Kaskus

Story

blank.codeAvatar border
TS
blank.code
Natsu No Hanami [N2H] - Fiksi -
      Natsu No Hanami [N2H] - Fiksi -
PROLOG

 
Jakarta, pertengahan Juli 2013.
 
Matahari baru saja mulai merangkak naik di balik gedung-gedung tinggi, mengirimkan kilau keemasan yang menyelimuti jalanan. Suasana di Jalan M.H. Thamrin masih dipenuhi hiruk-pikuk kendaraan, suara mesin yang monoton mengiringi langkahku pagi itu.

Di punggung, ransel abu-abu terasa lebih berat dari biasanya, seolah di dalamnya bukan hanya berisi dokumen, melainkan seluruh harapan dan kecemasan yang menghantui pikiran selama beberapa minggu terakhir. Hari ini bukan hari biasa. Ini adalah hari di mana aku, Endra, akan mengurus visa pelajar—tiket menuju negeri asing yang selama ini hanya aku kenal dari halaman buku Manga dan film-film Anime minggu pagi yang saat kecil rutin ku tonton.

Sampai di depan gedung Kedutaan Besar Jepang, aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Baiklah, Endra," aku berbisik pelan, seolah kalimat itu adalah mantra yang bisa meredam segala ketakutan, "Ini langkah pertama dari perjalanan panjangmu. Jangan sampai gagal hanya karena hal-hal kecil."

Saat memasuki gedung kedutaan, aku segera dihadapkan pada prosedur keamanan yang ketat, seperti benteng yang melindungi dunia di baliknya dari hiruk-pikuk ibu kota. Seorang petugas keamanan berbadan tegap memeriksa seluruh badanku dan memindai isi tas dengan teliti, seperti seorang seniman menelusuri kanvasnya. Semua barang bawaanku melewati mesin X-ray, mengingatkan bahwa setiap perjalanan dimulai dengan pengorbanan, meski sekadar untuk beberapa benda pribadi yang sementara harus dipindai dan dilepaskan.

Setelah pemeriksaan, aku diarahkan ke ruang tunggu dan menerima nomor antrian serta formulir untuk diisi. Aku memilih tempat duduk di antara deretan kursi yang berjajar rapi, dalam suasana yang hening. Di sekeliling, ada banyak wajah asing yang mungkin memiliki tujuan serupa, mungkin berbeda. Semua terbungkus dalam pikiran masing-masing, di dalam keheningan yang tidak sepenuhnya kosong.

Ketika hendak mulai mengisi formulir, aku tersentak. Di antara benda-benda di tas, tidak ada pulpen. Tangan berhenti merogoh, jantungku berdegup lebih cepat. "Astaga, di mana pulpen Gue?" gumamku dengan panik, berusaha mencari-cari. Waktu seolah melambat saat aku terus mencari tanpa hasil.

Sekilas, aku melirik jam dinding merah di atas. Pukul 08.20. Waktu terasa lebih berharga dari biasanya, dan aku tahu tidak ada waktu untuk dibuang hanya karena kelalaian kecil ini. Pandanganku berkeliling ruangan, menyapu orang-orang yang duduk di sana, berharap menemukan seseorang yang mungkin bersedia meminjamkan pulpen.
 
Lalu pandangan berhenti pada seorang wanita muda yang kutaksir seusiaku dan duduk sekitar dua meter di sisi kanan. Rambutnya hitam sebahu, tergerai rapi, dan ia mengenakan kemeja putih yang tampak elegan. Kacamata berbingkai hitam membingkai matanya dengan lembut. Ada sesuatu pada sosoknya yang membuatnya terlihat... berjarak, namun sekaligus akrab. Ia tampak tenang, menuliskan sesuatu di buku agenda bersampul biru muda dengan motif bunga-bunga.

Ragu-ragu, aku berdebat dengan diri sendiri, apakah pantas meminta bantuan dari seorang asing. Namun, kebutuhan sering kali mengalahkan keraguan. Aku menarik napas dan akhirnya berkata, "Permisi, boleh nggak gue pinjam pulpen elu sebentar? buat ngisi formulir ini."

Wanita itu mengangkat alis, menatapku sejenak dengan pandangan yang sulit diartikan, sebelum akhirnya ia tersenyum kecil. "Oh, tentu. Sebentar." Ia mengambil pulpen hitam dari buku agendanya dan menyodorkannya ke aku.

"Terima kasih banyak, ya?" kataku dengan lega. "Gue janji nggak akan lama. Lagi nggak dipakai kan?"

"Nggak apa-apa, silakan dipakai," jawabnya, dengan nada suara yang seolah-olah mengalir dari tempat yang jauh dan tenang. "Aku masih punya cadanga, kok."

Dengan perasaan yang sulit ku ungkapkan dengan kata-kata, aku kembali ke tempat duduk dan mulai mengisi formulir. Sesekali, tanpa sengaja, aku mencuri pandang ke arah wanita itu,.

Waktu berlalu. Suara dari pengeras suara memanggil nomor antrian. Wanita itu berdiri, melangkah masuk ke dalam ruangan. Aku masih sibuk mengisi formulir dengan teliti, memastikan setiap kolom tidak ada yang terlewat.

Begitu selesai, aku menyadari bahwa sejak tadi aku menahan keinginan untuk ke toilet. Aku bangkit, mencari toilet terdekat. Saat kembali ke ruang tunggu, kursi yang tadi diduduki wanita itu sudah kosong. Ada sesuatu yang seketika hilang dari ruangan itu, dan aku merasa sedikit bingung.

Ketika nomor antrianku dipanggil, aku masuk dan menjalani proses pengajuan visa. Petugas kedutaan menanyakan beberapa hal dengan singkat, dan aku menjawab sebaik mungkin. Setelah selesai, aku keluar dengan harapan bisa mengembalikan pulpen pada wanita itu.

Namun, betapa kecewanya ketika menyadari bahwa ia benar-benar sudah tak ada di ruangan. Aku menghampiri staf di loket. "Maaf, apakah Ibu melihat wanita berkacamata dengan rambut hitam sebahu yang tadi duduk di sana?"
"Maaf, saya tidak memperhatikan," jawabnya datar, seolah pertanyaanku hanyalah basa-basi.
 
Pulpen itu masih ada di tanganku. Ada sesuatu yang seketika membuat benda itu terasa lebih dari sekadar alat tulis, melainkan pengingat yang terbungkus dalam rasa tak terjelaskan. "Mungkin ini akan jadi kenang-kenangan," pikirku, lalu menyelipkan pulpen hitam itu ke dalam saku celana.

Empat hari kemudian, aku kembali ke kedutaan untuk mengambil visa pelajar yang sudah selesai diproses. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Ketakutan dan keraguan yang dulu menggantung seakan telah larut dalam rasa percaya diri yang baru. Aku menggenggam visa di tangan, menyadari bahwa langkah kecil ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Di luar gedung kedutaan, aku terdiam, membiarkan mata menatap gedung tinggi yang megah itu. Bayanganku terbang melintasi gedung-gedung di Tokyo, jalan-jalan yang ramai, hingga halaman-halaman universitas di Jepang.

Tantangan bahasa, perbedaan budaya, dan tuntutan akademis yang mungkin menunggu di sana tidak lagi menakutkan. Pulpen hitam itu, yang masih ada di saku jaket, tiba-tiba terasa lebih dari sekadar alat tulis. Ia seolah seperti penghubung yang tak kasat mata, sebuah jimat keberuntungan yang mengingatkan bahwa kadang-kadang, hal-hal kecil yang tak terduga bisa membuka jalan satu bagian proses penting.

Aku bertanya-tanya, apakah suatu hari nanti aku akan bertemu lagi dengan wanita itu? Ataukah ia hanya kebetulan sesaat, atau takdir yang sengaja Tuhan kirim untuk membantuku melalui proses ini?

Dengan senyum kecil, aku menggenggam visa di tangan, melangkah pergi, dan menyadari bahwa kisahku baru saja dimulai. Di saku kanan, pulpen hitam itu beristirahat tenang, menunggu petualangan berikutnya.

Diubah oleh blank.code 30-11-2024 10:45
annlaskaAvatar border
pulaukapokAvatar border
itkgidAvatar border
itkgid dan 27 lainnya memberi reputasi
28
12K
178
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
blank.codeAvatar border
TS
blank.code
#133
CHAPTER 7 — Clouds Above Kamata Rooftop


Tokyo, akhir September. Udara mulai membawa aroma musim gugur yang samar. Daun-daun di taman dekat Stasiun Kamata perlahan menguning, berguguran satu per satu seperti kenangan yang ditiup angin. Dari jendela kecil apartemen sempit itu, Endra bisa melihat atap-atap rumah bertingkat rendah dan siluet langit kelabu yang menggantung rendah, seperti menyimpan rahasia. Setiap pagi seperti lukisan hidup yang bergerak lambat, mengantarkan hari-harinya yang makin padat.

Pagi itu tidak berbeda dari biasanya. Alvin masih terlelap di futonnya, bergelung seperti anak kucing kelelahan. Sementara itu, Endra sudah duduk di depan laptop sejak pukul lima, ditemani secangkir kopi instan dan file presentasi yang ia susun untuk pertemuan lab sore nanti. Cahaya dari layar laptop memantul di wajahnya yang semakin tirus. Mata Endra bergerak cepat mengikuti baris-baris coding dan grafik simulasi proyek energi.

Tangan kirinya bergetar sedikit saat menggerakkan kursor.

"Ah, mungkin karena belum makan," gumamnya, mencoba mengabaikan fakta bahwa ini adalah ketiga kalinya dalam seminggu ia merasa pusing dan mual di pagi hari.

Alvin menggeliat di balik selimut. "Ndra... lu lagi ngerjain apa sih subuh-subuh begini?"

"Revisi presentasi buat sensei Fujiko. Hari ini deadline buat outline project prototype-nya."

"Anjir... hidup lo keras, ya. Gue aja baru mimpi ngumpulin kertas kerja ke Dewi Fortuna bareng artis Jepang."

Endra terkekeh pelan. "Kertas kerja lu isinya dosa dan manga."

Alvin mengangkat jari tengah lalu berguling kembali ke arah dinding. Suara kipas angin berdengung pelan di atas kepala mereka. Di luar, suara kereta pertama mulai terdengar dari kejauhan—seperti pertanda hari yang mulai bergerak.

Setelah mematikan laptop dan menyimpan semua file ke flashdisk, Endra beranjak ke dapur mini yang menempel pada dinding. Ia membuka kulkas kecil, hanya ada sisa roti sobek, telur, dan sebotol air mineral. Dengan gerakan pelan, ia membuat dua roti bakar dan telur dadar sederhana. Tapi baru saja ia menyalakan kompor, pandangannya tiba-tiba berkunang. Ia berpegangan pada meja dapur.

"Endra?!"

Suara Alvin terdengar panik. Dalam beberapa detik, Alvin sudah memapah tubuh Endra ke kursi plastik di sudut ruangan.

"Ndra! Elu kenapa?!"

Endra menahan napas. "Nggak, Vin. Gue cuma kurang tidur. Mual dikit."

Alvin mengernyit. "Gue ambilin air dulu."

Setelah meneguk air dan duduk diam beberapa menit, Endra kembali tenang. Tapi kejadian itu tidak sepenuhnya bisa ia abaikan. Di wajah Alvin, tampak kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.

"Lu tuh ya, kerja keras boleh, tapi badan juga punya batas. Jangan sok kuat."

"Ini cuma kurang istirahat, Vin. Biasa kok," Endra mencoba tersenyum, meski bibirnya tampak pucat.

Sore itu, di dalam ruangan lab riset Waseda, Profesor Fujiko Narita berdiri di depan papan tulis digital sambil menunjuk grafik proyeksi energi alternatif. Di sekitar ruangan, mahasiswa dari berbagai negara duduk dengan laptop terbuka, mencatat, sesekali mengangguk.

"Minna-san, kore ga kongo no purojekuto no kiso desu. Kyou wa Endra-kun kara happyou shite moraimasu."

(Semua, ini adalah dasar proyek ke depan. Hari ini Endra akan mempresentasikan.)

Endra berdiri, menggenggam pointer dengan tangan kiri yang sedikit gemetar. Di layar besar terpampang judul presentasinya: Sustainable Water Energy Converter Prototype - Phase I.

Selama dua puluh menit, Endra menjelaskan idenya tentang alat pemroses air sungai menjadi energi listrik bersih untuk desa-desa tanpa akses listrik. Ia memaparkan skematik teknis, simulasi digital, dan potensi implementasi di daerah terpencil Indonesia.

Suasana ruangan sunyi, hanya terdengar suara lembut Endra dan sesekali bunyi klik mouse.

Hikari Tanabe, mahasiswi Jepang yang duduk di ujung kanan, mengangkat tangan.

"Endra-san, sono system wa douyatte ryousui wo bunkai shimasu ka?"

(Endra-san, bagaimana sistem itu memecah aliran air?)

"Ii shitsumon desu, Tanabe-san. Sono tokoro wa kore kara no kenkyuu de, taisaku wo aratamemasu."

(Pertanyaan bagus, Tanabe-san. Bagian itu akan kami sempurnakan dalam riset lanjutan.)

Fujiko-sensei mengangguk. "Yoku dekimashita, Endra-kun. Sono omoi wa, sekai wo kaeru kamoshiremasen."

(Kerja bagus, Endra. Ide itu bisa mengubah dunia.)

Endra membungkuk, lalu kembali ke kursinya. Namun begitu ia duduk, dunia berputar cepat di hadapannya. Dalam sepersekian detik, layar, papan, dan suara rekan-rekannya berubah menjadi gelombang tak beraturan. Tubuhnya jatuh menyamping.

"Endra!"

Semua panik. Suara derap langkah, panggilan ke perawat kampus, dan suara-suara dalam bahasa Jepang membaur jadi satu. Hikari menepuk-nepuk pipi Endra yang setengah sadar.

Di rumah sakit, setelah dilakukan observasi singkat, Anna datang tergesa-gesa. Alvin yang meneleponnya lebih dulu. Anna mengenakan jaket kampus dan syal merah. Napasnya memburu saat membuka pintu ruang rawat.

"Ndra...!" Anna memeluk tubuh Endra yang terbaring lemah dengan infus di tangan.

"Aku nggak papa, Na. Cuma kecapekan," ucap Endra, suaranya serak.

"Kamu... udah sering pingsan?" Anna menatap matanya dalam.

Endra mengalihkan pandangan. "Kadang. Nggak sering."

Anna menggenggam tangannya. "Aku minta kamu periksa total. Aku punya koneksi dokter neurologi dari fakultas."

Endra terdiam lama. Lalu mengangguk pelan. Di luar, matahari mulai tenggelam, meninggalkan warna oranye kemerahan yang membias di jendela kamar rawat.

Tiga hari kemudian, Anna duduk sendirian di bangku taman rumah sakit, menatap amplop putih berisi hasil pemeriksaan menyeluruh Endra. Matanya sembab.

"Degeneratif neurological disorder... kemungkinan besar Friedreich’s Ataxia..." suaranya nyaris tak terdengar.

Langit Tokyo sore itu menggantung rendah. Seolah menunduk, menyimak cerita sedih yang tak sempat diucapkan.

Dari kejauhan, Alvin mendekat. "Gimana hasilnya, Na?"

Anna berdiri. Ia menyeka air mata. "Belum bisa kita kasih tahu siapa-siapa. Termasuk kamu."

Alvin tercengang. "Tapi... gue sahabat dia."

Anna menatapnya, tenang namun tegas. "Justru karena itu. Kita harus jaga semangatnya. Dia masih punya banyak mimpi."

Malam itu, di apartemen Kamata, Endra duduk di depan jendela. Ditemani cahaya lampu jalan dan suara kereta terakhir yang melintas.

Tangannya menggambar sketsa prototipe alat energi. Di pojok atas kertas itu, ia menulis:

"Untuk desa-desa yang belum sempat mengenal terang."

Ia menoleh pada pulpen hitam di meja—pulpen pinjaman dari Anna, bertahun lalu.

Senyum kecil muncul di wajahnya.

Langit malam Tokyo diselimuti awan. Tapi di balik awan itu, bintang tetap menyala.
Diubah oleh blank.code 26-05-2025 12:01
jiyanq
itkgid
itkgid dan jiyanq memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.