah pucat, mata sembab.
Begitu tim medis selesai denganku, mereka berpindah memeriksa Venus. Aku harus memahami apa yang Caly dan para staf bicarakan agar bisa berimprovisasi bila dibutuhkan.
Aku bangkit dan memaksakan diri berdiri, lalu melangkah pelan ke arah Caly dan para staf.
"Caly..." panggilku.
Dia menoleh cepat. "Oi, bodoh. Jangan memaksakan diri."
"Maaf. Seharusnya aku menurut padamu. Mencegah diva kita kena masalah jauh lebih mudah daripada harus berdarah-darah melindunginya."
Dia mengembuskan napas panjang. "Justru aku yang harusnya minta maaf. Karena rencanaku, kau malah terluka."
Tiba-tiba manajer restoran menghampiri dan langsung membungkuk.
"Kami sungguh minta maaf atas kejadian ini. Aku tidak tahu bagaimana cara mereka menyelundupkan senjata dan obat-obatan ke sini. Keamanan kami jelas lengah."
Aku mengangkat bahu. "Ayolah, tak usah terlalu keras pada diri sendiri. Siapa juga yang menyangka akan begini?"
Manajer itu mengangguk, tampak lega.
"Ahh, kita harus bagaimana?" gerutu Caly.
"Apakah kau punya saran, Pak Manajer?" tanyaku.
"Sejujurnya, aku juga bingung. Aku tahu Nona Venus adalah bintang besar. Banyak staf kami yang mengaguminya. Tapi aku tak pernah menyangka, rasa kagum bisa membuat orang bertindak sejauh itu..."
"Pemujaan berlebihan itu bahaya," ucapku sok bijak.
Caly menyipitkan mata. "Tadi aku sudah membayangkan bonus besar, loh..."
Aku tak menyangka kalimat itu keluar dari mulutnya. Di tengah kondisi genting, dia masih sempat memikirkan uang.
Dasar kepiting kikir.
"Mungkin ini hukuman karena kau tidak mentraktirku pas terakhir dapat insentif," candaku.
Dia menoleh ke petugas. "Tolong segera koordinasi dengan pihak berwajib. Kirim rekaman CCTV, daftar tamu, dan semua data pendukung. Aku akan urus laporan dari agensi."
Manajer restoran ragu-ragu. "Nona... kami boleh ajukan permintaan damai? Kami ingin kasus ini... tidak viral."
Caly melirik ke arahku sejenak, lalu mengangguk. "Ya, seperti yang Ikarus bilang, ini bukan sepenuhnya kesalahan kalian. Kita jaga nama baik bersama-untuk agensi kami dan restoran kalian."
"Kalian tidak akan kami salahkan, aku janji," tambahku, membuat manajer itu tampak lebih tenang.
"Terima kasih."
"Kita urus ini nanti. Pastikan semuanya bungkam. Jika perlu, kita suap kepolisian agar kasus ini ditutup," ujar Caly tegas.
"Kami sepakat. Aku akan pastikan semuanya cepat selesai," sahut sang manajer.
Aku terkekeh pelan. Semuanya berjalan mulus, sesuai skenario yang kubuat. Nama baik adalah segalanya. Jika tercoreng, baik restoran maupun agensi kami akan ikut terdampak. Karena itu, mereka akan menutupi kejahatan kami tanpa perlu kuminta.
Sepertinya semua sudah aman. Setelah ini, aku hanya perlu memberikan kesaksian palsu kepada polisi. Aku sudah memastikan semua CCTV mati, dan kelima korban mengonsumsi makanan yang mengandung zat terlarang. Hasil pemeriksaan mereka pasti positif. Mereka yang akan disalahkan. Bukan kami.
"Sebaiknya kalian segera rapikan mayat-mayat di atas," saranku.
"Itu yang akan kami lakukan pertama kali," jawab manajer, memberi kode pada staf.
"Tapi perlakukan mereka dengan baik. Sekalipun mereka terlihat jahat, mereka cuma manusia yang terbuai hasrat."
"Cih, mulia sekali dirimu. Kalau aku, pasti langsung membuang mereka ke sungai. Bonusku hilang gara-gara mereka," gerutu Caly.
"Dasar kepiting kikir."
"Tuan Ikarus, Nona Caly, sisanya biar kami yang urus sebagai bentuk tanggung jawab. Kalian bisa pulang. Besok, perwakilan kami akan ke agensi untuk diskusi penyelesaian masalah."
"Aku suka ini. Aku mau mandi, tidur, dan ambil cuti," ujarku, nyaris sempoyongan.
"Kau yakin tidak perlu dibawa ke rumah sakit? Atau... mau aku antar sekalian?"
Aku tersenyum. "Tenang, luka tembak begini belum cukup untuk membunuhku. Lagipula, Venus lebih butuh bantuanmu."
Lagu pula, mana bisa aku menahan nafsu ini jika hanya berduaan dengannya di mobil.
Caly mendesah. "Jangan paksakan diri. Kau juga aset perusahaan yang berharga."
Aku mengangkat tangan. "Aku pulang dulu. Kau bisa antar dia, ya?"
"Sudah pasti."
"Oh iya, tolong minta staf bawa mobilku ke kantor. Aku pulang naik taksi."
" baiklah, serahkan kuncinya."
Akupun menyerahkan kunci mobil kepadanya. "Kalau bisa... sekalian isi bensin, ya?"
Caly menatapku malas. "Aku akan isi bensin mobilmu. Anggap ini traktiranku. Doakan aku yang baik-baik."
"Tentu saja, Nona."
"Oh iya, Pak Manajer, aku punya permintaan." Aku merangkul pria itu dan mengajaknya menjauh.
"Apa itu, Tuan Ikarus?" tanyanya gemetaran.
"Apa kalian punya kue ulang tahun? Kalau ada, siapkan satu. Lalu dessert terbaik kalian. Dan steak-kalau masih ada, tolong dibungkus beberapa. Aku akan ke kasir nanti untuk bayar. Tolong kasih diskon spesial, ya."
"I-itu saja? Baiklah. Akan kami siapkan gratis."
"Aku akan mengambilnya nanti," ujarku, sambil menepuk bahunya dan kembali ke Caly.
"Bos sudah kuberi tahu soal kondisimu. Kau diberi libur lima hari," ujar Caly.
"Asik."
"Sebelum pergi, tolong katakan sesuatu ke Venus. Bagaimanapun, kau manajernya, kan?"
Aku mengangguk, lalu berjalan ke arah Venus yang masih diam. Kucubit dahinya pelan, mengusap rambutnya dan mengacak-acak ringan.
"Yo, Nona. Aku pulang dulu, ya."
"Hati-hati, Ikarus."
Aku mendekat dan berbisik, "Tiga hari dari sekarang. Hotel yang biasa."
Dia mengangguk tanpa kata.
Ya walaupun aku tidak mencintainya namun dia tetap wanita yang sangat cantik. Jadi di puaskan olehnya adalah sesuatu yang sangat nikmat.
Kapan lagikan bisa meniduri seorang artis terkenal?
Aku berjalan ke resepsionis untuk mengambil pesananku. Pak Manajer benar-benar menyiapkan banyak makanan mahal. Bahkan sampai dua kotak besar.
Aku membawanya keluar, masuk lift, turun ke lantai dasar. Saat melangkah ke pintu keluar, aku mengeluarkan ponsel dan mengetik:
"Tia, aku pulang ke apartemen hari ini. Tolong siapkan air hangat untuk mandi, ya."
Balasannya cepat:
"Siap, Komandan."
"Kau sudah makan malam?"
"Belum. Aku baru sampai apartemen karena ada kegiatan klub."
"Bagus. Tunggu Abang, ya. Aku bawa makanan enak."
"Asik."
Setelah memastikan ada air hangat dan Tia menunggu, aku melangkah keluar dari gedung.
Venus mulai menjelaskan semuanya sesuai skenario-lima orang yang saling bunuh, dia yang terpojok karena hendak dirudapaksa, dan aku yang datang sebagai pahlawan hingga sempat tertembak oleh salah satu dari mereka.
Aktingnya sungguh sempurna sehingga semua orang nampak begitu simpati kepadanya.
Caly terlihat berusaha menenangkan Venus, sementara dua petugas yang tadi datang bersamanya menelepon tim medis. Dari raut wajah mereka, tampaknya mereka percaya sepenuhnya pada cerita Venus.
Rencana berhasil..
Dua petugas membopongku perlahan masuk ke dalam, sementara Caly menggandeng Venus, menuntunnya dengan hati-hati. Kami tiba di restoran yang kini sudah kosong. Sepertinya mereka langsung meminta staf mengumumkan keadaan darurat dan mengevakuasi para tamu. Aku didudukkan di kursi, dan tak lama kemudian tim medis datang serta langsung mengobatiku.
Beberapa staf restoran menghampiri Caly dan menanyakan apa yang terjadi. Ia mulai menjelaskan semuanya secara tenang dan profesional. Itu yang kusukai dari Caly-selalu mampu bersikap dingin dalam setiap kondisi. Jika bukan karena dia pemuja uang, mungkin dia sudah jadi sosok yang sempurna.
Venus masih berada dalam mode akting penuh: duduk gemetar di sofa VIP, wajah pucat, mata sembab.
Begitu tim medis selesai denganku, mereka berpindah memeriksa Venus. Aku harus memahami apa yang Caly dan para staf bicarakan agar bisa berimprovisasi bila dibutuhkan.
Aku bangkit dan memaksakan diri berdiri, lalu melangkah pelan ke arah Caly dan para staf.
"Caly..." panggilku.
Dia menoleh cepat. "Oi, bodoh. Jangan memaksakan diri."
"Maaf. Seharusnya aku menurut padamu. Mencegah diva kita kena masalah jauh lebih mudah daripada harus berdarah-darah melindunginya."
Dia mengembuskan napas panjang. "Justru aku yang harusnya minta maaf. Karena rencanaku, kau malah terluka."
Tiba-tiba manajer restoran menghampiri dan langsung membungkuk.
"Kami sungguh minta maaf atas kejadian ini. Aku tidak tahu bagaimana cara mereka menyelundupkan senjata dan obat-obatan ke sini. Keamanan kami jelas lengah."
Aku mengangkat bahu. "Ayolah, tak usah terlalu keras pada diri sendiri. Siapa juga yang menyangka akan begini?"
Manajer itu mengangguk, tampak lega.
"Ahh, kita harus bagaimana?" gerutu Caly.
"Apakah kau punya saran, Pak Manajer?" tanyaku.
"Sejujurnya, aku juga bingung. Aku tahu Nona Venus adalah bintang besar. Banyak staf kami yang mengaguminya. Tapi aku tak pernah menyangka, rasa kagum bisa membuat orang bertindak sejauh itu..."
"Pemujaan berlebihan itu bahaya," ucapku sok bijak.
Caly menyipitkan mata. "Tadi aku sudah membayangkan bonus besar, loh..."
Aku tak menyangka kalimat itu keluar dari mulutnya. Di tengah kondisi genting, dia masih sempat memikirkan uang.
Dasar kepiting kikir.
"Mungkin ini hukuman karena kau tidak mentraktirku pas terakhir dapat insentif," candaku.
Dia menoleh ke petugas. "Tolong segera koordinasi dengan pihak berwajib. Kirim rekaman CCTV, daftar tamu, dan semua data pendukung. Aku akan urus laporan dari agensi."
Manajer restoran ragu-ragu. "Nona... kami boleh ajukan permintaan damai? Kami ingin kasus ini... tidak viral."
Caly melirik ke arahku sejenak, lalu mengangguk. "Ya, seperti yang Ikarus bilang, ini bukan sepenuhnya kesalahan kalian. Kita jaga nama baik bersama-untuk agensi kami dan restoran kalian."
"Kalian tidak akan kami salahkan, aku janji," tambahku, membuat manajer itu tampak lebih tenang.
"Terima kasih."
"Kita urus ini nanti. Pastikan semuanya bungkam. Jika perlu, kita suap kepolisian agar kasus ini ditutup," ujar Caly tegas.
"Kami sepakat. Aku akan pastikan semuanya cepat selesai," sahut sang manajer.
Aku terkekeh pelan. Semuanya berjalan mulus, sesuai skenario yang kubuat. Nama baik adalah segalanya. Jika tercoreng, baik restoran maupun agensi kami akan ikut terdampak. Karena itu, mereka akan menutupi kejahatan kami tanpa perlu kuminta.
Sepertinya semua sudah aman. Setelah ini, aku hanya perlu memberikan kesaksian palsu kepada polisi. Aku sudah memastikan semua CCTV mati, dan kelima korban mengonsumsi makanan yang mengandung zat terlarang. Hasil pemeriksaan mereka pasti positif. Mereka yang akan disalahkan. Bukan kami.
"Sebaiknya kalian segera rapikan mayat-mayat di atas," saranku.
"Itu yang akan kami lakukan pertama kali," jawab manajer, memberi kode pada staf.
"Tapi perlakukan mereka dengan baik. Sekalipun mereka terlihat jahat, mereka cuma manusia yang terbuai hasrat."
"Cih, mulia sekali dirimu. Kalau aku, pasti langsung membuang mereka ke sungai. Bonusku hilang gara-gara mereka," gerutu Caly.
"Dasar kepiting kikir."
"Tuan Ikarus, Nona Caly, sisanya biar kami yang urus sebagai bentuk tanggung jawab. Kalian bisa pulang. Besok, perwakilan kami akan ke agensi untuk diskusi penyelesaian masalah."
"Aku suka ini. Aku mau mandi, tidur, dan ambil cuti," ujarku, nyaris sempoyongan.
"Kau yakin tidak perlu dibawa ke rumah sakit? Atau... mau aku antar sekalian?"
Aku tersenyum. "Tenang, luka tembak begini belum cukup untuk membunuhku. Lagipula, Venus lebih butuh bantuanmu."
Lagu pula, mana bisa aku menahan nafsu ini jika hanya berduaan dengannya di mobil.
Caly mendesah. "Jangan paksakan diri. Kau juga aset perusahaan yang berharga."
Aku mengangkat tangan. "Aku pulang dulu. Kau bisa antar dia, ya?"
"Sudah pasti."
"Oh iya, tolong minta staf bawa mobilku ke kantor. Aku pulang naik taksi."
" baiklah, serahkan kuncinya."
Akupun menyerahkan kunci mobil kepadanya. "Kalau bisa... sekalian isi bensin, ya?"
Caly menatapku malas. "Aku akan isi bensin mobilmu. Anggap ini traktiranku. Doakan aku yang baik-baik."
"Tentu saja, Nona."
"Oh iya, Pak Manajer, aku punya permintaan." Aku merangkul pria itu dan mengajaknya menjauh.
"Apa itu, Tuan Ikarus?" tanyanya gemetaran.
"Apa kalian punya kue ulang tahun? Kalau ada, siapkan satu. Lalu dessert terbaik kalian. Dan steak-kalau masih ada, tolong dibungkus beberapa. Aku akan ke kasir nanti untuk bayar. Tolong kasih diskon spesial, ya."
"I-itu saja? Baiklah. Akan kami siapkan gratis."
"Aku akan mengambilnya nanti," ujarku, sambil menepuk bahunya dan kembali ke Caly.
"Bos sudah kuberi tahu soal kondisimu. Kau diberi libur lima hari," ujar Caly.
"Asik."
"Sebelum pergi, tolong katakan sesuatu ke Venus. Bagaimanapun, kau manajernya, kan?"
Aku mengangguk, lalu berjalan ke arah Venus yang masih diam. Kucubit dahinya pelan, mengusap rambutnya dan mengacak-acak ringan.
"Yo, Nona. Aku pulang dulu, ya."
"Hati-hati, Ikarus."
Aku mendekat dan berbisik, "Tiga hari dari sekarang. Hotel yang biasa."
Dia mengangguk tanpa kata.
Ya walaupun aku tidak mencintainya namun dia tetap wanita yang sangat cantik. Jadi di puaskan olehnya adalah sesuatu yang sangat nikmat.
Kapan lagikan bisa meniduri seorang artis terkenal?
Aku berjalan ke resepsionis untuk mengambil pesananku. Pak Manajer benar-benar menyiapkan banyak makanan mahal. Bahkan sampai dua kotak besar.
Aku membawanya keluar, masuk lift, turun ke lantai dasar. Saat melangkah ke pintu keluar, aku mengeluarkan ponsel dan mengetik:
"Tia, aku pulang ke apartemen hari ini. Tolong siapkan air hangat untuk mandi, ya."
Balasannya cepat:
"Siap, Komandan."
"Kau sudah makan malam?"
"Belum. Aku baru sampai apartemen karena ada kegiatan klub."
"Bagus. Tunggu Abang, ya. Aku bawa makanan enak."
"Asik."
Setelah memastikan ada air hangat dan Tia menunggu, aku melangkah keluar dari gedung.
0