- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.4K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1007
007-C Shadows of Betrayal (Cont)
Spoiler for 007-C Shadows of Betrayal (Cont):
Belum lama kami berdua keluar dari kedai, terdengar langkah kaki mendekat. Gua dan Fira kompak menoleh ke belakang. Terlihat Natalie berjalan cepat mendekat ke arah kami berdua.
“Gua belum selesai…”Ucapnya.
"Buat gue udah," jawab gua singkat, sambil terus melangkah.
"Nggak! Belum!" suaranya meninggi, membuat beberapa orang yang duduk di bangku teras kedai ikut menoleh.
Fira refleks menggenggam tangan gua lebih erat. Tapi gua berhenti. Melirik sebentar ke arah Fira, lalu bertanya pelan, "Boleh?"
Fira mengangguk pelan. Tatapannya hangat, nggak ada sedikit pun rasa curiga atau takut kehilangan.
Gua melepas genggamannya, lalu berbalik menghadap Natalie yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depan.
"Apa lagi?" tanya gua.
Ia menatap gua lama. Ada sesuatu yang bergerak di matanya; marah, bingung, atau mungkin sedih, gua nggak yakin yang mana.
"Gua cuma pengen tau satu hal…" katanya lirih. "Kenapa lo bisa se-ekspresif itu sama dia?" Ia melirik ke arah Fira. "Sama gua, lo nggak pernah begitu? kenapa? Kenapa lo terlihat jauh berbeda..."
Gua mau jawab, tapi Fira justru yang lebih dulu melangkah maju. Ia berdiri di antara gua dan Natalie. Lalu mulai bicara dengan suara yang tenang, nyaris tanpa intonasi.
"Dokter tau semuanya tentang Mas Lian?"
Natalie mengangguk mantap. "Iya..."
Fira hanya tersenyum kecil menanggapi jawaban Natalie, lalu berkata pelan, "Nggak. Kamu nggak tau…"
Natalie terlihat sedikit tersinggung, tapi Fira nggak berhenti di situ.
"Mas Lian itu punya gangguan. Dia nggak bisa baca ekspresi wajah orang. Dan dia juga kesulitan menunjukkan ekspresinya sendiri. Sejak kecil…" Suaranya pelan, tapi jelas.
"Jadi... selama ini, semua ekspresi yang Dokter lihat dari dia, itu bukan sesuatu yang alami. Dia belajar. Dari buku, dari potongan gambar, dari film. Dari latihan berulang-ulang. Supaya dia bisa menyesuaikan diri di dunia yang kejam buatnya…”
“…di dunia yang kita anggap gampang..." Fira menambahkan.
Natalie terlihat membeku.
"Dokter tau kenapa dia bisa ketawa bareng aku? Atau bercanda, atau ngobrol ngalor-ngidul soal hal-hal nggak penting?" Fira melanjutkan, matanya lurus menatap Natalie.
“…” Natalie menggeleng pelan.
"…Karena aku spesial! Dan aku akan terus belajar, berusaha buat ngerti dia. Aku yang akan bikin dunia mengerti dirinya!.."
Natalie masih terdiam. Tatapannya sekarang berubah. Nggak lagi penuh dendam atau ego.
Gua mendekat ke Fira. Menggenggam tangannya lagi. Ia menoleh sebentar ke arah gua dan tersenyum.
Kami berdua berbalik. Melangkah pergi meninggalkan Natalie yang masih berdiri sendirian di pelataran parkir kedai kopi. Nggak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya.
Langit sore mulai berubah warna. Angin membawa bau daun kering dari arah hutan kota yang hanya beberapa ratus meter dari sana. Tempat favorit gua kala butuh ketenangan.
"Ke danau, yuk?" ajak gua pelan.
Gua mengangguk. Kami berjalan berdampingan, tangan kami masih saling menggenggam. Di belakang sana, Natalie masih berdiri, diam, dengan tatapan kosong yang entah mengarah ke mana.
Tapi gua nggak lagi menoleh. Yang ada di depan gua sekarang adalah Fira satu-satunya orang yang nggak cuma berusaha ngerti gua, tapi juga ngajarin gua caranya ngerti orang lain.
—
Gua dan Fira duduk di pembatas beton tepian danau. Sama-sama menatap ke depan, ke arah permukaan air keruh yang memantulkan cahaya matahari sore keemasan. Ia menyandarkan kepalanya di bahu gua, lalu bicara lirih; “Kamu kapan tau tentang semuanya?”
“Waktu itu… Waktu aku balik dari SG dan nggak sengaja satu pesawat sama dia”
“Sama Dokter Natalie?” Tanya Fira seraya menegakkan kepalanya.
“Iya. Dan dia cerita semuanya… Tentang hubungan rahasia mereka dan alasan Nat ngelaporin aku ke dewan etik…” Gua menjelaskan.
“Ooh… Kamu kenapa nggak cerita ke aku?” Tanyanya lagi.
Gua menggeleng.
“Nggak… Takut, cerita Natalie cuma bualan dia aja biar nggak merasa bersalah. Makanya aku nunggu sampai saat ini dateng”
“Ooh… gitu…” Gumamnya pelan. Kemudian kembali merebahkan kepalanya di bahu gua.
Kami kembali tenggelam dalam diam selama beberapa saat. Hingga akhirnya, Fira kembali bertanya.
“Sebenernya aku penasaran banget dari dulu…” Ucapnya, lalu melanjutkan; “Bolehkan aku tanya-tanya?”
“Boleh…” Jawab gua.
“Kamu nggak bakal bilang aku bawel kan?”
“Nggak…”
“Gimana sih rasanya otak saat disentuh?” Tanyanya, seraya kembali menegakkan kepala dan menatap gua dengan dahi berkerut.
Gua tersenyum sebentar, awalnya gua kira ia akan bertanya tentang hal-hal yang serius tentang hubungan kami berdua.
“Mmmm… bayangin aja campuran tahu dan jeli. Kira-kira begitulah teksturnya…” Gua mencoba menjelaskan dengan analogi. Karena tentu saja sulit mendeskripsikannya, gua pun belum pernah menyentuhnya dengan tangan telanjang.
“Oh…”
“… Bedanya, otak akan berdenyut pelan. Terutama saat pasien bernapas dan jantung memompa darah” Gua menambahkan.
“Whaat!… Terus, terus, emang bener ya kalau pas operasi otak itu pasiennya harus dalam kondisi sadar?” Tanyanya lagi, kini ekspresi wajahnya semakin terlihat penasaran.
Gua tersenyum lagi.
“Kenapa sih? kenapa tiba-tiba nanya hal-hal kayak gini?” Gua balik bertanya.
“Ya gapapa, boleh dong aku tau tentang pekerjaan pacar aku? jadi kalo ada pertanyaan-pertanyaann aku bisa jawab. Nggak kayak orang bego yang plonga-plongo nggak ngerti kerjaan pacarnya…” Fira menjelaskan.
“Ooh, gitu…”
“Buruan jawab yang tadi…” Tagihnya.
“Pada dasarnya, otak itu nggak punya reseptor rasa sakit. Jadi, pasien biasanya nggak bakal ngerasa apa-apa saat otaknya di operasi… Dan untuk area yang berhubungan dengan pengelolaan bahasa, biasanya kita bakal mengajukan pertanyaan kepada mereka saat proses operasi, ada juga yang kita suruh untuk mainin alat musik kalau mereka musisi… Buat mastiin kalau area yang lagi dioperasi masih memberi respon…”
“Hah?”
“Aku pernah kok ngoperasi pasien sambil dia main gitar…”
“Serius?”
“Iya… Atau kalau kasusnya osilasi ritmis tangan atau kaki, kayak tremor. Kita suruh pasien untuk megang gelas plastik dan minum atau sekedar melakukan tanda tangan. Pokoknya melakukan sesuatu yang sebelumnya nggak bisa dilakukan karena kondisinya…”
“Ooh, gitu…”
“Iya, kalau mereka bisa menjawab pertanyaan, melanjutkan puisi, atau melakukan hal yang kita suruh. That tells us that it’s safe to go forward…”
“Ok Selanjutnya nih… Menurut kamu susahan mana jadi peneliti NASA atau jadi membedah otak?” Tanyanya.
“Well, that’s an easy one to answer… Brain surgery is harder”
“Kenapa?”
“Bayangin ada seratur miliar neuron di otak. Dan jumlah koneksi antara neuron-neuron itu lebih besar dari jumlah seluruh bintang yang diperkirakan ada di alam semesta… That’s why it’s harder” Gua menjelaskan.
“Terus, apa kalian para dokter bedah otak latihannya pake otak boongan?”
Gua menggeleng; “Nggak, kita belajar langsung…”
“Masa sih? langsung operasi otak orang?” Tanyanya.
Gua menatapnya, tersenyum dan mengusap kepalanya, lalu menjawab; “Ya nggak dong, kita biasanya jadi asisten dulu…”
“Oohh… Pengalaman pertama kamu gimana?” Tanyanya lagi.
“Mmmm… Pertama kali aku masuk ke dalam ruang operasi, aku kaget dengan aromanya…” Jawab gua.
“Aromanya? aroma apa?”
“Di ruang operasi, kita biasanya pake apa yang namanya electrocautery..”
“Apa tuh?”
“Semacam alat mirip solder, yang fungsinya menghentikan pendaraahn di otak dengan cara ‘menghanguskan’ permukaan otak… dan bayangin aja baunya organ manusia yang kebakar” Jawab gua.
Fira mendengus dan spontan menutup hidungnya begitu mendengar jawaban gua barusan. Ia lalu memegangi bagian belakang kepalanya dan bertanya; “Aku juga di gituin waktu itu?”
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Daebaaakkkk!!!… Terus, terus kan aku baru nonton drama korea yang ada operasi pengangkatan tumor otak. Kok keliatannya gampang banget?”
“Hahaha… Yaa nggak semudah yang ada di drama tapi, Mmmm… tapi, sulit atau nggaknya ya tergantung lokasi dan jenis atau bentuk tumornya…”
“…”
“… Ada bentuk tumor yang gampang diambil dengan disedot. Ada juga yang butuh keahlian dan kesabaran ekstra kalau lokasinya sulit dijangkau” Gua menambahkan.
“Terus, terus… aku penasaran deh Mas. Kamu kan neurosergeon, sama nggak dengan dokter bedah pada umumnya? apa beda?” Tanyanya.
“Hmmm… Istilah bedah saraf mencakup pembedahan otak. Jadi, sebelum kita jadi ahli bedah saraf, kita diharuskan menguasai seluruh teknik untuk menangani kondisi pembedahan pada seluruh sistem saraf. Jadi, pembedahan otak adalah bagian dari bedah saraf itu sendiri…” Gua menjelaskan.
“Ooh gitu…”
“Udah jelas kan? ada yang mau ditanyain lagi?” Tanya gua.
“Ada, the last one…”
“Apa?”
“Emang bener kamu punya gelar kedokteran forensik juga?” Tanyanya.
“Iya…”
“Kenapa kamu ambil gelar itu?”
“Nggak tau, saat itu aku merasa manusia hidup nggak menyenangkan aja kayaknya…. Hahaha…”
---
“Gua belum selesai…”Ucapnya.
"Buat gue udah," jawab gua singkat, sambil terus melangkah.
"Nggak! Belum!" suaranya meninggi, membuat beberapa orang yang duduk di bangku teras kedai ikut menoleh.
Fira refleks menggenggam tangan gua lebih erat. Tapi gua berhenti. Melirik sebentar ke arah Fira, lalu bertanya pelan, "Boleh?"
Fira mengangguk pelan. Tatapannya hangat, nggak ada sedikit pun rasa curiga atau takut kehilangan.
Gua melepas genggamannya, lalu berbalik menghadap Natalie yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depan.
"Apa lagi?" tanya gua.
Ia menatap gua lama. Ada sesuatu yang bergerak di matanya; marah, bingung, atau mungkin sedih, gua nggak yakin yang mana.
"Gua cuma pengen tau satu hal…" katanya lirih. "Kenapa lo bisa se-ekspresif itu sama dia?" Ia melirik ke arah Fira. "Sama gua, lo nggak pernah begitu? kenapa? Kenapa lo terlihat jauh berbeda..."
Gua mau jawab, tapi Fira justru yang lebih dulu melangkah maju. Ia berdiri di antara gua dan Natalie. Lalu mulai bicara dengan suara yang tenang, nyaris tanpa intonasi.
"Dokter tau semuanya tentang Mas Lian?"
Natalie mengangguk mantap. "Iya..."
Fira hanya tersenyum kecil menanggapi jawaban Natalie, lalu berkata pelan, "Nggak. Kamu nggak tau…"
Natalie terlihat sedikit tersinggung, tapi Fira nggak berhenti di situ.
"Mas Lian itu punya gangguan. Dia nggak bisa baca ekspresi wajah orang. Dan dia juga kesulitan menunjukkan ekspresinya sendiri. Sejak kecil…" Suaranya pelan, tapi jelas.
"Jadi... selama ini, semua ekspresi yang Dokter lihat dari dia, itu bukan sesuatu yang alami. Dia belajar. Dari buku, dari potongan gambar, dari film. Dari latihan berulang-ulang. Supaya dia bisa menyesuaikan diri di dunia yang kejam buatnya…”
“…di dunia yang kita anggap gampang..." Fira menambahkan.
Natalie terlihat membeku.
"Dokter tau kenapa dia bisa ketawa bareng aku? Atau bercanda, atau ngobrol ngalor-ngidul soal hal-hal nggak penting?" Fira melanjutkan, matanya lurus menatap Natalie.
“…” Natalie menggeleng pelan.
"…Karena aku spesial! Dan aku akan terus belajar, berusaha buat ngerti dia. Aku yang akan bikin dunia mengerti dirinya!.."
Natalie masih terdiam. Tatapannya sekarang berubah. Nggak lagi penuh dendam atau ego.
Gua mendekat ke Fira. Menggenggam tangannya lagi. Ia menoleh sebentar ke arah gua dan tersenyum.
Kami berdua berbalik. Melangkah pergi meninggalkan Natalie yang masih berdiri sendirian di pelataran parkir kedai kopi. Nggak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya.
Langit sore mulai berubah warna. Angin membawa bau daun kering dari arah hutan kota yang hanya beberapa ratus meter dari sana. Tempat favorit gua kala butuh ketenangan.
"Ke danau, yuk?" ajak gua pelan.
Gua mengangguk. Kami berjalan berdampingan, tangan kami masih saling menggenggam. Di belakang sana, Natalie masih berdiri, diam, dengan tatapan kosong yang entah mengarah ke mana.
Tapi gua nggak lagi menoleh. Yang ada di depan gua sekarang adalah Fira satu-satunya orang yang nggak cuma berusaha ngerti gua, tapi juga ngajarin gua caranya ngerti orang lain.
—
Gua dan Fira duduk di pembatas beton tepian danau. Sama-sama menatap ke depan, ke arah permukaan air keruh yang memantulkan cahaya matahari sore keemasan. Ia menyandarkan kepalanya di bahu gua, lalu bicara lirih; “Kamu kapan tau tentang semuanya?”
“Waktu itu… Waktu aku balik dari SG dan nggak sengaja satu pesawat sama dia”
“Sama Dokter Natalie?” Tanya Fira seraya menegakkan kepalanya.
“Iya. Dan dia cerita semuanya… Tentang hubungan rahasia mereka dan alasan Nat ngelaporin aku ke dewan etik…” Gua menjelaskan.
“Ooh… Kamu kenapa nggak cerita ke aku?” Tanyanya lagi.
Gua menggeleng.
“Nggak… Takut, cerita Natalie cuma bualan dia aja biar nggak merasa bersalah. Makanya aku nunggu sampai saat ini dateng”
“Ooh… gitu…” Gumamnya pelan. Kemudian kembali merebahkan kepalanya di bahu gua.
Kami kembali tenggelam dalam diam selama beberapa saat. Hingga akhirnya, Fira kembali bertanya.
“Sebenernya aku penasaran banget dari dulu…” Ucapnya, lalu melanjutkan; “Bolehkan aku tanya-tanya?”
“Boleh…” Jawab gua.
“Kamu nggak bakal bilang aku bawel kan?”
“Nggak…”
“Gimana sih rasanya otak saat disentuh?” Tanyanya, seraya kembali menegakkan kepala dan menatap gua dengan dahi berkerut.
Gua tersenyum sebentar, awalnya gua kira ia akan bertanya tentang hal-hal yang serius tentang hubungan kami berdua.
“Mmmm… bayangin aja campuran tahu dan jeli. Kira-kira begitulah teksturnya…” Gua mencoba menjelaskan dengan analogi. Karena tentu saja sulit mendeskripsikannya, gua pun belum pernah menyentuhnya dengan tangan telanjang.
“Oh…”
“… Bedanya, otak akan berdenyut pelan. Terutama saat pasien bernapas dan jantung memompa darah” Gua menambahkan.
“Whaat!… Terus, terus, emang bener ya kalau pas operasi otak itu pasiennya harus dalam kondisi sadar?” Tanyanya lagi, kini ekspresi wajahnya semakin terlihat penasaran.
Gua tersenyum lagi.
“Kenapa sih? kenapa tiba-tiba nanya hal-hal kayak gini?” Gua balik bertanya.
“Ya gapapa, boleh dong aku tau tentang pekerjaan pacar aku? jadi kalo ada pertanyaan-pertanyaann aku bisa jawab. Nggak kayak orang bego yang plonga-plongo nggak ngerti kerjaan pacarnya…” Fira menjelaskan.
“Ooh, gitu…”
“Buruan jawab yang tadi…” Tagihnya.
“Pada dasarnya, otak itu nggak punya reseptor rasa sakit. Jadi, pasien biasanya nggak bakal ngerasa apa-apa saat otaknya di operasi… Dan untuk area yang berhubungan dengan pengelolaan bahasa, biasanya kita bakal mengajukan pertanyaan kepada mereka saat proses operasi, ada juga yang kita suruh untuk mainin alat musik kalau mereka musisi… Buat mastiin kalau area yang lagi dioperasi masih memberi respon…”
“Hah?”
“Aku pernah kok ngoperasi pasien sambil dia main gitar…”
“Serius?”
“Iya… Atau kalau kasusnya osilasi ritmis tangan atau kaki, kayak tremor. Kita suruh pasien untuk megang gelas plastik dan minum atau sekedar melakukan tanda tangan. Pokoknya melakukan sesuatu yang sebelumnya nggak bisa dilakukan karena kondisinya…”
“Ooh, gitu…”
“Iya, kalau mereka bisa menjawab pertanyaan, melanjutkan puisi, atau melakukan hal yang kita suruh. That tells us that it’s safe to go forward…”
“Ok Selanjutnya nih… Menurut kamu susahan mana jadi peneliti NASA atau jadi membedah otak?” Tanyanya.
“Well, that’s an easy one to answer… Brain surgery is harder”
“Kenapa?”
“Bayangin ada seratur miliar neuron di otak. Dan jumlah koneksi antara neuron-neuron itu lebih besar dari jumlah seluruh bintang yang diperkirakan ada di alam semesta… That’s why it’s harder” Gua menjelaskan.
“Terus, apa kalian para dokter bedah otak latihannya pake otak boongan?”
Gua menggeleng; “Nggak, kita belajar langsung…”
“Masa sih? langsung operasi otak orang?” Tanyanya.
Gua menatapnya, tersenyum dan mengusap kepalanya, lalu menjawab; “Ya nggak dong, kita biasanya jadi asisten dulu…”
“Oohh… Pengalaman pertama kamu gimana?” Tanyanya lagi.
“Mmmm… Pertama kali aku masuk ke dalam ruang operasi, aku kaget dengan aromanya…” Jawab gua.
“Aromanya? aroma apa?”
“Di ruang operasi, kita biasanya pake apa yang namanya electrocautery..”
“Apa tuh?”
“Semacam alat mirip solder, yang fungsinya menghentikan pendaraahn di otak dengan cara ‘menghanguskan’ permukaan otak… dan bayangin aja baunya organ manusia yang kebakar” Jawab gua.
Fira mendengus dan spontan menutup hidungnya begitu mendengar jawaban gua barusan. Ia lalu memegangi bagian belakang kepalanya dan bertanya; “Aku juga di gituin waktu itu?”
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Daebaaakkkk!!!… Terus, terus kan aku baru nonton drama korea yang ada operasi pengangkatan tumor otak. Kok keliatannya gampang banget?”
“Hahaha… Yaa nggak semudah yang ada di drama tapi, Mmmm… tapi, sulit atau nggaknya ya tergantung lokasi dan jenis atau bentuk tumornya…”
“…”
“… Ada bentuk tumor yang gampang diambil dengan disedot. Ada juga yang butuh keahlian dan kesabaran ekstra kalau lokasinya sulit dijangkau” Gua menambahkan.
“Terus, terus… aku penasaran deh Mas. Kamu kan neurosergeon, sama nggak dengan dokter bedah pada umumnya? apa beda?” Tanyanya.
“Hmmm… Istilah bedah saraf mencakup pembedahan otak. Jadi, sebelum kita jadi ahli bedah saraf, kita diharuskan menguasai seluruh teknik untuk menangani kondisi pembedahan pada seluruh sistem saraf. Jadi, pembedahan otak adalah bagian dari bedah saraf itu sendiri…” Gua menjelaskan.
“Ooh gitu…”
“Udah jelas kan? ada yang mau ditanyain lagi?” Tanya gua.
“Ada, the last one…”
“Apa?”
“Emang bener kamu punya gelar kedokteran forensik juga?” Tanyanya.
“Iya…”
“Kenapa kamu ambil gelar itu?”
“Nggak tau, saat itu aku merasa manusia hidup nggak menyenangkan aja kayaknya…. Hahaha…”
---
Lanjut ke bawah
Diubah oleh robotpintar 17-05-2025 21:55
percyjackson321 dan 39 lainnya memberi reputasi
40
Kutip
Balas
Tutup