- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.3K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1057
007-F Isolated Hearts
Spoiler for 007-F Isolated Hearts:
Pagi itu, gua baru saja menyelesaikan operasi yang berlangsung semalaman. Setelah mandi dan bersih-bersih, gua duduk di ruang meja kerja. Meraih ponsel dan menghidupkannya.
Beberapa notifikasi pesan masuk bersamaan. Sebagian besar dari Fira sementara beberapa sisanya dari Ibu.
Gua membalas pesan dari Ibu terlebih dahulu, pesan yang menanyakan tentang kabar gua dan informasi virus corona di Solo. Kemudian beralih ke pesan dari Fira.
‘Mas tenggorokan ak skt bgt 🤮’
‘Trs, bdnku jg anget, gk bs cium apa2 🤧🤧🤧’
‘Gmn nih’
Gua lalu menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suaranya yang sengau menyambut gua; “Halo…”Sapanya.
“Isolasi, Fir… Sekarang!!” Seru gua.
“Iya, aku dari semalem emang nggak keluar kok…” Balasnya.
“Ada alat cek suhu kan?” Tanya gua.
“Ada, tapi di bawah…”
“Yaah… Diare nggak?” Tanya gua lagi.
“Nggak sih…”
“Ruam?”
“Mmmm… nggak sih…” Jawabnya, ragu.
“Jadi, cuma tenggorokan sakit dan anosmia?” Tanya gua, mencoba meyakinkan diri sendiri tentang gejala yang dirasakan oleh Fira. Jika, apa yang ia sampaikan di pesan pertama tadi benar, kemungkinan besar ia terpapar virus corona.
“Iya.. lidah aku juga nggak bisa rasa apa-apa, mas…” Keluhnya.
“Duh, ageusia…” Gumam gua pelan. “… Yaudah sekarang kamu buka jendela, duduk di dekatnya, usahakan kena sinar matahari ya. Jangan keluar dari kamar” Gua menambahkan.
“Iya…”
“Terus minum air putih yang banyak…”
Gua mengakhiri panggilan, lalu membuat panggilan baru. Kali ini menghubungi Tante Ana; Nyokapnya. Hal pertama yang gua lakukan adalah mengecek kondisinya, apa ia juga terpapar atau tidak. Untungnya, berdasarkan analisa dan diagnosa via sambungan telepon, Tante Ana dalam kondisi prima dan baik-baik saja. Pun, begitu gua tetap menyarankan ia untuk mentreatment dirinya sendiri sebagai orang yang terpapar.
Protokol singkat gua berikan ke tante Ana. Nggak hanya melalui sambungan telepon, gua juga mengirimkan pesan teks yang berisi panduan isolasi agar nggak lupa.
Setelah memberi tahu semua yang harus dilakukan oleh Tante Ana dan Fira, gua langsung menghubungi kepala rumah sakit tempat gua bekerja; meminta ijin untuk kembali ke Indonesia. Namun, kepala rumah sakit memberi tahu kalau saat ini Singapore baru saja menerapkan ‘lockdown’ untuk akses keluar dan masuk.
Gua mengepalkan tangan dan meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Lagi-lagi hal seperti ini kembali; gua yang nggak punya kontrol akan sesuatu.
Hari demi hari, gua terus memantau kondisi Fira. Entah lewat panggilan video atau hanya sekedar pesan singkat. Gua juga mengirimkan beberapa stok obat, multivitamin, hand sanitizer, stok makanan juga beberapa alat pengecekan kesehatan sederhana seperti oksimeter dan pengecek suhu tubuh digital. Semuanya dikirimkan oleh Dokter Deden yang berada di Jakarta.
Tapi, di hari keempat, kondisi Fira semakin parah. Dari pesan yang dikirimnya, Fira mulai merasakan sesak napas dan demam yang semakin tinggi.
Nggak menunggu lama, gua langsung menghubungi kembali Dokter Deden dan meminta saran juga bantuan darinya.
“Rujuk ke Rumah Sakit aja ya?” Tanya Dokter Deden ke gua yang baru saja menyampaikan tentang kondisi terakhir Fira.
“Tapi, kalo di rumah sakit nanti ke handle nggak Dok?” Gua balik bertanya. Pertanyaan yang bukan tanpa dasar. Dari berita di internet gua bisa tau tentang kondisi penyebaran virus ini di Indonesia yang sangat masif. Saking banyaknya orang yang terpapar, rumah sakit dan lembaga kesehatan hampir nggak bisa menampung pasien.
Sudahlah fasilitasnya terbatas, jumlah dokternya pun nggak sepadan.
“Di rumah sakit saya aja, nanti saya bantu atur…” Balas Dokter Deden.
“Ok dok…” Balas gua.
Entah berapa banyak hutang budi gua kepadanya. Dokter Deden selalu ada saat gua butuh bantuannya. Apapun itu.
“Dok…”
“Yes?”
“Terima kasih banyak ya…” Ucap gua lirih.
“Hahaha, santai aja… Kamu kayak sama siapa aja…” Balasnya sambil terkekeh.
Sementara, Tante Ane terus memberi update tentang kondisi Fira ke gua. Karena Fira sendiri sudah terlalu kepayahan untuk terus berkomunikasi dengan gua.
Dari penuturan Tante Ana, Fira di bawa ke rumah sakit dengan ambulans. Sementara, ia tetap tinggal di rumah. Takut, ia ikut terpapar kalau harus ikut ke rumah sakit untuk menemani Fira. Tentu nggak gampang membujuk Tante Ana agar nggak panik dan minta ikut, gua harus mencoba ekstra keras agar ia tetap tenang dan menyerahkan urusan ke pihak terkait. Dalam hal ini instansi kesehatan Indonesia.
Langit seakan mendengar isi hati gua yang begitu ingin kembali ke Indonesia. Bukan, bukan untuk mengabdi. Tapi untuk Fira. Lelah, karena harus bergantung dengan orang lain. Dan, terus-terusan merasa nggak punya kontrol.
Sebuah pesan masuk. Pesan yang entah dari siapa, karena gua sama sekali nggak mengenali nomornya.
‘Selamat Sore, Dok. Perkenalkan nama saya xxx dari kementrian kesehatan. Mau tanya apa dokter ada waktu sebentar untuk ngobrol?’
Gua mengernyitkan dahi begitu membaca pesan tersebut. Berpikir kalau ini adalah bentuk scam paling anyar yang belum gua ketahui. Gua lantas mengabaikan pesan tersebut. ‘Seandainya serius, dia pasti bakal kirim pesan atau telepon langsung’ Batin gua.
Tiba-tiba, ponsel gua kembali bergetar; notifikasi pesan masuk.
Pesan dari pengirim yang sama dengan sebelumnya; ‘Maaf sebelumnya, Dok. Ini penting sekali, ijin untuk telepon’
Lalu ponsel berdering, nomor yang sama muncul di layar. Gua menunggu sebentar, sebelum akhirnya menjawab panggilan.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, selamat sore dokter Farid…” Balas suara di ujung sana. Suaranya terdengar ramah dan percaya diri. Khas orang dengan kemampuan komunikasi tingkat atas. Sayang gua nggak melihat wajahnya secara langsung, jadi nggak bisa membaca ekspresinya.
“Ya sore…”
“Mohon ijin, perkenalkan saya xxx dari kementrian kesehatan….” Ia memperkenalkan diri sebagai salah satu staff khusus menteri kesehatan Indonesia yang baru saja dilantik menggantikan menteri kesehatan sebelumnya yang dianggap kurang mampu menanggulangi covid.
“Ada apa?” Tanya gua, penasaran.
“Ijin, Dok… Jika berkenan, Bapak menteri ingin bicara”
“Bicara? sama saya?” Tanya gua lagi.
“Iya, betul Dok…”
Gua terdiam sebentar, sambil membatin; ‘Ada apaan nih, kok sampe orang sekelas menteri nelpon gue?’
“Oh… Kapan?” Tanya gua.
“Sekarang, Dok. Seandainya Dokter nggak sibuk. Tapi, kalau dokter sibuk mohon ijin untuk book schedule di lain waktu…”
“Sekarang boleh…” Jawab gua, tentu saja masih dalam mode super penasaran.
Lalu hening sesaat, yang terdengar hanya suara gemerisik samar.
Detik berikutnya, terdengar sapaan ramah dari ujung sana; “Halo Selamat Sore Dok… Apa kabar? I hope I’m not interrupting your busy schedule in Singapore…”
“Baik, baik… No worries Pak. Tapi… honestly, I’m a bit surprised got a call from you…” Balas gua.
Gua tentu tau kalau ia orang yang tengah bicara dengan gua sekarang adalah seorang menteri, tapi ia nggak memperkenalkan dirinya dengan jabatan itu. Ia hanya menyebutkan nama dan sedikit tentang latar belakangnya. Menteri kesehatan yang sama sekali nggak punya latar belakan kesehatan.
Ia lantas menjelaskan tujuannya menghubungi gua. Tanpa basa-basi, ia meminta gua untuk ‘pulang’ ke Indonesia.
“Dok. Saya sudah dengar banyak tentang your achievements. You’ve done incredible work. Tapi saya juga tahu, there’s a complicated history between you and Organisasi Dokter. Let’s address that first, shall we?” Ucapnya.
Gua menghela napas sebentar, kemudian membalas; “Complicated? That’s an understatement, Pak Menteri. Saya di-banned oleh mereka karena katanya I’m too arrogant… Ijasah saya bahkan nggak diakui negara Pak…”
“Saya paham, Dok. I’ve reviewed your case, and I won’t deny that there were mistakes made. Tapi, let me be clear, We needs you more than ever. Kita sedang berencana membangun sistem kesehatan yang lebih kuat khususnya untuk menghadapi pandemi…” Ia merespon dengan nada bicara yang serius.
“…”
“…Kita punya banyak dokter hebat di luar sana, sama kayak Dokter. Dan mereka punya kendala yang sama; nggak bisa kembali karena ribetnya birokrasi. Tapi, kita butuh kalian. Kita butuh orang yang bisa sama-sama membangun kesehatan di sini. We can’t do it without talented doctors like you guys…”
“…”
“… Saya personally minta maaf atas apa yang terjadi. Let’s put the past behind us…”
“…” Gua terdiam sejenak; ragu. Tentu saja nggak bisa memberikan keputusan sepenting ini dalam waktu singkat. Tapi, Fira juga nggak bisa menunggu.
“Kita butuh Dokter…” Gumamnya pelan.
Gua menarik napas dalam-dalam, lalu memberi jawaban. “Only in one condition, Pak”
“Name it…” Serunya, bersemangat.
“Saya hanya mau bekerja di sana bersama Dokter Deden…”
“Noted, Well Noted. Saya kenal beliau… Consider it’s done..” Jawabnya, “Orang saya akan kirimkan detailnya via email. Ingat, Dok, Indonesia is your home. We’re ready to welcome you back with open arms. Terima kasih banya ya... Stay safe” Ia menambahkan.
“Thank you, Pak Menteri. Have a good evening…”
Setelah percakapan selesai, gua langsung bergegas bicara ke kepala rumah sakit untuk memberikan kabar tentang rencana tersebut. Lalu, kembali ke apartemen untuk berkemas. Kali ini ‘lockdown’ nggak bakal bisa menghentikan gua.
Besoknya, berbekal ‘Dokumen Sakti’ dari kementerian kesehatan Indonesia, gua sudah berada di penerbangan khusus kembali ke Jakarta.
—
Dengan masker ganda, gua langsung menuju ke Rumah Sakit tempat Fira di rawat. Jalanan nampak lengang, mobil-mobil jarang terlihat, begitu pula dengan kendaraan umum lainnya. Sementara, langit Jakarta terlihat berbeda; biru dan cerah. Mungkin karena partikel debu dan polusi udara yang berkurang drastis karena rendahnya mobilitas.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk gua akhirnya tiba di rumah sakit.
Dokter Deden sudah menunggu gua di ruangannya.
“Jangan, lah! Ngawur…” Seru Dokter Deden saat gua bilang ingin menemui Fira.
“Tapi, Dok…”
“Fira ARDS… Kamu juga nggak bisa bantu banyak” Balasnya, menyebutkan istilah untuk Acute Respiratory Distress Syndrome, atau kondisi medis sangat serius yang ditandai dengan kegagalan pernapasan akut akibat kerusakan pada alveoli. Alveoli sendiri adalah organ kecil mirip kantung udara di paru-paru. Kerusakan yang menyebabkan penumpukan cairan di paru-paru.
Kondisi ini biasanya terjadi karena respon tubuh terhadap infeksi seperti pneumonia. Di momen ini, tentu saja penyebabnya semakin kecil karena virus corona. Di beberapa waktu kedepan, istilah ini lalu dikenal dengan "cytokine storm".
“Kemungkinan ada fibrosis awal…” Dokter Deden menambahkan.
“Ck…”
“Baru saja di intubasi dan pasang ventilator… Fira udah nggak sadar”
“Detail?” Tanya gua.
Dokter Deden lantas memutar layar monitornya, menunjukkan hasil pemeriksaan dasar milik Fira. Gua mendekat dan mencoba membacanya dengan cepat.
“Saya mau ke sana…” Ucap gua, merujuk ke permintaan pertama untuk menemuinya.
“Bleguk! Kamu emang hebat, tapi nggak kebal virus!!” Seru Dokter Deden sambil berdiri dan menempeleng kepala gua.
Seraya mengusap kepala, gua merespon pelan; “Kan bisa pake APD”
Ia memicingkan mata dan menatap gua tajam, lalu meraih gagang telepon, menghubungi seseorang. “Siapin satu set APD, Dokter Lian mau turun ke bawah…” Ucapnya melalui sambungan telepon, sementara matanya tetap ia arahkan ke gua.
Gua mengangguk pelan. Lalu bersiap keluar dari ruangan. Sesaat sebelum gua keluar, Dokter Deden kembali bicara; “Lian… abis ini kalau kamu selamat, isolasi dua minggu…”
Gua kembali mengangguk dan pergi.
Pandangan terbatas dan suara helaan napas gua sendiri terdengar menggema begitu sudah mengenakan APD lengkap. Sesekali, gua membetulkan posisi penutup kepala dengan mika transparan yang agak longgar agar bisa melihat dengan jelas.
Dengan panduan dari salah seorang perawat yang juga mengenakan APD yang sama, perawat yang wajahnya nampak pucat dan lelah, ke sebuah ruang bangsal besar dengan sekat kaca yang memisahkan antar ranjang yang satu dengan yang lain.
Ruangan nampak riuh dengan bunyi bip dari ventilator dan monitor oksigen yang seakan susul menyusul nggak mau kalah. Di dua sudut ruangan terdapat humidifier raksasa yang nampak bekerja keras tanpa istirahat.
Si perawat mengantar gua hingga ke salah satu ranjang yang berada di sudut ruangan. Ranjang paling ujung yang dekat dengan jendela. Seorang dokter spesialis paru, terlihat dari badge nama di APD yang dikenakannya, berdiri di sisi ranjang. Memperhatikan mesin ventilator di sisi ranjang di mana Fira terbaring tak sadarkan diri.
Gua terus mendekat ke arah ranjang. Menatap Fira dengan kedua mata yang terpejam, bibir yang pucat tak berwarna dan dadanya yang naik turun dengan napas yang tersengal tak teratur.
“Siang Dok…” Sapa si Dokter, yang lantas gua respon dengan anggukan pelan. Sama sekali nggak berpaling dari Fira.
Sesaat kemudian barulah gua berpaling ke arah layar pada ventilator. Mengecek pengaturan yang digunakan untuk Fira; volume tidal ada di anggak 4ml.
“LTVV go to 6 ml…” Gumam gua pelan.
Si dokter lalu mengubah settingan melalui tombol semacam volume, membuat salah satu indikator berubah menjadi 6 ml/kg.
“Plateu Pressure, dok?” Tanya gua.
“Plateu Pressure under 30cm H2O…” Jawab si dokter yang lantas kembali gua respon dengan anggukan kepala.
“PEEP 15cm H2O… “ Tambahnya lagi.
“Ok..” Balas gua, singkat. “Sudah berapa jam sejak dipasang ventilator, Dok?” Tanya gua.
“Hmmm… Kurang lebih 5-6 jam, Dok” Jawabnya, mengira-ngira.
“Riwayat saturasi oksigen?” Tanya gua lagi.
Ia lantas mengambil mengambil papan jalan yang terpasang di ranjang dan menyerahkannya ke gua. Papan jalan berisi lembaran kertas dengan riwayat pengecekan per jam yang ditulis tangan oleh perawat.
Gua mengecek saturasi oksigen yang tertera. Yang menunjukkan tekanan parsial oksigen milik Fira berada di bawah standar.
“Udah di kasih apa, Dok?” Tanya gua lagi, merujuk ke obat yang sudah diberikan ke Fira.
“Azitromisin, Dok…” Jawabnya singkat.
“Hhh… Ada baikizumab?” Tanya gua, yang lantas di respon oleh si dokter dengan gelengan kepala.
Gua kembali beralih menatap Fira. Saat ini yang ia butuhkan bukan hanya Azitromisin, pati anti-IL-6 yang lebih cocok untuk cytokine storm. Gua beranjak menuju ke nurse station nggak jauh dari bangsal lalu menuliskan nama obat di atas kertas dan menyodorkannya ke salah seorang perawat yang berjaga. “Sus, minta tolong Dokter Deden untuk request obat ini ke Singapore”
“Oh Baik, dok…” Balasnya.
“Bilang Lian yang minta…” Gua menambahkan.
Benar kata Dokter Deden; nggak banyak yang bisa gua lakukan di sini. Karena nggak ada obat yang tepat. Yang bisa kami lakukan adalah memberikan perawatan maksimal dengan alat dan obat-obatan seadanya.
Saat gua masih berkutat di Nurse station, terdengar suara riuh derap langkah para perawat dan dokter ber-APD. Gua kembali masuk ke bangsal perawatan dan mendapati, layar monitor pemantau saturasi oksigen milik Fira menunjukan angka yang turun dengan cepat, diiringi suara bip yang nggak nyaman di telinga.
Gua menyeruak kerumunan perawat dan berdiri tepat di sisi ranjang.
“Remdesivir ada?” Tanya gua.
“Ada dok… Tolong sus…” Jawab si Dokter yang sejak tadi berada di sana ke seorang perawat di sebelahnya.
Si perawat lantas berbalik dan bersiap pergi. Ia kembali beberapa saat berikutnya sambil membawa alat suntik dan se-ampul cairan.
Gua meraih alat suntik yang sudah disiapkan oleh perawat. Menusukkan ujung jarum ke penutup ampul dan menarik pompa suntikan hingga berada di level 200mg.
Sebelum menyuntikkan Remdesivir, gua menoleh ke arah si dokter dan memintanya untuk mematikan ventilator. Tanpa keraguan, ia berbalik dan mematikan alat ventilator. Sementara, gua dengan cepat menyuntikkan dosis Remdesivir melalui selang infus.
Perlahan indikator angka pada alat monitor saturasi oksigen meningkat. Walau masih jauh dari angka normal namun paling nggak ada sedikit peningkatan.
Tapi, itu hanya berlangsung sebentar. Di saat para perawat dan dokter yang berada di sekitar ranjang mulai pergi satu persatu. Kondisinya malah kembali menurun. Kali ini bukan saturasi oksigennya, tapi detak jantungnya yang semakin lama terasa semakin nggak teratur.
Gua menggenggam tangannya yang terasa aneh dengan adanya sarung tangan brengsek ini. Lalu berbisik tepat di telinganya; “Ayo Fir, kamu bisa… Kamu kan udah janji mau bikin dunia mengerti aku…”
Sementara, pandangan gua mulai kabur karena air mata yang terus menggenang tanpa bisa gua seka. Gua sungguh nggak mampu kalau sampai harus kehilangannya.
Benar-benar nggak mampu.
“Jangan pergi dulu, Fir. Duniaku masih berantakan tanpa kamu...”
—
Beberapa notifikasi pesan masuk bersamaan. Sebagian besar dari Fira sementara beberapa sisanya dari Ibu.
Gua membalas pesan dari Ibu terlebih dahulu, pesan yang menanyakan tentang kabar gua dan informasi virus corona di Solo. Kemudian beralih ke pesan dari Fira.
‘Mas tenggorokan ak skt bgt 🤮’
‘Trs, bdnku jg anget, gk bs cium apa2 🤧🤧🤧’
‘Gmn nih’
Gua lalu menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suaranya yang sengau menyambut gua; “Halo…”Sapanya.
“Isolasi, Fir… Sekarang!!” Seru gua.
“Iya, aku dari semalem emang nggak keluar kok…” Balasnya.
“Ada alat cek suhu kan?” Tanya gua.
“Ada, tapi di bawah…”
“Yaah… Diare nggak?” Tanya gua lagi.
“Nggak sih…”
“Ruam?”
“Mmmm… nggak sih…” Jawabnya, ragu.
“Jadi, cuma tenggorokan sakit dan anosmia?” Tanya gua, mencoba meyakinkan diri sendiri tentang gejala yang dirasakan oleh Fira. Jika, apa yang ia sampaikan di pesan pertama tadi benar, kemungkinan besar ia terpapar virus corona.
“Iya.. lidah aku juga nggak bisa rasa apa-apa, mas…” Keluhnya.
“Duh, ageusia…” Gumam gua pelan. “… Yaudah sekarang kamu buka jendela, duduk di dekatnya, usahakan kena sinar matahari ya. Jangan keluar dari kamar” Gua menambahkan.
“Iya…”
“Terus minum air putih yang banyak…”
Gua mengakhiri panggilan, lalu membuat panggilan baru. Kali ini menghubungi Tante Ana; Nyokapnya. Hal pertama yang gua lakukan adalah mengecek kondisinya, apa ia juga terpapar atau tidak. Untungnya, berdasarkan analisa dan diagnosa via sambungan telepon, Tante Ana dalam kondisi prima dan baik-baik saja. Pun, begitu gua tetap menyarankan ia untuk mentreatment dirinya sendiri sebagai orang yang terpapar.
Protokol singkat gua berikan ke tante Ana. Nggak hanya melalui sambungan telepon, gua juga mengirimkan pesan teks yang berisi panduan isolasi agar nggak lupa.
Setelah memberi tahu semua yang harus dilakukan oleh Tante Ana dan Fira, gua langsung menghubungi kepala rumah sakit tempat gua bekerja; meminta ijin untuk kembali ke Indonesia. Namun, kepala rumah sakit memberi tahu kalau saat ini Singapore baru saja menerapkan ‘lockdown’ untuk akses keluar dan masuk.
Gua mengepalkan tangan dan meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Lagi-lagi hal seperti ini kembali; gua yang nggak punya kontrol akan sesuatu.
Hari demi hari, gua terus memantau kondisi Fira. Entah lewat panggilan video atau hanya sekedar pesan singkat. Gua juga mengirimkan beberapa stok obat, multivitamin, hand sanitizer, stok makanan juga beberapa alat pengecekan kesehatan sederhana seperti oksimeter dan pengecek suhu tubuh digital. Semuanya dikirimkan oleh Dokter Deden yang berada di Jakarta.
Tapi, di hari keempat, kondisi Fira semakin parah. Dari pesan yang dikirimnya, Fira mulai merasakan sesak napas dan demam yang semakin tinggi.
Nggak menunggu lama, gua langsung menghubungi kembali Dokter Deden dan meminta saran juga bantuan darinya.
“Rujuk ke Rumah Sakit aja ya?” Tanya Dokter Deden ke gua yang baru saja menyampaikan tentang kondisi terakhir Fira.
“Tapi, kalo di rumah sakit nanti ke handle nggak Dok?” Gua balik bertanya. Pertanyaan yang bukan tanpa dasar. Dari berita di internet gua bisa tau tentang kondisi penyebaran virus ini di Indonesia yang sangat masif. Saking banyaknya orang yang terpapar, rumah sakit dan lembaga kesehatan hampir nggak bisa menampung pasien.
Sudahlah fasilitasnya terbatas, jumlah dokternya pun nggak sepadan.
“Di rumah sakit saya aja, nanti saya bantu atur…” Balas Dokter Deden.
“Ok dok…” Balas gua.
Entah berapa banyak hutang budi gua kepadanya. Dokter Deden selalu ada saat gua butuh bantuannya. Apapun itu.
“Dok…”
“Yes?”
“Terima kasih banyak ya…” Ucap gua lirih.
“Hahaha, santai aja… Kamu kayak sama siapa aja…” Balasnya sambil terkekeh.
Sementara, Tante Ane terus memberi update tentang kondisi Fira ke gua. Karena Fira sendiri sudah terlalu kepayahan untuk terus berkomunikasi dengan gua.
Dari penuturan Tante Ana, Fira di bawa ke rumah sakit dengan ambulans. Sementara, ia tetap tinggal di rumah. Takut, ia ikut terpapar kalau harus ikut ke rumah sakit untuk menemani Fira. Tentu nggak gampang membujuk Tante Ana agar nggak panik dan minta ikut, gua harus mencoba ekstra keras agar ia tetap tenang dan menyerahkan urusan ke pihak terkait. Dalam hal ini instansi kesehatan Indonesia.
Langit seakan mendengar isi hati gua yang begitu ingin kembali ke Indonesia. Bukan, bukan untuk mengabdi. Tapi untuk Fira. Lelah, karena harus bergantung dengan orang lain. Dan, terus-terusan merasa nggak punya kontrol.
Sebuah pesan masuk. Pesan yang entah dari siapa, karena gua sama sekali nggak mengenali nomornya.
‘Selamat Sore, Dok. Perkenalkan nama saya xxx dari kementrian kesehatan. Mau tanya apa dokter ada waktu sebentar untuk ngobrol?’
Gua mengernyitkan dahi begitu membaca pesan tersebut. Berpikir kalau ini adalah bentuk scam paling anyar yang belum gua ketahui. Gua lantas mengabaikan pesan tersebut. ‘Seandainya serius, dia pasti bakal kirim pesan atau telepon langsung’ Batin gua.
Tiba-tiba, ponsel gua kembali bergetar; notifikasi pesan masuk.
Pesan dari pengirim yang sama dengan sebelumnya; ‘Maaf sebelumnya, Dok. Ini penting sekali, ijin untuk telepon’
Lalu ponsel berdering, nomor yang sama muncul di layar. Gua menunggu sebentar, sebelum akhirnya menjawab panggilan.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, selamat sore dokter Farid…” Balas suara di ujung sana. Suaranya terdengar ramah dan percaya diri. Khas orang dengan kemampuan komunikasi tingkat atas. Sayang gua nggak melihat wajahnya secara langsung, jadi nggak bisa membaca ekspresinya.
“Ya sore…”
“Mohon ijin, perkenalkan saya xxx dari kementrian kesehatan….” Ia memperkenalkan diri sebagai salah satu staff khusus menteri kesehatan Indonesia yang baru saja dilantik menggantikan menteri kesehatan sebelumnya yang dianggap kurang mampu menanggulangi covid.
“Ada apa?” Tanya gua, penasaran.
“Ijin, Dok… Jika berkenan, Bapak menteri ingin bicara”
“Bicara? sama saya?” Tanya gua lagi.
“Iya, betul Dok…”
Gua terdiam sebentar, sambil membatin; ‘Ada apaan nih, kok sampe orang sekelas menteri nelpon gue?’
“Oh… Kapan?” Tanya gua.
“Sekarang, Dok. Seandainya Dokter nggak sibuk. Tapi, kalau dokter sibuk mohon ijin untuk book schedule di lain waktu…”
“Sekarang boleh…” Jawab gua, tentu saja masih dalam mode super penasaran.
Lalu hening sesaat, yang terdengar hanya suara gemerisik samar.
Detik berikutnya, terdengar sapaan ramah dari ujung sana; “Halo Selamat Sore Dok… Apa kabar? I hope I’m not interrupting your busy schedule in Singapore…”
“Baik, baik… No worries Pak. Tapi… honestly, I’m a bit surprised got a call from you…” Balas gua.
Gua tentu tau kalau ia orang yang tengah bicara dengan gua sekarang adalah seorang menteri, tapi ia nggak memperkenalkan dirinya dengan jabatan itu. Ia hanya menyebutkan nama dan sedikit tentang latar belakangnya. Menteri kesehatan yang sama sekali nggak punya latar belakan kesehatan.
Ia lantas menjelaskan tujuannya menghubungi gua. Tanpa basa-basi, ia meminta gua untuk ‘pulang’ ke Indonesia.
“Dok. Saya sudah dengar banyak tentang your achievements. You’ve done incredible work. Tapi saya juga tahu, there’s a complicated history between you and Organisasi Dokter. Let’s address that first, shall we?” Ucapnya.
Gua menghela napas sebentar, kemudian membalas; “Complicated? That’s an understatement, Pak Menteri. Saya di-banned oleh mereka karena katanya I’m too arrogant… Ijasah saya bahkan nggak diakui negara Pak…”
“Saya paham, Dok. I’ve reviewed your case, and I won’t deny that there were mistakes made. Tapi, let me be clear, We needs you more than ever. Kita sedang berencana membangun sistem kesehatan yang lebih kuat khususnya untuk menghadapi pandemi…” Ia merespon dengan nada bicara yang serius.
“…”
“…Kita punya banyak dokter hebat di luar sana, sama kayak Dokter. Dan mereka punya kendala yang sama; nggak bisa kembali karena ribetnya birokrasi. Tapi, kita butuh kalian. Kita butuh orang yang bisa sama-sama membangun kesehatan di sini. We can’t do it without talented doctors like you guys…”
“…”
“… Saya personally minta maaf atas apa yang terjadi. Let’s put the past behind us…”
“…” Gua terdiam sejenak; ragu. Tentu saja nggak bisa memberikan keputusan sepenting ini dalam waktu singkat. Tapi, Fira juga nggak bisa menunggu.
“Kita butuh Dokter…” Gumamnya pelan.
Gua menarik napas dalam-dalam, lalu memberi jawaban. “Only in one condition, Pak”
“Name it…” Serunya, bersemangat.
“Saya hanya mau bekerja di sana bersama Dokter Deden…”
“Noted, Well Noted. Saya kenal beliau… Consider it’s done..” Jawabnya, “Orang saya akan kirimkan detailnya via email. Ingat, Dok, Indonesia is your home. We’re ready to welcome you back with open arms. Terima kasih banya ya... Stay safe” Ia menambahkan.
“Thank you, Pak Menteri. Have a good evening…”
Setelah percakapan selesai, gua langsung bergegas bicara ke kepala rumah sakit untuk memberikan kabar tentang rencana tersebut. Lalu, kembali ke apartemen untuk berkemas. Kali ini ‘lockdown’ nggak bakal bisa menghentikan gua.
Besoknya, berbekal ‘Dokumen Sakti’ dari kementerian kesehatan Indonesia, gua sudah berada di penerbangan khusus kembali ke Jakarta.
—
Dengan masker ganda, gua langsung menuju ke Rumah Sakit tempat Fira di rawat. Jalanan nampak lengang, mobil-mobil jarang terlihat, begitu pula dengan kendaraan umum lainnya. Sementara, langit Jakarta terlihat berbeda; biru dan cerah. Mungkin karena partikel debu dan polusi udara yang berkurang drastis karena rendahnya mobilitas.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk gua akhirnya tiba di rumah sakit.
Dokter Deden sudah menunggu gua di ruangannya.
“Jangan, lah! Ngawur…” Seru Dokter Deden saat gua bilang ingin menemui Fira.
“Tapi, Dok…”
“Fira ARDS… Kamu juga nggak bisa bantu banyak” Balasnya, menyebutkan istilah untuk Acute Respiratory Distress Syndrome, atau kondisi medis sangat serius yang ditandai dengan kegagalan pernapasan akut akibat kerusakan pada alveoli. Alveoli sendiri adalah organ kecil mirip kantung udara di paru-paru. Kerusakan yang menyebabkan penumpukan cairan di paru-paru.
Kondisi ini biasanya terjadi karena respon tubuh terhadap infeksi seperti pneumonia. Di momen ini, tentu saja penyebabnya semakin kecil karena virus corona. Di beberapa waktu kedepan, istilah ini lalu dikenal dengan "cytokine storm".
“Kemungkinan ada fibrosis awal…” Dokter Deden menambahkan.
“Ck…”
“Baru saja di intubasi dan pasang ventilator… Fira udah nggak sadar”
“Detail?” Tanya gua.
Dokter Deden lantas memutar layar monitornya, menunjukkan hasil pemeriksaan dasar milik Fira. Gua mendekat dan mencoba membacanya dengan cepat.
“Saya mau ke sana…” Ucap gua, merujuk ke permintaan pertama untuk menemuinya.
“Bleguk! Kamu emang hebat, tapi nggak kebal virus!!” Seru Dokter Deden sambil berdiri dan menempeleng kepala gua.
Seraya mengusap kepala, gua merespon pelan; “Kan bisa pake APD”
Ia memicingkan mata dan menatap gua tajam, lalu meraih gagang telepon, menghubungi seseorang. “Siapin satu set APD, Dokter Lian mau turun ke bawah…” Ucapnya melalui sambungan telepon, sementara matanya tetap ia arahkan ke gua.
Gua mengangguk pelan. Lalu bersiap keluar dari ruangan. Sesaat sebelum gua keluar, Dokter Deden kembali bicara; “Lian… abis ini kalau kamu selamat, isolasi dua minggu…”
Gua kembali mengangguk dan pergi.
Pandangan terbatas dan suara helaan napas gua sendiri terdengar menggema begitu sudah mengenakan APD lengkap. Sesekali, gua membetulkan posisi penutup kepala dengan mika transparan yang agak longgar agar bisa melihat dengan jelas.
Dengan panduan dari salah seorang perawat yang juga mengenakan APD yang sama, perawat yang wajahnya nampak pucat dan lelah, ke sebuah ruang bangsal besar dengan sekat kaca yang memisahkan antar ranjang yang satu dengan yang lain.
Ruangan nampak riuh dengan bunyi bip dari ventilator dan monitor oksigen yang seakan susul menyusul nggak mau kalah. Di dua sudut ruangan terdapat humidifier raksasa yang nampak bekerja keras tanpa istirahat.
Si perawat mengantar gua hingga ke salah satu ranjang yang berada di sudut ruangan. Ranjang paling ujung yang dekat dengan jendela. Seorang dokter spesialis paru, terlihat dari badge nama di APD yang dikenakannya, berdiri di sisi ranjang. Memperhatikan mesin ventilator di sisi ranjang di mana Fira terbaring tak sadarkan diri.
Gua terus mendekat ke arah ranjang. Menatap Fira dengan kedua mata yang terpejam, bibir yang pucat tak berwarna dan dadanya yang naik turun dengan napas yang tersengal tak teratur.
“Siang Dok…” Sapa si Dokter, yang lantas gua respon dengan anggukan pelan. Sama sekali nggak berpaling dari Fira.
Sesaat kemudian barulah gua berpaling ke arah layar pada ventilator. Mengecek pengaturan yang digunakan untuk Fira; volume tidal ada di anggak 4ml.
“LTVV go to 6 ml…” Gumam gua pelan.
Si dokter lalu mengubah settingan melalui tombol semacam volume, membuat salah satu indikator berubah menjadi 6 ml/kg.
“Plateu Pressure, dok?” Tanya gua.
“Plateu Pressure under 30cm H2O…” Jawab si dokter yang lantas kembali gua respon dengan anggukan kepala.
“PEEP 15cm H2O… “ Tambahnya lagi.
“Ok..” Balas gua, singkat. “Sudah berapa jam sejak dipasang ventilator, Dok?” Tanya gua.
“Hmmm… Kurang lebih 5-6 jam, Dok” Jawabnya, mengira-ngira.
“Riwayat saturasi oksigen?” Tanya gua lagi.
Ia lantas mengambil mengambil papan jalan yang terpasang di ranjang dan menyerahkannya ke gua. Papan jalan berisi lembaran kertas dengan riwayat pengecekan per jam yang ditulis tangan oleh perawat.
Gua mengecek saturasi oksigen yang tertera. Yang menunjukkan tekanan parsial oksigen milik Fira berada di bawah standar.
“Udah di kasih apa, Dok?” Tanya gua lagi, merujuk ke obat yang sudah diberikan ke Fira.
“Azitromisin, Dok…” Jawabnya singkat.
“Hhh… Ada baikizumab?” Tanya gua, yang lantas di respon oleh si dokter dengan gelengan kepala.
Gua kembali beralih menatap Fira. Saat ini yang ia butuhkan bukan hanya Azitromisin, pati anti-IL-6 yang lebih cocok untuk cytokine storm. Gua beranjak menuju ke nurse station nggak jauh dari bangsal lalu menuliskan nama obat di atas kertas dan menyodorkannya ke salah seorang perawat yang berjaga. “Sus, minta tolong Dokter Deden untuk request obat ini ke Singapore”
“Oh Baik, dok…” Balasnya.
“Bilang Lian yang minta…” Gua menambahkan.
Benar kata Dokter Deden; nggak banyak yang bisa gua lakukan di sini. Karena nggak ada obat yang tepat. Yang bisa kami lakukan adalah memberikan perawatan maksimal dengan alat dan obat-obatan seadanya.
Saat gua masih berkutat di Nurse station, terdengar suara riuh derap langkah para perawat dan dokter ber-APD. Gua kembali masuk ke bangsal perawatan dan mendapati, layar monitor pemantau saturasi oksigen milik Fira menunjukan angka yang turun dengan cepat, diiringi suara bip yang nggak nyaman di telinga.
Gua menyeruak kerumunan perawat dan berdiri tepat di sisi ranjang.
“Remdesivir ada?” Tanya gua.
“Ada dok… Tolong sus…” Jawab si Dokter yang sejak tadi berada di sana ke seorang perawat di sebelahnya.
Si perawat lantas berbalik dan bersiap pergi. Ia kembali beberapa saat berikutnya sambil membawa alat suntik dan se-ampul cairan.
Gua meraih alat suntik yang sudah disiapkan oleh perawat. Menusukkan ujung jarum ke penutup ampul dan menarik pompa suntikan hingga berada di level 200mg.
Sebelum menyuntikkan Remdesivir, gua menoleh ke arah si dokter dan memintanya untuk mematikan ventilator. Tanpa keraguan, ia berbalik dan mematikan alat ventilator. Sementara, gua dengan cepat menyuntikkan dosis Remdesivir melalui selang infus.
Perlahan indikator angka pada alat monitor saturasi oksigen meningkat. Walau masih jauh dari angka normal namun paling nggak ada sedikit peningkatan.
Tapi, itu hanya berlangsung sebentar. Di saat para perawat dan dokter yang berada di sekitar ranjang mulai pergi satu persatu. Kondisinya malah kembali menurun. Kali ini bukan saturasi oksigennya, tapi detak jantungnya yang semakin lama terasa semakin nggak teratur.
Gua menggenggam tangannya yang terasa aneh dengan adanya sarung tangan brengsek ini. Lalu berbisik tepat di telinganya; “Ayo Fir, kamu bisa… Kamu kan udah janji mau bikin dunia mengerti aku…”
Sementara, pandangan gua mulai kabur karena air mata yang terus menggenang tanpa bisa gua seka. Gua sungguh nggak mampu kalau sampai harus kehilangannya.
Benar-benar nggak mampu.
“Jangan pergi dulu, Fir. Duniaku masih berantakan tanpa kamu...”
—
Caffeine - Kau Yang Telah Pergi
Kau yang tlah pergi
Saat saat terakhirku
Teringat denganmu
Yang terbayang kini
Dalam genggaman tanganmu
Dalam dekapan tubuhmu
Kurasakan saat-saat bersamamu
Kau tlah pergi
Tinggalkan maaf yang tak terucap
Dan takkan kembali
Tersimpan kini janjiku di hati
Hanya tangis sedih
Tak tertahankan tetes air mata
Yang jatuh saat engkau pergi
Dalam isak tangismu
Dalam desah nafasmu
Bersamamu tinggal sebuah kenangan
Kau tlah pergi
Tinggalkan maaf yang tak terucap
Dan takkan kembali
Tersimpan kini janjiku di hati
Kau yang tlah pergi
Tinggalkan maaf yang tak terucap
Dan takkan kembali
Tersimpan kini janjiku di hati
Tinggalkan maaf yang tak terucap
Dan takkan kembali
Tersimpan kini janjiku di hati
percyjackson321 dan 40 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup