- Beranda
- Stories from the Heart
BISIKAN LANTAI 7
...
TS
blank.code
BISIKAN LANTAI 7

PROLOG
Hujan jatuh seperti ribuan jarum perak menusuk kota Jakarta malam itu. Dari ketinggian lantai tujuh Apartemen Puncak Megah, tetesan air tampak seperti layar tirai yang bergerak lembut, memisahkan dunia nyata dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam. Gemuruh guntur sesekali menyambar, menyinari langit kelabu dengan kilatan putih kebiruan, menciptakan bayangan-bayangan aneh pada dinding-dinding kamar apartemen yang kosong.
Puncak Megah menjulang arogan di tengah kota, menara kaca dan beton yang mencakar langit dengan kesombongan tersendiri. Dari kejauhan, lampu-lampu gedung berkedip seperti bintang-bintang buatan, menipu mata dengan janji kemewahan dan keamanan. Tetapi ada satu bagian gedung yang selalu gelap, tidak peduli seberapa terang cahaya di sekitarnya—lantai tujuh.
Dalam keheningan koridor lantai enam, Maya Adisurya terbangun dengan napas terengah. Rambutnya yang hitam sebahu lengket oleh keringat dingin yang membasahi tengkuknya. Apartemen barunya terasa asing dan tidak ramah di tengah malam—dinding-dinding putih yang terlalu bersih, jendela besar yang menghadap ke kekosongan lantai di atasnya. Sudah tiga malam berturut-turut ia terbangun pada jam yang sama: pukul 3:07 dini hari.
"Hanya mimpi." bisiknya pada diri sendiri, meski instingnya mengatakan sebaliknya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Maya menyalakan lampu meja. Bayangan tubuhnya memanjang di dinding. Sebagai psikolog forensik, ia terbiasa menganalisis ketakutan—baik milik orang lain maupun miliknya sendiri. Tetapi ketakutan yang ia rasakan selama tiga malam terakhir ini berbeda. Lebih primitif. Lebih... personal.
Maya berjalan ke dapur, menuangkan segelas air, dan meneguknya perlahan. Matanya yang tajam dan gelap menatap ke refleksinya sendiri pada jendela. Di belakangnya, sekilas, ia melihat bayangan bergerak di sudut ruangan. Maya menoleh cepat, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Tentu saja tidak ada siapa-siapa.
tap... tap... tap...
Suara langkah-langkah halus terdengar dari lantai di atasnya. Maya menengadah, memandangi plafon apartemennya.
"Tidak mungkin," bisiknya lagi. Lantai tujuh seharusnya kosong. Ditutup sejak tragedi dua puluh tahun lalu.
Maya menggelengkan kepala, berusaha berpikir logis. Mungkin suara pipa. Mungkin ekspansi material bangunan. Mungkin—
"Pulang," sebuah bisikan samar terdengar.
Maya membeku. Suaranya begitu dekat, seolah seseorang berbisik langsung ke telinganya. Suara anak kecil. Suara seorang gadis.
Mengikuti naluri, Maya mengambil ponselnya dan mulai merekam. Sebagai peneliti, ia terlatih untuk mendokumentasikan segala hal yang anomali. Dan bisikan itu... jelas anomali.
Di luar, hujan semakin deras. Kilat menyambar, sejenak menerangi seluruh ruangan dengan cahaya putih kebiruan yang menyilaukan. Di sudut kamar, untuk sepersekian detik yang singkat namun mengejutkan, Maya melihat sosok seorang gadis kecil berdiri menatapnya—rambut hitam panjang yang diikat dua, gaun putih sederhana dengan noda gelap di bagian bawahnya.
"Melati?" Nama itu keluar begitu saja dari bibir Maya, tanpa ia sadari, seperti ingatan yang terkubur lama dan tiba-tiba muncul ke permukaan.
Tapi sosok itu menghilang secepat kemunculannya saat kegelapan kembali menyelimuti kamar. Maya bergegas ke sudut kamar, jantungnya berdegup kencang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tentu saja. Tapi kenapa lantai di tempat gadis itu berdiri terasa dingin sekali?
Dan yang lebih mengejutkan—mengapa ia menyebut nama Melati?
Maya kembali ke tempat tidurnya, mencatat pengalamannya dalam jurnal seperti yang selalu ia lakukan. Di tengah tulisannya, ia berhenti dan menyadari ada sesuatu yang aneh dengan catatannya. Tulisan tangannya berubah di beberapa bagian, menjadi tulisan yang lebih kecil dan berantakan—seperti tulisan anak-anak.
Di sudut halaman, ada gambar spiral kecil yang tidak ia ingat telah menggambarnya.
Selama beberapa saat, Maya hanya duduk diam, mendengarkan suara hujan yang mengetuk jendela. Petir menyambar, bayangan-bayangan bermain di dinding kamarnya, dan di tengah cahaya yang berkedip itu, refleksinya di cermin seolah bergerak dengan gerakan yang berbeda dari dirinya.
"Pulang" bisik bayangan itu.
Keesokan paginya, hujan masih turun rintik-rintik, lebih lembut dari badai semalam. Jakarta bangun dengan wajah basah dan langit kelabu. Inspektur Darmawan menyeruput kopi pahitnya sambil menatap keluar jendela kantornya. Usianya yang sudah menginjak 50 tahun terasa semakin berat, terutama saat hujan seperti ini—luka tembak di bahu kanannya berdenyut nyeri, mengingatkannya pada kasus yang nyaris merenggut nyawanya lima tahun lalu.
Telepon di mejanya berdering.
"Inspektur Darmawan," ia menjawab dengan suara dalam yang sedikit serak akibat terlalu banyak merokok. Kebiasaan yang sedang berusaha ia tinggalkan.
"Pak, ada laporan penemuan mayat di Apartemen Puncak Megah, lantai enam," suara muda di ujung telepon melapor dengan nada profesional. "Korban laki-laki, usia sekitar awal 40-an. Dokter Budi Pratama."
Darmawan mengerutkan kening. "Lantai enam?"
"Ya, pak. Tepat di bawah lantai tujuh."
Darmawan menghela napas berat. Ini korban ketiga dalam dua bulan. Semua ditemukan di lantai-lantai yang menghadap langsung ke lantai tujuh yang misterius itu.
"Aku akan segera ke sana," jawabnya pendek sambil menutup telepon.
Ia membuka laci mejanya, mengeluarkan map berisi catatan kasus dua korban sebelumnya: Hendri Santoso, mahasiswa arsitektur, 22 tahun; dan Lina Wijaya, eksekutif muda, 28 tahun. Keduanya ditemukan tewas dengan cara yang sama—jendela terbuka, tubuh tergeletak di lantai dengan ekspresi aneh, seperti senyuman yang dipaksakan.
Darmawan mengambil mantel hujannya, menatap foto-foto di map untuk terakhir kali sebelum menutupnya. Ada sesuatu yang familiar dari semua kasus ini, sesuatu yang mengusik ingatannya tentang tragedi dua puluh tahun lalu. Ia butuh bantuan khusus untuk kasus ini.
Ia mengambil ponselnya, mencari sebuah kontak yang sudah lama tidak ia hubungi. Dr. Maya Adisurya—mantan mahasiswanya yang kini menjadi psikolog forensik ternama. Jarinya berhenti sejenak sebelum menekan tombol panggil. Apakah bijaksana memanggilnya kembali ke Jakarta, setelah apa yang terjadi dulu?
Petir menyambar di kejauhan. Darmawan menatap ke arah jendela, dan untuk sesaat, ia seolah melihat bayangan seorang gadis kecil di kaca yang basah oleh tetesan hujan—gadis dengan rambut diikat dua dan gaun putih.
Ketika ia mengedipkan mata, bayangan itu hilang.
Darmawan menekan tombol panggil.
Di TKP, Apartemen Puncak Megah tampak lebih suram dari biasanya. Polisi dan tim forensik berseliweran di lobi mewah yang kini menjadi pusat perhatian penghuni yang penasaran. Gunawan, pengelola apartemen—pria kurus tinggi dengan wajah oval keriput—mondar-mandir dengan gelisah, berulang kali mengusap keringat di dahinya meski udara cukup dingin.
"Ini akan merusak reputasi kami," keluhnya pada siapa saja yang mau mendengar. "Tiga kasus dalam dua bulan. Orang-orang akan mulai bertanya-tanya."
Darmawan mengabaikannya, melangkah masuk ke lift menuju lantai enam. Di dalam lift, ia berdiri diam, memperhatikan tombol-tombol lantai. Ada sesuatu yang aneh—antara tombol 6 dan 8, tombol lantai 7 tertutup selotip hitam. Sudah bertahun-tahun, tidak ada yang diizinkan mengakses lantai tersebut.
Lift berhenti di lantai enam. Koridor apartemen yang biasanya sunyi kini dipenuhi petugas. Darmawan melangkah menuju unit yang ditandai dengan garis polisi.
Di dalam, pemandangan yang sudah ia duga: seorang pria tergeletak telentang di dekat jendela yang terbuka. Angin dan gerimis sesekali menerobos masuk, membuat tirai putih melambai-lambai seperti hantu. Dokter Budi Pratama terbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit dengan ekspresi aneh—campuran ketakutan dan... kepuasan?
"Sama seperti dua korban sebelumnya," kata dokter forensik yang berjongkok di samping mayat. "Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Kemungkinan besar bunuh diri."
Darmawan mengangguk, tapi instingnya mengatakan ada yang lebih dari sekadar bunuh diri. Ia memperhatikan ruangan itu—rapi, bersih, seperti kepribadian dokter itu sendiri. Di meja kerjanya, sebuah jurnal terbuka menampilkan catatan terakhir korban.
"Mereka memanggilku. Dari balik cermin, dari langit-langit, dari lantai di atas. Bisikan-bisikan itu semakin jelas. Mungkin aku sudah gila, tapi aku yakin ada sesuatu di lantai tujuh yang menginginkan sesuatu dariku. Dan anehnya, aku merasa harus menurutinya."
Di samping jurnal itu, ada beberapa foto polaroid yang menampilkan sudut-sudut apartemen dengan tulisan tangan: "Anomali suhu -5°C," "Gangguan elektromagnetik terdeteksi," "Frekuensi aneh terekam pada 3:07 AM."
Darmawan mengambil salah satu foto—foto cermin kamar mandi dengan tulisan kabur yang tampak seperti ditulis dengan jari di permukaan berembun:"Ingatlah."
"Inspektur," panggil salah satu petugas. "Kami menemukan ini di komputer korban. Sepertinya rekaman dari kamera pengawas yang dia pasang di apartemennya."
Video itu menunjukkan Budi Pratama tertidur di tempat tidurnya. Waktu di sudut bawah menunjukkan pukul 3:05 pagi. Dua menit kemudian, dokter itu tiba-tiba bangun, tapi gerakannya aneh—kaku dan tidak natural. Ia berjalan perlahan ke arah jendela, membukanya, lalu berdiri diam menatap keluar selama beberapa menit. Kemudian, dengan gerakan lambat, ia menoleh ke arah kamera. Wajahnya menampilkan senyum yang sama sekali tidak mirip dengan ekspresinya yang biasa—terlalu lebar, terlalu... lapar.
Video itu berakhir tiba-tiba.
"Tunggu," Darmawan mengernyitkan dahi. "Coba putar lagi bagian di mana ia menoleh ke kamera."
Petugas itu menurutinya. Darmawan memperhatikan dengan seksama. Tepat sebelum video berakhir, ada kilatan bayangan di belakang Budi—seperti sosok kecil yang berdiri di sudut kamar.
"Bisa diperbesar dan diperjelas?" tanyanya.
Setelah beberapa saat pengaturan, bayangan itu sedikit lebih jelas—sosok yang tampak seperti anak kecil dengan rambut panjang yang diikat dua.
Darmawan merasakan tengkuknya meremang. Ia pernah melihat sosok itu sebelumnya—dua puluh tahun lalu, dalam kasus kematian keluarga Wijaya.
"Hubungi Dr. Maya Adisurya," perintahnya pada asisten. "Katakan padanya ini darurat. Kita butuh keahliannya sekarang."
Saat petugas itu bergegas pergi, Darmawan melangkah ke arah jendela yang terbuka. Dari sini, ia bisa melihat jendela-jendela gelap lantai tujuh yang menatap balik seperti mata kosong yang mengawasi. Untuk sesaat, ia merasa salah satu jendela itu tidak kosong—ada wajah pucat seorang gadis kecil yang menempel pada kaca, menatap langsung ke arahnya.
Darmawan mengerjapkan mata, dan sosok itu hilang.
Di luar, hujan kembali turun dengan deras, membasahi Jakarta yang seolah menangis untuk satu lagi nyawa yang terenggut oleh bisikan dari lantai tujuh.
Di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Maya Adisurya melangkah keluar dari area kedatangan dengan langkah tegap yang menyembunyikan kegugupannya. Sepuluh tahun berlalu sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di Jakarta—kota yang menyimpan terlalu banyak kenangan yang ingin ia lupakan.
Udara Jakarta menyapanya dengan kelembapan yang familiar—campuran polusi, panas, dan sesuatu yang khas Indonesia yang tidak bisa ia temukan di manapun. Maya menghirup napas dalam-dalam, merasakan kota ini kembali merayap masuk ke dalam pori-porinya.
"Selamat datang kembali, Dr. Adisurya."
Maya menoleh dan menemukan sosok yang sudah ia kenal dengan baik—Inspektur Darmawan—menunggunya dengan senyum lelah. Meski sudah bertambah usia, dengan rambut yang kini lebih banyak putihnya daripada hitamnya, mata pria itu masih setajam yang Maya ingat—mata yang bisa melihat menembus topeng dan kebohongan.
"Inspektur," Maya mengangguk formal, menyembunyikan rasa hangat melihat mentornya dulu. "Atau sekarang sudah naik pangkat?"
Darmawan tertawa kecil. "Masih inspektur. Kau tahu aku tidak pandai berpolitik di kantor."
Ada keheningan canggung sejenak. Terlalu banyak yang tidak terkatakan di antara mereka—tentang kepergian Maya yang tiba-tiba, tentang kasus-kasus yang ditinggalkan, tentang rahasia-rahasia yang terkubur.
"Jadi," Maya memecah keheningan, "tiga kasus bunuh diri yang identik."
Darmawan mengangguk, menuntun Maya menuju mobil dinasnya yang diparkir di area jemput. "Tiga korban dalam dua bulan. Semua tinggal di unit yang menghadap langsung ke lantai tujuh Apartemen Puncak Megah."
Maya merasakan jantungnya berdebar lebih cepat mendengar nama apartemen itu. "Puncak Megah," ulangnya pelan, seolah mengucapkan nama tempat keramat.
"Ya," Darmawan membuka pintu mobil untuk Maya. "Tempat yang kau hindari selama sepuluh tahun terakhir."
Maya menatap mantan mentornya dengan tajam. "Aku tidak menghindarinya. Aku hanya tidak punya alasan untuk kembali."
"Hingga sekarang," Darmawan menutup pintu dan berjalan ke sisi pengemudi.
Di dalam mobil, sementara mereka meninggalkan area bandara menuju kemacetan Jakarta, Maya membuka file kasus di tabletnya—foto-foto TKP dan korban yang Darmawan kirimkan melalui email.
"Semua korban ditemukan dengan ekspresi yang sama," gumam Maya, memperhatikan senyuman aneh di wajah para korban. "Seperti mereka melihat sesuatu yang... membahagiakan sekaligus mengerikan."
"Dan semuanya meninggalkan catatan atau rekaman yang menyebutkan 'bisikan' atau 'panggilan'," tambah Darmawan. "Seolah-olah ada sesuatu yang memanggil mereka."
Maya terus membaca detail kasus, hingga matanya tertuju pada nama korban kedua: Lina Wijaya.
"Wijaya?" Maya mengangkat wajahnya, menatap Darmawan dengan tatapan menyelidik. "Seperti keluarga Wijaya yang..."
"Ya," potong Darmawan. "Sepupu jauh dari keluarga yang sama. Aku sudah memeriksa silsilah keluarganya."
Maya kembali menatap file di tangannya, mencoba menyembunyikan getaran di jarinya. "Dan apartemen ini—Puncak Megah—dibangun di atas tanah bekas panti asuhan yang ditutup karena skandal, bukan?"
"Kabar angin mengatakan begitu," Darmawan mengangguk sambil fokus menyetir. "Tapi dokumen-dokumen resmi tentang hal itu sulit ditemukan. Seolah-olah ada yang berusaha menghapus sejarah tempat itu."
Hujan mulai turun lagi saat mereka memasuki pusat kota Jakarta. Maya menatap keluar jendela, memperhatikan gedung-gedung pencakar langit yang bermunculan selama ketidakhadirannya. Tapi di antara perubahan-perubahan itu, ada sesuatu yang tidak berubah—perasaan bahwa kota ini menyimpan terlalu banyak rahasia, terlalu banyak bisikan.
"Aku sudah menyiapkan kamar hotel untukmu," kata Darmawan memecah keheningan.
"Tidak," Maya menggeleng tegas. "Aku ingin tinggal di Puncak Megah. Unit di lantai enam yang menghadap langsung ke lantai tujuh, jika memungkinkan."
Darmawan menoleh tajam. "Kau yakin itu ide bagus? Tiga orang sudah tewas di unit-unit serupa."
Maya tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Justru itu gunanya aku di sini, bukan? Untuk mencari tahu apa yang terjadi. Aku butuh observasi langsung."
"Aku tidak mau kehilangan psikolog forensik terbaikku karena kecerobohan," Darmawan menggeleng.
"Mantan mahasiswamu ini sudah dewasa, Inspektur," Maya menjawab dengan nada yang lebih lembut. "Aku tahu apa yang kulakukan."
Darmawan menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi dengan satu syarat—aku memasang kamera pengawas dan alarm darurat di unitmu. Dan kau harus melapor padaku setiap enam jam."
Maya mengangguk. "Deal."
Mereka berkendara dalam diam selama beberapa saat. Hujan semakin deras, menciptakan tirai air yang membuat pemandangan di luar kabur. Entah hanya perasaannya saja atau memang kenyataan, tetapi Maya merasa hujan selalu lebih deras saat ia berada di Jakarta.
"Apa yang tidak kau ceritakan padaku, Inspektur?" tanya Maya tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.
Darmawan memperhatikan mantan mahasiswanya dari sudut mata. Maya selalu memiliki kemampuan membaca orang—salah satu kualitas yang membuatnya menjadi psikolog forensik yang hebat.
"Ada saksi," Darmawan akhirnya menjawab. "Seorang wanita tua bernama Nyonya Hartini, tetangga unit korban terakhir. Ia mengklaim melihat korban berjalan seperti 'orang yang dikendalikan' menuju jendela tengah malam. Dan ia juga mengklaim melihat sosok seorang gadis kecil di koridor malam itu."
"Gadis kecil?" Maya menoleh cepat.
"Ya. Dengan rambut hitam diikat dua dan gaun putih. Persis seperti gambaran Melati Wijaya."
Nama itu mengirimkan gelombang dingin ke tulang belakang Maya, meski ia berusaha keras tidak menunjukkannya.
"Dan kau percaya pada kesaksian wanita tua ini?" tanya Maya, berusaha terdengar skeptis.
"Aku percaya ada sesuatu yang tidak beres di Puncak Megah," jawab Darmawan hati-hati. "Sesuatu yang terkait dengan kasus dua puluh tahun lalu. Kasus yang tidak pernah benar-benar ditutup."
Maya terdiam sejenak. "Kau ingin aku menyelidiki kasus bunuh diri ini, atau kau ingin aku membuka kembali kasus keluarga Wijaya?"
Darmawan akhirnya menatap Maya ketika mereka berhenti di lampu merah. "Aku rasa keduanya terhubung, Maya. Dan entah bagaimana, kau adalah kunci untuk memahami hubungan itu."
Maya mengalihkan pandangannya kembali ke jendela. Di refleksi kaca yang basah oleh hujan, untuk sesaat, ia seolah melihat wajah lain menumpuk dengan wajahnya sendiri—wajah seorang gadis kecil dengan mata yang terlalu tua untuk usianya.
"Aku hanya berharap kau tahu apa yang kau lakukan dengan membawaku kembali ke sini," bisik Maya.
Lampu berubah hijau, dan Darmawan melajukan mobilnya kembali. Dalam keheningan, keduanya tahu ada sesuatu yang lebih besar menunggu mereka. Sesuatu yang telah lama menunggu kepulangan Maya.
Quote:
Quote:
Diubah oleh blank.code 22-05-2025 12:08
ardian76 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.1K
18
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
blank.code
#9
Bab 4 – Suara-suara dari Atas
Pukul 02.41 dini hari.
Maya Adisurya terbangun. Napasnya berat. Tubuhnya seakan menolak tidur sejak ia memasuki Puncak Megah. Selimut terasa dingin dan lembap. Langit-langit unit 6B tampak lebih gelap dari biasanya—seperti tidak memantulkan cahaya lampu malam di sudut ruangan.
Ia menoleh ke arah jendela. Tirai tak bergerak, tapi di luar sana hujan masih turun rintik-rintik. Hujan Jakarta yang tidak pernah tidur, seperti kota ini menyimpan terlalu banyak airmata yang tak sempat jatuh di masa lalu.
Di kejauhan, terdengar suara jam tua berdentang tiga kali. Lalu hening.
Maya hampir kembali memejamkan mata ketika suara itu datang.
Tap... tap... tap...
Langkah kecil. Dari atas. Tertahan. Ragu. Seperti seseorang—atau sesuatu—sedang mencari pijakan di antara dua dunia.
Ia menahan napas. Langkah itu berhenti tepat di atas posisinya. Di langit-langit unit 6B. Lantai tujuh.
Maya duduk perlahan. Ia mengambil perekam suara dan menekan tombol rekam.
“Catatan investigasi. Suara langkah terdengar pukul 03.04. Tiga hentakan. Berat badan anak kecil. Lokasi: langit-langit kamar tidur.”
Suara itu datang lagi.
Tap... tap... tap...
Bergerak ke arah dapur.
Ia bangkit. Tak menyalakan lampu. Dalam gelap, ia bergerak pelan seperti penyusup di rumahnya sendiri. Di ruang tengah, ia mendongak. Satu retakan kecil membelah langit-langit—retakan baru. Ia yakin itu belum ada kemarin.
Kemudian, suara... tawa. Bukan tawa keras. Hanya suara cekikikan anak kecil. Ringan, tapi menggema di dalam kepala Maya.
Lalu terdengar bisikan:
“Main, yuk...”
Maya menggenggam buku catatannya erat. Suhu ruangan turun beberapa derajat. Tidak cukup untuk membuatnya menggigil, tapi cukup untuk membuat dinding kamar mengembun.
Ia menulis:
03.07 – suara tawa terdengar. Kemungkinan besar anak perempuan. Suara menyerupai Melati. Pesan: ajakan bermain.*
Ia mematikan perekam. Lalu terdengar ketukan dari jendela.
Padahal jendela itu berada di lantai enam.
Maya melangkah pelan. Tirai bergerak pelan meski tak ada angin. Ia menyingkapnya perlahan, dan di balik kaca, samar dalam bayangan hujan, ia melihat wajah. Wajah seorang anak perempuan dengan rambut panjang diikat dua.
Melati.
Atau sesuatu yang ingin terlihat seperti Melati.
Ketika Maya menyentuh kaca, wajah itu menghilang. Hanya pantulan dirinya yang tersisa—tapi sesuatu di pantulan itu bergerak lebih lambat, seolah menunggu Maya untuk menyadari perbedaannya.
Pagi harinya, Maya duduk bersama Darmawan di lobi. Ia memutar ulang rekaman semalam di ponselnya. Darmawan mendengarkan dengan dahi mengerut.
“Langkahnya... jelas. Tapi tawa ini...” Ia menggoyangkan kepala. “Kau yakin ini bukan gangguan elektronik?”
“Tidak ada alat lain di ruangan. Tidak ada saluran terbuka. Aku menyalakan perekam pada saat itu juga. Aku mendengarnya langsung,” ujar Maya tegas.
Darmawan menghela napas. “Kau perlu istirahat, Maya.”
“Aku tidak ke sini untuk istirahat,” jawabnya. “Aku ingin bicara dengan Nyonya Hartini lagi. Aku rasa dia tahu lebih banyak dari yang ia ceritakan.”
Darmawan menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
Nyonya Hartini menyambut mereka di unit 6A dengan senyum lelah dan mata yang lebih gelap dari sebelumnya.
“Saya tahu kalian akan datang,” ujarnya pelan.
“Bu Hartini,” Maya memulai, “semalam saya mendengar suara dari atas. Langkah. Tawa. Ketukan di jendela. Dan... Melati.”
Wanita tua itu mengangguk perlahan, lalu berkata:
“Mereka hanya datang kepada yang pernah kehilangan.”
Maya mengernyit. “Maksudnya?”
“Lantai tujuh adalah tempat kehilangan. Bukan karena gedung ini dikutuk. Tapi karena tempat itu... menyimpan sisa-sisa yang tak sempat pergi. Anak-anak. Bisikan. Permintaan. Tangisan. Mereka tak bisa naik. Tapi juga tak bisa turun.”
“Bu Hartini, apa maksud Ibu dengan ‘mereka tak bisa naik tapi juga tak bisa turun’?” tanya Darmawan.
Wanita itu menghela napas panjang, seperti menarik kenangan dari tempat yang sangat jauh.
“Ada yang bilang arwah anak-anak lebih mudah tertahan. Karena mereka meninggal sebelum waktunya. Karena kematian mereka... tidak adil. Mereka menempel pada tempat yang terakhir mereka tahu sebagai rumah. Tapi yang di sini... mereka tak hanya tertahan. Mereka dibungkam.”
“Dibungkam oleh siapa?” desak Maya.
Hartini menatap Maya lekat-lekat. “Tanyakan itu pada lantai tujuh. Tempat itu... dulu tidak sekadar ruang. Ia tempat berkumpul. Dan mereka yang berkumpul di sana bukan hanya anak-anak.”
“Kelompok?” bisik Maya.
Hartini tak menjawab. Ia berdiri perlahan, berjalan ke lemari kayu dan mengambil satu benda: boneka kain kecil, lusuh, satu matanya hilang.
“Saya menemukan ini di saluran ventilasi. Tiga hari lalu. Sama seperti boneka yang pernah saya lihat waktu Melati masih hidup. Dan waktu itu, ibumu datang mencari... sesuatu.”
Maya membeku. “Ibuku?”
Hartini mengangguk. “Dia datang tengah malam. Membawa tas besar. Saya sempat bertanya kenapa. Tapi dia cuma bilang: ‘Aku harus menyembunyikannya.’”
“Apa yang dia sembunyikan?” suara Maya bergetar.
“Entahlah. Tapi besok paginya, lantai tujuh disegel. Dan seminggu kemudian, berita tentang keluarga kalian ada di koran.”
Darmawan menoleh cepat ke Maya. “Kau tidak pernah cerita soal ini.”
“Karena aku tidak tahu,” jawab Maya pelan. “Atau mungkin... aku pernah tahu tapi melupakannya.”
Hartini menyerahkan boneka itu pada Maya.
“Simpan. Kadang mereka kembali ke barang yang dulu mereka cintai.”
Malam itu, Maya tidak bisa tidur. Ia duduk di lantai, menatap boneka di meja, dan menyalakan perekam.
“Catatan 18 Mei. Hari kelima. Nyonya Hartini mengungkapkan kemungkinan peran ibuku dalam peristiwa dua puluh tahun lalu. Aku belum tahu harus mempercayai atau tidak. Tapi terlalu banyak kepingan yang perlahan cocok.”
Ia berhenti sebentar. Memandang cermin di dinding.
“Aku ingin tahu siapa aku sebenarnya. Dan kenapa semua jejak hidupku selalu membawaku kembali ke tempat ini.”
Lampu kamar berkedip sekali. Lalu padam.
Dalam kegelapan, Maya mendengar langkah lagi. Kali ini bukan dari langit-langit. Tapi dari dalam unit. Dari arah dapur.
Ia berdiri perlahan, membuka ponsel, menyalakan lampu senter.
Lorong dapur kosong. Tapi suara langkah tak berhenti.
Tap. Tap. Tap...
Datang dari kamar mandi.
Maya meraih obeng kecil dari meja. Napasnya dangkal. Ia membuka pintu kamar mandi perlahan.
Kosong.
Tapi cermin kamar mandi penuh embun, meski air tidak menyala.
Dan di tengah embun, muncul tulisan besar:
JANGAN LUPAKAN MELATI. JANGAN ULANGI KESALAHAN MEREKA.
“Kesalahan siapa?” tanya Maya lirih.
Tiba-tiba, tulisan di cermin berubah.
Huruf-hurufnya seperti dicoret dan membentuk kalimat baru:
DIA SUDAH MELIHATMU.
Maya mundur. Tapi pantulan di cermin tetap berdiri.
Lalu tersenyum.
Dan matanya meneteskan darah.
Keesokan paginya, Maya duduk di ruang pengawasan bersama Darmawan. Mereka menatap layar monitor yang menampilkan peta sirkuit kamera dan sensor suhu gedung. Roni, petugas keamanan, membantu mereka membuka arsip digital struktur bangunan.
“Coba tampilkan denah asli tahun 2005,” pinta Maya.
Roni mengklik beberapa folder, hingga tampillah tampilan tiga dimensi gedung Puncak Megah. Denah itu terlihat lengkap—dari basement hingga atap. Tapi ketika Maya mengarahkan kursor ke lantai tujuh, ia mengerutkan dahi.
“Lihat ini,” ujarnya sambil memperbesar denah.
“Koridornya berbeda,” gumam Darmawan.
“Bukan hanya koridor. Ruangannya juga.” Maya menunjuk area tengah denah lantai tujuh. “Di sini... ada ruang besar yang tidak tampak dalam denah saat ini.”
Roni berpaling. “Itu tak pernah dicantumkan di dokumen renovasi. Kalau tidak ada surat izin, berarti ruang itu tidak resmi.”
“Atau sengaja disembunyikan,” kata Maya.
Ia menggerakkan peta digital, lalu menumpuknya dengan denah saat ini. “Ruang ini... sekarang tak terdaftar. Tapi secara struktural, ruang itu masih ada.”
“Ruang tersembunyi di lantai tujuh,” Darmawan menggumam. “Tempat yang tidak terdaftar. Mungkin itu yang dimaksud Hartini—tempat berkumpul.”
Maya berdiri. “Kita harus ke sana. Tapi tidak bisa sembarangan. Kalau tempat itu benar-benar disembunyikan... mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar dinding.”
Malam itu, Maya menyusun peta buatan tangan berdasarkan penemuan mereka. Ia menandai titik yang tampaknya menjadi pusat dari lantai tujuh—di antara unit 7A dan 7C. Dalam catatan tebalnya, ia menulis:
Kemungkinan besar ruang tersembunyi ini adalah tempat aktivitas nonresmi yang melibatkan keluarga Wijaya. Simbol spiral, pengulangan nama Melati, dan gangguan supranatural semuanya berpulang ke titik ini.
Pukul 02.58, ia mendengar langkah di koridor. Kali ini, bukan dari atas.
Tapi dari luar unitnya.
Tap... tap...
Maya berjalan ke pintu dan menempelkan telinga.
Suara bisikan terdengar dari luar.
“Buka pintunya... kami ingin bermain...”
Dengan napas tertahan, Maya mengintip dari lubang pintu.
Kosong.
Tapi ada sesuatu di lantai. Kertas. Ia membuka pintu cepat, memungutnya, lalu segera menutup kembali.
Kertas itu lusuh, berwarna kuning pudar. Ditulis tangan.
Aku melihat apa yang Ayah lakukan. Aku mencoba menghentikannya. Tapi mereka lebih kuat. Mereka memakai cermin. Mereka menyembunyikan semuanya di sana. Maafkan aku, Maya. – Melati.
Tangan Maya gemetar. Ia duduk perlahan di lantai.
Melati tahu. Melati mencoba memperingatkannya. Dan ayah mereka... terlibat.
Di sisi kertas itu, sebuah simbol spiral tergambar rapi. Kali ini dengan empat titik di sudutnya—seperti penanda arah atau mata.
“Cermin...” Maya memikirkan tulisan itu. “Mereka menyembunyikan semuanya di cermin...?”
Keesokan harinya, Maya bertemu Darmawan di kafe bawah gedung.
“Ayahku... mungkin bukan hanya arsitek bangunan. Mungkin dia dalangnya.”
Darmawan menatapnya. “Kau yakin?”
“Aku belum yakin. Tapi semua petunjuk mengarah ke situ. Cermin, spiral, ruangan tersembunyi, dan... Melati.”
“Lalu apa langkah kita selanjutnya?”
Maya mengeluarkan fotokopi denah dari tasnya. “Kita cari pintu ke ruang itu. Tapi tidak lewat lift atau tangga utama. Kita ikuti sirkuit ventilasi dan saluran pemeliharaan.”
Darmawan menyandarkan tubuhnya. “Kau sadar, semakin dalam kita masuk... semakin berbahaya.”
“Aku tahu,” jawab Maya pelan. “Tapi aku sudah terlalu jauh untuk mundur.”
Diubah oleh blank.code 21-05-2025 21:24
iskandar.ark947 dan ardian76 memberi reputasi
2
