Kaskus

Story

LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
TEMBANG LARUNG MAYIT (HORROR, MISTERI)
Di dusun Tegalranti, tembang Jawa kuno terdengar setiap malam Jumat Kliwon dari dasar sendang yang disucikan. Tak ada yang berani mendengarkannya sampai habis—konon, bait terakhir membangkitkan mereka yang telah ditenggelamkan: mayat-mayat penari yang dikutuk tak bisa mati.
Arsad, seorang mahasiswa antropologi, datang untuk meneliti ritual larung mayit dan tembang kematian yang telah dilupakan. Tapi kedatangannya justru membuka segel kutukan yang selama ini dikunci oleh darah dan tembang.
Saat realitas mulai retak, dan suara-suara dari dalam air memanggil namanya, Arsad dihadapkan pada satu pilihan: berhenti menulis… atau ikut dituliskan dalam bait terakhir.
Tembang Larung Mayitadalah kisah horor gothic yang membaurkan budaya Jawa, mitos lokal, dan teror psikologis dalam narasi mencekam yang menghantui bahkan setelah cerita berakhir.

1. BAYANGAN YANG MENULIS DIRINYA SENDIRI
2. BAIT YANG DILUPAKAN
3. BAYANG YANG TERTINGGAL
4. BAYANG YANG TERTINGGAL (LANJUTAN)
5. BAYANG-BAYANG YANG TAK BISA LARUNGTEMBANG YANG TAK BISA DI DENGAR
6. PENCURI SUARA YANG MENGUNCI DUNIA
7. WARISAN YANG BERDENYUT
8. BAIT BISU YANG DIPILIH
9. LURAH, LONTAR, DAN LUKA YANG DISIMPAN
10. Gending yang Dilupakan, Tubuh yang Dikorbankan
11. Tunjung Ayu, Penari Istana yang Dilarung oleh Cahaya
12. Mereka yang Datang Tanpa Mendengar
13. Bait-bait Yang Di Gugat
14. Gending yang Menyebrang Batas


TEMBANG LARUNG MAYIT (HORROR, MISTERI)

TEMBANG LARUNG MAYIT BY AMELIONG @OWNERLIEBI


Diubah oleh LiongMelfin 03-07-2025 22:34
jogetinajahAvatar border
gg89nw6pn9800Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 7 lainnya memberi reputasi
8
2.2K
45
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#5
Bayang-Bayang yang Tak Bisa Larung

Tiga bulan telah berlalu sejak Arsad menuliskan bait ketujuh. Kota tempat ia tinggal kembali bergerak seperti biasa—manusia sibuk dengan waktu, bangunan menjulang tinggi, dan tembang-tembang hanya dianggap sebagai sejarah. Tapi bagi Arsad, waktu tak berjalan lurus. Setiap malam, ia terbangun dalam keadaan tubuh berkeringat dingin, dengan telinga yang berdenging irama slendro. Kadang ia mendengar suara langkah penari menuruni loteng. Kadang suara gamelan muncul dari bawah lantai kamarnya. Ia sudah menyegel semua naskah… tapi ternyata bukan naskah yang mengikat tembang. Melainkan darah.
Suatu malam, ia menerima surat tanpa pengirim. Kertasnya tipis seperti kulit tua, dilipat rapi, dengan goresan tinta merah tua. Isinya singkat: “Padepokan Watu Lirih bukan satu-satunya panggung. Tembang yang kau tutup adalah kunci—bukan gembok. Datanglah ke Dukuh Randuwaringin, sebelum gerhana jatuh.” Arsad menelan ludah. Ia tidak pernah mendengar nama tempat itu. Tapi surat itu disertai secarik peta tua, dengan garis yang membentuk jalan setapak berliku. Di ujungnya, tertulis simbol wayang: Kayon terbelah. Sebuah pertanda bahwa kisah belum selesai.
Pagi harinya, ia meninggalkan kamar sempitnya di kota. Tak membawa banyak. Hanya tas kecil, satu botol minyak cendana, keris kecil, dan naskah yang kini sudah memudar seluruh tulisannya. Ia naik bus antarkota, menyusuri jalanan penuh kabut, sampai ia mencapai sebuah terminal kecil yang bahkan tidak memiliki papan nama. Seorang lelaki tua berjenggot abu-abu menyambutnya di sana, tanpa berkata-kata. Lelaki itu hanya menunjuk ke arah barat—menuju jalan tanah yang dikelilingi pohon randu raksasa. “Randuwaringin,” gumam Arsad. “Nama yang tak pernah disebut dalam peta.”
Dukuh Randuwaringin ternyata bukan desa biasa. Tidak ada listrik. Tidak ada suara ayam atau gonggongan anjing. Rumah-rumahnya berdinding bambu, berjendela kain, dan setiap atapnya ditancapi janur kuning kering. Di setiap halaman, berdiri patung wanita tanpa kepala—semuanya dalam posisi menari. Penduduk desa tak menyambut Arsad dengan ramah, namun juga tak menolak. Mereka hanya memandang dengan mata kosong, seolah sudah tahu siapa yang datang. Seorang anak kecil mendekatinya sambil menyerahkan bunga kantil kering. “Selamat datang, penulis bait yang patah,” katanya dengan senyum hampa.
Di tengah dukuh terdapat sebuah bangunan yang tak seperti lainnya. Bukan joglo, bukan rumah, melainkan seperti sanggar yang dililit akar randu raksasa. Dari dalamnya terdengar suara kidung—namun bukan tembang larung. Suaranya seperti tembang kelahiran, namun dibawakan dalam tangis. Arsad melangkah masuk. Udara di dalam lebih dingin dari luar. Di ujung ruangan terdapat wanita tua dengan mata tertutup kain hitam. Di sekelilingnya tergantung gulungan-gulungan kain kafan yang berbau tanah. “Kau datang… sebelum gerhana,” ucap si wanita tanpa membuka mata. “Tapi bayangan sudah mendahuluimu.”
Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Nyai Pramurti, penjaga tembang yang tidak pernah selesai. “Tembang Larung Mayit adalah satu dari tujuh tembang yang ditulis untuk membendung suara dunia bawah. Kau pikir bait ketujuh adalah akhir? Tidak, Nak. Itu adalah bait pembuka bagi tembang lain yang tersembunyi—yang tidak diizinkan dinyanyikan.” Ia menggamit satu kain kafan, membukanya perlahan. Di dalamnya tergulung serat lontar dengan warna ungu kelabu. “Ini bait dari tembang yang tak pernah dilarung. Namanya Tembang Raras Dahana. Dan ia sedang bangun.”
Arsad merasa seolah tulangnya bergetar. Tembang lain? Tujuh tembang? Ia menatap lontar yang disodorkan Nyai Pramurti, tapi huruf-huruf di sana berubah bentuk setiap kali ia berkedip—kadang seperti aksara Jawa, kadang seperti coretan kuku di dinding penjara. “Apa hubungannya denganku?” tanyanya dengan suara gemetar. Nyai Pramurti tertawa lirih. “Karena darahmu bukan hanya pewaris bait ketujuh… tapi juga penyambung nada yang diputuskan. Kau adalah kelahiran ulang dari penulis pertama. Lelaki yang mengikat tembang bukan untuk memusnahkan… tapi untuk mengawetkan kematian.”
Di luar sanggar, kabut mulai turun, meski matahari belum tenggelam. Suara tembang kelahiran kini terdengar di seluruh desa, dinyanyikan oleh anak-anak kecil yang berdiri di setiap sudut rumah, mata mereka tertutup kain hitam. “Mereka bukan kerasukan,” kata Nyai Pramurti. “Mereka adalah gema.” Arsad menatap ke jendela. Di kejauhan, sebuah pohon randu raksasa mulai mekar, mengeluarkan asap tipis keperakan dari setiap dahannya. “Saat gerhana datang, tembang ini akan lengkap. Dan jika kau tak menyelesaikannya… maka semua akan menari sampai tubuh mereka pecah.”
Nyai Pramurti membuka satu kotak tua dari kayu hitam. Di dalamnya terdapat topeng penari yang hanya memiliki separuh wajah—setengah tersenyum, setengah menangis. “Ini milik Simbok Sasmita, penari yang menolak menari untuk kematian. Ia menghilang sebelum larung, dan tembangnya menjadi sumbang—menyebar, masuk ke nyanyian bayi, tangis ibu bersalin, hingga suara peluit kereta malam. Ia tak pernah bisa dilarung, karena tak pernah lengkap.” Arsad menatap topeng itu, lalu bertanya pelan, “Apa yang harus kulakukan?” Nyai Pramurti menjawab, “Kau harus mendengar bait kedelapan.”
Dan dari bawah lantai sanggar, suara kendang terdengar sekali lagi. Lambat. Berdebar. Seperti detak jantung makhluk yang sudah terlalu lama tidur. Tanah bergetar. Bunga kantil berguguran dari langit-langit. Angin menyapu masuk. Dan dari balik dinding akar randu, terdengar suara perempuan menyanyi—bukan seperti Tunjung Sekar, bukan seperti nyanyian larung. Suaranya basah, berat, dan tak memiliki nada. Itu adalah tembang kedelapan. Tembang yang tak dilarung, tak ditulis, hanya dibisikkan dari tulang ke tulang. Dan kini… ia telah menemukan telinga yang siap mendengarnya.

Lantai sanggar tempat Arsad berdiri kini terasa seperti dada raksasa yang berdebar pelan. Dari sela-sela celah papan, uap tipis naik membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tak ia kenal—bau semacam darah yang sudah tua dan dupa yang dibakar di upacara pemanggilan jiwa. Nyai Pramurti berdiri diam, matanya masih tertutup kain hitam, namun tubuhnya bergoyang mengikuti irama yang hanya ia dengar sendiri. “Tembang kedelapan bukan hanya suara, Nak,” ucapnya dengan bisikan berat, “Ia adalah gerak. Ia adalah luka yang dilagukan.”
Arsad berjongkok, meletakkan telapak tangan ke lantai. Getaran itu tidak hanya bisa dirasakan—ia bisa didengar. Seperti suara kuku menggores permukaan kayu dari bawah, mencoba menuliskan sesuatu dari dalam tanah. Ia menempelkan telinganya, dan dari sana terdengar kalimat dalam bahasa Jawa Kuno, namun seolah diucapkan oleh mulut yang tak memiliki lidah: “Sira kang nulisa tembang larung, tulisen maning tembang kang ilang.” Ia menggigil. Tidak lagi karena takut, tapi karena sadar: ada sesuatu yang meminta untuk diciptakan ulang.
Nyai Pramurti menggamit pundaknya. “Kau tidak bisa menulis tembang ini dengan tangan biasa. Dulu, para penulis bait pengunci menggunakan tulang bayi—karena tinta tidak bisa bertahan di kulit jika tidak berasal dari darah kelahiran.” Ia membuka kotak kecil di samping altar, memperlihatkan sebatang tulang kecil seputih susu. “Ini milik Simbok Sasmita… anak yang dilahirkan dan dikuburkan dalam malam yang sama. Ia tidak pernah sempat menangis. Karena tangisnya ditulis jadi nada.” Arsad menatap tulang itu, merasa dadanya sesak. Tulisan dari kematian bukan sesuatu yang bisa ditolak.
Malam di luar mulai berubah. Langit berwarna kelabu dengan semburat merah seperti luka yang menganga. Warga dukuh mulai berkumpul di lapangan tengah, tubuh mereka diikat dengan selendang putih yang sama panjangnya. Mereka bergerak perlahan, satu langkah ke depan, dua langkah ke samping, seolah mengulang tarian kuno yang bahkan tak memiliki nama. “Itu tarian Dahana,” jelas Nyai Pramurti, “tari bagi jiwa-jiwa yang tak bisa pergi, tapi juga tak bisa menetap.” Di tengah lapangan, asap dari akar randu mengepul membentuk bentuk wajah perempuan, teriakannya tak bersuara.
Arsad dibawa ke ruang bawah tanah sanggar—sebuah gua kecil yang dulunya adalah ruang kelahiran rahasia. Di sana, dinding-dindingnya penuh goresan—bukan aksara, melainkan bekas cakar. “Setiap penulis yang gagal menyelesaikan bait kedelapan… dikubur di sini. Tidak mati. Hanya diam. Tersenyap.” Nyai Pramurti menyulut dupa dan menyalakan lentera. Cahaya temaram mengungkap sosok-sosok duduk bersila, mata mereka terbuka, namun tak bernyawa. Dan di dinding paling dalam, terdapat kalimat dalam tinta merah: “Tembang iki ora kanggo kuping manungsa.”
Di altar batu yang dipenuhi bunga melati layu, Nyai Pramurti meletakkan lontar kosong dan potongan tulang kecil. “Jika kau menulis baitnya… kau harus melagukannya. Atau tembang ini akan menyiksamu selamanya.” Arsad merasakan tenggorokannya tercekat. Ia tahu, saat bait ketujuh selesai, jiwanya retak. Kini, bait kedelapan bahkan belum ada—dan ia sudah merasa jiwanya mulai terbuka, seperti luka yang menunggu garam. Ia menyentuh lontar itu… dan dari ujung jarinya, darah mulai menetes sendiri. Seolah tubuhnya tahu, ini bukan sekadar menulis. Ini adalah pengorbanan.
Ia mulai menulis. Satu huruf demi satu huruf muncul dalam goresan darah. Namun berbeda dengan bait sebelumnya, kali ini aksara itu hidup—bergerak perlahan seperti ulat yang menari. Dan setiap kali satu huruf selesai, dari dinding gua terdengar bisikan—seolah tembangnya dipantulkan oleh tulang dan roh yang tertanam di bawah. Saat ia sampai pada suku kata ketiga, ia melihat sesuatu muncul di luar cahaya lentera: sesosok wanita, wajahnya tertutup rambut, namun tubuhnya berdarah, seperti baru dilahirkan dari lumpur.
Sosok itu menari perlahan, gerakannya patah-patah seperti tubuh yang belajar mengingat sendi. Dari bibirnya mengalir darah, tapi ia menyanyi dengan suara yang terdengar seperti denting paku yang dipukul perlahan. “Tulislah aku… atau aku menulis tubuhmu.” Arsad merasakan darahnya mengalir lebih deras. Goresan bait kedelapan mulai membentuk lingkaran, bukan baris. Seolah tembang ini bukan untuk dinyanyikan dalam panggung, melainkan untuk diputar—berulang. Tanpa awal. Tanpa akhir.
Nyai Pramurti jatuh terduduk. Matanya terbuka—putih seluruhnya. Dari mulutnya mengalir mantra panjang: “Kembali pada api, kembali pada debu, kembali pada suara yang tak ingin didengar.” Sosok wanita menari semakin cepat, dan udara di gua mulai mendesis seperti ular menyusup ke tulang. Arsad menyelesaikan bait kedelapan dalam satu tarikan napas. Lontar itu bergetar… lalu membara. Terbakar perlahan, namun tidak hangus. Api yang keluar dari naskah berwarna biru, dan dari kobaran itu, muncul wajah Simbok Sasmita. Ia tersenyum… lalu pecah menjadi kabut.
Ketika Arsad membuka matanya, ia sudah berada di atas tanah lagi. Langit cerah. Desa sepi. Nyai Pramurti menghilang, dan sanggar ditelan akar randu yang kini mengeras seperti batu. Lontar bait kedelapan lenyap, tapi suaranya tersisa… dalam kepala Arsad. Sebuah lagu yang tak bisa dilupakan, tidak bisa direkam, hanya bisa diingat oleh tulang. Ia tidak tahu apakah ia telah menulis keselamatan… atau membangunkan bencana baru. Tapi ia tahu satu hal: tembang ini tidak bisa dilagukan sekali. Ia akan terus minta ditulis ulang… oleh siapa pun yang bisa mendengar.

Malam jatuh seperti kain kafan yang perlahan menutupi dunia. Di kejauhan, tak ada suara binatang malam, tak ada desir angin, hanya kesunyian yang terlalu bersih untuk disebut damai. Arsad duduk sendirian di tengah lapangan bekas sanggar. Pohon randu kini menghitam seperti arang, dan tanah di sekelilingnya merekah, memperlihatkan serpih-serpih akar yang terbakar. Ia tidak tahu apakah ia baru saja menuliskan bait penyelamat atau membuka gerbang ke suara-suara yang tak seharusnya bernama. Tapi tubuhnya tahu: ia telah menjadi bagian dari tembang itu. Bukan sebagai penulis. Tapi nada itu sendiri.
Ia menggenggam keris kecil yang telah menemani perjalanan ini. Bilahnya mulai berubah warna—merah muda pucat seperti daging mentah, berdenyut lemah seperti urat hidup. Arsad ingin melemparkannya, tapi tangannya tidak mampu. Keris itu seperti telah menyatu, menjadi lidah yang akan berbicara saat ia diam. Ia berdiri, melangkah menjauhi pohon randu. Setiap langkahnya seperti berjalan di atas kata-kata yang belum tertulis. Dunia terasa seperti naskah kosong, menunggunya untuk menumpahkan darah kembali.
Di jalan keluar desa, ia melewati batu nisan kecil tanpa nama. Batu itu retak, dan di sela-selanya tumbuh bunga melati yang layu. Ia berjongkok, lalu menyentuhnya. Dari dalam tanah, terdengar suara lembut: tawa seorang anak. Lalu bisikan pelan, seperti nyanyian ibu menidurkan bayi: “Gundhul-gundhul pacul, cul-cull gundhul... gembelengan.” Arsad terpaku. Lagu itu bukan bagian dari tembang larung, tapi bagaimana bisa terdengar sekarang? Ia tahu, tembang rakyat tak pernah benar-benar polos. Di dalamnya terkubur nada tua, kisah purba, dan... pesan.
Ia tiba di tepi hutan. Angin menerpa daun-daun kering yang menggugur bagai kulit. Di langit, bulan menggantung separuh. Bukan gerhana. Tapi seolah menunggu. Dari dalam ranselnya, Arsad mengeluarkan sepotong lontar yang tidak terbakar tadi. Bagian yang selamat dari bait kedelapan. Hanya satu baris terbaca: “Tembang kang kaping sanga, mung kowe sing oleh nyerat.” Tembang kesembilan? Dadanya seperti dicekik. Masih ada lagi? Nyai Pramurti tak pernah menyebut sembilan. Tapi dari cara bait kedelapan hidup, Arsad tahu: jika yang kedelapan bisa bangkit, kesembilan pasti sudah menunggu.
Di kota, berita aneh mulai muncul. Seorang bayi lahir dengan mata terbuka lebar dan bibirnya bersenandung. Seorang ibu muda mendadak lupa bahasa manusia, hanya bisa berkomunikasi dengan irama kendang. Seorang guru seni ditemukan tewas di ruang gamelan, tubuhnya dalam posisi menari sambil tersenyum. Polisi menyebutnya sebagai kegilaan massal, tapi Arsad tahu—ini bukan gila. Ini gema. Tembang yang ia tulis sudah menyebar, bukan melalui tulisan... tapi melalui darah. Dan darah tak bisa disensor.
Arsad kembali ke kamar kontrakannya. Lampu redup, dinding berjamur, dan suara kereta lewat di kejauhan seperti genderang arwah. Ia menyalakan dupa, membuka jendela, lalu duduk di lantai. Di depan altar kecilnya, ia menyusun ulang lontar yang tersisa. Ia ingin menulis. Tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia sadar, kisah ini sudah bukan lagi tentang dirinya. Ini tentang suara. Tentang tubuh-tubuh yang belum selesai bicara. Dan ia hanyalah pena yang dipinjam.
Tiba-tiba, dari loteng rumahnya terdengar suara langkah. Perlahan. Seperti kaki kecil. Arsad menoleh, tubuhnya kaku. Ia tahu, ia tinggal sendiri. Ia bangkit, mengambil lentera, menaiki tangga kayu yang mengeluh pelan di setiap pijakan. Di loteng, tak ada siapa-siapa. Hanya debu dan bayangan. Tapi di tengah-tengah lantai, tergeletak sebuah topeng kayu. Bukan miliknya. Topeng itu membentuk wajah yang sepenuhnya kosong—tidak ada mata, tidak ada mulut. Tapi dari dalamnya... terdengar suara napas.
Ia memungut topeng itu, dan tiba-tiba bayangan perempuan berkebaya melintas di balik jendela. Hanya sekilas. Tapi cukup untuk membuat darahnya membeku. Arsad tahu—ini bukan Tunjung Sekar. Ini bukan Simbok Sasmita. Ini... sesuatu yang belum punya nama. Sesuatu yang menunggu diberi bait. Ia menatap topeng itu. Di bagian belakangnya, terukir aksara tua: “Wong kang nulis tembang iki bakal ilang jenenge, nanging ora ilang swarane.” Siapa pun yang menulis tembang ini akan kehilangan namanya. Tapi suaranya akan hidup selamanya.
Malam semakin larut. Arsad duduk di depan meja kayu, menyalakan lilin terakhir. Di hadapannya, kertas kosong. Pena tua. Dan darah dari jari yang tak sengaja tergores. Ia mulai menulis... bukan bait, tapi pertanyaan. “Kalau semua tembang ingin hidup, lalu siapa yang akan mati?” Ia tidak tahu jawaban itu. Tapi ia tahu, tembang kesembilan akan lahir bukan dari larung... tapi dari nyanyian diam. Dari tubuh-tubuh yang tak sempat bicara. Dari suara yang dipendam tanah terlalu lama.
Dan jauh di tempat yang tidak disebutkan dalam peta, sebuah sendang lain bergetar. Airnya membentuk lingkaran, lalu pusaran, lalu berubah menjadi suara. Suara yang belum memiliki bahasa. Hanya nada. Dan dari dalamnya, muncul tubuh kecil, berkulit abu-abu, matanya buta, tapi bibirnya menyanyi. Ia tidak bernama. Tapi suaranya adalah suara bait kesembilan. Dan saat ia menari dalam kabut, seluruh dunia terasa sedikit lebih sunyi. Seolah tahu... sesuatu sedang lahir. Dan tak ada satu pun yang bisa menghentikannya.
habibhiev
habibhiev memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.