- Beranda
- Stories from the Heart
Antara Rasa dann Logika ( Final Chapter ) [ TRUE STORY ]
...
TS
aldiriza
Antara Rasa dann Logika ( Final Chapter ) [ TRUE STORY ]
Quote:
. ![Antara Rasa dann Logika ( Final Chapter ) [ TRUE STORY ]](https://s.kaskus.id/images/2020/06/01/10829235_202006010933360159.png)
Quote:
Part 1
Hai pagi. Apa kabar denganmu? Bagaimana dengan bulir embun yang menggenang di atas daun lalu jatuh perlahan dari sudutnya? Apakah sudah menyentuh membuat sedikit tanah menjadi kecoklatan lebih tua dari sisi lainnya? Ah, tentu saja begitu. Apakah kau tahu bahwa ada perempuan yang kini setia menunggumu, pagi? Harusnya kau tahu. Perempuanku saat ini sangat menyukaimu.
Semilir angin masuk melalui sela-sela jendela yang sedikit menganga. Udara yang segar menyeruak keseluruh sudut kamar. Kamar kami. Gue kerjip kan mata. sinar matahari pagi yang menelusup melewati tirai yang sudah tidak menutupi jendela sebagian membuat silau. Tentu saja, dia pasti yang melakukan ini. Ah, gue lupa kalo tadi sehabis shalat subuh, malah terlelap lagi.
Gue melirik ponsel di atas nakas. Menyambarnya. Menyipitkan mata lalu menatapnya. Pukul 06.15. masih ada satu jam lebih untuk bermalas-malasan. Tapi suara remaja tanggung itu membuat mata enggan untuk menutup lagi. Gue sibakan selimut. Duduk. lalu berjalan keluar dan berdiri di bawah bingkai pintu.
"Ini bekal nya udah teteh masukin di tas. Jangan lupa dimakan kalo istirahat. Terus, inget, jangan kebanyakan jajan. Ditabung uangnya, ya?" Ujar perempuan yang kini menjadi teman hidup gue ke ramaja tanggung itu. Membereskan tasnya. Lalu memberikannya.
Remaja tanggung itu menyandang tasnya lalu melempar senyum lebar, "siap bos," seraya menggerakan tangannya layaknya hormat kepada komandan. Seragam putih birunya terlihat sedikit kebesaran. Membuatnya agak lucu. Tapi tak apalah.
"Yaudah gih, nanti telat" balasnya tersenyum. Membelai kepalanya lembut.
"Assalamu'alaikum" lalu meraih tangan perempuan itu untuk menyaliminya.
Remaja tanggung itu lekas berjalan. Melirik gue. Dan mengurungkan langkahnya menuju pintu depan. Lalu berjalan menghampiri gue.
"A, aku berangkat dulu"
Gue tersenyum lalu mengangguk. Telapak tangannya yang lebih kecil dari gue kini menggenggam tangan gue, lalu diarahkannya punggung tangan gue ke keningnya. Beberapa detik. Ia lepaskan kembali. "assalamu'alaikum". Lalu berjalan keluar.
"Wa'alaikumsalam. Hati hati dijalan"
Ah, mungkin sekolah adalah hal menyenangkan untuknya sekarang. Hal baru dia dapatkan. Teman baru. Terutama ilmu. Suatu saat nanti ia akan menjadi orang hebat. Sehebat perempuan yang berada di samping gue saat ini.
Teringat waktu itu. Beberapa bulan yang lalu. Gue dan istri mendapati remaja tanggung itu duduk di tepi pelataran masjid tempat dia berteduh. Duduk memeluk lututnya. Membenamkan wajah diantara lututnya. Sepertinya hari itu adalah hari ke-tidak beruntungannya. Langit malam pekat. Tersaput awan. Tidak seperti biasanya. Bintang tidak menunjukan jati dirinya. Bahkan formasinyapun entah kemana.
Remaja tanggung itu terisak. Terisak dalam.
Istri gue menepuk pundaknya. Remaja tanggung itu Mengangkat wajahnya pelan. Sangat pelan. Matanya basah. Bibirnya bergetar. Nafasnya tercekat. Ia duduk di sampingnya. Membelai wajahnya lalu memeluknya. Menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. "Ibu meninggal teh". Ucapnya bergetar. Hampir tidak terdengar. Istri gue menatap kosong ke arah depan. Tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca. Lalu memeluk remaja tanggung itu semakin erat. Sejak itulah, istri gue membawanya ke rumah ini. Menjadi bagian dari keluarga kecil kami. Memberi warna baru setiap hari. Tawa nya. Candanya. Ocehannya. Ah, itu semua sudah bagian dari kami. Gue tahu, istri gue sangat menyayangi remaja tanggung yang tubuhnya tak sesuai dengan usianha kebanyakan. Ia terlalu kecil. Ringkih. Dengan kulit kecoklatan.
Istri gue sudah menyiapkan kopi hitam di atas meja makan lengkap dengan sebungkus rokok.
Dia tentu tahu betul kebiasaan gue. Kopi, rokok, itu sudah menjadi bagian dari pagi. Bagian dari cahaya matahari yang sedikit memberi warna kuning pucat di kaki cakrawala.
"Kamu kok gak bangunin aku sih?"
"Udah, tapi dasar kamunya aja yang kebo, malah tidur lagi!" Cibirnya.
"Yee, enggak ya, tadi subuhkan udah bangun" balas gue.
"Tetep aja, udah gitu ngebo lagi." Cibirnya lagi.
Ups, itulah kelemahan gue. Selepas subuh, malah ketiduran. Atau lebih tepatnya sengaja terlelap lagi.
Gue hanya tersenyum lebar. Menggaruk tengkuk yang gak gatal.
Senyum nya yang hangat mengalahkan hangatnya matahari yang baru muncul ke permukaan
***
Jam 07.15. waktunya menemui setumpuk kerjaan di kantor. Menemui hiruk pikuknya dunia demi sesuap nasi.
Jam 07.50. gue sudah berada di lobi. Pak Yanto, Office boy di kantor gue menyapa dengan senyuman dan anggukan. Gue membalasnya. Berjalan Melewati koridor yang tiap sisinya adalah ruangan staff dan pegawai lainnya.
Gue sampai di meja. Menyimpan tas. Mengeluarkan flashdisk. Menancapkannya pada lubang USB di PC. Ah, tentu saja pekerjaan kemarin telah menunggu.
Lanjut ke part 2 gan-sis

Diubah oleh aldiriza 15-11-2020 06:53
itkgid dan 55 lainnya memberi reputasi
50
77.8K
770
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
aldiriza
#412
Part 72
Satu Tahun kemudian...
Gue berdiri di balkon apartemen sewaan di arrondissement ke-7, memandangi kota yang tampak seperti lukisan yang digambar dengan kesabaran. Menara Eiffel berdiri angkuh di kejauhan, setengah tertutup kabut tipis. Di bawah sana, mobil-mobil kecil merayap di jalan sempit, dan pohon-pohon plane yang berbaris sepanjang trotoar mulai berguguran daunnya.
Udara dingin awal musim gugur menggigit kulit, tapi gue betah berdiri di sini. Ada sesuatu tentang kota ini yang bikin semua terasa lebih tenang. Mungkin karena sinar matahari di sini hangatnya beda. Atau mungkin karena, untuk pertama kalinya dalam satu tahun terakhir, gue gak merasa dikejar-kejar bayang-bayang dari masa lalu.
Kerjaan gue di sini cukup singkat, sebenarnya. Dua minggu. Sebuah agensi kreatif lokal yang ngundang gue buat jadi konsultan proyek branding mereka. Gue gak nyangka aja, ide-ide receh yang dulu sering gue share di Instagram bisa bawa gue sejauh ini.
Hari pertama kerja, mereka nyambut gue seperti tamu penting. Gue dikasih ruang kerja kecil di dekat jendela, lengkap dengan espresso machine yang gak pernah berhenti mendesis. Di luar jendela, taman kecil tempat anak-anak main sepulang sekolah jadi pemandangan tetap gue tiap sore.
Gue suka jalan kaki pulang. Melewati toko roti kecil yang aromanya kayak peluk hangat dari ibu, lalu belok ke kiri di depan toko buku tua dengan rak-rak kusam yang isinya kayak dunia lain. Penjualnya selalu menyapa dengan senyum sopan, walau dia tahu gue gak akan beli apa pun.
Hari keempat di Paris, gue mulai sadar. Gue gak sendirian di kota ini.
Dia yang nemenin gue.
Dari bandara Charles de Gaulle,dia udah ada di sebelah gue. Nyodorin botol minum waktu gue kehausan karena lupa isi ulang. Di apartemen ini, dia yang pertama nanya: “Tirai jendelanya dibuka, gak?” Dan dengan santainya juga dia yang masakin sarapan tiap pagi, walaupun cuma telur orak-arik dan roti panggang gosong di satu sisi.
Gue pernah tanya, “Lu gak capek nemenin gue terus?”
Dia cuma ngangkat bahu. “Paris tuh gak indah kalo diliat sendirian.”
Dan gue percaya. Karena tiap jalan bareng dia di sepanjang Seine, tiap denger dia cerita soal buku-buku Prancis yang dia baca sambil nunjuk kafe tempat penulisnya dulu nongkrong, tiap kali dia ngajak duduk lama di bangku taman cuma buat ngeliatin orang lewat—gue ngerasa gak perlu apa-apa lagi.
Satu malam, kami duduk di tepi sungai. Cahaya lampu kota memantul di air yang tenang, dan alunan biola dari pemusik jalanan nyangkut di udara kayak aroma kopi hangat.
“Lo tau,” dia bilang sambil menatap sungai, “satu tahun lalu, gue pikir lo gak bakal pernah ngelihat gue lagi.”
Gue menoleh pelan. “Gue juga pikir gitu.”
“Waktu itu…,” suaranya menurun, “gue cuma pengen semuanya baik-baik aja. Gak ada yang sakit hati. Tapi ternyata, tetep aja ada yang patah.”
Kami diam lama. Gue gak tahu harus jawab apa. Karena saat itu, setahun lalu, gue emang kehilangan dia, orang penting dalam waktu cepat, tak terasa. Pacar gue—Yoshi.
Hari demi hari di Paris, gue belajar satu hal: kadang yang lo kira hilang, gak pernah benar-benar pergi. Dia cuma nunggu waktu yang tepat buat lo lihat lagi, dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin lo harus pergi sejauh ini dulu, sebelum bisa ngelihat semuanya lebih jernih.
Gue gak pernah nanya kenapa dia ikut. Dia juga gak pernah minta alasan buat diundang. Tapi kami berjalan bareng, kayak kami gak pernah punya luka masa lalu. Kayak semuanya udah cukup. Udah lega.
Sore itu, kami ke Montmartre. Naik tangga panjang yang bikin kaki pegal, tapi pemandangannya dari atas luar biasa. Kota Paris membentang sampai ke ujung cakrawala. Kubah Sacré-Cœur berdiri putih di bawah langit jingga yang makin meredup. Banyak orang duduk di anak tangga, sebagian ngelukis, sebagian cuma bengong kayak kami.
Dia duduk di samping gue, mengenakan jaket krem yang bagian sikunya udah aus. Rambutnya diikat asal, dan dia masih megang kamera kecil yang dibawa dari pagi. Di halaman slide terakhir, ada foto setengah blur: gue, berdiri di balkon, tangan masuk ke saku, kepala miring sedikit. Garis wajah gue kaku, tapi dia berhasil nangkep ekspresi lelah dan penasaran sekaligus.
“Gue jelek banget di sini,” gue komentar.
Dia ngakak. “Emang lo pikir lo se-charming itu?”
“Gue kan ganteng,” sahut gue pura-pura serius.
Dia mencibir. “Lo tuh kayak… cowok Korea KW. Rambut belah tengah lo tuh ikonik banget, tapi tetep KW.” Kami tertawa bareng. Di tengah dinginnya udara Paris, suara kami jadi hangat sendiri.
Dan entah sejak kapan, tawa kami gak lagi penuh kepura-puraan.
Malam itu, di balkon, gue berdiri lagi menghadap kota. Tapi kali ini, dia ikut berdiri di samping gue. Tangannya nyentuh lengan gue pelan. Kami gak ngomong apa-apa. Tapi pelan-pelan, dia menyandarkan kepalanya ke bahu gue. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, gue gak merasa harus menjelaskan apa pun.
Dia tahu.
Dan gue tahu.
Dia bukan cuma cewek yang nemenin gue ke Paris. Dia bukan cuma sahabat masa lalu. Dia adalah seseorang yang datang diam-diam, tapi tinggal lebih lama dari siapa pun yang pernah gue kenal.
Dan malam itu, gue akhirnya menyebut namanya.
“Aurel…”
Dia menoleh. Matanya basah sedikit. Tapi dia senyum.
“Hmm?”
Gue gak jawab. Gue cuma ngelihat ke matanya. Dan akhirnya, di kota yang jauh dari rumah, di antara jalanan berbatu dan cahaya kuning lampu jalan, gue tahu gue akhirnya sampai.
Bukan ke Paris.
Tapi ke tempat di mana gue bisa bilang: ini gue, apa adanya, tanpa perlu disembunyiin.
Dan Aurel, dia adalah rumah itu.
Finnaly, gue dapet ijin buat post. Tapi gue harus ngelewatin satu taun yang gak pengen gue tulis. So, selamat melanjutkan gan-sis.
Bersambunggg....
nuryadiari dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup