- Beranda
- Stories from the Heart
The Naive Winged Man & The Wicked Goddess Of Love
...
TS
Rebek22
The Naive Winged Man & The Wicked Goddess Of Love
Quote:

Quote:
Quote:
Quote:
ARC 1 : When Wisdom and Love Fall
PROLOG: Sekuntum Mawar Berduri
Venus
Venus
Banyak orang mengira namaku diambil dari sebuah planet dalam tata surya. Planet indah, terang, dan memesona. Venus—bintang kejora, bintang fajar—adalah yang pertama menyapa pagi.
Tapi ayah pernah berkata, namaku bukan sekadar nama planet. Venus juga adalah Aphrodite, dewi kecantikan dalam mitologi Yunani. Sosok menawan yang diabadikan dalam rupa sempurna—cantik, indah, dan menggoda.
Ayah memberiku nama itu bukan tanpa alasan. Karena, menurutnya, nama adalah doa.
Dan doanya terkabul.
Aku terlahir dengan paras yang tak dapat disangkal. Cantik—bahkan terlalu cantik. Lesung pipi di wajahku bisa membuat siapa saja ingin menyentuh. Rambutku panjang menjuntai sampai punggung, hitam pekat serupa langit malam. Tubuh ramping, dan tidak hanya itu, aku juga dikaruniai suara yang seindah mimpi.
Keindahan ini menjadi tangga menuju impianku—menjadi diva paling terkenal di dunia. Aku ingin menghibur hati yang terluka, menyembuhkan raga yang diterpa sakit, menjadi suara bagi mereka yang terbungkam realita, serta menjadi cahaya bagi jiwa-jiwa yang tersesat.
Namun, tidak selamanya menjadi indah itu menyenangkan.
Layaknya mawar. Ia tercipta dengan mahkota yang begitu indah. Ia memiliki ragam warna dan setiap warna memiliki arti tersendiri dalam bahasa bunga. Biru untuk keajaiban. Putih untuk kesucian dan ketulusan. Sementara yang paling indah bagiku adalah merah, karena artinya cinta sejati. Walaupun demikian, aku rasa mawar yang paling melambangkan diriku justru mawar putih, karena ketulusan adalah sesuatu yang menggerakanku dalam bernyanyi.
Menurutmu, apa yang akan terjadi saat sesuatu terlalu menawan dan terlampau indah? Jawabannya sederhana: akan ada banyak jiwa yang terdorong untuk memilikinya. Mereka tak mau berbagi. Mereka hanya ingin menguasai.
Nafsu menggantikan nalar, hasrat menenggelamkan logika. Dan sekarang, aku menyaksikannya sendiri.
Tuhan tahu, mawar akan terus dipetik manusia karena raganya yang begitu indah. Maka dari itu, Dia menganugerahkannya tangkai yang dipenuhi duri untuk melindungi diri.
Sementara aku? Tuhan hanya menganugerahkan diri ini keindahan, tanpa satu pun hal yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Aku begitu lemah di hadapan mereka yang telah dikuasai nafsu untuk memiliki raga ini.
Lima orang pria, para penggemar setia. Saat ini mereka saling bertarung di hadapanku. Mereka saling menghunus pisau dan melukai satu sama lain. Darah berceceran. Pisau mencabik daging. Satu per satu dari mereka merintih, kesakitan, hingga akhirnya mati.
Aku tidak percaya jika nyanyian indahku dibalas dengan jeritan penuh keputusasaan seperti ini
.
Apa salahku?
Bukankah keindahan itu anugerah?
Lantas, mengapa sekarang hal itu malah terasa seperti kutukan?
Apa yang bisa kulakukan selain terdiam? Aku ingin sekali berteriak, meminta mereka berhenti. Tapi lidah ini begitu kelu, karena ketakutan menjalar ke seluruh tubuhku.
Andai aku punya duri yang dapat melindungi raga ini.
Andai saja aku tidak terlahir begitu menawan...
Apakah ini salahku? Semua ini terjadi juga karena aku?
Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Mataku sudah tidak sanggup lagi melihat kengerian yang tergambar tepat di hadapanku. Mereka harus kuhentikan.
Jika tidak, maka akan ada nyawa yang melayang.
“Venus, beranikan dirimu. Kau adalah dewi cinta, maka tugasmu adalah menebarkan perasaan sayang,” bisikku dalam hati.
Aku telah memutuskan sesuatu. Benar, sebuah tindakan harus segera kuambil, apa pun risikonya.
Aku pun memberanikan diri untuk menurunkan tangan. Sialnya, gambaran pertama yang kulihat justru keadaan yang jauh lebih menakutkan. Salah satu dari mereka berhasil menebas kepala lawannya.
Aku terlambat.
Seseorang baru saja mati.
Seketika darah berhamburan ke segala arah, bahkan beberapa terciprat ke wajahku. Aroma amis dari cairan merah itu mulai tercium. Aku buru-buru mengelap darah di wajahku dengan tangan.
Namun, sebuah hasrat aneh tiba-tiba muncul, bersamaan dengan pemikiran yang sama sekali tak masuk akal.
“Bagaimanakah rasa darah?”
Rasa penasaran itu langsung mendorongku untuk menjilat tangan yang masih berlumuran darah. Dan pada akhirnya, aku benar-benar melakukannya.
Setelah itu, layaknya akar yang menyerap air, darah ini berhasil membuat sesuatu tumbuh di dalam diriku.
Seketika gemetar di sekujur tubuhku terhenti. Lalu aku berteriak pada mereka:
“Jangan berhenti! Berikan aku lebih banyak lagi warna. Ubahlah mahkota putihku ini menjadi merah dengan darah kalian!”
Kalian pikir aku akan meminta mereka berhenti? Ayolah, jangan bergurau. Justru aku menikmati pemandangan penuh darah seperti ini. Mengapa aku harus mengakhiri sesuatu yang sudah kumulai sendiri?
Aku adalah sekuntum mawar putih yang serakah. Tuhan menjadikanku lambang ketulusan, namun dengan keras aku menolaknya. Bagiku, ketulusan bukanlah hal yang indah, apalagi sesuatu yang bisa dibanggakan.
Maka dari itu aku melawan takdir, dengan terus melumuri raga ini dengan darah, hingga akhirnya aku menjadi mawar merah. Karena mawar merah adalah sesuatu yang cocok untuk menggambarkan diriku: cinta sejati dan hasrat.
Akulah yang membuat mereka saling membunuh. Itulah bentuk duriku: melemahkan nalar dengan nafsu, sehingga mereka bisa kuatur sesuka hati, bahkan untuk saling menghabisi nyawa.
Bahkan kalian sempat simpati padaku, bukan? Mengira aku adalah gadis lemah yang siap dimangsa oleh kelima orang ini.
Haha. Kalian salah! Akulah pemangsa yang sebenarnya. Akulah puncak rantai makanan di sini.
Aku adalah setangkai mawar yang tumbuh subur di atas pemakaman umum. Warnaku merah pekat, dipupuk oleh darah dari para jasad yang sudah tak terhitung jumlahnya. Duriku juga setajam pedang, karena akar ini telah melahap begitu banyak tulang rapuh yang remuk terhimpit tanah.
“Lagi! Lagi! Berikan aku lebih banyak darah!” teriakku sambil tertawa.
Diubah oleh Rebek22 04-10-2025 23:40
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
479
26
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Rebek22
#6
Chapter 4: She Was a Temple - But They Wanted a Sacrifice
Ikarus
Kalian tahu kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso, bukan?
Mungkin itulah gambaran paling dekat tentang hubungan kami sekarang—dan mungkin juga nanti.
Tergantung, apakah dia akan berbuat curang… atau menepati janjinya.
“Buatkan aku seribu candi, maka aku akan menikah denganmu.”
Mayat-mayat ini, kami anggap sebagai candi.
Entah aku harus bersyukur atau tidak karena dia tak benar-benar meminta bangunan batu yang menjulang.
Membunuh jauh lebih mudah daripada membangun. Aku tak butuh jin, tak perlu menjual jiwa pada iblis demi mahar absurd itu.
Sungguh, mahar yang di luar nalar, bukan?
Orang normal meminang dengan emas atau mawar. Aku justru dengan darah dan daging busuk
Bayangkan bunyi akad kami kelak:
“Saya terima nikahnya Venus dengan seratus jantung dan organ dalam, dibayar tunai.”
Untungnya, aku cukup lihai menawar.
Dari seribu jiwa jadi seratus. Hebat, bukan?
Seribu nyawa… aku bisa gila sebelum mendapat hatinya. Tujuh puluh saja sudah menggerogoti akal sehatku.
Sebagian dari kalian mungkin menyebutku gila karena cinta.
Tapi sejujurnya, aku bahkan tak tahu apakah yang kujalani ini benar-benar cinta… atau hanya sesuatu yang menyerupainya.
Nafsu dan hasrat.
Dua unsur yang dulu kuanggap bahan dasar cinta.
Nafsu? Sudah terpenuhi.
Setiap selesai membangun satu “candi,” wanita sinting itu memberiku malam penuh gairah.
Itu cukup. Sebagian cintanya sudah kugenggam.
Tinggal hasrat—keinginan untuk memiliki.
Tapi lucunya, aku bahkan tak ingin benar-benar memilikinya.
Aku tak marah jika dia tidur dengan siapa pun.
Tak terganggu jika dia bermesraan dengan pria lain.
Aku bahkan tak berharap perhatian.
Lalu… apa yang sebenarnya kukejar?
Entahlah.
Untuk sekarang, aku tak peduli. Yang penting, aku menikmati permainannya—dan menunggu akhir ceritanya.
Apakah dia akan mengkhianati aku, seperti Roro Jonggrang yang asli?
Atau justru menyerahkan dirinya utuh padaku?
Sederhana saja.
Jika dia mengkhianati, kukutuk dia jadi arca.Jika menepati janji… biarlah waktu yang menentukan—apakah rasaku tetap sama, atau ikut membatu.
Aku mengeluarkan pistol. Membidik pahaku. Menarik pelatuk.
“Dor.”
Darah memercik. Rasa sakit menyebar seperti racun. Aku menggertakkan gigi.
Lumayan sakit.
“Maaf, paha… Kau harus terluka agar ceritaku bisa dipercaya.”
Setelah denyutnya mereda, aku melepas jas. Melemparkannya padanya.
“Lumuri ini dengan darah. Kita bilang saat meet and greet, mereka menyerangmu. Katakan mereka di bawah pengaruh narkoba. Saling menyerang, dan aku mencoba menyelamatkanmu.”
Dia menatapku.
“Kau menaruh apa di makanan mereka tadi?”
Aku mengangkat bahu.
“Obat perangsang. Dicampur sedikit zat terlarang.”
“Pantas mereka brutal.” Dia tertawa kecil.
Sebenarnya… itu hanya rencana cadangan.
Aku tahu kelima orang ini fanatik.
Caly pernah bilang—mereka membeli ribuan botol minuman sponsor demi meningkatkan peluang menang undian dinner eksklusif ini.
Salah satu bahkan membeli tiga truk sekaligus.
Kaya, tapi bodoh.
Mereka juga pendiri fan club resmi Venus. Ikut di semua konser, semua acara, di semua kota.
Mereka bukan sekadar memuja diva, tapi menyembah dewi.
Venus tahu itu. Dia tahu yang terakhir punya fetis pada leher. Maka ia membuka kancing kemejanya, membiarkan mereka jatuh dalam khayalan.
Kesimpulannya?
Tanpa obat pun, mereka akan tetap saling bunuh.
Tapi aku hanya ingin memastikan semuanya sempurna.
“Mereka yang meregang nyawa. Aku yang menikmati hasilnya.”
Aku bergumam sambil menyelipkan kantong plastik berisi obat ke saku celana mayat di bawah kakiku.
“Haha. Kau memang licik,” katanya.
“Aku hanya menuruti permintaanmu. Seratus candi, bukan?”
Dia mendekat. Menatapku dalam-dalam.
“Seratus candi… dan aku akan menjadi milikmu. Seutuhnya.”
Aku terkekeh. Karena tahu ucapannya belum bisa dipercaya sepenuhnya.
Kutangkup wajahnya dengan satu tangan.
Kusap darah di sudut bibir seksinya dengan ibu jari.
“Setelah ini… hotel biasa?”
“Jangan curang seperti Roro Jonggrang yang asli, Venus.”
Dia mengusap darah di pipiku dengan jarinya, lalu menjilatnya perlahan.
“Tenang saja, Ikarusku yang manis… Aku tidak akan curang.”
Mempercayai sepenuhnya ucapan seorang dewi gila adalah hal bodoh. Maka dari itu aku hanya membalas ucapannya dengan senyuman.
Kita lihat apakah yang akan terjadi nanti..
" Baiklah jika mari mulai skenario yang telah kita siapkan "
Venus mengangguk dan langsung mengeluarkan handphonenya. Menekan layar benda itu untuk menghubungi seseorang.
Rencananya kami sederhana. Menelpon caly dan bertingkah selayaknya Korban. Menyalahkan para orang mesum ini dan selamat.
Aku melangkah mendekati salah satu korban. Namun tiba-tiba kepala ini terasa sangat pusing. Mata ini melirik ke arah paha. Sepertinya luka inilah penyebabnya.
Akupun memutuskan untuk duduk, berharap rasa pusing ini hilang. Venus menyadari keadaanku. Wanita itu mendekat dan ikut duduk.
Dia memberikan isyarat agar menggunakan paham indahnya itu sebagai bantal. Akupun menurut dan merebahkan diri dengan menjadikan pahanya bantal.
Venus pun mulai menelpon Caly. Saat panggilan itu terangkat. Diapun berkata dengan panik :
"Caly, ini keadaan darurat. Cepat ke rooftop, kami benar-benar butuh bantuan,"
Aku yakin tak lama lagi dia akan mulai main film. Kepanikannya terlalu meyakinkan untuk sekadar akting—saking meyakinkannya, aku hampir percaya jika raut wajahnya itu nyata.
Sementara Venus menelepon Caly, aku tergeletak lemas di pangkuannya. Pandanganku kabur, kepalaku pusing bukan main, dan tubuh ini benar-benar tak berdaya. Sial, kenapa aku lupa menutup luka tembakan dan malah sibuk menggoda Venus tadi? Sekarang tubuhku kehilangan terlalu banyak darah hingga akhirnya tersungkur lemas.
"Kepalaku pusing," gumamku pelan, sesaat setelah Venus menutup teleponnya.
"Haha, salahmu sendiri, bukan?" jawabnya, menatapku dengan senyum miring.
"Berisik..."
"Sepertinya tujuan kita berikutnya bukan hotel, tapi rumah sakit."
"Kalau begitu, mari kita bercinta di sana."
Lisanku bicara demikian, namun dalam hati, yang kuinginkan hanya dua hal: obat dan kasur empuk. Bukan untuk bercinta, melainkan untuk tidur hingga pagi.
Mana mungkin aku bisa birahi jika dalam keadaan seperti ini.
Sesaat keheningan terlukis di antara kami. Venus memilih diam dan menatap langit malam yang mulai dipenuhi petir.
Aku yang semakin kesakitan mencoba menutup mata dan memaksa tidur, namun rasa nyeri semakin menjadi-jadi. Aku belum menyerah. Sekali lagi aku mencoba memejamkan mata, dan bersamaan dengan itu, telingaku menangkap suara lembut yang mulai bersenandung.
"Tell her to make me a cambric shirt, Parsley, sage, rosemary and thyme..."
Suara wanita gila ini memang sangat merdu. Terlebih penghayatannya di luar nalar. Ia tidak hanya bernyanyi dengan lisan, tapi dengan seluruh jiwa dan raga.
Aku akan sangat menikmati suaranya jika saja lagu yang ia nyanyikan bukan lagu ini—"Scarborough Fair."
Sebuah balada tradisional Inggris dari abad pertengahan. Lagu ini, seperti kisah Roro Jonggrang yang meminta seribu candi, berisi permintaan-permintaan tak masuk akal kepada mantan kekasih.
"Katakan padanya untuk membuatkan aku baju dari kain cambric, tanpa jahitan dan tanpa dijahit dengan jarum, maka dia akan menjadi kekasih sejati milikku."
Entah mana yang lebih mudah—membangun seribu candi, atau membuat baju seperti itu. Keduanya mustahil, dan dengan kata lain, lagu ini adalah penolakan halus, simbol dari sebuah cinta yang tak bisa lagi disatukan.
Refleks, aku menutup mulut Venus agar ia berhenti bernyanyi. Aku—atau lebih tepatnya kami—punya trauma mendalam terhadap lagu itu. Seindah apa pun suara penyanyinya, lirik demi lirik lagu ini menyiksa.
"Kau masih membenci lagu ini ya?" tanyanya sambil melepaskan tanganku dari bibirnya.
"Bukankah sudah jelas?"
"Ikarus."
"Iya, Nona?"
"Apakah kau mencintaiku?" tanyanya sambil mengelus kepalaku.
Aku tak langsung menjawab. Ini pertama kalinya wanita gila itu bertanya seperti itu. Aku butuh waktu untuk menyusun kalimat.
"Bagaimana kalau aku bilang tidak?"
"Ah, inilah kebiasaan burukmu. Selalu menjawab dengan pertanyaan. Padahal aku hanya ingin jawaban sederhana: iya atau tidak."
"Aku malas menjawab karena pertanyaanmu... tidak masuk akal."
"Maksudmu?"
"Seandainya aku tidak mencintaimu, lalu apa yang membuatku ikut dalam permainan gilamu selama ini?"
"Hah, lagi-lagi pertanyaan. Kau menyebalkan."
"Iya, aku mencintaimu, Venus."
Ucapanku pelan, tenang, namun cukup untuk membuatnya terdiam sesaat.
"Bagimu, apa itu cinta?"
"Rasa yang tersusun dari beberapa komponen."
"Komponen?"
"Nafsu dan hasrat. Cinta, bagiku, adalah perpaduan keduanya."
"Haha, jawabanmu sungguh tak terduga." Ia tertawa.
"Kupikir kau akan merayuku dengan puisi, atau kalimat manis seperti pria lain."
"Bagiku, cinta pasti mengandung hasrat dan nafsu. Tapi hasrat dan nafsu belum tentu mengandung cinta."
"Pemikiranmu bisa jadi lirik lagu."
"Berikan aku sepuluh persen royalti nanti"
Dia hanya tersenyum, lalu kembali mengelus rambutku.
"Kalau begitu... sebagian dari cintaku sudah kau genggam, bukan?"
"Mungkin. Tapi hasratku untuk memilikimu seutuhnya, tanpa berbagi dengan siapa pun, belum tercapai."
"Jadi itu alasanmu selama ini?"
"Cerdas."
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan... agar bisa dimiliki sepenuhnya oleh seseorang?"
"Itu tugasmu. Tak ada yang bisa mengubah pola pikir seseorang, kecuali dirinya sendiri. Intinya, jangan buatku berpikir keras. Kesepakatan kita jelas: aku turuti permintaanmu, kau berikan hadiahnya."
"Baiklah. Masih ada tiga puluh candi lagi. Bisa jadi, salah satu dari kita mati sebelum semuanya selesai."
"Venus," kataku pelan.
"Apa?"
"Bagaimana jika aku ingin mengakhiri semua ini?"
"Apa maksudmu?"
"Sederhana. Aku berhenti menuruti perintahmu. Tidak lagi mempersembahkan candi. Aku berhenti jadi manajer. Dan... aku menghilang."
Tangannya menepuk pipiku keras. Lalu menekannya kuat-kuat dan memaksaku menatapnya. Senyumnya lebar—terlalu lebar. Mengerikan.
"Kau serius?"
"Bagaimana jika iya?"
"Ikarus, bercanda mu tidak lucu. Kalau kau benar-benar pergi... maka kau akan jadi candi ke-71."
"Bagaimana jika kau yang jadi candi ke-71?" ujarku tenang, sambil mengangkat pistol ke arah kepalanya.
"Kau belum mengokangnya, jadi aku tidak—"
"Dor."
Suara tembakan menembus langit. Saat matanya teralihkan, aku mengokang pistol dan mengarahkannya ke dahinya.
"Sekarang kau takut?"
"Ikarus... kau mau membunuhku?" Suaranya gemetar.
Aku hampir tertawa melihat reaksinya. Beberapa detik lalu dia tertawa melihat para fansnya saling bunuh.
Sekarang? Ketakutan.
Dia tahu—yang terbaring di pangkuannya ini bukan mangsa, melainkan pemangsa.
Tapi aku tak ingin dia takut. Aku menarik wajahnya, mencium bibirnya dalam-dalam, lalu melepaskannya hingga kami sama-sama terengah.
"Mana mungkin aku sanggup membunuhmu, Dewiku."
"Ta... tapi..." Wajahnya memerah.
"Kita biasa bercinta. Tapi sekarang kau malu hanya karena sebuah ciuman?" godaku.
"Berisik!" teriaknya, lalu menyentil keningku.
"Ingat ini, Venus. Aku melakukan segalanya untukmu. Tapi aku adalah orang yang selalu menuntut balas. Jadi jika kau tidak membalas dengan sesuatu yang sepadan... bersiaplah."
"Selama kau tidak meninggalkanku, maka apa pun akan kulakukan untukmu, wahai rajaku."
"Kau tidak punya hak mengaturku, Nona. Kalau kau ingin aku tetap di sisimu, buatlah aku ingin tinggal.
"Baiklah, Ikarusku yang manis..."
"Venus! Ikarus!" Suara Caly terdengar dari arah pintu. Ia datang bersama dua petugas keamanan. Matanya membulat melihat pemandangan berdarah di rooftop.
Aku melirik Venus. Wajahnya basah oleh air mata, lengkap dengan isak tangis. Aktingnya sempurna. Baru saja tersenyum, kini ia meratap.
Sepertinya dia hanya wujudnya saja yang dewi cinta. Namun pada kenyataannya dia adalah sosok Loki yang sedang menyamar.
"Apa yang terjadi!?" seru Caly panik, langsung menghampiri kami.
"Ikarus," bisik Venus di sela tangisnya.
"Iya?"
"Sejak kapan kita jadi seperti ini?"
"Sejak kau dan aku bangkit dari kematian "
" Mungkinkah Poseidon mengutuk kita? "
" Bisa jadi. Sebab kau berhasil merayu maut dan aku membuat dewi Fortuna birahi terhadap diri ini "
" Kau memang pandai merayu sayang. Bahkan keberuntungan selalu menyertai mu karena sang dewi benar-benar kau buat basah " Ujarnya sambil menyelipkan sedikit senyuman di tengah akting tangisnya.
Mungkin aku berhasil menggoda sang dewi keberuntungan. Namun ada banyak mahluk langit yang marah karenanya. Salah satunya adalah sang maut.
Bagaimanapun seharusnya aku sudah mati. Namun karena di berkati keberuntungan. Dia gagal menyeret ku ke akhirat.
Namun sebagai ganjarannya aku harus ber cosplay jadi bandung Bondowoso demi gadis kecintaan sang maut ini.
Sungguh sial..
0