Kaskus

Story

sabna.tamaraAvatar border
TS
sabna.tamara
Tenggelam
Jika memikirkanmu adalah sebuah dosa, biarkan aku menjadi pendosa untuk selamanya

Bukan aku tidak ingin bersamamu, hanya saja aku adalah seorang pengecut yang tidak mempunyai sedikit pun keberanian untuk melangkah maju ke depanmu dan mempertahankanmu. Aku tenggelam dalam dunia imajinasiku yang terus memutarkan berbagai macam kemungkinan di masa depan. Membuat diriku tak berdaya. Berdiri di sampingmu menjadi sebuah hal yang sangat mustahil untuk aku lakukan.

Duniaku berada jauh dari kata layak untuk seorang putri yang hidup dalam kerlap-kerlip cahaya yang menyilaukan. Senyum manis milikmu selalu menerangi hari demi hari dalam setiap langkahku, tetapi kenyataan tidak mungkin pernah mungkin bisa membohongi hati nurani. Jauhnya jarak antar dunia yang kita tinggali ini membuat keputusanku semakin kuat untuk melepasmu.

Aku tidak yakin dengan kemampuan diriku untuk membawamu ke sampingku dan menjalani kehidupan kita bersama. Duniaku masih tidak tentu. Jalanku masih tidak jelas. Asaku belum terbakar. Mimpiku pun belum terbentuk. Terlalu jauh jarak yang harus aku pangkas  agar kita berada pada panggung  yang sama.

“Bukan aku tidak mau, hanya saja, aku takut.”

Kata itu keluar dari mulutku. Kutujukan untukmu, tapi tidak akan pernah sampai kepadamu. Kata tersebut baru keluar setelah aku menyadari bahwa waktu telah lama berlalu. Hanya saja diriku masih berada di panggung yang sama. Panggung dimana aku masih bertanya-tanya untuk apakah aku ada di dunia ini? Kenapa aku harus hidup dan terus menjalani kehidupan yang tidak pernah menyenangkan ini?

Jika duka hanya sebuah kata, maka kehilangan hanyalah sebuah perasaan. Tapi kepergianmu merupakan kenyataan. Menyadarkanku kepada semua mimpi yang kita buat kini hanya menjadi sebuah angan. Atau kenyataan yang aku anggap selalu ada itu hanyalah sebuah angan yang tidak pernah aku usahakan untuk jadi nyata? Kisah kita bersama hanyalah sebuah khayalanku di dalam lamunan siang hari, saat sedang beristirahat dari lelahnya menyibukkan diriku, dengan menambah pengetahuan-pengetahuan tidak berguna untuk menambah lautan imajinasiku akan kisah romansa yang tidak pernah aku rasakan?

Hidup yang penuh dengan berbagai macam warna, dalam sekejap mata kini berubah dan hanya meninggalkan warna hitam dan warna putih. Sungguh berat untuk dijalani. Perasaan yang selalu terasa hangat saat kita berbincang, kini menjadi menyakitkan setiap memori kecil kembali terkenang.

Setiap hari hanyalah episode pengulangan aku menyesal tidak pernah tahu harus mengatakan apa kepadamu. Menyesali mengapa tidak pernah sekali pun aku memikirkan untuk mengambil tindakan yang dapat mengubah takdir yang sudah di tentukan ini. Mulutku terkunci. Hanya diam. Tidak tahu apa yang harus aku bicarakan dan kepada siapa aku harus ceritakan semua ini.

Langit cerah yang kupandangi ikut berubah menjadi kelabu dan siap menurunkan hujan. Bukan sebagai tangisan untuk menemani kesendirianku. Menerawang jauh disana, tertawa melihatku sebagai sebuah bahan candaan. Melihat kebodohanku menyesali akan sebuah hal yang tidak pernah aku lakukan, inginkan, atau bahkan aku impikan.

Mereka bilang hidup hanyalah sebuah perjalanan mengumpulkan penyesalan. Sebagaimana menyesal makan dan minum tapi tidak dihabiskan atau dirasakan. Berpikir tapi tidak pernah memulai sebuah tindakan. Mengubur pemikiran-pemikiran yang tidak tahu apa kesalahannya sehingga harus dihukum untuk tidak pernah hadir di dunia ini.

Berjalan mengelilingi setiap sudut kota, tapi tidak pernah sekalipun memperhatikan bagaimana kehidupan sekitar bekerja. Melewatkan bagaimana harmoni setiap tujuan yang berbeda saling bertemu dan membentuk melodi bising yang menghidupkan ibu kota.

Banyak ingin, tapi tindakan minim. Meski selalu bersama, tapi tidak saling mengutarakan. Jembatan yang saling menghubungkan dua insan perlahan terputus. Tidak ada lagi rasa aman. Tidak ada lagi rasa damai. Hanya ada rasa tidak percaya yang terus membangun tembok, menutup berbagai macam kemungkinan untuk kembali bersama dan mengarungi kehidupan tanpa akhir ini.

Iya. Hidup hanyalah sebuah perjalanan mengumpulkan penyesalan. Selalu terbawa dalam pikiran hingga saat ini. Tidak pernah berhenti untuk selalu berandai-andai hal-hal yang tentu sudah tidak mungkin terjadi lagi.

“Haha.”

Tertawa. Menyadari bahwa diri ini masih terus tenggelam dalam kebodohan. Berusaha untuk tetap terjebak dalam perih sangat dalam. Kemudian terdiam tanpa sepatah kata ketika melihat betapa menyedihkannya diriku dari pantulan cermin kusam yang entah kapan terakhir kali aku bersihkan.

Keluar diriku. Menaiki angkutan umum, memutari kota yang tidak pernah diam dipaksa keadaan. Mulai memperhatikan banyaknya orang-orang yang ternyata memiliki nasib sama. Mereka semua juga dipeluk oleh kenyataan. Menikmati malam berama dalam kesunyian dan kehampaan dibalik bisingnya kendaraan yang berlalu-lalang. Terus berjalan tanpa tahu akhir mana yang akan aku jadikan tujuan berhenti berjalan. Aku masih belum ingin pulang. Masih ingin terus berjalan. Meyakini diri untuk tetap hidup dan melangkah, berjalan, dan kemudian berlari. Mengumpulkan semua angan, keberanian, dan menjadikannya sebuah tindakan. Sehingga aku bisa tetap terus dan tak pernah sekalipun muncul keinginan untuk berhenti dalam mengumpulkan penyesalan.


Diubah oleh sabna.tamara 28-05-2025 10:33
itkgidAvatar border
mukagedekAvatar border
tiokyapcingAvatar border
tiokyapcing dan 5 lainnya memberi reputasi
6
656
26
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sabna.tamaraAvatar border
TS
sabna.tamara
#9
Kamu di Bulan Agustus
Aku bertemu denganmu di bulan Agustus. Mendekatimu tanpa ada maksud. Hanya sekadar menjadi teman yang biasa saling melempar cerita dan canda. Kita terhubung dalam rutinitas yang sama. Lima hari dalam seminggu dan tujuh jam dalam sehari. Dalam sebuah ruangan berisi berbagai macam manusia dengan berbagai macam latar belakangnya. Tidak ada hal yang spesial dari kehadiranmu. Setiap hari aku melihatmu tanpa ada perasaan apapun.

Rambutmu lurus, matamu tajam, suaramu renyah, tapi kata-katamu cenderung dingin, tidak seperti perkataan perempuan pada umumnya. Biasa-biasa saja. Tidak ada hal yang begitu menonjol darimu. Tapi entah kenapa kamu menjadi pusat dari kelompok pertemananmu. Mungkin karena sikapmu yang acuh pada dunia dan hanya fokus kepada dirimu sendiri? Sehingga mereka merasa nyaman bersamamu tanpa takut akan diadili? Entahlah. Hanya mereka yang paling paham kenapa.

“Minum apa itu?” Tanyamu kepadaku.

“Susu?” Jawabku sambil menunjukkan kotak susu yang ada dalam genggamanku. “Kamu sudah makan?” Lanjutku basa-basi.

“Sudah tadi di kantin dengan mereka. Kamu enggak pergi ke kantin? Aku enggak ngeliat kamu di kantin tadi.”

“Enggak. Lagi hemat. Hehe.”

Kamu hanya tersenyum. Pembicaraan pun terhenti. Hanya seperti itu interaksi yang kita lakukan selama ini. Singkat. Tanpa makna. Hanya percakapan remeh yang sangat mudah dilupakan tapi cukup memberi sinyal bahwa aku hadir dalam kehidupanmu. Dalam ceritamu, aku bukan lah seorang pangeran yang akan menjemputmu dan begitu juga dengan dirimu, bukanlah seorang putri yang akan kujemput dengan sepenuh nyawaku.

Kita bertemu setiap hari, tapi tidak berinteraksi setiap hari. Kita hanya bersinggungan ketika ada kemungkinan. Seperti saat ini dimana aku duduk di belakangmu. Jika posisi kita sudah bergeser, memaksakan untuk terus mendengarkan ceritamu bukanlah sesuatu yang akan aku lakukan. Mengirim pesan singkat kepadamu juga hal yang mustahil. Tidak seperti dirimu dan teman-teman kita yang lain, telepon genggam aku tidak punya.

Interaksi di luar rutinitas kita denganmu hanya lewat media sosial. Itu pun hanya bisa kulakukan jika aku pergi ke tempat penyewaan komputer yang jaraknya jauh dari rumahku. Kemungkinan kita untuk bisa berbicara lebih sering pun sangat kecil. Mengingat dirimu sibuk dengan semua kegiatan yang kamu ambil. Berbeda dengan diriku, tidak ada kegiatan yang menarik perhatianku, lebih baik aku pulang dan bermain. Lagipula, mengikuti kegiatan bagi manusia pendiam dan pemalu seperti diriku bukan hal yang bisa aku lakukan.

Kedua hal tersebut membuatku menjadi manusia penakut. Seperti saat kamu yang sedikit kecewa mengapa aku tidak mengambil kesempatan perlombaan, dimana aku adalah kandidat utama yang dicalonkan. Aku menolak hal tersebut dengan alasan yang menyedihkan. Meski dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku tahu kalau aku sangat takut untuk mengambil kesempatan itu. Kini, saat mengingat hal tersebut kembali, aku menyadari betapa menyesalnya diriku ini.

“Kamu tahu enggak kalau mereka sudah pacaran?”

“Enggak tahu. Kamu tahu darimana?”

“Dia yang ngasih tahu ke aku.”

“Hah? Kok bisa?”

“Bisa dong. Soalnya kan kita temenan. Jadi kadang dia suka cerita ke aku. Termasuk kemarin saat dia bingung harus nerima apa enggak ajakan pacarannya.”

“Kamu sendiri suka cerita ke siapa?”

“Rahasia dong.” Dengan nada riang kamu menjawab pertanyaan tersebut sambil menjulurkan lidah dan mengedipkan mata. Untuk sesaat, setelah sekian lama kita berteman, aku baru menyadari kalau kamu lucu? Tidak pernah terlintas dalam pikiranku kalau kamu akan melakukan hal tersebut.

Aku hanya membalas dengan senyuman tipis. Diriku terlalu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi hal tersebut tentu tidak akan bisa aku lupakan. Terpatri jelas dalam ingatanku. Terkadang, dalam lamunanku, aku mengingatnya kembali, dan entah kenapa, tanpa sadar, aku tersenyum sendiri. Aneh.

Percakapan ringan kita terus berlanjut. Pada hari itu, kita berbicara dalam waktu yang cukup lama sampai pada akhirnya bel tanda kita pulang pun berbunyi. Kamu pun mengakhiri percakapan kita, berpamitan, dan mengucapkan sampai jumpa esok hari dengan senyuman. Kemudian pergi untuk berkumpul denganmu, bersiap-siap pergi ke ruangan lain untuk melakukan kegiatan utama yang paling kamu minati. Setelah dirimu berlalu, aku pun mengemas barang-barangku. Memasukkannya ke dalam tas tipis yang tidak kuat menampung beban berlebihan yang aku paksakan dan keluar dari ruangan ini.

Aku berdiri sejenak di balkon lantai dua gedung ini. Menatap langit yang begitu tenang pada hari itu. Siang berada pada puncaknya, tapi bukan panas yang kurasakan, hanya ada hangat yang begitu menenangkan. Cuaca begitu jernih, aku yakin hari ini malam tidak akan menangis.

Aku melihatmu dari kejauhan. Kamu berdiri dengan tegap, kemudian berjalan dengan rapih menyesuaikan irama dan pola yang sudah ditentukan oleh pelatih. Tatapanmu yang biasa tajam, sekarang terlihat begitu lembut dimataku, namun tetap tegas. Terlihat lemah, namun juga terlihat kuat. Seperti menujukkan kalau kamu akan tetap terus berdiri, entah bagaimana sulitnya kehidupan yang akan kamu jalani. Kamu akan terus melawan hari yang tidak pernah berhenti terus datang kepadamu. Meski suatu saat kamu tahu kamu akan berakhir dan kemudian mati.

“Sangat berbanding terbalik denganku.”


Diubah oleh sabna.tamara 28-05-2025 10:34
itkgid
itkgid memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.