- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.2K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1126
007-K Tracing the Absent
Spoiler for 007-K Tracing the Absent:
Malam itu, gua dan Nyokap tengah duduk di sofa sambil menonton seria drama korea. Tepat saat ada momen di mana si karakter utama menikah, tiba-tiba Nyokap nyeletuk; “Itu orang nikah nggak ngasih tau orang tuanya deh, Gimana sih…”
“Ya kalo di sana normal kali begitu. Kalo di sini, di Indonesia kan harus pake wali, Mah…”Jawab gua.
Lalu hening.
Detik berikutnya, gua dan Nyokap saling menatap.
“Nanti yang jadi wali aku siapa, Mah?” Tanya gua, perlahan dan lirih.
Nyokap menggelengkan kepalanya, masih dengan tatapan kosong.
Kompak, kami berdua lantas sama-sama meraih ponsel dan mengetik di kolom pencarian. Nggak lama, Nyokap membacakan hasilnya; “Secara hukum Islam, perempuan tetap harus dinikahkan oleh walinya; ayah kandung kalau masih hidup. Jika tidak ada, baru pindah ke wali nasab berikutnya, atau diwakilkan oleh wali hakim dari KUA…”
“Berarti harus nyari papah dong?” Tanya gua lagi, nggak kalah lirih dari ucapan sebelumnya.
Nyokap mengangguk pelan.
“Any clue?” Tanya gua.
Nyokap menggeleng, lalu bicara tanpa menatap gua; “Terakhir Mamah tau info-nya kalo orang itu tinggal di Tangerang. Itupun udah nggak tau mungkin 10 tahun lalu?”
Hanya itu informasi yang dimiliki oleh Nyokap. Selain itu, nggak ada apa-apa. Kami bahkan nggak punya fotonya. Foto terakhir yang sempat dimiliki Nyokap sudah dibakar seminggu setelah kepergiannya.
Setelahnya, momen menonton drama korea kami jadi terasa nggak asik lagi. Nyokap lebih banyak diam dan nggak banyak memberi komentar di setiap adegan.
Sesekali, gua melirik ke arahnya yang hanya menatap kosong ke arah layar televisi. Gua yakin kalau saat ini ia sama sekali nggak menyimak jalannya cerita. Nggak lama berselang, ia bangkit dari sofa dan bersiap pergi.
“Kamu masih mau lanjut nonton?” Tanyanya dengan ekspresi datar.
“…”
“… Mamah, mau ke kamar, ngantuk…” Tambahnya, lalu menyerahkan remot dan pergi masuk ke dalam kamar.
Sementara, gua hanya duduk dalam diam sambil menatap layar televisi yang berubah gelap dan kredit drama Korea mulai bergulir. Ruang keluarga kini terasa hening dan sunyi. Berbanding terbalik dengan isi kepala gua yang ramai. Ucapan Nyokap tadi tentang wali nikah terus bergaung di kepala, terasa seperti gema di ruangan kosong.
Di dalam kamar, gua berbaring seraya menatap layar ponsel; berkirim pesan ke Lian. Menceritakan kejadian di ruang keluarga tadi.
‘Nanti kita coba sama-sama, masa nggak ketemu’ Balas Lian.
‘Ya mulainya drmn, Mas? 😔😔😔’
‘Dari namanya…’ Ia membalas cepat, dan singkat.
Gua langsung tertegun begitu membaca pesan tersebut. Baru sadar kalau sampai saat ini gua sama sekali sudah melupakan namanya. Nggak hanya namanya, tapi juga sosok dan parasnya. Sekeras apapun gua mencoba, tetap saja ingatan tentangnya nggak muncul sedikitpun.
Besoknya, pagi-pagi sekali sebelum memulai kuliah, gua langsung keluar dari kamar menuju ke bawah.
“Pagi…” Sapa Nyokap yang sudah bersiap di depan laptopnya di meja makan, sepertinya daily meetingnya sebentar lagi akan di mulai.
“Pagi…” Balas gua.
“Sarapan dulu, gih…” Ucapnya seraya menunjuk ke arah piring berisi roti panggang buatannya.
“Iya, nanti Mah…” Jawab gua dan terus berjalan menuju ke arah kamarnya.
Di dalam kamar Nyokap gua langsung membuka laci lemari pakaian bagian bawah, di mana Nyokap biasa menyimpan semua dokumen-dokumen penting. Ada dua buah map plastik tahan air di dalam laci, yang satu berwarna hitam dan satunya lagi abu-abu. Map berwarna hitam biasanya digunakan Nyokap untuk menyimpan dokumen-dokumen urusan rumah, seperti sertifikat-sertifikat, kuitansi sampai bukti pembayaran PBB. Gua meraih map plastik berwarna abu-abu dan mengeluarkannya. Map berisi dokumen seperti akta kelahiran, kartu keluarga hingga ijazah milik kami berdua.
Gua membuka map dan membalik lembaran plastiknya satu persatu. Mencoba mencari informasi apapun yang berkaitan dengan orang itu. Tapi, hingga lembaran habis, nggak ada satu hal pun yang berhasil gua temukan.
“Ngapain?” Tanya Nyokap sambil berbisik saat melihat gua keluar dari kamar.
Gua mendekat ke arah meja makan lalu duduk di kursi di sebelahnya. Nyokap memberi kode dengan tangan agar gua duduk dan menunggu sebentar karena ia masih dalam meeting online. Jadi, gua mengambil roti panggang di atas meja dan mulai makan.
10 menit berikutnya, Nyokap selesai meeting. Ia menutup layar laptopnya lalu menoleh ke arah gua.
“Mah, nggak ada info apapun tentang Papah?” Tanya gua.
“Nggak…” jawabnya singkat.
“Apapun?”
“Iya, Fir… Nggak ada…” jawabnya lagi.
“Ck…”
“Kamu abis nyari-nyari di map dokumen tadi?” Tanyanya, seraya menunjuk ke arah pintu kamar.
“Iya…” Gua mengangguk pelan, lalu melanjutkan; “… Yaudah aku minta namanya aja deh. Nama Papah”
Entah enggan atau jijik untuk menyebut namanya, Nyokap meraih lembaran kertas catatan, merobeknya lalu mulai menulis di atasnya; menulis sebuah nama. Kemudian menyerahkan lembaran kertas catatan tersebut ke gua.
Gua menyambar kertas tersebut dan membaca nama yang tertulis di sana; namanya tetap terasa asing.
Selesai menghabiskan sarapan, gua kembali naik ke atas, ke dalam kamar. Sambil mengikuti kuliah melalui layar laptop, gua membuka beberapa tab sekaligus, mengetik nama bokap dan mulai melakukan pencarian.
Banyak nama gua temukan, mulai dari situs profesional, hingga sosial media. Namun hasilnya nihil.
Tapi, gua nggak menyerah.
Hari berikutnya, gua mulai menyiapkan buku catatan. Buku catatan yang sama dengan yang gua pakai saat mencari ingatan waktu itu. Berbekal buku catatan itu, gua kembali mengajak Nyokap untuk ngobrol lagi.
Beberapa pertanyaan gua ajukan ke Nyokap. Tentang siapa saja teman Nyokap yang dulu mungkin mengenal bokap dan pernah bertemu, adakah tetangga atau saudara yang tau tentang cerita mereka, dan tentu saja tempat kerja bokap yang lama.
Dari banyak “nggak tahu” dan “udah lupa” yang keluar dari mulut Nyokap, satu nama muncul; Zamar, salah satu teman mereka sewaktu muda.
Gua nekat mencari nama Zamar di media sosial dan beberapa platform lain. Beruntung, nggak banyak orang dengan nama Zamar di Indonesia. Jadi, setelah dua jam penuh mencari dengan ratusan klik gua berhasi menemukan akun dengan nama Zamar di salah satau platform sosial media. Gua memberanikan diri mengirim DM kepadanya, bertanya tentang keabsahan profil-nya lalu memperkenalkan diri.
Namun, nggak ada respon balasan darinya.
Kemajuan kecil ini tentu gua ceritakan ke Lian. Ia terdengar senang dan excited begitu mendapat kabar tersebut. “Wah, serius… Hebat. Bisa jadi detektif kamu” Ucapnya seru.
“Hahaha, siapa dulu… Fira!!” Balas gua seraya menepuk dada sendiri.
Butuh dua hari sampai akhirnya sosok bernama Zamar memberi respon. Gua lalu meminta nomor ponselnya untuk bisa berbincang langsung melalui sambungan telepon. Dan dari obrolan gua dengan Om Zamar, gua akhirnya mendapat satu titik terang kecil;
“Dulu dia kerja di bengkel. Kayaknya deket-deket Cipondoh. Nama bengkelnya saya lupa. Maaf ya saya udah tua…”
Berbekal informasi tersebut, gua dan Lian berencana mencarinya. Tapi sayangnya, as you may know; dunia lagi nggak baik-baik aja. PSBB di mana-mana. Jangankan mencari orang, keluar rumah aja susah.
“Pake motor aja kali ya…” Gua memberi ide saat gua dan Lian tengah menyusun rencana pencarian.
Begitu mendengar ucapan gua barusan, ekspresi wajah Lian langsung berubah. Ia terlihat gugup dan takut. Gua mengernyitkan dahi sambil terus menatapnya heran. Selama ini ia adalah sosok arogan yang sombong juga penuh percaya diri. Ini bukanlah ekspresi terlatihnya, ini terlihat muncul jauh dari dalam hati.
“Kenapa, takut?” Tanya gua.
“…” Lian nggak menjawab.
“… Nggak bisa naik motor?” Tanya gua lagi, yang lantas diresponnya dengan anggukan kepala.
Begitu mendengar responnya barusan, tawa gua langsung pecah. Bukan, ini bukan hanya tawa yang biasa. Ini tawa paling lepas yang pernah gua keluarkan. Bagaimana mungkin, The Great Lian ternyata punya kelemahan; nggak bisa mengendarai sepeda motor.
Sementara, gua masih terus tertawa terbahak-bahak sambil sesekali memukul bahunya. Di sisi lain, Lian hanya mampu terdiam sambil memainkan korek api di tangannya.
“Kamu beneran nggak bisa naik motor, Mas?” Tanya gua lagi, kali ini dengan tawa yang sudah sedikit mereda.
“Kenapa nggak pake mobil aja sih?” Ia balik bertanya.
“Ribet, Mas… kan banyak psbb, banyak jalan ditutup. Belum lagi ribet kalo harus bolak-balik…” Gua berusaha menjelaskan.
“Ya tapi kan kalo naik mobil nggak keujanan…” Balasnya.
“Pertanyaan aku… Kamu bisa naik motor nggak?” Tanya gua lagi, kali ini dengan nada bicara perlahan sambil mencoba sebisa mungkin menahan tawa.
Lian menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Dulu aku bisa…”
“Sekarang?” Tanya gua lagi.
Ia menggeleng; “Ya kan udah lama, Fir… Lupa caranya…”
“Intinya sekarang nggak bisa kan?”
Lian menggeleng, lemah tak berdaya.
Dua hari berikutnya, hal yang nggak gua sangka-sangka terjadi. Lian berdiri di depan pagar rumah. Ia terlihat berbeda karena mengenakan helm dan kaca mata hitam. Di balik pagar, terlihat sepeda motor bebek usang dengan kondisi mesing yang masih menyala.
“Hah!?… Kamu naik ini?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah sepeda motor.
“Iya…” Jawabnya yakin.
“Kok?”
“Kenapa? ayo…” Ucapnya, lalu menyodorkan helm lain ke gua.
Ragu, gua menyusulnya naik ke boncengan. Dengan erat gua memeluk tubuhnya; takut. Ya siapa yang nggak takut, baru kemarin dia bilang kalo nggak bisa mengendarai sepeda motor. Lalu dua hari berikutnya sudah berani mengajak gua berboncengan.
Usut punya usut, sejak percakapan dengan gua beberapa hari yang lalu Lian langsung belajar mengemudi sepeda motor dengan Kucay. Motor yang sama dengan yang kami kendarai saat ini. Yang cukup mengejutkan adalah, bagaimana orang sepertinya bisa menguasai sesuatu dalam waktu singkat.
Dari rasa takut, berganti dengan rasa nyaman saat sadar kalau Lian mampu mengendarai sepeda motor sebaik orang-orang yang sudah mahir.
Hari itu, jalanan Jakarta cukup sepi dan lengang. Sementara Lian mengemudi, gua membuka layar ponsel yang menampilkan maps berisi petunjuk ke area Cipondoh, Tangerang. Beberapa kali, kami harus memutar lewat gang kecil, karena jalan yang ditutup. Ada rasa panas, gerah dan lelah yang kami rasakan. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa gua jelaskan: rasa lega, karena gua nggak sendiri.
Beberapa bengkel mobil di daerah Cipondoh kami sambangi, namun nggak ada satupun yang mengenal nama yang gua sebutkan.
“Wah nggak ada tuh, Mbak”, “Siapa? nggak kenal”, “Udah lama ya, mungkin udah pindah kali”
Lelah, kami berdua beristirahat dengan duduk di trotoar jalan. Lian membeli air mineral dalam botol dan menyodorkannya ke gua. Terlihat keringatnya menetes hingga ke dagu, namun tatapan matanya tetap tenang.
“Masih kuat?” Tanyanya ke gua sambil tersenyum.
“Harus kuat…” Jawab gua, lirih.
Namun, sisa hari itu kami lalui tanpa hasil.
Masuk ke hari ke lima pencarian. Tentu saja kami berdua nggak melakukannya setiap hari. Gua dan Lian hanya mencari di waktu senggang atau saat Lian libur bekerja. Kami lagi-lagi hampir nyerah, sampai tiba-tiba Lian terlibat perbincangan dengan seorang montir dua di bengkel kecil di ujung gang sempit, di daerah Alam Sutera.
“Oh… Mas Wahyu? Iya, dulu ada. Dimas Wahyudi kan? Dia udah lama pindah. Kalo nggak salah, sekarang buka bengkel sendiri deket daerah Kunciran sana…”
Dari informasi tersebut, gua langsung mencari nama bengkel mobil yang punya nama ‘Wahyu’ atau ‘Dimas’. Dan gua berhasil menemukan beberapa melalui Google. Ya walaupun nggak ada nomor kontaknya tapi, pin lokasinya ada di Google Maps.
Gua sadar kalau pencarian kami semakin dekat. Tapi entah kenapa gua malah semakin gelisah. Rasanya seperti ada badai kecil yang berputar-putar di dalam dada tanpa henti. Selama ini, buat gua sosok ayah hanya ada dalam cerita, drama atau film yang gua tonton. Nyokap memang nggak pernah menebar kebencian kepadanya, tapi nggak juga pernah membicarakan kebaikannya. Jadi, gua hanya tumbuh jadi anak yang nggak mengenal sosok ayah.
Lalu, tiba-tiba gua dihadapkan dengan kondisi yang mengharuskan gua menemuinya. Apa yang harus gua katakan? bagaimana jika ia nggak mengenali atau bahkan nggak mengakui gua? Di sisi lain, ada kemarahan yang membara. ‘Kenapa gua harus nyari dia? Dia yang ninggalin gua dan Nyokap’
Namun, ditengah kegundahan hati ini, Lian selalu datang dengan penghiburan. Penghiburan dari seorang pria yang juga nggak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah.
“Aku dukung kamu, Fir. Tenang aja apa pun yang terjadi, aku ada di sini…” Ucap Lian. Walaupun nggak cukup menghapus kegelisahan di dada,. Tapi paling nggak kalimat darinya berhasil memberi gua sedikit keberanian.
Gua berdiri, mengambil tas kecil yang berisi botol air minum, ponsel dan buku catatan lalu melangkah keluar kamar, menghampiri Lian yang sudah menunggu di depan rumah.
—
Kali ini Lian sengaja mengendarai sedan hitam mewahnya. Alasannya; sepeda motor yang biasa kami gunakan dipakai oleh pemiliknya; Kucay. Lagian, kali ini kami nggak bakal berpindah lokasi terlalu sering karena hanya akan mengunjungi beberapa bengkel yang memenuhi kriteria sebelumnya. Bengkel yang punya komponen nama; ‘Wahyu’ dan ‘Dimas’.
Nggak ada nama Wahyu atau Dimas di bengkel pertama yang kami sambangi. Rupanya si pemilik menggunakan nama anaknya sebagai nama usaha. Begitu pula di bengkel berikutnya, kalaupun ada yang bernama Dimas tapi sosoknya masih kelewat muda untuk jadi bokap gua.
Tiba di bengkel ketiga di daerah Kunciran, Tangerang.
“Kamu tunggu di sini aja dulu… Panas banget soalnya…” Ucap Lian seraya memasang masker dan bersiap keluar.
“Oh, yaudah…” Balas gua, seraya memutar knop AC di dalam mobil hingga maksimal. Hari ini matahari memang sedang nggak bersahabat. Suhu begitu panas dan berdebu.
Dari dalam mobil, gua memperhatikan Lian menyeberangi jalan menuju ke arah bengkel dengan nama “Wahyu Motor”.
Ia menghilang, masuk ke dalam area bengkel yang tertutup. Nggak lama berselang, Lian terlihat keluar dari pintu besar bengkel. Ia menatap ke arah gua yang berada di dalam mobil lalu ‘bicara’ dengan menggunakan bahasa isyarat; ‘Ayah kamu ada di sini’
Gua tertegun. Seketika tubuh nggak bisa bergerak. ‘Duh gimana nih’
Sadar kalau gua nggak kunjung merespon ataupun keluar dari mobil, Lian akhirnya mendekat ke gua.
“Kamu nggak mau masuk?” Tanyanya begitu sudah kembali ke dalam mobil.
Entah kenapa, gua menggeleng pelan. Gua udah tau harus ke sana. Tapi gua belum siap. Tenggorokan terasa kering. Nafas gua jadi tersengal. Sejujurnya, ketakutan itu kembali datang. Rasa takut nggak diakui. Takut dia nggak inget. Takut dia bilang, “Kamu siapa?”
Yang lebih menakutkan adalah; gua takut melihat wajah yang mirip sama gua tapi nggak punya tempat buat gua dalam hidupnya.
“Kamu nggak harus ikut kalo belum siap…” kata Lian lagi.
“Nggak… Aku cuma... mau liat dari luar. Cukup dari mobil…” Jawab gua tergagap.
“Atau, kamu mau dengar? kalau mau, aku bisa telepon kamu dan biarin teleponnya terus tersambung…” Lian memberi saran yang lantas gua amini.
Lian kembali turun dari mobil, sambil berjalan ia mengambil ponselnya dan mulai menghubungi nomor gua. Detik berikutnya, ponsel gua berdering, nama Lian muncul di layarnya. Gua menerima panggilan dan mengaktifkan mode pengeras suara lalu meletakkannya di dashboard mobil.
Terdengar siara gemerisik pelan, mungkin karena ponsel miliknya yang disimpan di saku kemeja. Di susul suara Lian yang menenangkan, ia seperti tengah bicara dengan seseorang.
“Pak Dimas? Dimas Wahyudi?”
“Iya? Siapa ya?” Terdengar sebuah jawaban dari seorang pria. Dari suaranya yang berat dan serak terdengar kalau usianya mungkin 50-60 tahunan.
Lian lalu bertanya tentang beberapa hal untuk memastikan kalau ia adalah benar-benar bokap gua.
“Nama saya Lian, Pak. Saya datang karena seseorang sedang mencari Bapak…”
“Nyari saya?”
“Iya. Seorang perempuan. Umurnya dua puluhan. Cantik. Punya mata yang mirip Bapak. Dan... dia anak Bapak…”
Lalu hening, nggak ada kata yang terucap. Yang terdengar hanya samar dentuman besi dan mesin gerinda.
“Hah?”
“Dia anak Bapak. Ibunya bernama Ana. Dulu kalian... sempat sama-sama. Tapi lalu Bapak pergi…”
“Saya... saya pikir mereka udah nggak mau ketemu saya lagi…. Dia mau apa? saya nggak punya apa-apa…”
“Dia nggak minta apa-apa. Sebelumnya dia bahkan nggak yakin bisa ketemu sama Bapak. Dia cuma butuh wali, Pak…” Terdengar Lian menjelaskan.
Lalu kembali hening.
—
“Ya kalo di sana normal kali begitu. Kalo di sini, di Indonesia kan harus pake wali, Mah…”Jawab gua.
Lalu hening.
Detik berikutnya, gua dan Nyokap saling menatap.
“Nanti yang jadi wali aku siapa, Mah?” Tanya gua, perlahan dan lirih.
Nyokap menggelengkan kepalanya, masih dengan tatapan kosong.
Kompak, kami berdua lantas sama-sama meraih ponsel dan mengetik di kolom pencarian. Nggak lama, Nyokap membacakan hasilnya; “Secara hukum Islam, perempuan tetap harus dinikahkan oleh walinya; ayah kandung kalau masih hidup. Jika tidak ada, baru pindah ke wali nasab berikutnya, atau diwakilkan oleh wali hakim dari KUA…”
“Berarti harus nyari papah dong?” Tanya gua lagi, nggak kalah lirih dari ucapan sebelumnya.
Nyokap mengangguk pelan.
“Any clue?” Tanya gua.
Nyokap menggeleng, lalu bicara tanpa menatap gua; “Terakhir Mamah tau info-nya kalo orang itu tinggal di Tangerang. Itupun udah nggak tau mungkin 10 tahun lalu?”
Hanya itu informasi yang dimiliki oleh Nyokap. Selain itu, nggak ada apa-apa. Kami bahkan nggak punya fotonya. Foto terakhir yang sempat dimiliki Nyokap sudah dibakar seminggu setelah kepergiannya.
Setelahnya, momen menonton drama korea kami jadi terasa nggak asik lagi. Nyokap lebih banyak diam dan nggak banyak memberi komentar di setiap adegan.
Sesekali, gua melirik ke arahnya yang hanya menatap kosong ke arah layar televisi. Gua yakin kalau saat ini ia sama sekali nggak menyimak jalannya cerita. Nggak lama berselang, ia bangkit dari sofa dan bersiap pergi.
“Kamu masih mau lanjut nonton?” Tanyanya dengan ekspresi datar.
“…”
“… Mamah, mau ke kamar, ngantuk…” Tambahnya, lalu menyerahkan remot dan pergi masuk ke dalam kamar.
Sementara, gua hanya duduk dalam diam sambil menatap layar televisi yang berubah gelap dan kredit drama Korea mulai bergulir. Ruang keluarga kini terasa hening dan sunyi. Berbanding terbalik dengan isi kepala gua yang ramai. Ucapan Nyokap tadi tentang wali nikah terus bergaung di kepala, terasa seperti gema di ruangan kosong.
Di dalam kamar, gua berbaring seraya menatap layar ponsel; berkirim pesan ke Lian. Menceritakan kejadian di ruang keluarga tadi.
‘Nanti kita coba sama-sama, masa nggak ketemu’ Balas Lian.
‘Ya mulainya drmn, Mas? 😔😔😔’
‘Dari namanya…’ Ia membalas cepat, dan singkat.
Gua langsung tertegun begitu membaca pesan tersebut. Baru sadar kalau sampai saat ini gua sama sekali sudah melupakan namanya. Nggak hanya namanya, tapi juga sosok dan parasnya. Sekeras apapun gua mencoba, tetap saja ingatan tentangnya nggak muncul sedikitpun.
Besoknya, pagi-pagi sekali sebelum memulai kuliah, gua langsung keluar dari kamar menuju ke bawah.
“Pagi…” Sapa Nyokap yang sudah bersiap di depan laptopnya di meja makan, sepertinya daily meetingnya sebentar lagi akan di mulai.
“Pagi…” Balas gua.
“Sarapan dulu, gih…” Ucapnya seraya menunjuk ke arah piring berisi roti panggang buatannya.
“Iya, nanti Mah…” Jawab gua dan terus berjalan menuju ke arah kamarnya.
Di dalam kamar Nyokap gua langsung membuka laci lemari pakaian bagian bawah, di mana Nyokap biasa menyimpan semua dokumen-dokumen penting. Ada dua buah map plastik tahan air di dalam laci, yang satu berwarna hitam dan satunya lagi abu-abu. Map berwarna hitam biasanya digunakan Nyokap untuk menyimpan dokumen-dokumen urusan rumah, seperti sertifikat-sertifikat, kuitansi sampai bukti pembayaran PBB. Gua meraih map plastik berwarna abu-abu dan mengeluarkannya. Map berisi dokumen seperti akta kelahiran, kartu keluarga hingga ijazah milik kami berdua.
Gua membuka map dan membalik lembaran plastiknya satu persatu. Mencoba mencari informasi apapun yang berkaitan dengan orang itu. Tapi, hingga lembaran habis, nggak ada satu hal pun yang berhasil gua temukan.
“Ngapain?” Tanya Nyokap sambil berbisik saat melihat gua keluar dari kamar.
Gua mendekat ke arah meja makan lalu duduk di kursi di sebelahnya. Nyokap memberi kode dengan tangan agar gua duduk dan menunggu sebentar karena ia masih dalam meeting online. Jadi, gua mengambil roti panggang di atas meja dan mulai makan.
10 menit berikutnya, Nyokap selesai meeting. Ia menutup layar laptopnya lalu menoleh ke arah gua.
“Mah, nggak ada info apapun tentang Papah?” Tanya gua.
“Nggak…” jawabnya singkat.
“Apapun?”
“Iya, Fir… Nggak ada…” jawabnya lagi.
“Ck…”
“Kamu abis nyari-nyari di map dokumen tadi?” Tanyanya, seraya menunjuk ke arah pintu kamar.
“Iya…” Gua mengangguk pelan, lalu melanjutkan; “… Yaudah aku minta namanya aja deh. Nama Papah”
Entah enggan atau jijik untuk menyebut namanya, Nyokap meraih lembaran kertas catatan, merobeknya lalu mulai menulis di atasnya; menulis sebuah nama. Kemudian menyerahkan lembaran kertas catatan tersebut ke gua.
Gua menyambar kertas tersebut dan membaca nama yang tertulis di sana; namanya tetap terasa asing.
Selesai menghabiskan sarapan, gua kembali naik ke atas, ke dalam kamar. Sambil mengikuti kuliah melalui layar laptop, gua membuka beberapa tab sekaligus, mengetik nama bokap dan mulai melakukan pencarian.
Banyak nama gua temukan, mulai dari situs profesional, hingga sosial media. Namun hasilnya nihil.
Tapi, gua nggak menyerah.
Hari berikutnya, gua mulai menyiapkan buku catatan. Buku catatan yang sama dengan yang gua pakai saat mencari ingatan waktu itu. Berbekal buku catatan itu, gua kembali mengajak Nyokap untuk ngobrol lagi.
Beberapa pertanyaan gua ajukan ke Nyokap. Tentang siapa saja teman Nyokap yang dulu mungkin mengenal bokap dan pernah bertemu, adakah tetangga atau saudara yang tau tentang cerita mereka, dan tentu saja tempat kerja bokap yang lama.
Dari banyak “nggak tahu” dan “udah lupa” yang keluar dari mulut Nyokap, satu nama muncul; Zamar, salah satu teman mereka sewaktu muda.
Gua nekat mencari nama Zamar di media sosial dan beberapa platform lain. Beruntung, nggak banyak orang dengan nama Zamar di Indonesia. Jadi, setelah dua jam penuh mencari dengan ratusan klik gua berhasi menemukan akun dengan nama Zamar di salah satau platform sosial media. Gua memberanikan diri mengirim DM kepadanya, bertanya tentang keabsahan profil-nya lalu memperkenalkan diri.
Namun, nggak ada respon balasan darinya.
Kemajuan kecil ini tentu gua ceritakan ke Lian. Ia terdengar senang dan excited begitu mendapat kabar tersebut. “Wah, serius… Hebat. Bisa jadi detektif kamu” Ucapnya seru.
“Hahaha, siapa dulu… Fira!!” Balas gua seraya menepuk dada sendiri.
Butuh dua hari sampai akhirnya sosok bernama Zamar memberi respon. Gua lalu meminta nomor ponselnya untuk bisa berbincang langsung melalui sambungan telepon. Dan dari obrolan gua dengan Om Zamar, gua akhirnya mendapat satu titik terang kecil;
“Dulu dia kerja di bengkel. Kayaknya deket-deket Cipondoh. Nama bengkelnya saya lupa. Maaf ya saya udah tua…”
Berbekal informasi tersebut, gua dan Lian berencana mencarinya. Tapi sayangnya, as you may know; dunia lagi nggak baik-baik aja. PSBB di mana-mana. Jangankan mencari orang, keluar rumah aja susah.
“Pake motor aja kali ya…” Gua memberi ide saat gua dan Lian tengah menyusun rencana pencarian.
Begitu mendengar ucapan gua barusan, ekspresi wajah Lian langsung berubah. Ia terlihat gugup dan takut. Gua mengernyitkan dahi sambil terus menatapnya heran. Selama ini ia adalah sosok arogan yang sombong juga penuh percaya diri. Ini bukanlah ekspresi terlatihnya, ini terlihat muncul jauh dari dalam hati.
“Kenapa, takut?” Tanya gua.
“…” Lian nggak menjawab.
“… Nggak bisa naik motor?” Tanya gua lagi, yang lantas diresponnya dengan anggukan kepala.
Begitu mendengar responnya barusan, tawa gua langsung pecah. Bukan, ini bukan hanya tawa yang biasa. Ini tawa paling lepas yang pernah gua keluarkan. Bagaimana mungkin, The Great Lian ternyata punya kelemahan; nggak bisa mengendarai sepeda motor.
Sementara, gua masih terus tertawa terbahak-bahak sambil sesekali memukul bahunya. Di sisi lain, Lian hanya mampu terdiam sambil memainkan korek api di tangannya.
“Kamu beneran nggak bisa naik motor, Mas?” Tanya gua lagi, kali ini dengan tawa yang sudah sedikit mereda.
“Kenapa nggak pake mobil aja sih?” Ia balik bertanya.
“Ribet, Mas… kan banyak psbb, banyak jalan ditutup. Belum lagi ribet kalo harus bolak-balik…” Gua berusaha menjelaskan.
“Ya tapi kan kalo naik mobil nggak keujanan…” Balasnya.
“Pertanyaan aku… Kamu bisa naik motor nggak?” Tanya gua lagi, kali ini dengan nada bicara perlahan sambil mencoba sebisa mungkin menahan tawa.
Lian menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Dulu aku bisa…”
“Sekarang?” Tanya gua lagi.
Ia menggeleng; “Ya kan udah lama, Fir… Lupa caranya…”
“Intinya sekarang nggak bisa kan?”
Lian menggeleng, lemah tak berdaya.
Dua hari berikutnya, hal yang nggak gua sangka-sangka terjadi. Lian berdiri di depan pagar rumah. Ia terlihat berbeda karena mengenakan helm dan kaca mata hitam. Di balik pagar, terlihat sepeda motor bebek usang dengan kondisi mesing yang masih menyala.
“Hah!?… Kamu naik ini?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah sepeda motor.
“Iya…” Jawabnya yakin.
“Kok?”
“Kenapa? ayo…” Ucapnya, lalu menyodorkan helm lain ke gua.
Ragu, gua menyusulnya naik ke boncengan. Dengan erat gua memeluk tubuhnya; takut. Ya siapa yang nggak takut, baru kemarin dia bilang kalo nggak bisa mengendarai sepeda motor. Lalu dua hari berikutnya sudah berani mengajak gua berboncengan.
Usut punya usut, sejak percakapan dengan gua beberapa hari yang lalu Lian langsung belajar mengemudi sepeda motor dengan Kucay. Motor yang sama dengan yang kami kendarai saat ini. Yang cukup mengejutkan adalah, bagaimana orang sepertinya bisa menguasai sesuatu dalam waktu singkat.
Dari rasa takut, berganti dengan rasa nyaman saat sadar kalau Lian mampu mengendarai sepeda motor sebaik orang-orang yang sudah mahir.
Hari itu, jalanan Jakarta cukup sepi dan lengang. Sementara Lian mengemudi, gua membuka layar ponsel yang menampilkan maps berisi petunjuk ke area Cipondoh, Tangerang. Beberapa kali, kami harus memutar lewat gang kecil, karena jalan yang ditutup. Ada rasa panas, gerah dan lelah yang kami rasakan. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa gua jelaskan: rasa lega, karena gua nggak sendiri.
Beberapa bengkel mobil di daerah Cipondoh kami sambangi, namun nggak ada satupun yang mengenal nama yang gua sebutkan.
“Wah nggak ada tuh, Mbak”, “Siapa? nggak kenal”, “Udah lama ya, mungkin udah pindah kali”
Lelah, kami berdua beristirahat dengan duduk di trotoar jalan. Lian membeli air mineral dalam botol dan menyodorkannya ke gua. Terlihat keringatnya menetes hingga ke dagu, namun tatapan matanya tetap tenang.
“Masih kuat?” Tanyanya ke gua sambil tersenyum.
“Harus kuat…” Jawab gua, lirih.
Namun, sisa hari itu kami lalui tanpa hasil.
Masuk ke hari ke lima pencarian. Tentu saja kami berdua nggak melakukannya setiap hari. Gua dan Lian hanya mencari di waktu senggang atau saat Lian libur bekerja. Kami lagi-lagi hampir nyerah, sampai tiba-tiba Lian terlibat perbincangan dengan seorang montir dua di bengkel kecil di ujung gang sempit, di daerah Alam Sutera.
“Oh… Mas Wahyu? Iya, dulu ada. Dimas Wahyudi kan? Dia udah lama pindah. Kalo nggak salah, sekarang buka bengkel sendiri deket daerah Kunciran sana…”
Dari informasi tersebut, gua langsung mencari nama bengkel mobil yang punya nama ‘Wahyu’ atau ‘Dimas’. Dan gua berhasil menemukan beberapa melalui Google. Ya walaupun nggak ada nomor kontaknya tapi, pin lokasinya ada di Google Maps.
Gua sadar kalau pencarian kami semakin dekat. Tapi entah kenapa gua malah semakin gelisah. Rasanya seperti ada badai kecil yang berputar-putar di dalam dada tanpa henti. Selama ini, buat gua sosok ayah hanya ada dalam cerita, drama atau film yang gua tonton. Nyokap memang nggak pernah menebar kebencian kepadanya, tapi nggak juga pernah membicarakan kebaikannya. Jadi, gua hanya tumbuh jadi anak yang nggak mengenal sosok ayah.
Lalu, tiba-tiba gua dihadapkan dengan kondisi yang mengharuskan gua menemuinya. Apa yang harus gua katakan? bagaimana jika ia nggak mengenali atau bahkan nggak mengakui gua? Di sisi lain, ada kemarahan yang membara. ‘Kenapa gua harus nyari dia? Dia yang ninggalin gua dan Nyokap’
Namun, ditengah kegundahan hati ini, Lian selalu datang dengan penghiburan. Penghiburan dari seorang pria yang juga nggak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah.
“Aku dukung kamu, Fir. Tenang aja apa pun yang terjadi, aku ada di sini…” Ucap Lian. Walaupun nggak cukup menghapus kegelisahan di dada,. Tapi paling nggak kalimat darinya berhasil memberi gua sedikit keberanian.
Gua berdiri, mengambil tas kecil yang berisi botol air minum, ponsel dan buku catatan lalu melangkah keluar kamar, menghampiri Lian yang sudah menunggu di depan rumah.
—
Kali ini Lian sengaja mengendarai sedan hitam mewahnya. Alasannya; sepeda motor yang biasa kami gunakan dipakai oleh pemiliknya; Kucay. Lagian, kali ini kami nggak bakal berpindah lokasi terlalu sering karena hanya akan mengunjungi beberapa bengkel yang memenuhi kriteria sebelumnya. Bengkel yang punya komponen nama; ‘Wahyu’ dan ‘Dimas’.
Nggak ada nama Wahyu atau Dimas di bengkel pertama yang kami sambangi. Rupanya si pemilik menggunakan nama anaknya sebagai nama usaha. Begitu pula di bengkel berikutnya, kalaupun ada yang bernama Dimas tapi sosoknya masih kelewat muda untuk jadi bokap gua.
Tiba di bengkel ketiga di daerah Kunciran, Tangerang.
“Kamu tunggu di sini aja dulu… Panas banget soalnya…” Ucap Lian seraya memasang masker dan bersiap keluar.
“Oh, yaudah…” Balas gua, seraya memutar knop AC di dalam mobil hingga maksimal. Hari ini matahari memang sedang nggak bersahabat. Suhu begitu panas dan berdebu.
Dari dalam mobil, gua memperhatikan Lian menyeberangi jalan menuju ke arah bengkel dengan nama “Wahyu Motor”.
Ia menghilang, masuk ke dalam area bengkel yang tertutup. Nggak lama berselang, Lian terlihat keluar dari pintu besar bengkel. Ia menatap ke arah gua yang berada di dalam mobil lalu ‘bicara’ dengan menggunakan bahasa isyarat; ‘Ayah kamu ada di sini’
Gua tertegun. Seketika tubuh nggak bisa bergerak. ‘Duh gimana nih’
Sadar kalau gua nggak kunjung merespon ataupun keluar dari mobil, Lian akhirnya mendekat ke gua.
“Kamu nggak mau masuk?” Tanyanya begitu sudah kembali ke dalam mobil.
Entah kenapa, gua menggeleng pelan. Gua udah tau harus ke sana. Tapi gua belum siap. Tenggorokan terasa kering. Nafas gua jadi tersengal. Sejujurnya, ketakutan itu kembali datang. Rasa takut nggak diakui. Takut dia nggak inget. Takut dia bilang, “Kamu siapa?”
Yang lebih menakutkan adalah; gua takut melihat wajah yang mirip sama gua tapi nggak punya tempat buat gua dalam hidupnya.
“Kamu nggak harus ikut kalo belum siap…” kata Lian lagi.
“Nggak… Aku cuma... mau liat dari luar. Cukup dari mobil…” Jawab gua tergagap.
“Atau, kamu mau dengar? kalau mau, aku bisa telepon kamu dan biarin teleponnya terus tersambung…” Lian memberi saran yang lantas gua amini.
Lian kembali turun dari mobil, sambil berjalan ia mengambil ponselnya dan mulai menghubungi nomor gua. Detik berikutnya, ponsel gua berdering, nama Lian muncul di layarnya. Gua menerima panggilan dan mengaktifkan mode pengeras suara lalu meletakkannya di dashboard mobil.
Terdengar siara gemerisik pelan, mungkin karena ponsel miliknya yang disimpan di saku kemeja. Di susul suara Lian yang menenangkan, ia seperti tengah bicara dengan seseorang.
“Pak Dimas? Dimas Wahyudi?”
“Iya? Siapa ya?” Terdengar sebuah jawaban dari seorang pria. Dari suaranya yang berat dan serak terdengar kalau usianya mungkin 50-60 tahunan.
Lian lalu bertanya tentang beberapa hal untuk memastikan kalau ia adalah benar-benar bokap gua.
“Nama saya Lian, Pak. Saya datang karena seseorang sedang mencari Bapak…”
“Nyari saya?”
“Iya. Seorang perempuan. Umurnya dua puluhan. Cantik. Punya mata yang mirip Bapak. Dan... dia anak Bapak…”
Lalu hening, nggak ada kata yang terucap. Yang terdengar hanya samar dentuman besi dan mesin gerinda.
“Hah?”
“Dia anak Bapak. Ibunya bernama Ana. Dulu kalian... sempat sama-sama. Tapi lalu Bapak pergi…”
“Saya... saya pikir mereka udah nggak mau ketemu saya lagi…. Dia mau apa? saya nggak punya apa-apa…”
“Dia nggak minta apa-apa. Sebelumnya dia bahkan nggak yakin bisa ketemu sama Bapak. Dia cuma butuh wali, Pak…” Terdengar Lian menjelaskan.
Lalu kembali hening.
—
Mandy Moore - Crush
You know everything that I'm afraid of
You do everything I wish I did
Everybody wants you, everybody loves you
I know I should tell you how I feel
I wish everyone would disappear
Everytime you call me, I'm too scared to be me
And I'm too shy to say
Ooh, I got a crush on you
I hope you feel the way that I do
I get a rush
When I'm with you
Ooh, I've got a crush on you
A crush on you
percyjackson321 dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Kutip
Balas
Tutup