Kaskus

Story

wiedhazAvatar border
TS
wiedhaz
CURHATAN KAUM INDIGO
CURHATAN KAUM INDIGO

Quote :

Dalam kesunyian, aku melihat warna-warni jiwa yang tak kasat mata, namun tak ada tangan yang bisa kuraih untuk menunjukkannya. Maka, aku pun jadi lukisan indah yang tersembunyi, seorang indigo yang tak punya teman.

Bab 1: Kesunyian dalam Warna yang Tak Kasat Mata
Di antara riuh rendah kehidupan, aku adalah sebuah bisu. Bukan karena tak mampu bersuara, melainkan karena kata-kataku adalah warna yang hanya bisa kulihat sendiri. Aku, seorang Indigo, lahir dengan indera yang terasa seperti kutukan. Setiap orang memiliki mata untuk melihat dunia, tapi aku memiliki mata yang bisa melihat apa yang tak terlihat: aura, energi, bahkan gema dari emosi yang telah berlalu.
Dunia bagiku adalah kanvas yang terus berubah. Setiap percakapan bukan hanya suara, tapi juga kilatan warna yang menari-nari. Rasa marah adalah merah pekat yang membara, kebahagiaan adalah kuning cerah yang berbinar, dan kesedihan adalah biru kelam yang menggenang. Aku bisa merasakan kebohongan tanpa perlu mendengarkan kata-kata, karena kebohongan memiliki warna abu-abu yang kotor dan menempel seperti lumpur.
Namun, kemampuan ini membuatku terasing. Bagaimana menjelaskan pada teman sebaya bahwa aku tak mau bermain karena aku "melihat" rasa sakit yang dipancarkan oleh mainan yang rusak? Bagaimana menceritakan pada orang tua bahwa aku tak suka keramaian karena hiruk pikuk emosi membuat kepalaku pening?
Maka, aku memilih untuk diam. Aku menjadi pengamat, seorang pelukis tanpa kuas, yang mengamati dunia dari balik jendela sunyi. Mereka melihatku sebagai anak pendiam, seorang penyendiri. Mereka tak tahu, di dalam kesunyianku, aku sedang sibuk mengurai benang-benang warna yang tak kasat mata, mencoba memahami lukisan rumit bernama kehidupan yang hanya bisa kubaca sendiri.
Bab ini, bab pertama dari kehidupanku, adalah tentang kesunyian. Kesunyian yang lahir dari warna yang hanya bisa kulihat, dan kenyataan bahwa tak ada seorang pun di sisiku yang bisa melihatnya bersamaku.
Diubah oleh wiedhaz 17-09-2025 08:59
aguzblackrxAvatar border
Ishall102Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.1K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
wiedhazAvatar border
TS
wiedhaz
#1
Bab 2: Gerbang dan Hutan Belantara

Kesunyian adalah gerbang, dan di baliknya terbentang sebuah hutan belantara yang hanya bisa kumasuki sendirian. Hutan itu adalah dimensi lain, tempat di mana aku tak lagi terikat oleh aturan dunia nyata. Di sana, aku bisa melihat entitas yang tak berwujud, mendengar bisikan dari masa lalu, dan merasakan energi yang melayang di udara seperti kabut.
Orang dewasa menyebutnya "imajinasi yang terlalu aktif," sementara anak-anak lain sibuk dengan bola dan boneka. Bagiku, itu bukan imajinasi. Itu nyata. Aku melihat bayangan yang melintas di dinding kamar, mendengar suara tawa anak kecil di rumah kosong, dan sering kali, merasakan tangan dingin yang menyentuh pundakku di tengah malam. Semua ini bukanlah hal menakutkan, melainkan bagian dari "normal" yang hanya bisa kumengerti sendiri.
Di sekolah, aku sering melamun, bukan karena bosan, tapi karena duniaku terlalu penuh. Saat guru menjelaskan pelajaran, aku sibuk mengurai benang-benang energi yang dipancarkan oleh setiap kata-katanya. Setiap orang yang lewat adalah cerita yang utuh, dan aku bisa membaca semua itu. Aku tahu bahwa teman sebangku yang ceria menyembunyikan rasa takut yang mendalam, dan guru yang galak sebenarnya sedang berjuang melawan kesepian.
Maka, aku memilih untuk menyembunyikan hutan belantaraku. Aku menciptakan topeng, sebuah persona yang "normal" dan "biasa saja." Aku tertawa di saat yang tepat, mengangguk setuju pada percakapan yang tak kumengerti, dan berusaha keras untuk tidak "melihat" terlalu banyak.
Namun, semakin aku menyembunyikannya, semakin lelah jiwaku. Hutan belantara itu terus memanggil, dan aku tahu bahwa aku tidak bisa terus berpura-pura. Bab ini adalah tentang pilihan: apakah aku akan terus bersembunyi di balik gerbang, atau berani melangkah lebih dalam ke dalam hutan belantara yang sesungguhnya adalah diriku sendiri?

Bab 3: Topeng dan Kelelahan

Topeng itu terasa berat. Setiap hari, aku memasangnya, menyembunyikan mata yang terlalu peka, telinga yang terlalu tajam, dan jiwa yang terasa terlalu tua untuk usianya. Aku belajar cara tersenyum tanpa merasa bahagia, cara mengangguk pada hal-hal yang tidak kumengerti, dan cara menyembunyikan getaran tak kasat mata yang terus-menerus mengalir di sekitarku.
Di sekolah, aku sering mendapati diriku duduk di bangku paling belakang, bukan karena tak punya teman, tapi karena aku butuh ruang untuk bernapas. Keramaian adalah badai emosi, dan setiap orang seperti stasiun radio yang menyiarkan frekuensi yang berbeda-beda. Suara tawa yang riang bisa bercampur dengan gelombang kesedihan yang menusuk, dan aku harus menyaring semuanya. Kelelahan itu terasa sampai ke tulang.
Suatu hari, aku mencoba untuk membuka diri. Aku mencoba bercerita pada teman tentang bagaimana aku "melihat" warna-warni aura di sekelilingnya. Matanya membulat, dan senyumnya menghilang. "Kamu aneh," katanya, dan kata-kata itu terasa seperti pisau yang mengiris topengku. Aku kembali menutup diri, menyembunyikan duniaku, dan menguatkan benteng kesepian yang telah kubangun.
Kelelahan itu semakin nyata. Rasanya seperti terus-menerus berlari maraton tanpa garis akhir. Aku lelah berpura-pura, lelah menyembunyikan diriku yang sejati, dan lelah merasa sendirian di tengah keramaian. Bab ini adalah tentang kelelahan yang datang dari memakai topeng yang terlalu erat, dan pilihan sulit yang menantiku: apakah aku akan terus bersembunyi di balik topeng, atau berani melepasnya, tak peduli betapa menyakitkannya?

Bab 4: Pertemuan di Perpustakaan Lama

Aku menemukan pelabuhan terakhirku di antara rak-rak buku yang berdebu. Perpustakaan tua di ujung kota adalah tempat di mana kata-kata dan cerita bersemayam, tapi di sana, aku menemukan sesuatu yang lain. Aku menemukan seorang penjaga perpustakaan yang juga seorang kolektor batu-batuan langka. Namanya Bapak Kusuma. Dia tidak bicara banyak, tapi matanya memiliki kedalaman yang sama dengan lautan yang tak terjamah.
Suatu sore, saat aku sedang memilih buku tentang astronomi, ia mendekatiku. "Kamu melihat lebih dari yang lain, ya?" tanyanya, suaranya pelan dan berwibawa. Aku terkejut. Topengku yang kukuh terasa bergetar. Dia tidak menanyakannya dengan nada aneh atau mencurigakan, melainkan dengan pemahaman yang tulus.
Aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi Bapak Kusuma melanjutkan, "Dunia ini dipenuhi frekuensi yang berbeda, Nak. Kebanyakan orang hanya terhubung dengan satu frekuensi, tapi ada beberapa di antara kita yang terlahir dengan antena yang lebih sensitif."
Itu adalah kali pertama seseorang tidak menyebutku aneh. Dia memperkenalkan istilah-istilah yang tidak pernah kudengar, seperti "aura," "energi chi," dan "indera keenam." Dia tidak menganggapku gila, melainkan memberiku bahasa untuk memahami diriku sendiri. Perlahan, aku mulai menceritakan apa yang kulihat. Aku menceritakan tentang warna-warna, tentang bisikan dari masa lalu, dan tentang kelelahan yang terasa seperti beban tak kasat mata.
Bapak Kusuma hanya mengangguk, tanpa menghakimi. Ia menyuruhku untuk menganggap kemampuanku seperti sebuah radio yang terlalu sensitif. "Kamu tidak bisa mematikan radionya, tapi kamu bisa belajar mengatur volumenya," ujarnya sambil menunjuk ke sebuah buku tentang meditasi. Pertemuan ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru: perjalanan untuk mengendalikan, bukan lagi melarikan diri. Aku mulai menyadari bahwa kesendirianku mungkin adalah takdir, tapi aku tidak harus menjadi korban dari takdir itu.
Diubah oleh wiedhaz 18-09-2025 08:26
dan2nd
creativeslen783
creativeslen783 dan dan2nd memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.