- Beranda
- Stories from the Heart
TEMBANG LARUNG MAYIT (HORROR, MISTERI)
...
TS
LiongMelfin
TEMBANG LARUNG MAYIT (HORROR, MISTERI)
Di dusun Tegalranti, tembang Jawa kuno terdengar setiap malam Jumat Kliwon dari dasar sendang yang disucikan. Tak ada yang berani mendengarkannya sampai habis—konon, bait terakhir membangkitkan mereka yang telah ditenggelamkan: mayat-mayat penari yang dikutuk tak bisa mati.
Arsad, seorang mahasiswa antropologi, datang untuk meneliti ritual larung mayit dan tembang kematian yang telah dilupakan. Tapi kedatangannya justru membuka segel kutukan yang selama ini dikunci oleh darah dan tembang.
Saat realitas mulai retak, dan suara-suara dari dalam air memanggil namanya, Arsad dihadapkan pada satu pilihan: berhenti menulis… atau ikut dituliskan dalam bait terakhir.
Tembang Larung Mayitadalah kisah horor gothic yang membaurkan budaya Jawa, mitos lokal, dan teror psikologis dalam narasi mencekam yang menghantui bahkan setelah cerita berakhir.
1. BAYANGAN YANG MENULIS DIRINYA SENDIRI
2. BAIT YANG DILUPAKAN
3. BAYANG YANG TERTINGGAL
4. BAYANG YANG TERTINGGAL (LANJUTAN)
5. BAYANG-BAYANG YANG TAK BISA LARUNGTEMBANG YANG TAK BISA DI DENGAR
6. PENCURI SUARA YANG MENGUNCI DUNIA
7. WARISAN YANG BERDENYUT
8. BAIT BISU YANG DIPILIH
9. LURAH, LONTAR, DAN LUKA YANG DISIMPAN
10. Gending yang Dilupakan, Tubuh yang Dikorbankan
11. Tunjung Ayu, Penari Istana yang Dilarung oleh Cahaya
12. Mereka yang Datang Tanpa Mendengar
13. Bait-bait Yang Di Gugat
14. Gending yang Menyebrang Batas

Arsad, seorang mahasiswa antropologi, datang untuk meneliti ritual larung mayit dan tembang kematian yang telah dilupakan. Tapi kedatangannya justru membuka segel kutukan yang selama ini dikunci oleh darah dan tembang.
Saat realitas mulai retak, dan suara-suara dari dalam air memanggil namanya, Arsad dihadapkan pada satu pilihan: berhenti menulis… atau ikut dituliskan dalam bait terakhir.
Tembang Larung Mayitadalah kisah horor gothic yang membaurkan budaya Jawa, mitos lokal, dan teror psikologis dalam narasi mencekam yang menghantui bahkan setelah cerita berakhir.
1. BAYANGAN YANG MENULIS DIRINYA SENDIRI
2. BAIT YANG DILUPAKAN
3. BAYANG YANG TERTINGGAL
4. BAYANG YANG TERTINGGAL (LANJUTAN)
5. BAYANG-BAYANG YANG TAK BISA LARUNGTEMBANG YANG TAK BISA DI DENGAR
6. PENCURI SUARA YANG MENGUNCI DUNIA
7. WARISAN YANG BERDENYUT
8. BAIT BISU YANG DIPILIH
9. LURAH, LONTAR, DAN LUKA YANG DISIMPAN
10. Gending yang Dilupakan, Tubuh yang Dikorbankan
11. Tunjung Ayu, Penari Istana yang Dilarung oleh Cahaya
12. Mereka yang Datang Tanpa Mendengar
13. Bait-bait Yang Di Gugat
14. Gending yang Menyebrang Batas

TEMBANG LARUNG MAYIT BY AMELIONG @OWNERLIEBI
Diubah oleh LiongMelfin 03-07-2025 22:34
bukhorigan dan 7 lainnya memberi reputasi
8
2.2K
45
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
LiongMelfin
#10
Pencuri Suara yang Mengunci Dunia
Malam itu, Arsad terbangun dengan napas tersengal. Keringat membasahi tengkuk dan dadanya, meski udara di luar menggigilkan tulang. Ia bermimpi menjadi orang lain—seorang pria bersurban tua yang duduk bersimpuh di depan naskah lontar terbakar. Dalam mimpi itu, pria itu menangis sambil menyobek lembar terakhir tembang larung. Namun bukan air mata yang jatuh ke naskah, melainkan darah. Dan suara gamelan yang menyertainya bukan mengiringi tari, tapi penyembelihan.
Ketika Arsad membuka mata, ia mendapati satu naskah lontar terbuka di depan tempat tidurnya. Ia yakin tadi sudah ia simpan rapat-rapat di peti. Tapi sekarang naskah itu terbuka di halaman keempat. Aksaranya kabur, seperti meleleh oleh panas yang tak berasal dari api. Hanya satu bait yang masih bisa dibaca jelas:
“Yen swara larung ilang saka panggonane,
kang nyolong bakal kelangan swarane dhewe...”
— Jika suara larung dicuri dari tempatnya, maka si pencuri akan kehilangan suaranya sendiri...
Arsad menggigil. Ia membaca bait itu berulang kali, hingga huruf-hurufnya menari di matanya. Ia merasakan tekanan di dadanya, seperti ada yang menuntutnya untuk memahami makna terdalam bait itu—bahwa seseorang telah mencuri bagian penting dari tembang, dan sebagai akibatnya, tembang itu tidak pernah bisa selesai… bahkan setelah ratusan tahun. Dunia tidak akan bisa tidur, karena nyanyian itu tak punya titik akhir.
Ia mengenakan jaket tebal dan keluar rumah. Kabut malam menggantung rendah, nyaris setinggi lutut. Udara dipenuhi suara hewan malam—tapi tidak satu pun burung berkicau. Bahkan jangkrik pun bisu. Di kejauhan, di bawah pohon nyamplung tua, ada sesuatu yang menggantung. Arsad mendekat perlahan. Jantungnya berdetak kencang saat menyadari: itu adalah topeng tari, yang terbelah di bagian mulut. Seolah pernah dicoba untuk berbicara, tapi dihentikan paksa.
Di balik pohon itu, ia melihat sebuah gubuk kecil. Gubuk yang tampaknya sudah lama ditinggalkan, namun dari celah-celah kayu lapuknya, memancar cahaya samar kuning keemasan. Arsad berjalan mendekat. Langkah-langkahnya tidak menimbulkan suara. Begitu pintu terbuka, udara di dalam seperti menelan suara dan waktu. Gubuk itu kosong… kecuali sebuah meja kecil dengan selembar lontar yang dipaku pada permukaannya.
Ia mendekat. Lontar itu basah, entah oleh embun atau air mata. Tinta di permukaannya sudah pudar, tapi terukir dalam bekas cakaran halus, seperti ditulis dengan kuku. Di pojok kanan bawah, ada bekas sidik jari—berwarna merah tua. Seolah penulisnya menandai naskah itu dengan sisa nyawanya. Dan di atasnya tertulis: “Bait iki dudu tembang. Iki peringatan.” — Bait ini bukan nyanyian. Ini peringatan.
Saat jari Arsad menyentuh naskah itu, dunia di sekelilingnya berubah. Kayu-kayu gubuk mencair menjadi dinding batu, dan ia tidak lagi berdiri di tengah desa, melainkan di ruang gelap penuh asap. Di sekelilingnya, tembok-tembok dihiasi topeng penari—semua menangis darah dari matanya. Lalu suara perempuan terdengar, lirih tapi menusuk:
“Aku tidak diminta menari. Aku dipaksa. Tapi seseorang mencoba menyelamatkanku… dan mencuri suaraku. Sekarang... kau yang harus mencarinya kembali.”
Gubuk itu menghilang. Arsad tersentak, berdiri di lapangan tanah kosong. Tapi di tangannya, ia masih menggenggam naskah itu. Di bagian belakangnya tertulis nama samar: “M.” Ia mencoba mengingat siapa saja di desa ini yang memiliki nama itu. Tapi satu wajah muncul lebih dulu: Mbok Jirah. Bukan karena namanya, tapi karena ia pernah menyebut satu nama yang kini terdengar asing tapi akrab—Maridjan, dukun tua yang pernah dilarung bukan sebagai penari, melainkan sebagai penulis bait palsu.
Saat Arsad kembali ke rumah, udara di sekitar bergetar seperti sedang menyimpan teriakan. Lilin di meja goyang dengan nyala gila. Dan naskah-naskah yang lain mulai membuka diri tanpa disentuh. Satu demi satu, aksara-aksaranya berubah. Arsad membaca cepat: semua naskah itu bukan hanya lagu. Mereka adalah rekaman penderitaan. Lagu-lagu itu adalah suara orang-orang yang dikorbankan. Dan bait terakhir… hanya bisa ditulis oleh darah yang mengakui kesalahan.
Arsad duduk. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya menari seperti kerasukan. Ia sadar satu hal: bait terakhir tidak hanya hilang. Ia disembunyikan. Karena bait itu bisa membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur. Dan siapapun yang mencurinya dulu… kini mungkin sudah menjadi bagian dari tembang. Entah sebagai roh yang terkurung, atau sebagai pengawas dari dalam. Tapi yang jelas, suara itu belum selesai—dan ia akan terus menari dalam kepala siapa pun… sampai dunia ikut tenggelam.
Malam belum usai ketika Arsad mengetuk pintu rumah Mbok Jirah. Tiga ketukan sunyi diiringi lolongan anjing dari kejauhan—suara yang tak biasa terdengar di desa ini, seolah hewan pun turut resah oleh kehadiran tembang yang belum selesai. Mbok Jirah membukakan pintu tanpa suara, seakan sudah tahu siapa yang datang, dan apa yang dibawa. Tatapan matanya tidak kaget, hanya lelah—seperti menyimpan beban yang sudah terlalu lama ia tahan sendiri.
"Nama itu," ujar Arsad pelan. "Maridjan." Mbok Jirah menunduk, lalu berbalik tanpa mengajaknya masuk. Tapi pintu tetap terbuka. Ia mengikuti langkah renta perempuan itu ke ruang belakang, tempat dupa membakar malam tanpa henti. Di dinding, tergantung sebuah lukisan tua: seorang pria bersila di antara dua penari tanpa kepala. "Itu bukan lukisan," ujar Mbok Jirah tanpa menoleh. "Itu saksi."
"Maridjan adalah saudara kembar dari penari pertama yang dilarung," lanjutnya. "Namanya Tunjung Sekar." Udara terasa mengencang saat nama itu disebut. "Mereka tak pernah terpisahkan… sampai desa memilih Tunjung Sekar sebagai tumbal. Tapi Maridjan… ia mencintainya, lebih dari sekadar saudara. Maka, saat hari larungan tiba, ia mencuri bait terakhir dari tembang. Ia ingin menyelamatkannya… tapi justru menciptakan kutukan yang tak bisa dihentikan."
Mbok Jirah mengangkat cermin tua dari peti, retak-retak di sekelilingnya. Ia membiarkan cahaya lilin menyentuh permukaannya. Perlahan, kabut muncul dari cermin, dan di dalamnya, wajah pria muda terlihat: matanya gelap sepenuhnya, mulutnya dijahit benang merah. "Sejak bait itu dicuri," ujar Mbok Jirah, "Maridjan kehilangan suaranya. Ia tak bisa lagi bicara. Bahkan mimpinya pun diam."
Arsad bertanya, "Dia masih di sini?"
Mbok Jirah mengangguk. "Setiap malam, dia duduk di tepi sendang. Tapi hanya bisa dilihat oleh mereka yang telah menyentuh bait keempat."
Arsad terdiam. Ia tahu: ia sudah bukan lagi manusia biasa. Bait-bait itu telah menandainya.
"Apakah bait itu bisa dikembalikan?" tanya Arsad.
Mbok Jirah menjawab pelan, "Bait itu hanya bisa kembali jika dinyanyikan… bukan ditulis dengan tinta, tapi dengan suara—dengan darah."
Lalu ia menunjukkan kalimat di lontar tua yang ditemukan Arsad di gubuk:
"Sing nyolong, kudu nyawisake awaké kanggo larungé sabanjuré."
"Yang mencuri, harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi tumbal larungan berikutnya."
Udara di sekitar tiba-tiba menggigil. Dari luar rumah terdengar langkah berat, seperti kaki mayat menyeret lumpur. Mbok Jirah membeku. "Dia datang," bisiknya. "Untuk memberimu kisahnya."
Seseorang muncul di ambang pintu—pria kurus berkebaya hitam, matanya kosong, bibirnya masih dijahit. Tapi tubuhnya bergetar… menghasilkan suara.
Tembang itu tidak dinyanyikan dengan mulut—tapi keluar dari luka-lukanya. Setiap tetes darah adalah nada. Setiap robekan kulit adalah irama.
Sosok itu menyodorkan selembar lontar, tulisannya merah darah:
“Bait Kelima – Swara Kang Ora Kedadeyan”
"Bait Kelima – Suara yang Tak Pernah Terjadi"
Saat Arsad menyentuhnya, dunia di sekitarnya berubah. Ia berdiri di sebuah panggung. Di kejauhan, Tunjung Sekar menari… tapi wajahnya penuh air mata. Ia mengenakan kalung lontar. Dan dari sana, bait kelima terdengar:
"Aku dilarung tanpa pamit,
swaraku dicuri tanpa pamungkas,
tulis aku maneh…
nganggo awakmu dhéwé…”
"Aku dilarung tanpa perpisahan,
suaraku dicuri tanpa penutup,
tulislah aku kembali…
dengan tubuhmu sendiri…"
Suasana runtuh. Arsad terjatuh. Ia menggenggam lontar itu erat—seolah sedang menggenggam jiwanya sendiri. Mbok Jirah menatapnya dengan tatapan tak berani dekat. "Kamu sudah melihatnya," ucapnya lirih. "Tembang ini bukan sekadar kisah. Ini adalah utang. Dan kamu… kamu adalah surat tagihannya."
Malam itu, tanah di bawah kaki Arsad mulai bergemuruh. Bait-bait yang telah dicuri mencari jalan pulang. Tapi yang bisa membawanya pulang… bukan pena, bukan pelantun… melainkan seseorang yang bersedia menjadi panggung bagi suara yang seharusnya tak pernah ada.
Malam semakin menebal ketika Arsad duduk di depan naskah bait kelima. Lontar itu dingin dan basah seperti baru diangkat dari kubur. Ia tak bisa berhenti menatapnya. Tinta merah yang menuliskan bait tersebut tampak seperti masih mengalir—seolah darah itu menolak membeku, menolak selesai. Setiap kalimat dalam bait itu seperti merambat masuk ke tubuhnya, menyusup ke daging, mengendap di tulang. Ia tak lagi hanya membaca—ia sedang digantungi oleh tembang yang belum juga rampung.
Suara langkah perlahan terdengar dari luar rumah. Arsad menoleh cepat. Tapi saat ia membuka pintu, tidak ada siapa-siapa. Hanya kabut yang makin pekat dan wangi bunga kantil menyengat hidung. Di tanah, jejak kaki basah mengarah ke luar desa—menuju jalur yang jarang dilalui, tempat orang-orang bilang ada jalur lama menuju panggung larung yang telah lama ditinggalkan. Arsad menggenggam lontar itu erat dan mengikuti jejak itu, dengan perasaan seperti tengah berjalan menuju pemakaman pikirannya sendiri.
Jalan itu sempit dan berkelok, diapit oleh pohon-pohon tinggi yang menggugurkan daun seperti hujan sunyi. Di bawah cahaya rembulan yang muram, Arsad melihat bangunan kayu tua. Ambruk separuh. Di ujung panggung lapuk itu, terdapat patung penari tanpa kepala, memeluk gending gamelan yang retak. Di atas lantainya yang lapuk, tertulis dengan arang:
“Suara yang dilarung akan kembali jika tubuhnya dipanggil ulang.”
Arsad masuk, langkahnya mengeluarkan derit mengerikan. Ia melihat bekas-bekas sesaji lama: sirih kering, bunga kantil layu, dan kain kafan yang setengah terbakar. Ia tahu tempat ini pernah digunakan untuk sesuatu yang sakral—tapi kini aroma keramatnya telah berubah menjadi bau busuk kenangan. Di tengah panggung, ada peti kecil. Ia membukanya, dan di dalamnya ada lembaran lontar setengah hangus yang menyebut satu nama: "Saktinah."
Ingatan itu muncul seperti kabut yang membalik waktu. Seorang perempuan muda—penari setelah Tunjung Sekar—yang tak pernah menyelesaikan tarian. Ia menghilang sebelum larung. Orang-orang bilang ia melarikan diri. Tapi di lembar lontar itu tertulis:
“Saktinah nyumput ing suwara Tunjung. Maridjan paring pitutur. Nanging larung tetep kelakon.”
(Saktinah menyembunyikan suara Tunjung. Maridjan memberi peringatan. Tapi larung tetap dilangsungkan.)
Jadi bukan hanya Maridjan. Seseorang lainnya juga terlibat. Dan suara Tunjung Sekar telah ditanam bukan di dalam bait, melainkan di dalam tubuh orang lain. Saktinah mungkin masih hidup. Atau mungkin telah menjadi wadah yang dipinjam oleh tembang itu. Arsad merasa pusing. Dunia di sekelilingnya mulai terasa miring. Dari kejauhan, suara gamelan berdenting satu kali. Nyaring. Seperti pertanda waktu telah bergerak maju.
Langkah kaki terdengar dari balik panggung. Arsad menoleh. Sosok Mbok Jirah berdiri di ambang kegelapan, mengenakan selendang tua yang sama seperti malam ketika tembang pertama diperdengarkan. Ia mendekat, matanya kosong. "Aku tidak memberitahumu semuanya," bisiknya. "Karena tidak semua orang layak tahu bagaimana tembang ini bisa menyusup ke dalam darah."
Ia mengulurkan tangan, memperlihatkan lempengan logam kecil berbentuk cicak. “Ini adalah kunci panggung larung. Tempat suara pertama dikubur.”
“Kenapa kamu menyimpannya?” tanya Arsad.
Mbok Jirah menjawab dengan mata berkaca, “Karena dulu… aku adalah murid Saktinah.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dalam sendang. Mengganggu permukaan tenang. Membuat segalanya beriak. Arsad menatapnya, tidak tahu harus marah atau takut. Tapi satu hal pasti: dia tak lagi sendirian dalam pusaran ini.
Mereka semua adalah bagian dari tembang yang patah—dan masing-masing menyembunyikan nada.
Angin malam menerpa kuat. Panggung kayu berderak seperti tulang yang retak. Dari balik kabut, siluet Tunjung Sekar muncul lagi, kali ini berjalan perlahan ke arah panggung. Tapi wajahnya… kini bukan lagi wajah yang penuh luka. Wajah itu kosong, pucat seperti bulan. Dan dari bibirnya, meski mulutnya tidak bergerak, terdengar suara:
“Baitku telah kau temukan. Tapi tubuhku… masih menunggu ujung.”
Arsad berdiri gemetar, sementara panggung itu mulai retak di bawah kakinya. Suara-suara dari tanah terdengar, seperti tubuh-tubuh yang bangkit dari dalam bumi, menuntut untuk menari, menuntut untuk dilanjutkan. Tembang larung belum selesai. Dan kini, seluruh desa adalah panggung, dan ia—Arsad—adalah satu-satunya yang tersisa untuk menuliskan bait penutup… dengan darahnya sendiri atau dengan suara yang telah lama dibungkam.
Malam itu, langit tampak seperti kulit luka yang belum kering. Awan menggumpal seperti asap dari dupa yang tak kunjung padam. Di tengah alun-alun tua yang kini menjadi tanah sunyi, panggung larung telah terbuka. Tembang yang dulu hanya berdengung di kepala Arsad kini bergaung di udara, seperti dipanggil dari mulut tanah. Cahaya rembulan tumpah di sela kabut, membentuk lingkaran tak kasatmata, mengunci mereka yang hadir di dalamnya.
Mbok Jirah berdiri di sisi kanan panggung, membawa lentera yang tidak menyala oleh api biasa. Api itu kehijauan, menari dengan nyawa sendiri. Arsad berdiri di tengah, membawa tiga lembar lontar yang kini mulai menyatu. Aksara dari setiap bait saling melingkar, menciptakan pola seperti pusaran yang ingin menelan dunia. Di sekeliling mereka, suara gamelan pelan mulai terdengar—dari tempat yang tak terlihat, dari alat musik yang tak dipukul oleh siapa-siapa.
“Sekarang,” ujar Mbok Jirah, “kau harus membacakan bait terakhir.”
Arsad menatapnya, napasnya berat. “Bait terakhir belum ditulis.”
“Bukan. Justru bait terakhir adalah yang sedang kau ucapkan,” jawabnya. “Tembang larung adalah hidup yang dibacakan dalam mati. Dan setiap kata yang kau pilih… akan menentukan siapa yang menjadi tumbalnya.”
Arsad menggenggam naskah erat. Tangan kirinya mulai berdarah, dan darah itu menetes ke atas lontar. Perlahan, aksara terakhir muncul dari tetes itu sendiri.
Sosok Tunjung Sekar perlahan naik dari balik sendang. Tubuhnya masih mengenakan kebaya putih, tapi kini penuh luka-luka yang belum sembuh. Di tangannya, ia membawa cermin retak milik Maridjan. Dan dalam cermin itu, Arsad melihat wajahnya sendiri—berubah. Matanya lebih dalam, wajahnya lebih pucat. Ia bukan lagi hanya pewaris tembang. Ia telah menjadi bagian dari tembang itu. Suara Tunjung mulai terdengar, meski mulutnya tak bergerak.
"Larung iku ora mung kanggo mati,
nanging kanggo nguripaké swara seng diciptakaké saka lara.
Yen swaramu melu, tembangku mari.
Yen ora, swaramu bakal ilang, lan aku bakal nyanyi ing awakmu."
Terjemahan:
"Larungan bukan hanya untuk kematian,
tapi untuk menghidupkan suara yang tercipta dari luka.
Jika suaramu ikut, tembangku akan usai.
Jika tidak, suaramu akan hilang, dan aku akan bernyanyi melalui tubuhmu."
Arsad bergetar. Ia menatap lontar. Tinta merah darahnya kini membentuk bait keenam, bait terakhir. Ia harus memilih: melanjutkan tembang, atau menghentikannya dan menjadi wadah abadi dari nyanyian yang patah. Di sekelilingnya, kabut mulai berputar, seperti panggung yang menggulung segalanya. Suara gamelan berubah menjadi jeritan yang dililit nada.
“Tulis bait penutupnya,” desis Mbok Jirah. “Atau dia akan mengambil tubuhmu.”
Tapi Arsad, justru meletakkan lontar di tanah. Ia berjalan ke arah sendang, mendekati sosok Tunjung Sekar. “Kalau bait ini memang harus selesai,” katanya, “biar aku yang menyanyikannya. Dengan suaraku. Bukan dengan darah orang lain.”
Ia membuka mulut… dan bait keenam keluar dari tenggorokannya sendiri. Tidak dengan kata-kata. Tapi dengan ratapan, teriakan, dan tangisan.
Suara itu mengguncang malam. Gamelan pecah. Kabut terangkat. Sosok Tunjung Sekar menjerit, bukan karena marah, tapi karena akhirnya bebas. Tubuhnya mulai terurai menjadi kelopak bunga kantil. Cermin retak pecah di udara. Dan lontar di tanah menyala sebentar sebelum hancur jadi abu. Tapi di tengah semua itu, Arsad roboh. Nafasnya tersengal. Suaranya hilang. Mulutnya terbuka… tapi tak ada bunyi.
Mbok Jirah berlari mendekat. Ia memeluk tubuh Arsad yang kini pucat dan dingin. “Kau telah menjadi bait penutupnya,” bisiknya dengan air mata. “Dan karena itu… kau adalah satu-satunya orang yang pernah menuliskan tembang ini sampai akhir.” Di kejauhan, suara gamelan menghilang. Angin berhenti. Desa kembali bisu. Tapi langit… kini bersih. Dan sendang tidak lagi beriak. Semua telah diam. Karena tembang telah selesai.
Tapi sebelum pergi, malam meninggalkan satu jejak terakhir. Di tengah panggung larung, sebuah lontar baru muncul. Di atasnya tertulis:
"Tembang Larung Mayit – Ditulis Kembali oleh Dia yang Menjadi Suara."
Tak seorang pun tahu siapa yang akan membaca lontar itu berikutnya. Tapi di dalamnya, bait ketujuh mulai membentuk dirinya sendiri—menggeliat, merangkak… menunggu tubuh baru untuk ditempati.
Malam itu, Arsad terbangun dengan napas tersengal. Keringat membasahi tengkuk dan dadanya, meski udara di luar menggigilkan tulang. Ia bermimpi menjadi orang lain—seorang pria bersurban tua yang duduk bersimpuh di depan naskah lontar terbakar. Dalam mimpi itu, pria itu menangis sambil menyobek lembar terakhir tembang larung. Namun bukan air mata yang jatuh ke naskah, melainkan darah. Dan suara gamelan yang menyertainya bukan mengiringi tari, tapi penyembelihan.
Ketika Arsad membuka mata, ia mendapati satu naskah lontar terbuka di depan tempat tidurnya. Ia yakin tadi sudah ia simpan rapat-rapat di peti. Tapi sekarang naskah itu terbuka di halaman keempat. Aksaranya kabur, seperti meleleh oleh panas yang tak berasal dari api. Hanya satu bait yang masih bisa dibaca jelas:
“Yen swara larung ilang saka panggonane,
kang nyolong bakal kelangan swarane dhewe...”
— Jika suara larung dicuri dari tempatnya, maka si pencuri akan kehilangan suaranya sendiri...
Arsad menggigil. Ia membaca bait itu berulang kali, hingga huruf-hurufnya menari di matanya. Ia merasakan tekanan di dadanya, seperti ada yang menuntutnya untuk memahami makna terdalam bait itu—bahwa seseorang telah mencuri bagian penting dari tembang, dan sebagai akibatnya, tembang itu tidak pernah bisa selesai… bahkan setelah ratusan tahun. Dunia tidak akan bisa tidur, karena nyanyian itu tak punya titik akhir.
Ia mengenakan jaket tebal dan keluar rumah. Kabut malam menggantung rendah, nyaris setinggi lutut. Udara dipenuhi suara hewan malam—tapi tidak satu pun burung berkicau. Bahkan jangkrik pun bisu. Di kejauhan, di bawah pohon nyamplung tua, ada sesuatu yang menggantung. Arsad mendekat perlahan. Jantungnya berdetak kencang saat menyadari: itu adalah topeng tari, yang terbelah di bagian mulut. Seolah pernah dicoba untuk berbicara, tapi dihentikan paksa.
Di balik pohon itu, ia melihat sebuah gubuk kecil. Gubuk yang tampaknya sudah lama ditinggalkan, namun dari celah-celah kayu lapuknya, memancar cahaya samar kuning keemasan. Arsad berjalan mendekat. Langkah-langkahnya tidak menimbulkan suara. Begitu pintu terbuka, udara di dalam seperti menelan suara dan waktu. Gubuk itu kosong… kecuali sebuah meja kecil dengan selembar lontar yang dipaku pada permukaannya.
Ia mendekat. Lontar itu basah, entah oleh embun atau air mata. Tinta di permukaannya sudah pudar, tapi terukir dalam bekas cakaran halus, seperti ditulis dengan kuku. Di pojok kanan bawah, ada bekas sidik jari—berwarna merah tua. Seolah penulisnya menandai naskah itu dengan sisa nyawanya. Dan di atasnya tertulis: “Bait iki dudu tembang. Iki peringatan.” — Bait ini bukan nyanyian. Ini peringatan.
Saat jari Arsad menyentuh naskah itu, dunia di sekelilingnya berubah. Kayu-kayu gubuk mencair menjadi dinding batu, dan ia tidak lagi berdiri di tengah desa, melainkan di ruang gelap penuh asap. Di sekelilingnya, tembok-tembok dihiasi topeng penari—semua menangis darah dari matanya. Lalu suara perempuan terdengar, lirih tapi menusuk:
“Aku tidak diminta menari. Aku dipaksa. Tapi seseorang mencoba menyelamatkanku… dan mencuri suaraku. Sekarang... kau yang harus mencarinya kembali.”
Gubuk itu menghilang. Arsad tersentak, berdiri di lapangan tanah kosong. Tapi di tangannya, ia masih menggenggam naskah itu. Di bagian belakangnya tertulis nama samar: “M.” Ia mencoba mengingat siapa saja di desa ini yang memiliki nama itu. Tapi satu wajah muncul lebih dulu: Mbok Jirah. Bukan karena namanya, tapi karena ia pernah menyebut satu nama yang kini terdengar asing tapi akrab—Maridjan, dukun tua yang pernah dilarung bukan sebagai penari, melainkan sebagai penulis bait palsu.
Saat Arsad kembali ke rumah, udara di sekitar bergetar seperti sedang menyimpan teriakan. Lilin di meja goyang dengan nyala gila. Dan naskah-naskah yang lain mulai membuka diri tanpa disentuh. Satu demi satu, aksara-aksaranya berubah. Arsad membaca cepat: semua naskah itu bukan hanya lagu. Mereka adalah rekaman penderitaan. Lagu-lagu itu adalah suara orang-orang yang dikorbankan. Dan bait terakhir… hanya bisa ditulis oleh darah yang mengakui kesalahan.
Arsad duduk. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya menari seperti kerasukan. Ia sadar satu hal: bait terakhir tidak hanya hilang. Ia disembunyikan. Karena bait itu bisa membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur. Dan siapapun yang mencurinya dulu… kini mungkin sudah menjadi bagian dari tembang. Entah sebagai roh yang terkurung, atau sebagai pengawas dari dalam. Tapi yang jelas, suara itu belum selesai—dan ia akan terus menari dalam kepala siapa pun… sampai dunia ikut tenggelam.
Malam belum usai ketika Arsad mengetuk pintu rumah Mbok Jirah. Tiga ketukan sunyi diiringi lolongan anjing dari kejauhan—suara yang tak biasa terdengar di desa ini, seolah hewan pun turut resah oleh kehadiran tembang yang belum selesai. Mbok Jirah membukakan pintu tanpa suara, seakan sudah tahu siapa yang datang, dan apa yang dibawa. Tatapan matanya tidak kaget, hanya lelah—seperti menyimpan beban yang sudah terlalu lama ia tahan sendiri.
"Nama itu," ujar Arsad pelan. "Maridjan." Mbok Jirah menunduk, lalu berbalik tanpa mengajaknya masuk. Tapi pintu tetap terbuka. Ia mengikuti langkah renta perempuan itu ke ruang belakang, tempat dupa membakar malam tanpa henti. Di dinding, tergantung sebuah lukisan tua: seorang pria bersila di antara dua penari tanpa kepala. "Itu bukan lukisan," ujar Mbok Jirah tanpa menoleh. "Itu saksi."
"Maridjan adalah saudara kembar dari penari pertama yang dilarung," lanjutnya. "Namanya Tunjung Sekar." Udara terasa mengencang saat nama itu disebut. "Mereka tak pernah terpisahkan… sampai desa memilih Tunjung Sekar sebagai tumbal. Tapi Maridjan… ia mencintainya, lebih dari sekadar saudara. Maka, saat hari larungan tiba, ia mencuri bait terakhir dari tembang. Ia ingin menyelamatkannya… tapi justru menciptakan kutukan yang tak bisa dihentikan."
Mbok Jirah mengangkat cermin tua dari peti, retak-retak di sekelilingnya. Ia membiarkan cahaya lilin menyentuh permukaannya. Perlahan, kabut muncul dari cermin, dan di dalamnya, wajah pria muda terlihat: matanya gelap sepenuhnya, mulutnya dijahit benang merah. "Sejak bait itu dicuri," ujar Mbok Jirah, "Maridjan kehilangan suaranya. Ia tak bisa lagi bicara. Bahkan mimpinya pun diam."
Arsad bertanya, "Dia masih di sini?"
Mbok Jirah mengangguk. "Setiap malam, dia duduk di tepi sendang. Tapi hanya bisa dilihat oleh mereka yang telah menyentuh bait keempat."
Arsad terdiam. Ia tahu: ia sudah bukan lagi manusia biasa. Bait-bait itu telah menandainya.
"Apakah bait itu bisa dikembalikan?" tanya Arsad.
Mbok Jirah menjawab pelan, "Bait itu hanya bisa kembali jika dinyanyikan… bukan ditulis dengan tinta, tapi dengan suara—dengan darah."
Lalu ia menunjukkan kalimat di lontar tua yang ditemukan Arsad di gubuk:
"Sing nyolong, kudu nyawisake awaké kanggo larungé sabanjuré."
"Yang mencuri, harus mempersiapkan dirinya untuk menjadi tumbal larungan berikutnya."
Udara di sekitar tiba-tiba menggigil. Dari luar rumah terdengar langkah berat, seperti kaki mayat menyeret lumpur. Mbok Jirah membeku. "Dia datang," bisiknya. "Untuk memberimu kisahnya."
Seseorang muncul di ambang pintu—pria kurus berkebaya hitam, matanya kosong, bibirnya masih dijahit. Tapi tubuhnya bergetar… menghasilkan suara.
Tembang itu tidak dinyanyikan dengan mulut—tapi keluar dari luka-lukanya. Setiap tetes darah adalah nada. Setiap robekan kulit adalah irama.
Sosok itu menyodorkan selembar lontar, tulisannya merah darah:
“Bait Kelima – Swara Kang Ora Kedadeyan”
"Bait Kelima – Suara yang Tak Pernah Terjadi"
Saat Arsad menyentuhnya, dunia di sekitarnya berubah. Ia berdiri di sebuah panggung. Di kejauhan, Tunjung Sekar menari… tapi wajahnya penuh air mata. Ia mengenakan kalung lontar. Dan dari sana, bait kelima terdengar:
"Aku dilarung tanpa pamit,
swaraku dicuri tanpa pamungkas,
tulis aku maneh…
nganggo awakmu dhéwé…”
"Aku dilarung tanpa perpisahan,
suaraku dicuri tanpa penutup,
tulislah aku kembali…
dengan tubuhmu sendiri…"
Suasana runtuh. Arsad terjatuh. Ia menggenggam lontar itu erat—seolah sedang menggenggam jiwanya sendiri. Mbok Jirah menatapnya dengan tatapan tak berani dekat. "Kamu sudah melihatnya," ucapnya lirih. "Tembang ini bukan sekadar kisah. Ini adalah utang. Dan kamu… kamu adalah surat tagihannya."
Malam itu, tanah di bawah kaki Arsad mulai bergemuruh. Bait-bait yang telah dicuri mencari jalan pulang. Tapi yang bisa membawanya pulang… bukan pena, bukan pelantun… melainkan seseorang yang bersedia menjadi panggung bagi suara yang seharusnya tak pernah ada.
Malam semakin menebal ketika Arsad duduk di depan naskah bait kelima. Lontar itu dingin dan basah seperti baru diangkat dari kubur. Ia tak bisa berhenti menatapnya. Tinta merah yang menuliskan bait tersebut tampak seperti masih mengalir—seolah darah itu menolak membeku, menolak selesai. Setiap kalimat dalam bait itu seperti merambat masuk ke tubuhnya, menyusup ke daging, mengendap di tulang. Ia tak lagi hanya membaca—ia sedang digantungi oleh tembang yang belum juga rampung.
Suara langkah perlahan terdengar dari luar rumah. Arsad menoleh cepat. Tapi saat ia membuka pintu, tidak ada siapa-siapa. Hanya kabut yang makin pekat dan wangi bunga kantil menyengat hidung. Di tanah, jejak kaki basah mengarah ke luar desa—menuju jalur yang jarang dilalui, tempat orang-orang bilang ada jalur lama menuju panggung larung yang telah lama ditinggalkan. Arsad menggenggam lontar itu erat dan mengikuti jejak itu, dengan perasaan seperti tengah berjalan menuju pemakaman pikirannya sendiri.
Jalan itu sempit dan berkelok, diapit oleh pohon-pohon tinggi yang menggugurkan daun seperti hujan sunyi. Di bawah cahaya rembulan yang muram, Arsad melihat bangunan kayu tua. Ambruk separuh. Di ujung panggung lapuk itu, terdapat patung penari tanpa kepala, memeluk gending gamelan yang retak. Di atas lantainya yang lapuk, tertulis dengan arang:
“Suara yang dilarung akan kembali jika tubuhnya dipanggil ulang.”
Arsad masuk, langkahnya mengeluarkan derit mengerikan. Ia melihat bekas-bekas sesaji lama: sirih kering, bunga kantil layu, dan kain kafan yang setengah terbakar. Ia tahu tempat ini pernah digunakan untuk sesuatu yang sakral—tapi kini aroma keramatnya telah berubah menjadi bau busuk kenangan. Di tengah panggung, ada peti kecil. Ia membukanya, dan di dalamnya ada lembaran lontar setengah hangus yang menyebut satu nama: "Saktinah."
Ingatan itu muncul seperti kabut yang membalik waktu. Seorang perempuan muda—penari setelah Tunjung Sekar—yang tak pernah menyelesaikan tarian. Ia menghilang sebelum larung. Orang-orang bilang ia melarikan diri. Tapi di lembar lontar itu tertulis:
“Saktinah nyumput ing suwara Tunjung. Maridjan paring pitutur. Nanging larung tetep kelakon.”
(Saktinah menyembunyikan suara Tunjung. Maridjan memberi peringatan. Tapi larung tetap dilangsungkan.)
Jadi bukan hanya Maridjan. Seseorang lainnya juga terlibat. Dan suara Tunjung Sekar telah ditanam bukan di dalam bait, melainkan di dalam tubuh orang lain. Saktinah mungkin masih hidup. Atau mungkin telah menjadi wadah yang dipinjam oleh tembang itu. Arsad merasa pusing. Dunia di sekelilingnya mulai terasa miring. Dari kejauhan, suara gamelan berdenting satu kali. Nyaring. Seperti pertanda waktu telah bergerak maju.
Langkah kaki terdengar dari balik panggung. Arsad menoleh. Sosok Mbok Jirah berdiri di ambang kegelapan, mengenakan selendang tua yang sama seperti malam ketika tembang pertama diperdengarkan. Ia mendekat, matanya kosong. "Aku tidak memberitahumu semuanya," bisiknya. "Karena tidak semua orang layak tahu bagaimana tembang ini bisa menyusup ke dalam darah."
Ia mengulurkan tangan, memperlihatkan lempengan logam kecil berbentuk cicak. “Ini adalah kunci panggung larung. Tempat suara pertama dikubur.”
“Kenapa kamu menyimpannya?” tanya Arsad.
Mbok Jirah menjawab dengan mata berkaca, “Karena dulu… aku adalah murid Saktinah.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dalam sendang. Mengganggu permukaan tenang. Membuat segalanya beriak. Arsad menatapnya, tidak tahu harus marah atau takut. Tapi satu hal pasti: dia tak lagi sendirian dalam pusaran ini.
Mereka semua adalah bagian dari tembang yang patah—dan masing-masing menyembunyikan nada.
Angin malam menerpa kuat. Panggung kayu berderak seperti tulang yang retak. Dari balik kabut, siluet Tunjung Sekar muncul lagi, kali ini berjalan perlahan ke arah panggung. Tapi wajahnya… kini bukan lagi wajah yang penuh luka. Wajah itu kosong, pucat seperti bulan. Dan dari bibirnya, meski mulutnya tidak bergerak, terdengar suara:
“Baitku telah kau temukan. Tapi tubuhku… masih menunggu ujung.”
Arsad berdiri gemetar, sementara panggung itu mulai retak di bawah kakinya. Suara-suara dari tanah terdengar, seperti tubuh-tubuh yang bangkit dari dalam bumi, menuntut untuk menari, menuntut untuk dilanjutkan. Tembang larung belum selesai. Dan kini, seluruh desa adalah panggung, dan ia—Arsad—adalah satu-satunya yang tersisa untuk menuliskan bait penutup… dengan darahnya sendiri atau dengan suara yang telah lama dibungkam.
Malam itu, langit tampak seperti kulit luka yang belum kering. Awan menggumpal seperti asap dari dupa yang tak kunjung padam. Di tengah alun-alun tua yang kini menjadi tanah sunyi, panggung larung telah terbuka. Tembang yang dulu hanya berdengung di kepala Arsad kini bergaung di udara, seperti dipanggil dari mulut tanah. Cahaya rembulan tumpah di sela kabut, membentuk lingkaran tak kasatmata, mengunci mereka yang hadir di dalamnya.
Mbok Jirah berdiri di sisi kanan panggung, membawa lentera yang tidak menyala oleh api biasa. Api itu kehijauan, menari dengan nyawa sendiri. Arsad berdiri di tengah, membawa tiga lembar lontar yang kini mulai menyatu. Aksara dari setiap bait saling melingkar, menciptakan pola seperti pusaran yang ingin menelan dunia. Di sekeliling mereka, suara gamelan pelan mulai terdengar—dari tempat yang tak terlihat, dari alat musik yang tak dipukul oleh siapa-siapa.
“Sekarang,” ujar Mbok Jirah, “kau harus membacakan bait terakhir.”
Arsad menatapnya, napasnya berat. “Bait terakhir belum ditulis.”
“Bukan. Justru bait terakhir adalah yang sedang kau ucapkan,” jawabnya. “Tembang larung adalah hidup yang dibacakan dalam mati. Dan setiap kata yang kau pilih… akan menentukan siapa yang menjadi tumbalnya.”
Arsad menggenggam naskah erat. Tangan kirinya mulai berdarah, dan darah itu menetes ke atas lontar. Perlahan, aksara terakhir muncul dari tetes itu sendiri.
Sosok Tunjung Sekar perlahan naik dari balik sendang. Tubuhnya masih mengenakan kebaya putih, tapi kini penuh luka-luka yang belum sembuh. Di tangannya, ia membawa cermin retak milik Maridjan. Dan dalam cermin itu, Arsad melihat wajahnya sendiri—berubah. Matanya lebih dalam, wajahnya lebih pucat. Ia bukan lagi hanya pewaris tembang. Ia telah menjadi bagian dari tembang itu. Suara Tunjung mulai terdengar, meski mulutnya tak bergerak.
"Larung iku ora mung kanggo mati,
nanging kanggo nguripaké swara seng diciptakaké saka lara.
Yen swaramu melu, tembangku mari.
Yen ora, swaramu bakal ilang, lan aku bakal nyanyi ing awakmu."
Terjemahan:
"Larungan bukan hanya untuk kematian,
tapi untuk menghidupkan suara yang tercipta dari luka.
Jika suaramu ikut, tembangku akan usai.
Jika tidak, suaramu akan hilang, dan aku akan bernyanyi melalui tubuhmu."
Arsad bergetar. Ia menatap lontar. Tinta merah darahnya kini membentuk bait keenam, bait terakhir. Ia harus memilih: melanjutkan tembang, atau menghentikannya dan menjadi wadah abadi dari nyanyian yang patah. Di sekelilingnya, kabut mulai berputar, seperti panggung yang menggulung segalanya. Suara gamelan berubah menjadi jeritan yang dililit nada.
“Tulis bait penutupnya,” desis Mbok Jirah. “Atau dia akan mengambil tubuhmu.”
Tapi Arsad, justru meletakkan lontar di tanah. Ia berjalan ke arah sendang, mendekati sosok Tunjung Sekar. “Kalau bait ini memang harus selesai,” katanya, “biar aku yang menyanyikannya. Dengan suaraku. Bukan dengan darah orang lain.”
Ia membuka mulut… dan bait keenam keluar dari tenggorokannya sendiri. Tidak dengan kata-kata. Tapi dengan ratapan, teriakan, dan tangisan.
Suara itu mengguncang malam. Gamelan pecah. Kabut terangkat. Sosok Tunjung Sekar menjerit, bukan karena marah, tapi karena akhirnya bebas. Tubuhnya mulai terurai menjadi kelopak bunga kantil. Cermin retak pecah di udara. Dan lontar di tanah menyala sebentar sebelum hancur jadi abu. Tapi di tengah semua itu, Arsad roboh. Nafasnya tersengal. Suaranya hilang. Mulutnya terbuka… tapi tak ada bunyi.
Mbok Jirah berlari mendekat. Ia memeluk tubuh Arsad yang kini pucat dan dingin. “Kau telah menjadi bait penutupnya,” bisiknya dengan air mata. “Dan karena itu… kau adalah satu-satunya orang yang pernah menuliskan tembang ini sampai akhir.” Di kejauhan, suara gamelan menghilang. Angin berhenti. Desa kembali bisu. Tapi langit… kini bersih. Dan sendang tidak lagi beriak. Semua telah diam. Karena tembang telah selesai.
Tapi sebelum pergi, malam meninggalkan satu jejak terakhir. Di tengah panggung larung, sebuah lontar baru muncul. Di atasnya tertulis:
"Tembang Larung Mayit – Ditulis Kembali oleh Dia yang Menjadi Suara."
Tak seorang pun tahu siapa yang akan membaca lontar itu berikutnya. Tapi di dalamnya, bait ketujuh mulai membentuk dirinya sendiri—menggeliat, merangkak… menunggu tubuh baru untuk ditempati.
rbrataatmadja memberi reputasi
1