- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.4K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1092
Dont Come Closer
Spoiler for 007-H Don't Come Closer:
Pagi itu udara terasa sedikit lengang. Jalanan di sekitar komplek masih sepi, hanya terdengar kicau burung dan deru angin yang menyusup di antara dedaunan. Di depan pagar rumah, gua berdiri dengan masker setengah turun, menunggu mobil hitam yang akhirnya muncul dari tikungan. Pelan dan tenang, seperti pemiliknya
Dokter Deden keluar dari mobilnya, menenteng tas kecil yang mirip koper medis. Wajahnya datar seperti biasa. Tatapannya tajam namun penuh wibawa. Begitu ia mendekat, gua spontan mengulurkan tangan, refleks ingin membantunya.
“Hush… hush…”katanya seraya menggerakkan tangan, seolah mengusir kucing liar. Gua menelan ludah, langsung mundur.
Gua menelan ludah, lalu mundur beberapa langkah, memberikan ruang agar ia bisa masuk ke dalam.
Ia kembali menatap gua; “Masker…” gumamnya.
Gua buru-buru menaikkan masker yang sejak tadi sengaja diturunkan agar Dokter Deden bisa melihat senyum gua. Ya walaupun palsu, tapi paling nggak gua tetap berusaya tersenyum untuknya.
“Awas jangan deket-deket… sana-sana” Tambahnya seraya terus berjalan melewati gua. Aroma disinfektan samar tercium dari lengannya.
“Iya…” balas gua dan mengikutinya. Tentu saja tetap menjaga jarak.
“Fira mana?” Tanyanya, seraya berdiri mematung di ambang ruang tamu dan menatap sekeliling.
“Fir, Fira…” seru gua tanpa beringsut.
Pintu kamar ruang utama terbuka, Fira keluar dari kamar dan langsung menyunggingkan senyum ke arah Dokter Deden sekaligus memberi sapaan; “Pagi, Dok…”
Dokter Deden mengangguk pelan, lalu kembali bicara; “Siapa yang mau duluan?”
Gua mengangkat tangan, mirip anak SD yang diberikan kesempatan menjawab pertanyaan gampang; “Saya…”
Dokter Deden lalu menuju ke ruang keluarga, meletakkan tas kecilnya di atas meja kemudian membukanya. Dengan perlahan, ia mengeluarkan satu persatu perlengkapan tes covid berupa tabung reagen, swab steril, dan kartu tes antigen lalu menatanya di atas meja. Setelah selesai, Dokter Deden mundur beberapa langkah dan memberi gestur mempersilakan.
Gua menggaruk kepala dan mendekat ke arah meja; “Ini saya harus ngetes sendiri?” Tanya gua.
Iya, sebelumnya Dokter Deden memang menawarkan diri datang untuk mengambil tes ke gua dan Fira saat mendapat kabar kalau kami sudah cukup pulih.
“Lha iya, kamu kan bisa sendiri…”
“Ya kalo gitu ngapain Dokter pake dateng sendiri? Kan bisa dikirim aja alatnya?” Balas gua.
Hampir saja ia bersiap untuk memukul kepala gua, namun batal saat ia sadar kalau nggak mau bersentuhan dengan gua.
“Iya.. iya…” gumam gua pelan, lalu mulai memeriksa alat-alat test di atas meja.
Gua menoleh ke arah Fira yang sejak tadi masih berdiri di depan pintu kamar dan memintanya mendekat; “Sini…”
Perlahan Fira mendekat sambil sesekali melirik ke arah Dokter Deden dan menyunggingkan senyum yang ramah.
Dengan hati-hati, gua mulai melakukan test ke diri sendiri. Mengambil swab steril dari kemasan. memegang swab dengan tangan kanan seraya berusaha menyentuh ujung kapasnya. Gua menarik napas panjang, lalu mulai memasukkan ujung swab ke dalam lubang hidung hingga menyentuh dinding hidung bagian dalam. Kemudian melakukan putaran pelan selama beberapa kali.
Gua mengeluarkan swab dengan hati-hati agar nggak menyentuh apapun; biar nggak terpapar zat lain. Lalu memasukkannya ke dalam tabung reagen yang sudah berisi larutan ekstraksi. Dan memutarnya selama kira-kira 10 detik agar sampel benar-benar tercampur dengan larutan.
Sementara, Fira hanya duduk menatap gua sambil meringis; “Sakit?”
Gua menggeleng pelan, lalu mulai menggosok hidung yang terasa gatal.
“Sini… geseran” ucapn gua ke Fira yang lantas menggeser duduknya mendekat.
Dengan hati-hati gua melakukan hal yang sama ke Fira; mengambil sample untuk dicek.
Setelah kami berdua selesai, Dokter Deden yang sudah siap dengan sarung tangan karet terpasang langsung mengambil dua tabung sample milik kami dan menyalakan sebuah alat. Alat yang punya ukuran mirip dengan pengukur tensi digital, lengkap dengan monitor kecil di bagian atas.
Dokter Deden perlahan mengambil sample dari tabung dengan pipet, meneteskannya pada semacam kartu tes antigen kemudian memasukkannya ke slot analyzer di sisi kiri alat. “Beep” Terdengar suara bip ringan saat ia menekan tombol ‘start’ di susul suara desing pelan dari alat tersebut.
Setelah menunggu selama 15 menit, alat tersebut berhenti berdesing dan dengan satu-dua sentuhan tombol, angka-angka muncul pada layar kecil di bagian depan alat tersebut.
Dokter Deden mencatat angka-angka tersebut, dan mencoba mencernanya sebentar.
“Negatif kan?” Tebak gua.
Jangan tanya tentang tingkat akurasi alat ini. Alat analyzer yang digunakan oleh Dokter Deden ini punya tingkat sensitivitas sekitar 84-94% dan spesifisitas >98%. Ya walau harus tetap diiringi dengan tes PCR jika memungkinkan. Tapi, dalam kasus gua dan Fira yang sudah nggak lagi memiliki gejala, sepertinya Dokter Deden cukup percaya diri dengan hasilnya.
“Iya…” jawabnya.
Gua dengan cepat mendekat dan memberikan pelukan kepadanya. Dokter Deden awalnya sempat menolak tapi gua bergeming, terus memaksanya.
“Terima kasih banyak ya, dok…” ucap Fira ke Dokter Deden yang masih berada di pelukan gua.
Selesai dengan perkara tes, ia membereskan peralatan dan kembali memasukkannya ke dalam tas kecil. Kemudian menyimpannya di mobil. Dokter Deden kembali beberapa menit berikutnya, kali ini dengan paper bag besar berwarna coklat yang terlihat berat.
“Apa tuh?” Tanya gua.
“Makanan”
“Dari Mami?” Tebak gua. Menyebut ‘Mami’ panggilan gua untuk istri Dokter Deden.
“Iya…”
“Wah tumben…” jawab gua, lantas meraih paper bag darinya dan mengopernya ke Fira.
Fira mengintip ke dalam paper bag, lalu beranjak ke dapur.
“Iya, lagi happy dia…”
“Kenapa? Abis dapet arisan?” Tebak gua lagi, namun kali ini salah.
“Nggak, mau dapet menantu…”
“Wuidih, congrats ya…. Dok” lalu bersiap memberinya satu pelukan lagi. Namun, ia dengan cepat menghindar dan memberi ancaman dengan kepalan tangan.
Pagi itu, kami bertiga duduk di halaman belakang rumah. Menikmati aneka kue buatan istri Dokter Deden ditemani secangkir kopi dan obrolan tentang masa lalu.
Di momen itu, Fira yang lebih banyak bertanya tentang hubungan kami, hubungan gua dengan Dokter Deden yang sudah terjalin lama. Ia yang sudah menjadi mentor, memberi bimbingan dan melindungi gua dalam banyak hal. Sementara, gua malah belum bisa berbuat banyak untuknya.
—
Setelah pemeriksaan PCR resmi kami berdua dinyatakan negatif, gua lantas mengantar Fira pulang ke rumahnya. Di sana Tante Ana menyambut Fira layaknya orang yang baru pulang dari medan perang. Keduanya sama-sama menangis haru sambil berpelukan.
Nggak henti-hentinya Tante Ana mengecek tubuh Fira sambil terus bertanya; “Kamu gapapa kan, Fir…?”
“Udah sehat kan Fir?”
“Nggak diapa-apain sama Lian kan, Fir?”
Yang terakhir gua pura-pura gak denger. Sementara, Fira hanya tertawa sambil terus menggenggam tangan nyokapnya. “Lian gak ngapa-ngapain, Mah. Kita cuma isolasi sama-sama sakit kok…”
Saat gua bersiap untuk pamit pulang, Tante Ana berseru memanggil gua. Ia berlari ke arah dapur dan kembali sambil tergopoh-gopoh seraya membawa tupperware dan menyerahkan ke gua; “Buat kamu ya, nanti tinggal di goreng atau di air fyrer aja…”
“Oh makasih ya tan…” Balas gua seraya mengerlingkan mata ke arah Fira yang berdiri di sebelah nyokapnya.
Setelahnya, hidup kembali berjalan. Nggak sama tapi tetap terasa berbeda. Jadi, penyintas covid bikin sudut pandang manusia jadi berbeda. Fira jadi sangat concern yang tambah saklek dengan protokol kesehatan dan himbauan-himbauan dari pemerintah daripada sebelumnya.
“Geser….” Ucapnya seraya memberikan gestur mengusir. Saat itu gua tengah berkunjung ke rumahnya. Mengantarkan vitamin dan beberapa stok masker untuk ia dan Nyokapnya.
“Geser kemana lagi?” Tanya gua, merasa posisi saat ini sudah berada di sisi dinding teras rumahnya. Sementara, ia duduk di sisi terjauh anak tangga teras. Alasannya ‘social distancing’.
“Harus satu meter…” Gumamnya, lalu mengeluarkan hand sanitizer yang selalu berada di sakunya.
Nggak hanya itu saja, kadang ia suka menyemprot tangan gua dengan hand sanitizer tiap lima menit. Gua protes, tapi dalam hati tersenyum. Karena itu tandanya dia peduli dengan gua, peduli dengan kesehatannya.
Selain karena paranoidnya Fira akan covid, hubungan kami berdua terbilang lancar jaya. Ya walau beberapa orang bilang kalau kami adalah pasangan yang aneh. Kadang kami berdua terlihat seperti adik berkakak, kadang seperti pasangan kekasih, kadang kayak dua orang asing yang baru belajar saling mengerti.
Tapi dibalik itu semua, kami hanyalah dua sejoli yang sama-sama nggak mau kehilangan lagi.
Sementara, Fira masih sibuk dengan urusan kuliahnya yang kini lebih banyak dilakukan dari rumah secara daring. Gua malah makin sering menghadiri dengan Kementerian Kesehatan. Tentu saja bareng Dokter Deden dan beberapa kolega diaspora Indonesia yang sama-sama dapet panggilan dari pak menteri. Kita berada di satuan tugas yang sama, menyusun proposal pembentukan tim medis diaspora Indonesia. Dengan target utamanya: membantu penanggulangan Covid di sini lewat riset dan tenaga tambahan dari dokter-dokter Indonesia di luar negeri.
“Kamu yakin?” Tanya Dokter Deden suatu malam lewat sambungan video conference.
Pertanyaannya barusan tentu berkaitan dengan antipati gua dengan dunia kedokteran Indonesia. Tapi, gua sudah keburu berjanji dengan Pak Menteri. Lagian, dengan bekerja di sini gua juga jadi nggak terpisah jauh dari Fira.
“Yakin, dok…” Jawab gua, lantas mengemukakan alasan kepadanya.
“Tapi, ini bukan perkara Fira aja… Ini pekerjaan yang mengharuskan kamu komit sama waktu. Ini bukan proyek nyari seru kayak kebiasaan kamu?”
Gua menatap layar laptop, lalu mengangguk; “Iya, saya tau… Saya siap kok, Dok”
Ya pada dasarnya gua memang siap. Hanya saja, gua nggak menyangka kalau harga dari kesiapan itu segini mahal.
Dokter Deden sebagai kepala tim akhirnya menunjuk gua untuk bekerja bareng tim Doctors Without Borders di Indonesia. Tugas utama gua adalah membantu pengawasan dan monitoring para tenaga kesehatan dari risiko infeksi dan burnout. Nggak cuma itu, gua juga harus siap memberi dukungan untuk mengawasi kinerja dan kesehatan para tenaga kesehatan yang terlibat.
Itu berarti: keliling RS, koordinasi dengan kepala fasilitas kesehatan dan ikut investigasi kasus-kasus yang melibatkan tenaga kesehatan. Akibatnya, gua kehilangan waktu; nyaris gak tidur. Gak ada akhir pekan.
Awalnya gua pikir dengan kemampuan ini, gua bisa membagi waktu. Tapi, Covid sunggu musuh yang belum pernah gua lawan sebelumnya. Nggak, nggak, bukan covid musuh utamanya, melainkan orang-orang yang menyepelekannya.
Gua mulai lupa memberi kabar atau sekedar membalas chat Fira. Atau kalau pun memberi balasan, isinya hanya satu dua kara. Tentu hal yang nggak bikin ia puas.
“Sorry, Fir lagi di Puskes…”
“Nanti gua telepon balik” Tapi besoknya gua lupa telepon.
—
Suatu malam, gua baru saja kembali dari Surabaya. Jam menunjukkan pukul 11 malam saat gua melihat dari kursi belakang taksi; sosok perempuan berdiri sendirian tepat di depan gerbang rumah gua; Fira.
“Baru pulang?” Tanyanya pelan, begitu gua turun dari taksi.
Gua mencoba bertahan dari memeluknya, merasa pakaian yang gua pakai saat ini mungkin saja masih membawa virus. Dengan cepat gua membuka pagar dan membiarkannya masuk; “Masuk…”
Ia melangkah pelan, memasuki area halaman dan terus berjalan menuju ke area depan rumah.
“Tunggu sebentar ya, aku ganti baju dulu….” Ucap gua yang direspon olehnya dengan anggukan kepala.
Gua berlari menaiki anak tangga menuju ke lantai dua, ke kamar. Melepas pakaian, memasukkannya ke dalam plastik dan membungkusnya. Kemudian mandi koboy, lalu kembali ke bawah untuk menemuinya.
Fira berusaha menghindar saat gua hendak memberinya pelukan. Sejak tadi, ia bahkan nggak mengarahkan pandangannya ke gua.
“Kenapa?” Tanya gua, lirih.
Fira terdiam sebentar, nggak langsung memberikan jawaban. Saat gua kembali bertanya; “Kenapa?” Barulah ia buka suara; “Kamu bahkan nggak bales chat aku tadi…”
Gua mengusap wajah, “Sorry, Fir… Aku beneran ke skip…” Balas gua. Ya gimana nggak ke-skip lha wong sudah dua hari ini ponsel gua terus-menerus berbunyi karena pesan dan email masuk dari tim yang memberi tahu update terkini tentang situasi di beberapa daerah.
“Kamu sekarang lebih banyak ngurusin dunia. Sekarang aku nggak tau, aku masih jadi bagian dunia kamu apa nggak…” Jawabnya pelan, masih nggak menatap gua, terus mengarahkan pandangannya ke bawah ke lantai yang dingin.
Sesaat gua terdiam. Ucapannya barusan terdengar sederhana, tapi mengena.
“Fir… bukan gitu. Aku kan…”
Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Fira sudah memotongnya; “Capek? Iya, aku tau kok. Tapi, aku juga capek nungguin kamu…”
Malam itu sepanjang perjalanan gua mengantarnya pulang Fira nggak lagi bicara. Ia hanya terdiam dan masih nggak mau menatap ke arah gua. Gua nggak bisa protes. Karena gua tau kalau ia nggak marah, ia hanya kecewa. Kekecewaan yang rasanya lebih sunyi dari kemarahan.
Sepulangnya dari mengantar Fira, gua kembali ke rumah. Duduk di meja makan sambil menunggu air yang mendidih di dalam ketel di atas kompor. Sementara, porsi nasi goreng yang sebelumnya gua pesan online hanya tergeletak di atas meja; nggak tersentuh. Bukan, bukan karena nggak enak tapi karena yang seharusnya menemani gua makan nggak ada di sini.
Gua ingin membayar kesalahan akan institusi yang pada dasarnya bobrok. Gua mau membantu dunia yang sedang terbakar. Tapi, gimana kalau gua kehilangan satu-satunya orang yang bikin gua mampu melakukannya?
Dua hari setelah kejadian malam itu, gua memutuskan untuk mengambil jatah libur yang sama sekali belum gua pakai. Untuk sementara, gua ‘mundur’ dari seluruh kegiatan lapangan.
Beruntung Dokter Deden dan yang lain cukup mengerti dan memberikan gua jeda beberapa hari untuk sekedar rehat.
Gua lantas menjawab singkat; “Sorry, guys… Sorry Doc… Gota catch you all very soon..”
Gua tentu ber bohong. Yang gua butuh saat ini bukan istirahat; gua hanya butuh Fira.
Dari semua hal di dunia ini, ilmu kedokteran, pasien-pasien, ruang operasi, kepala rumah sakit, menteri-menteri, semua relawan, semua kepala puskesmas dan koordinator gugus tugas yang gua temuin, cuma satu orang yang bisa bikin gua merasa seperti manusia. Dan saat ini, sekarang ini, sosok itu tengah menarik dirinya dari dunia gua karena gua yang menyepelekan sesuatu, karena gua yang gagal mengerti priotitas.
Diam-diam, gua pergi dan mendatangi kampusnya. Saat itu, gua tau dari Tante Ana, kalau Fira ada jadwal ke kampus karena harus mengambil beberapa buku dari perpustakaan.
Sudah dua jam gua berdiri dan menunggu tepat di sisi mobil miliknya terparkir. Hingga akhirnya Fira muncul sekitar jam empat sore. Ia berjalan sendirian menyusuri pelataran area parkir yang hangat. Rambutnya dikuncir rendah, raut wajahnya terlihat lelah walau setengah wajahnya terhalang masker. Ia tetap terlihat cantik seperti biasa.
Langkahnya terhenti tepat beberapa meter di depan gua. Matanya menatap gua tajam, tangannya yang memeluk buku terlihat mencengkeram kuat.
“Ngapain?” Tanyanya.
“Nunggu kamu…” Jawab gua santai sambil terus tersenyum.
“Kenapa nggak chat dulu?” Tanyanya lagi.
“Karena tau kamu nggak bakal bales…” Jawab gua. Iya sejak kejadian beberapa hari yang lalu, Fira sama sekali nggak membalas pesan bahkan nggak menjawab panggilan gua.
Fira berbalik lalu berjalan ke arah kursi beton di bawah pohon nggak begitu jauh dari sana. Gua lalu mengikutinya, duduk tepat di sebelahnya. Ia berpindah, duduk di kursi beton lain disebelah gua. Gua sadar kalau ini bukan perkara social distancing, ia membiarkan gua tau kalau ia tengah kecewa berat hingga nggak mau duduk bersebelahan.
“Aku nggak tau lagi, Mas… Ini semua rasanya berat,” katanya pelan, “Aku ngerti, Aku ngerti kerjaan kamu penting. Tapi kenapa aku yang harus selalu ngalah?”
Gua nggak merespon, hanya menundukkan kepala. Nggak berdaya terhadap kata-katanya barusan. Dulu, dulu gua rela mengorbankan apapun untuknya, tapi sekarang gua malah terjebak di negara yang dulu gua benci.
“Aku nggak minta kamu ngalah, Fir,” gua akhirnya menjawab. “Aku minta kamu… bertahan. Sebentaaar aja…”
Fira terdiam sebentar, lalu kembali bicara; “Kamu capek ya?”
“Banget. Tapi Aku lebih capek kalau jauh dari kamu...”
Ia menoleh. Mata kita ketemu. Ada air di ujung matanya, tapi belum jatuh.
“Kalau kamu ninggalin aku karena tugas kemanusiaan, aku bisa ngerti. Tapi kalau aku ninggalin kamu karena ngerasa gak dianggap… kamu bisa ngerti juga gak?”
—
Dokter Deden keluar dari mobilnya, menenteng tas kecil yang mirip koper medis. Wajahnya datar seperti biasa. Tatapannya tajam namun penuh wibawa. Begitu ia mendekat, gua spontan mengulurkan tangan, refleks ingin membantunya.
“Hush… hush…”katanya seraya menggerakkan tangan, seolah mengusir kucing liar. Gua menelan ludah, langsung mundur.
Gua menelan ludah, lalu mundur beberapa langkah, memberikan ruang agar ia bisa masuk ke dalam.
Ia kembali menatap gua; “Masker…” gumamnya.
Gua buru-buru menaikkan masker yang sejak tadi sengaja diturunkan agar Dokter Deden bisa melihat senyum gua. Ya walaupun palsu, tapi paling nggak gua tetap berusaya tersenyum untuknya.
“Awas jangan deket-deket… sana-sana” Tambahnya seraya terus berjalan melewati gua. Aroma disinfektan samar tercium dari lengannya.
“Iya…” balas gua dan mengikutinya. Tentu saja tetap menjaga jarak.
“Fira mana?” Tanyanya, seraya berdiri mematung di ambang ruang tamu dan menatap sekeliling.
“Fir, Fira…” seru gua tanpa beringsut.
Pintu kamar ruang utama terbuka, Fira keluar dari kamar dan langsung menyunggingkan senyum ke arah Dokter Deden sekaligus memberi sapaan; “Pagi, Dok…”
Dokter Deden mengangguk pelan, lalu kembali bicara; “Siapa yang mau duluan?”
Gua mengangkat tangan, mirip anak SD yang diberikan kesempatan menjawab pertanyaan gampang; “Saya…”
Dokter Deden lalu menuju ke ruang keluarga, meletakkan tas kecilnya di atas meja kemudian membukanya. Dengan perlahan, ia mengeluarkan satu persatu perlengkapan tes covid berupa tabung reagen, swab steril, dan kartu tes antigen lalu menatanya di atas meja. Setelah selesai, Dokter Deden mundur beberapa langkah dan memberi gestur mempersilakan.
Gua menggaruk kepala dan mendekat ke arah meja; “Ini saya harus ngetes sendiri?” Tanya gua.
Iya, sebelumnya Dokter Deden memang menawarkan diri datang untuk mengambil tes ke gua dan Fira saat mendapat kabar kalau kami sudah cukup pulih.
“Lha iya, kamu kan bisa sendiri…”
“Ya kalo gitu ngapain Dokter pake dateng sendiri? Kan bisa dikirim aja alatnya?” Balas gua.
Hampir saja ia bersiap untuk memukul kepala gua, namun batal saat ia sadar kalau nggak mau bersentuhan dengan gua.
“Iya.. iya…” gumam gua pelan, lalu mulai memeriksa alat-alat test di atas meja.
Gua menoleh ke arah Fira yang sejak tadi masih berdiri di depan pintu kamar dan memintanya mendekat; “Sini…”
Perlahan Fira mendekat sambil sesekali melirik ke arah Dokter Deden dan menyunggingkan senyum yang ramah.
Dengan hati-hati, gua mulai melakukan test ke diri sendiri. Mengambil swab steril dari kemasan. memegang swab dengan tangan kanan seraya berusaha menyentuh ujung kapasnya. Gua menarik napas panjang, lalu mulai memasukkan ujung swab ke dalam lubang hidung hingga menyentuh dinding hidung bagian dalam. Kemudian melakukan putaran pelan selama beberapa kali.
Gua mengeluarkan swab dengan hati-hati agar nggak menyentuh apapun; biar nggak terpapar zat lain. Lalu memasukkannya ke dalam tabung reagen yang sudah berisi larutan ekstraksi. Dan memutarnya selama kira-kira 10 detik agar sampel benar-benar tercampur dengan larutan.
Sementara, Fira hanya duduk menatap gua sambil meringis; “Sakit?”
Gua menggeleng pelan, lalu mulai menggosok hidung yang terasa gatal.
“Sini… geseran” ucapn gua ke Fira yang lantas menggeser duduknya mendekat.
Dengan hati-hati gua melakukan hal yang sama ke Fira; mengambil sample untuk dicek.
Setelah kami berdua selesai, Dokter Deden yang sudah siap dengan sarung tangan karet terpasang langsung mengambil dua tabung sample milik kami dan menyalakan sebuah alat. Alat yang punya ukuran mirip dengan pengukur tensi digital, lengkap dengan monitor kecil di bagian atas.
Dokter Deden perlahan mengambil sample dari tabung dengan pipet, meneteskannya pada semacam kartu tes antigen kemudian memasukkannya ke slot analyzer di sisi kiri alat. “Beep” Terdengar suara bip ringan saat ia menekan tombol ‘start’ di susul suara desing pelan dari alat tersebut.
Setelah menunggu selama 15 menit, alat tersebut berhenti berdesing dan dengan satu-dua sentuhan tombol, angka-angka muncul pada layar kecil di bagian depan alat tersebut.
Dokter Deden mencatat angka-angka tersebut, dan mencoba mencernanya sebentar.
“Negatif kan?” Tebak gua.
Jangan tanya tentang tingkat akurasi alat ini. Alat analyzer yang digunakan oleh Dokter Deden ini punya tingkat sensitivitas sekitar 84-94% dan spesifisitas >98%. Ya walau harus tetap diiringi dengan tes PCR jika memungkinkan. Tapi, dalam kasus gua dan Fira yang sudah nggak lagi memiliki gejala, sepertinya Dokter Deden cukup percaya diri dengan hasilnya.
“Iya…” jawabnya.
Gua dengan cepat mendekat dan memberikan pelukan kepadanya. Dokter Deden awalnya sempat menolak tapi gua bergeming, terus memaksanya.
“Terima kasih banyak ya, dok…” ucap Fira ke Dokter Deden yang masih berada di pelukan gua.
Selesai dengan perkara tes, ia membereskan peralatan dan kembali memasukkannya ke dalam tas kecil. Kemudian menyimpannya di mobil. Dokter Deden kembali beberapa menit berikutnya, kali ini dengan paper bag besar berwarna coklat yang terlihat berat.
“Apa tuh?” Tanya gua.
“Makanan”
“Dari Mami?” Tebak gua. Menyebut ‘Mami’ panggilan gua untuk istri Dokter Deden.
“Iya…”
“Wah tumben…” jawab gua, lantas meraih paper bag darinya dan mengopernya ke Fira.
Fira mengintip ke dalam paper bag, lalu beranjak ke dapur.
“Iya, lagi happy dia…”
“Kenapa? Abis dapet arisan?” Tebak gua lagi, namun kali ini salah.
“Nggak, mau dapet menantu…”
“Wuidih, congrats ya…. Dok” lalu bersiap memberinya satu pelukan lagi. Namun, ia dengan cepat menghindar dan memberi ancaman dengan kepalan tangan.
Pagi itu, kami bertiga duduk di halaman belakang rumah. Menikmati aneka kue buatan istri Dokter Deden ditemani secangkir kopi dan obrolan tentang masa lalu.
Di momen itu, Fira yang lebih banyak bertanya tentang hubungan kami, hubungan gua dengan Dokter Deden yang sudah terjalin lama. Ia yang sudah menjadi mentor, memberi bimbingan dan melindungi gua dalam banyak hal. Sementara, gua malah belum bisa berbuat banyak untuknya.
—
Setelah pemeriksaan PCR resmi kami berdua dinyatakan negatif, gua lantas mengantar Fira pulang ke rumahnya. Di sana Tante Ana menyambut Fira layaknya orang yang baru pulang dari medan perang. Keduanya sama-sama menangis haru sambil berpelukan.
Nggak henti-hentinya Tante Ana mengecek tubuh Fira sambil terus bertanya; “Kamu gapapa kan, Fir…?”
“Udah sehat kan Fir?”
“Nggak diapa-apain sama Lian kan, Fir?”
Yang terakhir gua pura-pura gak denger. Sementara, Fira hanya tertawa sambil terus menggenggam tangan nyokapnya. “Lian gak ngapa-ngapain, Mah. Kita cuma isolasi sama-sama sakit kok…”
Saat gua bersiap untuk pamit pulang, Tante Ana berseru memanggil gua. Ia berlari ke arah dapur dan kembali sambil tergopoh-gopoh seraya membawa tupperware dan menyerahkan ke gua; “Buat kamu ya, nanti tinggal di goreng atau di air fyrer aja…”
“Oh makasih ya tan…” Balas gua seraya mengerlingkan mata ke arah Fira yang berdiri di sebelah nyokapnya.
Setelahnya, hidup kembali berjalan. Nggak sama tapi tetap terasa berbeda. Jadi, penyintas covid bikin sudut pandang manusia jadi berbeda. Fira jadi sangat concern yang tambah saklek dengan protokol kesehatan dan himbauan-himbauan dari pemerintah daripada sebelumnya.
“Geser….” Ucapnya seraya memberikan gestur mengusir. Saat itu gua tengah berkunjung ke rumahnya. Mengantarkan vitamin dan beberapa stok masker untuk ia dan Nyokapnya.
“Geser kemana lagi?” Tanya gua, merasa posisi saat ini sudah berada di sisi dinding teras rumahnya. Sementara, ia duduk di sisi terjauh anak tangga teras. Alasannya ‘social distancing’.
“Harus satu meter…” Gumamnya, lalu mengeluarkan hand sanitizer yang selalu berada di sakunya.
Nggak hanya itu saja, kadang ia suka menyemprot tangan gua dengan hand sanitizer tiap lima menit. Gua protes, tapi dalam hati tersenyum. Karena itu tandanya dia peduli dengan gua, peduli dengan kesehatannya.
Selain karena paranoidnya Fira akan covid, hubungan kami berdua terbilang lancar jaya. Ya walau beberapa orang bilang kalau kami adalah pasangan yang aneh. Kadang kami berdua terlihat seperti adik berkakak, kadang seperti pasangan kekasih, kadang kayak dua orang asing yang baru belajar saling mengerti.
Tapi dibalik itu semua, kami hanyalah dua sejoli yang sama-sama nggak mau kehilangan lagi.
Sementara, Fira masih sibuk dengan urusan kuliahnya yang kini lebih banyak dilakukan dari rumah secara daring. Gua malah makin sering menghadiri dengan Kementerian Kesehatan. Tentu saja bareng Dokter Deden dan beberapa kolega diaspora Indonesia yang sama-sama dapet panggilan dari pak menteri. Kita berada di satuan tugas yang sama, menyusun proposal pembentukan tim medis diaspora Indonesia. Dengan target utamanya: membantu penanggulangan Covid di sini lewat riset dan tenaga tambahan dari dokter-dokter Indonesia di luar negeri.
“Kamu yakin?” Tanya Dokter Deden suatu malam lewat sambungan video conference.
Pertanyaannya barusan tentu berkaitan dengan antipati gua dengan dunia kedokteran Indonesia. Tapi, gua sudah keburu berjanji dengan Pak Menteri. Lagian, dengan bekerja di sini gua juga jadi nggak terpisah jauh dari Fira.
“Yakin, dok…” Jawab gua, lantas mengemukakan alasan kepadanya.
“Tapi, ini bukan perkara Fira aja… Ini pekerjaan yang mengharuskan kamu komit sama waktu. Ini bukan proyek nyari seru kayak kebiasaan kamu?”
Gua menatap layar laptop, lalu mengangguk; “Iya, saya tau… Saya siap kok, Dok”
Ya pada dasarnya gua memang siap. Hanya saja, gua nggak menyangka kalau harga dari kesiapan itu segini mahal.
Dokter Deden sebagai kepala tim akhirnya menunjuk gua untuk bekerja bareng tim Doctors Without Borders di Indonesia. Tugas utama gua adalah membantu pengawasan dan monitoring para tenaga kesehatan dari risiko infeksi dan burnout. Nggak cuma itu, gua juga harus siap memberi dukungan untuk mengawasi kinerja dan kesehatan para tenaga kesehatan yang terlibat.
Itu berarti: keliling RS, koordinasi dengan kepala fasilitas kesehatan dan ikut investigasi kasus-kasus yang melibatkan tenaga kesehatan. Akibatnya, gua kehilangan waktu; nyaris gak tidur. Gak ada akhir pekan.
Awalnya gua pikir dengan kemampuan ini, gua bisa membagi waktu. Tapi, Covid sunggu musuh yang belum pernah gua lawan sebelumnya. Nggak, nggak, bukan covid musuh utamanya, melainkan orang-orang yang menyepelekannya.
Gua mulai lupa memberi kabar atau sekedar membalas chat Fira. Atau kalau pun memberi balasan, isinya hanya satu dua kara. Tentu hal yang nggak bikin ia puas.
“Sorry, Fir lagi di Puskes…”
“Nanti gua telepon balik” Tapi besoknya gua lupa telepon.
—
Suatu malam, gua baru saja kembali dari Surabaya. Jam menunjukkan pukul 11 malam saat gua melihat dari kursi belakang taksi; sosok perempuan berdiri sendirian tepat di depan gerbang rumah gua; Fira.
“Baru pulang?” Tanyanya pelan, begitu gua turun dari taksi.
Gua mencoba bertahan dari memeluknya, merasa pakaian yang gua pakai saat ini mungkin saja masih membawa virus. Dengan cepat gua membuka pagar dan membiarkannya masuk; “Masuk…”
Ia melangkah pelan, memasuki area halaman dan terus berjalan menuju ke area depan rumah.
“Tunggu sebentar ya, aku ganti baju dulu….” Ucap gua yang direspon olehnya dengan anggukan kepala.
Gua berlari menaiki anak tangga menuju ke lantai dua, ke kamar. Melepas pakaian, memasukkannya ke dalam plastik dan membungkusnya. Kemudian mandi koboy, lalu kembali ke bawah untuk menemuinya.
Fira berusaha menghindar saat gua hendak memberinya pelukan. Sejak tadi, ia bahkan nggak mengarahkan pandangannya ke gua.
“Kenapa?” Tanya gua, lirih.
Fira terdiam sebentar, nggak langsung memberikan jawaban. Saat gua kembali bertanya; “Kenapa?” Barulah ia buka suara; “Kamu bahkan nggak bales chat aku tadi…”
Gua mengusap wajah, “Sorry, Fir… Aku beneran ke skip…” Balas gua. Ya gimana nggak ke-skip lha wong sudah dua hari ini ponsel gua terus-menerus berbunyi karena pesan dan email masuk dari tim yang memberi tahu update terkini tentang situasi di beberapa daerah.
“Kamu sekarang lebih banyak ngurusin dunia. Sekarang aku nggak tau, aku masih jadi bagian dunia kamu apa nggak…” Jawabnya pelan, masih nggak menatap gua, terus mengarahkan pandangannya ke bawah ke lantai yang dingin.
Sesaat gua terdiam. Ucapannya barusan terdengar sederhana, tapi mengena.
“Fir… bukan gitu. Aku kan…”
Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Fira sudah memotongnya; “Capek? Iya, aku tau kok. Tapi, aku juga capek nungguin kamu…”
Malam itu sepanjang perjalanan gua mengantarnya pulang Fira nggak lagi bicara. Ia hanya terdiam dan masih nggak mau menatap ke arah gua. Gua nggak bisa protes. Karena gua tau kalau ia nggak marah, ia hanya kecewa. Kekecewaan yang rasanya lebih sunyi dari kemarahan.
Sepulangnya dari mengantar Fira, gua kembali ke rumah. Duduk di meja makan sambil menunggu air yang mendidih di dalam ketel di atas kompor. Sementara, porsi nasi goreng yang sebelumnya gua pesan online hanya tergeletak di atas meja; nggak tersentuh. Bukan, bukan karena nggak enak tapi karena yang seharusnya menemani gua makan nggak ada di sini.
Gua ingin membayar kesalahan akan institusi yang pada dasarnya bobrok. Gua mau membantu dunia yang sedang terbakar. Tapi, gimana kalau gua kehilangan satu-satunya orang yang bikin gua mampu melakukannya?
Dua hari setelah kejadian malam itu, gua memutuskan untuk mengambil jatah libur yang sama sekali belum gua pakai. Untuk sementara, gua ‘mundur’ dari seluruh kegiatan lapangan.
Beruntung Dokter Deden dan yang lain cukup mengerti dan memberikan gua jeda beberapa hari untuk sekedar rehat.
Gua lantas menjawab singkat; “Sorry, guys… Sorry Doc… Gota catch you all very soon..”
Gua tentu ber bohong. Yang gua butuh saat ini bukan istirahat; gua hanya butuh Fira.
Dari semua hal di dunia ini, ilmu kedokteran, pasien-pasien, ruang operasi, kepala rumah sakit, menteri-menteri, semua relawan, semua kepala puskesmas dan koordinator gugus tugas yang gua temuin, cuma satu orang yang bisa bikin gua merasa seperti manusia. Dan saat ini, sekarang ini, sosok itu tengah menarik dirinya dari dunia gua karena gua yang menyepelekan sesuatu, karena gua yang gagal mengerti priotitas.
Diam-diam, gua pergi dan mendatangi kampusnya. Saat itu, gua tau dari Tante Ana, kalau Fira ada jadwal ke kampus karena harus mengambil beberapa buku dari perpustakaan.
Sudah dua jam gua berdiri dan menunggu tepat di sisi mobil miliknya terparkir. Hingga akhirnya Fira muncul sekitar jam empat sore. Ia berjalan sendirian menyusuri pelataran area parkir yang hangat. Rambutnya dikuncir rendah, raut wajahnya terlihat lelah walau setengah wajahnya terhalang masker. Ia tetap terlihat cantik seperti biasa.
Langkahnya terhenti tepat beberapa meter di depan gua. Matanya menatap gua tajam, tangannya yang memeluk buku terlihat mencengkeram kuat.
“Ngapain?” Tanyanya.
“Nunggu kamu…” Jawab gua santai sambil terus tersenyum.
“Kenapa nggak chat dulu?” Tanyanya lagi.
“Karena tau kamu nggak bakal bales…” Jawab gua. Iya sejak kejadian beberapa hari yang lalu, Fira sama sekali nggak membalas pesan bahkan nggak menjawab panggilan gua.
Fira berbalik lalu berjalan ke arah kursi beton di bawah pohon nggak begitu jauh dari sana. Gua lalu mengikutinya, duduk tepat di sebelahnya. Ia berpindah, duduk di kursi beton lain disebelah gua. Gua sadar kalau ini bukan perkara social distancing, ia membiarkan gua tau kalau ia tengah kecewa berat hingga nggak mau duduk bersebelahan.
“Aku nggak tau lagi, Mas… Ini semua rasanya berat,” katanya pelan, “Aku ngerti, Aku ngerti kerjaan kamu penting. Tapi kenapa aku yang harus selalu ngalah?”
Gua nggak merespon, hanya menundukkan kepala. Nggak berdaya terhadap kata-katanya barusan. Dulu, dulu gua rela mengorbankan apapun untuknya, tapi sekarang gua malah terjebak di negara yang dulu gua benci.
“Aku nggak minta kamu ngalah, Fir,” gua akhirnya menjawab. “Aku minta kamu… bertahan. Sebentaaar aja…”
Fira terdiam sebentar, lalu kembali bicara; “Kamu capek ya?”
“Banget. Tapi Aku lebih capek kalau jauh dari kamu...”
Ia menoleh. Mata kita ketemu. Ada air di ujung matanya, tapi belum jatuh.
“Kalau kamu ninggalin aku karena tugas kemanusiaan, aku bisa ngerti. Tapi kalau aku ninggalin kamu karena ngerasa gak dianggap… kamu bisa ngerti juga gak?”
—
Hampa - Ari Lasso
Kupejamkan mata ini
Mencoba 'tuk melupakan
Segala kenangan indah
Tentang dirimu, tentang mimpiku
Semakin aku mencoba
Bayangmu semakin nyata
Merasuk hingga ke jiwa
Tuhan, tolonglah diriku
Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah di sana kau rindukan aku?
Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Tak bisa aku ingkari
Engkaulah satu-satunya
Yang bisa membuat jiwaku
Yang pernah mati menjadi berarti
Namun kini kau menghilang
Bagaikan ditelan bumi
Tak pernahkah kau sadari
Arti cintamu untukku?
Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah di sana s'lalu rindukan aku?
Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Oh, yeah
Oh-oh, entah di mana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah di sana s'lalu rindukan aku?
Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah di sana s'lalu rindukan aku?
Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Entah di mana
percyjackson321 dan 43 lainnya memberi reputasi
44
Kutip
Balas
Tutup