Kaskus

Story

LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
TEMBANG LARUNG MAYIT (HORROR, MISTERI)
Di dusun Tegalranti, tembang Jawa kuno terdengar setiap malam Jumat Kliwon dari dasar sendang yang disucikan. Tak ada yang berani mendengarkannya sampai habis—konon, bait terakhir membangkitkan mereka yang telah ditenggelamkan: mayat-mayat penari yang dikutuk tak bisa mati.
Arsad, seorang mahasiswa antropologi, datang untuk meneliti ritual larung mayit dan tembang kematian yang telah dilupakan. Tapi kedatangannya justru membuka segel kutukan yang selama ini dikunci oleh darah dan tembang.
Saat realitas mulai retak, dan suara-suara dari dalam air memanggil namanya, Arsad dihadapkan pada satu pilihan: berhenti menulis… atau ikut dituliskan dalam bait terakhir.
Tembang Larung Mayitadalah kisah horor gothic yang membaurkan budaya Jawa, mitos lokal, dan teror psikologis dalam narasi mencekam yang menghantui bahkan setelah cerita berakhir.

1. BAYANGAN YANG MENULIS DIRINYA SENDIRI
2. BAIT YANG DILUPAKAN
3. BAYANG YANG TERTINGGAL
4. BAYANG YANG TERTINGGAL (LANJUTAN)
5. BAYANG-BAYANG YANG TAK BISA LARUNGTEMBANG YANG TAK BISA DI DENGAR
6. PENCURI SUARA YANG MENGUNCI DUNIA
7. WARISAN YANG BERDENYUT
8. BAIT BISU YANG DIPILIH
9. LURAH, LONTAR, DAN LUKA YANG DISIMPAN
10. Gending yang Dilupakan, Tubuh yang Dikorbankan
11. Tunjung Ayu, Penari Istana yang Dilarung oleh Cahaya
12. Mereka yang Datang Tanpa Mendengar
13. Bait-bait Yang Di Gugat
14. Gending yang Menyebrang Batas


TEMBANG LARUNG MAYIT (HORROR, MISTERI)

TEMBANG LARUNG MAYIT BY AMELIONG @OWNERLIEBI


Diubah oleh LiongMelfin 03-07-2025 22:34
jogetinajahAvatar border
gg89nw6pn9800Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 7 lainnya memberi reputasi
8
2.2K
45
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#2
Bait Pertama yang Terlupakan

Malam turun dengan diam yang aneh di dusun Tegalranti, seakan langit lupa bagaimana cara bersuara. Kabut tipis melayang rendah, menyelimuti tanah dengan aroma lembab dan tanah busuk yang sudah lama tak disentuh matahari. Angin berhenti berembus, menyisakan desir yang nyaris seperti napas seseorang yang kehabisan tenaga. Di kejauhan, sendang tua yang disebut Sendang Wiragati tampak memantulkan cahaya bulan seperti mata yang mengintip dari bawah permukaan dunia. Tak ada suara burung, tak ada serangga—hanya sunyi yang cumiakkan, dan dari kejauhan, samar, terdengar tembang lirih mengalun, terlalu pelan untuk ditangkap maknanya, terlalu nyata untuk dianggap angin malam biasa.
Penduduk desa Tegalranti tahu satu hal pasti: jika tembang itu terdengar, mereka harus mengunci pintu, menutup jendela dengan kain putih, dan memadamkan semua api. Mereka menyebutnya "tembang larung mayit"—nyanyian yang dulunya hanya dinyanyikan dalam prosesi kematian, kini bergema tanpa suara manusia. Tak ada yang tahu siapa yang menyanyikannya. Mereka bilang, itu suara para mayat yang dulu dilarung, ditenggelamkan di sendang sebagai persembahan penutup perang saudara yang dulu menghancurkan dusun ini. Konon, mereka tidak mati. Mereka menunggu bait terakhir.
Di antara kabut, langkah kaki ringan terdengar menyusuri pematang sawah. Bukan langkah warga—tak ada yang cukup gila keluar malam-malam begini. Sosok itu muda, mengenakan jaket hitam lusuh dan menenteng kamera tua. Namanya Arsad. Mahasiswa jurusan antropologi dari luar kota, sedang menyusun skripsi tentang ritual kematian lokal. Ia sudah dua minggu tinggal di rumah Kepala Dusun, mencoba menggali informasi yang bahkan penduduk pun enggan membicarakannya. Dan malam ini, saat suara tembang kembali terdengar, Arsad melangkah keluar. Ia ingin tahu siapa yang bernyanyi. Atau apa.
Senter di tangannya bergetar, bukan karena angin, tapi karena tangannya sendiri. Langkahnya menyusuri jalan setapak, melewati pohon-pohon waru yang menjulang seperti penjaga bisu di sisi jalan. Semakin dekat ke arah sendang, udara berubah. Dingin, tapi bukan dingin biasa. Dingin yang terasa seperti tangan—bukan angin—menyentuh lehernya. Cahaya senter menyorot sebuah batang pohon tua dengan ukiran kuno, entah mantra atau penanda. Arsad berhenti sejenak, menyalakan perekam suara. Suara tembang semakin jelas. Ia tak mengerti liriknya, tapi nada itu... seakan menyayat waktu.
Tanpa sadar, Arsad mendekati tepian sendang. Airnya hitam, pekat seperti tumpahan tinta di kertas kosong malam. Kabut menari di atas permukaan, dan dari kejauhan, seperti siluet, sebuah gamelan tua muncul dari balik kabut. Tertancap miring di lumpur, besi-besinya berkarat, beberapa bagian masih memantulkan cahaya bulan. Arsad tertegun. Ia tak percaya mata dan kamera yang ia bawa. Lensa zoom-nya menangkap ukiran naga dan simbol Jawa kuno di permukaan bonang. Ia menekan tombol perekam suara lebih dalam, berharap tembang itu bisa terekam jelas. Tapi justru saat itulah... tembangnya berhenti.
Keheningan yang mengikuti begitu pekat hingga Arsad merasa telinganya tuli. Ia menahan napas, berdiri diam seperti patung. Lalu, dari air yang tenang, gelembung-gelembung muncul. Satu, dua, lalu puluhan. Seperti sesuatu di bawah sana sedang bernapas, atau bangun. Cahaya senter menyorot permukaan air, dan dalam kilatan cahaya yang bergoyang, ia melihatnya: sepasang mata—bukan ikan, bukan manusia—mengintip dari balik air. Matanya tidak berkedip, tidak bergerak. Hanya menatap. Tanpa ekspresi. Tapi dari tatapan itu, Arsad tahu satu hal: ia telah dilihat.
Panik merambat ke tubuhnya, namun rasa penasaran jauh lebih kuat. Ia memundurkan kamera, berusaha mengambil gambar, tapi kamera mendadak mati. Senter berkedip. Udara menebal. Dari balik kabut, suara langkah terdengar, pelan, menyeret. Arsad menoleh. Sosok perempuan berdiri di seberang sendang. Tubuhnya tegak, mengenakan kebaya putih pudar. Rambut panjangnya basah, menjuntai hingga perut. Wajahnya pucat, bibirnya membiru. Tapi yang membuat dada Arsad sesak adalah gerakannya. Ia tak berjalan. Ia mengapung—seperti bayangan yang lupa cara menyentuh bumi.
Sosok itu mulai menari. Tangan terangkat perlahan, seperti mengucap salam pada kegelapan. Langkah kakinya—jika itu bisa disebut langkah—melingkar anggun, gerakan lambat dan teratur. Tapi dalam keanggunan itu, ada sesuatu yang menyimpang. Sendi-sendinya berbunyi seperti ranting patah. Tubuhnya terkadang bergetar, seolah ada yang salah dalam anatominya. Dan saat tembang kembali terdengar, kali ini jauh lebih dekat, lebih nyata, bibir sosok itu terbuka. Ia menyanyi. Tapi tidak ada suara keluar. Hanya gerakan mulut yang mengeja kematian.
Arsad terpaku. Tubuhnya dingin. Pikirannya kabur. Sebuah suara dalam dirinya berbisik untuk lari, tapi kakinya membeku. Dari balik semak di sebelah kirinya, daun bergerak. Ia menoleh. Sebuah tangan keriput mencengkeram kakinya dari bawah tanah. Tanpa sempat berpikir, Arsad terjatuh ke tanah. Kabut menyerbu wajahnya, dan dunia berputar. Ia mencoba berteriak, tapi tenggorokannya kelu. Sosok perempuan itu semakin dekat, tembangnya semakin keras, sampai suara itu memenuhi kepala Arsad seperti dengungan ribuan lebah mati. Dunia menjadi kabur... lalu hitam.
Ketika Arsad membuka mata, ia sudah kembali di kamarnya di rumah Kepala Dusun. Pakaianya basah kuyup, kamera tergeletak di meja, rusak. Tidak ada luka. Tidak ada jejak lumpur. Hanya aroma kemenyan yang pekat di udara, dan selembar lontar tua di dadanya. Di permukaan daun lontar itu, tertulis bait pertama dari tembang yang ia dengar malam tadi. Tulisan tangan, basah... dan entah bagaimana, dengan tinta yang masih hangat. Di sudut lembaran, ada sesuatu yang membuat darahnya membeku: ukiran kecil bergambar wajahnya sendiri, dengan mata yang belum sepenuhnya tertutup.

Pagi hari di Tegalranti tidak pernah terasa seperti pagi sungguhan. Matahari menyemburat lemah di balik langit kelabu, seolah cahaya pun enggan menyentuh tanah ini terlalu lama. Arsad duduk di serambi rumah Kepala Dusun, memandangi secangkir teh yang tak disentuhnya. Matanya sembab, tubuhnya gemetar. Tapi bukan karena mimpi buruk—ia tahu betul apa yang terjadi semalam nyata. Tangan kirinya masih bergetar, dan lembaran lontar itu masih terselip di balik bantal, mengering tapi menyisakan bekas basah. Ia belum berani menyentuhnya lagi. Belum.
Suara sandal kayu menyeret tanah memecah keheningan pagi itu. Seorang perempuan paruh baya muncul dari balik tirai bambu, membawa nampan kecil berisi bubur hangat dan obat. Namanya Mbok Jirah, asisten rumah tangga keluarga Kepala Dusun sejak tiga dekade lalu. Wajahnya keras, tapi ada kesedihan dalam cara ia memandang Arsad pagi itu. Ia tak bertanya. Tak menawarkan basa-basi. Hanya meletakkan bubur dan berkata lirih, "Kau sudah menyentuh sendang itu, ya, Nak?" Arsad menoleh pelan, dan hanya bisa mengangguk.
Mbok Jirah duduk di sebelah Arsad, tangannya menggenggam ujung kain jaritnya sendiri. "Sendang Wiragati bukan sekadar tempat. Ia adalah luka. Luka yang belum pernah ditutup," katanya, suara pelan tapi tajam. "Apa pun yang kau lihat di sana, itu bukan untukmu. Bukan untuk kita. Itu milik mereka yang tak sempat mati dengan benar." Arsad ingin bertanya lebih jauh, tapi kata-katanya tercekat. Ia hanya mengeluarkan lontar dari balik bantal dan menyerahkannya pada Mbok Jirah. Perempuan tua itu menatapnya, lama, sebelum akhirnya membuka gulungan itu perlahan.
Saat matanya jatuh pada bait yang tertulis, wajahnya memucat. Ia meremas ujung jaritnya lebih kuat, lalu bergumam, "Ini bukan tembang biasa. Ini bait pembuka dari tembang larung yang dulu..." Suaranya menghilang. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mendesah dalam. "Nak, bait ini tak pernah selesai ditulis. Karena jika sampai selesai..." Ia tidak melanjutkan. Tapi pandangannya pada Arsad penuh peringatan. Seolah bait itu bukan sekadar tulisan—melainkan kunci dari sesuatu yang seharusnya tak pernah dibuka kembali.
Kepala Dusun, Pak Wiryo, datang tak lama kemudian. Pria tua itu membawa tongkat kayu berukir dan mengenakan surjan cokelat tua. Tatapannya tajam namun tenang, seperti seseorang yang telah melihat terlalu banyak namun memilih diam. Ia memandangi Arsad dan lontar di tangan Mbok Jirah, lalu duduk tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat. Akhirnya, ia berkata, "Kau telah membuka suara lama, Nak. Dan suara itu kini tahu namamu." Arsad menegang. Pak Wiryo melanjutkan, "Bait pertama memanggil. Bait kedua akan menjawab. Dan jika kau menulis bait ketiga... yang terkunci akan bebas."

Arsad menunduk, kedua tangannya menggenggam lutut. Ia tak tahu harus merasa seperti apa. Antara takut, bingung, dan tergoda oleh keanehan yang belum sempat ia uraikan. Pak Wiryo menatapnya lama, lalu berdiri dan mengambil sebuah kotak kayu dari atas lemari tua di sudut ruangan. Kotak itu berdebu, terkunci dengan segel kain berwarna merah bata. Saat dibuka, aroma dupa lawas dan kapur barus menyeruak. Di dalamnya tersimpan naskah-naskah lontar lainnya, namun yang membuat jantung Arsad berhenti adalah: wajah perempuan yang ia lihat di sendang, tergambar samar di salah satu daun lontar. Ia tak mungkin salah.
"Namanya Tunjung Sekar," ujar Pak Wiryo lirih. "Ia penari terakhir di dusun ini. Penari larung." Arsad menelan ludah. Pak Wiryo melanjutkan, "Pada masa lalu, ketika bencana datang atau perang meletus, seorang penari dipilih. Ia akan menari di tepi sendang, menembang bait-bait kematian, lalu dirinya sendiri akan dilarung ke dalam air. Sebagai tumbal. Sebagai kunci." Kata-kata itu menggantung di udara. Mbok Jirah memalingkan wajah, seolah tidak sanggup mendengar lagi. Arsad memandangi gambar Tunjung Sekar yang tergurat halus di lontar. Wajah itu memang sama.
"Apa dia... yang aku lihat semalam?" tanya Arsad nyaris tak terdengar. Pak Wiryo tidak segera menjawab. Ia menatap keluar jendela, lalu berkata, "Ia tidak mati. Setidaknya, tidak seperti kita. Tembangnya belum selesai. Karena seseorang mencuri bait terakhirnya dan menyimpannya." Ia mengangkat selembar lontar lain, lebih tua, retak di tepinya. Di sana tertulis bait kedua, namun separuhnya seperti dihapus paksa. "Seseorang mencoba menyelamatkan Tunjung Sekar dari takdirnya. Tapi ritual yang tak rampung... menyisakan lebih banyak luka."
Arsad merasa keringat dingin merambat di pelipis. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke luar rumah, menghindari pandangan mereka. Kabut pagi masih menggantung di antara pohon. Tapi di kejauhan, ia mendengar suara gamelan yang sangat pelan. Ia menajamkan telinga. Bukan halusinasi. Bukan ingatan. Gamelan itu benar-benar berbunyi, lirih, seperti dimainkan tangan-tangan yang tak lagi berdaging. Ia melangkah perlahan ke arah suara itu, menyusuri jalan kecil yang membelah semak dan rumpun bambu. Angin membawa bau dupa dan melati layu.
Sebuah cungkup kecil muncul di tengah kebun bambu. Atapnya reyot, dindingnya dipenuhi ukiran. Di depannya, sebuah batu besar penuh lumut berdiri. Seperti nisan. Di atasnya tergurat aksara Jawa halus: Tunjung Sekar, yang Menari Saat Dunia Hening. Arsad tersentak. Inikah makamnya? Atau sekadar peringatan? Ia mendekat dan menemukan bunga kantil segar di kaki batu. Masih basah. Masih wangi. Seseorang baru saja ke sini. Tapi tak ada jejak kaki. Hanya bayangan yang terasa lebih panjang dari seharusnya.
Suara gamelan mendadak berhenti. Udara menebal. Arsad menoleh, dan dari sudut matanya, ia melihat sosok perempuan berkebaya putih berdiri di balik rumpun bambu. Kali ini ia lebih jelas. Wajahnya tenang, tapi matanya penuh duka. Tidak bergerak, tidak berkedip. Seolah hanya ingin dilihat. Arsad ingin berkata sesuatu, tapi suara tersangkut di tenggorokan. Lalu sosok itu menghilang. Secepat kabut yang ditiup angin. Tapi di tempatnya berdiri, kini ada lipatan kain putih... dan lembaran lontar ketiga.
Arsad mengambilnya dengan tangan gemetar. Tulisan di sana setengah kabur, namun jelas satu hal: itu bait ketiga. Dan belum selesai ditulis. Tinta kering sebagian, dan di bagian akhirnya ada ruang kosong... seolah menunggu seseorang untuk melanjutkan. Arsad menatap lontar itu, jantungnya berdegup kencang. Suara-suara dalam kepalanya mulai berbisik. Ia merasa seperti dipanggil. Diundang. Ia tak tahu apakah itu keinginan atau paksaan. Tapi ia tahu satu hal: bait ini belum rampung karena menunggu seseorang seperti dirinya.
Sore menjelang. Arsad kembali ke rumah dengan tubuh menggigil. Mbok Jirah dan Pak Wiryo menatapnya dari serambi. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menunjukkan lontar ketiga. Pak Wiryo tampak pucat. "Jadi ia sudah memilihmu..." katanya lirih. Arsad tidak mengerti. Mbok Jirah menunduk. "Tak semua yang menerima bait ini bisa menolak," bisiknya. "Sebagian menjadi penulis. Sebagian... menjadi bagian dari tembang itu sendiri." Kata-kata itu menggema di kepala Arsad, seperti gema gong terakhir yang tak pernah berhenti berdentang.
Malam kembali tiba. Kali ini tanpa tembang. Tapi justru itu yang lebih menakutkan. Keheningan malam terasa hampa, seperti mulut yang sengaja dikunci. Arsad duduk di depan naskah-naskah itu, menyalakan lilin, dan mencoba menerjemahkan bait-bait yang telah ia kumpulkan. Tapi semakin lama ia menatapnya, tulisan itu seperti berubah sendiri. Huruf-huruf Jawa yang semula ia kenali, mulai meliuk, membentuk wajah, mata, bahkan tangan. Lembar lontar ketiga tiba-tiba menjadi hangat. Seperti kulit.
Ia menoleh ke jendela. Di luar, sendang Wiragati bersinar samar di balik kabut. Cahaya bulan menyentuh permukaannya, dan di sana... sesosok tubuh sedang menari perlahan. Bukan bayangan. Bukan mimpi. Tubuh perempuan berkebaya itu meliuk di atas air, seakan air adalah lantai panggungnya. Ia menoleh ke arah Arsad, tersenyum... dan membuka mulut. Kali ini, suara tembang itu terdengar jelas, tajam, mengiris udara: "Bait ketiga belum selesai... tulislah aku... agar aku bisa pulang."

Malam itu adalah malam di mana batas antara dunia hidup dan dunia yang ditenggelamkan mulai kabur. Arsad berdiri di ambang pintu, menatap ke luar. Kabut turun begitu tebal, membuat jalan setapak menuju sendang tampak seperti sungai kabur yang mengalir ke tempat tak bernama. Para perempuan berkebaya putih yang tadi berdiri di tepi air kini melangkah perlahan menuju rumah. Langkah mereka tanpa suara, tapi setiap gerak mereka mengguncang udara, menebarkan aroma kemenyan dan darah. Arsad tidak bisa bergerak. Tubuhnya menggigil, bukan oleh dingin, tapi oleh sesuatu yang lebih purba—takut yang berasal dari dalam tulang.
Satu per satu perempuan itu mendekat. Wajah mereka cantik, tenang, namun kosong. Seperti topeng kayu yang terlalu lama disimpan dalam peti tua. Di tengah mereka berdiri sosok yang paling dikenalnya—Tunjung Sekar. Wajah yang sama dari lontar, dari sendang, dari mimpi-mimpi kelam. Ia tidak bicara, tidak tersenyum, hanya memandangi Arsad seakan menyuruhnya ingat pada sesuatu yang belum pernah ia alami. Tiba-tiba, suara tembang terdengar, pelan, mengalun dari langit-langit rumah, padahal tak ada satu pun mulut yang terbuka. Bait keempat mulai mengalun… meski belum ditulis.
Pak Wiryo meraih bahu Arsad dan berbisik, “Dengar baik-baik… tembang itu tidak berasal dari dunia ini. Ia dinyanyikan oleh mereka yang telah larut. Tapi sekali baitnya terucap, tak ada jalan kembali. Ia akan mengikatmu.” Arsad merasa tubuhnya berat, seperti diikat oleh tali gaib. Mbok Jirah gemetar di sudut ruangan, menutup telinga, menggumamkan doa yang bahkan ia sendiri tampak lupa maknanya. Suara tembang kini terdengar jelas: suara perempuan, tua dan muda, menyatu dalam harmoni kelam, menyanyikan kisah yang telah dikubur selama ratusan tahun.
Lontar keempat kini terbuka di meja, meski tidak ada yang menyentuhnya. Huruf-huruf Jawa di atasnya mulai memerah, seperti ditulis dengan darah hangat yang belum mengering. Arsad mendekat perlahan, dan ketika matanya menyapu bait itu, ia seolah terserap ke dalam dunia lain—dunia tempat ribuan mayat perempuan menari dalam senyap, di dasar air yang tak pernah kering. Di sana, tembang bukan lagi suara… melainkan jaring. Ia menangkap. Ia memelihara. Ia mengikat jiwa yang belum rampung.
Tunjung Sekar akhirnya bicara. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi langsung menusuk hati Arsad. “Tulislah bait terakhir. Bebaskan kami… atau gantikan kami.” Ia mengulurkan tangan, dan di atas telapak tangannya ada sebuah pena bambu tua, ujungnya masih meneteskan tinta merah. “Bait ini hanya bisa ditulis oleh mereka yang telah melihat. Yang telah dipanggil.” Arsad menatap pena itu, lalu lontar di meja. Saat tangannya meraihnya, lantai rumah bergetar seperti perahu yang digoyang gelombang besar dari dalam bumi.
Gamelan kembali berbunyi, kali ini lebih keras, tidak sinkron, seperti dimainkan oleh tangan yang marah. Tembang itu berubah nadanya—bukan lagi melankolis, melainkan menyayat, seperti jerit kesakitan yang dilantunkan dengan nada lembut. Mbok Jirah menjerit dan pingsan. Pak Wiryo jatuh tersungkur dan menggenggam dada kirinya, wajahnya pucat pasi. Sementara Arsad… menulis. Tinta mengalir dari pena seperti darah, dan bait keempat mulai memenuhi lontar. Tapi saat bait itu hampir selesai, pena itu patah dengan bunyi nyaring seperti tulang retak.
Dari luar rumah terdengar air menggelegak. Sendang Wiragati memancar seperti mata air pecah. Sosok-sosok perempuan larung mulai mundur perlahan, wajah mereka berubah—sebagian menangis, sebagian tersenyum lega, sebagian menghilang seperti kabut tersapu cahaya pagi. Tapi Tunjung Sekar tetap berdiri, menatap Arsad dengan mata basah. “Masih ada yang hilang,” katanya lirih. “Bait penutup. Itu bukan tugas kami. Itu tugasmu.” Arsad terdiam. Ia sadar: tembang ini memang belum selesai. Dan mungkin… tidak akan pernah.
Udara mendadak hening. Suara gamelan berhenti. Lilin padam satu per satu. Rumah itu kembali sunyi, seperti sebelumnya. Tapi lontar keempat kini menyala redup, memancarkan cahaya dari dalam, seolah menanti satu bait lagi. Pak Wiryo terbaring lemas, dan Mbok Jirah masih tak sadarkan diri. Di luar, fajar mulai menyingsing, tapi sinarnya tidak menyentuh rumah itu. Arsad tahu: rumah ini, tanah ini, dirinya sendiri… kini telah menjadi bagian dari tembang. Dan tembang yang telah dimulai tidak bisa dihentikan hanya dengan diam.
Ia duduk sendiri di hadapan naskah-naskah itu, tubuh lelah, mata sembab, jiwa terkuras. Tapi di dalam dirinya, suara-suara masih menyanyi. Lembut, menghipnotis, memanggilnya untuk menulis kembali. Ia menggenggam pena lain—pena modern kali ini—dan menatap lembar kertas kosong di depannya. “Tembang Larung Mayit,” gumamnya. “Bait pertama telah ditulis. Bait keempat telah dibuka. Tapi bait kelima… adalah milikku.” Dan di situlah ia mulai menulis, bukan dengan tinta… tapi dengan ingatan, luka, dan seluruh bayang-bayang yang kini telah menjadi bagian dari dirinya.
Di luar rumah, sendang itu kembali tenang. Tapi di dasarnya, mata seorang perempuan terbuka. Senyumnya perlahan terbit saat bait kelima mulai ditulis. Karena tembang ini bukan sekadar kisah. Ia adalah pusaran kutukan, memori, dan kehendak yang hidup dari satu penulis ke penulis berikutnya. Dan kini, tembang itu telah memiliki penyanyi baru. Namanya… Arsad.
kulipriok
rbrataatmadja
habibhiev
habibhiev dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.