- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.5K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#918
0066-G The Way We Hold Sand
Spoiler for 006-G The Way We Hold Sand:
Gua melepaskan genggaman tangannya lalu menghentikan langkah. Kaget saat melihat sosok yang kini berada di depan kami.
“Mamah…”Gumam gua lirih.
Sementara, Lian terus melangkah menuju ke dua meja bundar yang sepertinya sengaja dijadikan satu. Nyokap meletakkan alat makan yang sedang berada dalam genggamannya, lalu berdiri dan menatap gua sambil tersenyum.
Di sebelahnya, Ibu juga ikut berdiri dan mengumbar senyumnya.
Langkah gua masih terjebak di lantai marmer yang rasa dinginnya menembus sepatu hingga ke ujung kaki. Jika saja Lian nggak meraih tangan dan menariknya dengan lembut, gua mungkin bakal terus berdiri di sana dalam diam. Merasakan sensasi terkejut yang nggak bisa hilang.
Kini gua sudah berada dekat dengan Mamah yang lalu membentangkan kedua tangannya; bersiap memberikan pelukan. Tanpa ekspresi, gua mendekat dan memeluknya.
“Gimana Disneyland-nya, Seru?” Tanya Nyokap yang terkekeh sambil terus memeluk gua.
“Aaah, Mamaaah…” Keluh gua dan mulai menenggelamkan kepala dalam pelukannya; malu.
Masih sambil tertawa ringan, Nyokap memberikan tepukan pelan di punggung. Ia lalu berbisik; “Salam dulu sama ibu, Nak…”
Gua keluar dari pelukan Nyokap, menatap wajahnya sebentar hanya untuk sekedar memastikan apa betul ucapan barusan keluar dari mulutnya. Lalu, berpaling menatap Ibu. Menatap wajahnya yang sendu kemudian mendekat ke arahnya. Gua mencoba mengingat gerakan bahasa isyarat yang sempat dipelajari waktu itu, lalu ‘bicara’ kepadanya; ‘Apa kabar, bu?’
Masih sambil tersenyum, ibu lantas memberi jawaban; ‘Baik. Kamu sehat kan?’
Gua mengangguk, seraya terus mendekat ke arahnya lalu memberikan pelukan.
Di sisi lain, Lian sibuk mengatur kursi dan memberikan gua kode dengan tangannya agar duduk tepat di sebelahnya.
“Mamah kenapa ada di sini, sih? katanya keluar kota?” Tanya gua ke Nyokap, begitu sudah duduk di kursi.
“Lho ini kan keluar kota…” Jawabnya santai.
“Ih, Mamaaaah… bohong” Seru gua.
“Yee, emang kamu doang yang bisa bohong…”
“Kok bisa sih? ceritain dooong…” Pinta gua.
Permintaan yang lantas direspon dengan tepukan pelan di punggung tangan oleh Lian. “Makan dulu aja. Ceritanya nanti…”
“Kamu juga! Kamu pasti ikut dalam rencana ini kan?” Hardik gua ke Lian. Kemudian berpaling ke Ibu dan pasang senyum, merasa nggak enak sudah membentak anaknya.
“Iya, iya… Udah makan dulu…” Respon Lian, seraya menggeser piring berisi aneka makanan yang nampak lezat ke arah gua.
Malam itu, kami berempat makan malam bersama di sebuah resto kecil yang nampak mewah. Tepat di sisi jembatan batu dekat sungai Aare.
Selesai makan malam, kami berempat berjalan bersama menyusuri trotoar kecil yang rendah, yang tingginya hampir sama dengan kontur jalan raya. Sesekali, gua melangkah lebih cepat lalu berbalik dan mengambil swafoto dengan mereka bertiga bersama-sama sebagai latarnya.
Lian mengajak kami mampir ke kedai kecil yang lokasinya nggak begitu jauh dari apartemen. Sambil melipat dan menggulung kertas tisue, gua mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang alasan Nyokap bisa berada di sini, bersama kami.
“Lian yang ngajak…” Jawab Nyokap setelah menyeruput teh camomile dari cangkir miliknya.
“Iya, Fira tau… Tapi, kenapa kok tiba-tiba Mamah mau? bukannya Mamah sebel sama dia?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah Lian yang masih berdiri di depan counter.
“Iya, sampai sekarang juga Mamah masih sebel…” Jawabnya. Lalu berpaling ke Ibu yang duduk di sebelahny. “Maaf ya bu…” Tambahnya.
Ibu menggerakkan tangannya; membuat bahasa isyarat yang belum gua mengerti.
Sementara Nyokap langsung menatap gua. Tatapan yang seakan meminta bantuan untuk menerjemahkan maksud dari gerakan bahasa isyarat yang ia tunjukkan.
“Iya, dia memang menyebalkan” Terdengar suara Lian dari arah belakang kami. Ia lalu duduk, di sebelah gua. “Artinya, dia memang menyebalkan” Lian menambahkan, menerjemahkan maksud dari bahasa isyarat Ibu barusan ke gua dan Nyokap.
Mendengar ucapan Lian barusan, Nyokap menepuk kedua tangannya, lalu berpaling lagi ke arah Ibu dan bicara; “Nah, Ibu setuju kan…”
“Mamah… Udah deh, buruan ceritain. Kenapa Mamah tiba-tiba mau diajak sama dia nih…” Tanya gua lagi.
Nyokap kembali menyeruput teh miliknya. Ia terdiam sebentar, setelahnya barulah memberi jawaban. “Karena Mamah sayang sama kamu…” Ucapnya lirih.
“…”
Nyokap melirik sebentar ke arah Lian, lalu berpaling ke arah Ibu, tersenyum sebentar, lalu kembali melanjutkan; “Semakin kuat kamu mencengkeram pasir, maka akan semakin sedikit yang tersisa dalam genggaman. Begitu pula saat kamu terlalu lemah memegangnya, maka pasir juga akan terlepas dari genggaman…”
“…”
“… Jadi, memang harus digenggam dengan perlahan dan hati-hati agar pasirnya nggak menghilang” Tambahnya.
“Pasir?” Gumam gua pelan; bingung.
“Kamu adalah pasirnya. Dan selama ini Mamah kayaknya terlalu kuat ‘mencengkeram’ kamu. Dan Mamah nggak mau kehilangan lagi…”
Gua terdiam begitu mendengar penjelasnnya yang nggak lazim. Karena nggak biasa-biasanya, Nyokap memberi penjelasan atau bicara dengan menggunakan istilah-istilah pengganti seperti ini.
Ia lalu berdiri, mendekat ke arah gua kemudian memberikan pelukan.
Malam sudah cukup larut, sementara udara dingin terasa semakin menusuk, masuk menelusup melalui celah-celah kecil ke dalam kedai. Di luar terlihat salju yang turun semakin lebat, bikin suasana bertambah syahdu.
Lian mengantar Ibu ke salah satu kamar di apartemen lantai dasar, sementara gua dan Nyokap diarahkan ke kamar pertama yang gua datangi tadi.
“Kamu di mana?” Tanya gua sebelum Lian pergi.
“Di atas…” jawabnya sambil menunjuk ke arah lantai paling atas.
“Oh masih ada kamar lagi? Punya kamu juga?”
“Nggak, sewa kok. Punyaku yang ini aja” jawabnya, lalu mulai meraih kepala gua, bersiap memberikan kecupan.
Terdengar seruan dari Nyokap; “Eit, Eit, Eit….” Kemudian meraih tangan, membuat gua masuk ke dalam kamar. Lalu, Nyokap dengan cepat menutup pintunya, meninggalkan Lian yang masih berdiri sambil tertegun.
Nggak lama berselang, gua sudah jatuh terlelap; kelelahan.
—
Besok paginya, Nyokap sengaja membangunkan gua lebih awal. Ia lantas mengajak gua untuk duduk di balkon kamar.
“Sini Fir…” ucapnya sambil menepuk permukaan kursi kayu panjang yang baru saja disekanya.
Dengan berselimut bed cover yang sama, kami berdua duduk sambil menatap ke arah pegungan Alpen yang kini nampak jelas. Walau masih terlihat kabut tebal yang berarak pelan menuju ke bawah. Sementara, gua memainkan tumpukan salju tipis berada di selasar balkon sambil mendengarkan Nyokap yang melanjutkan cerita semalam.
Cerita yang sempat tertunda. Cerita tentang bagaimana Lian berhasil meluluhkan hatinya.
Mendengar ceritanya barusan bikin hati gua semakin jatuh hati padanya. Bikin gua semakin menghargai dia dan juga Ibunya.
Bagaimana mungkin ada orang di dunia ini yang seperti mereka. Yang bisa tetap bertahan dalam badai kehidupan dan masih mampu menyebarkan rasa sayangnya ke orang lain. Bahkan ke orang seperti Nyokap yang jelas-jelas menentangnya.
Cerita Nyokap beralih ke momen di mana ia begitu menderita saat menemani gua yang berada di kondisi kritis. Saat gua berkali-kali kehilangan kesadaran akibat trauma berat dikepala. Momen di mana, Lian yang memohon dengan sangat untuk melakukan operasi.
“Mamah udah salah menilainya…”
“…”
“… Padahal, dia, mengorbankan segalanya buat kamu”
“…”
“… Karir dan dunianya. Semua sudah lagi nggak ia pedulikan. Yang ada di benaknya hanya satu; kamu”
Sambil terus mendengar Nyokap bercerita, kedua mata gua mulai basah. Gua tau dan paham betul kalau Lian benar-benar menyayangi gua. Tapi, ini kali pertama gua mendengar semua pengrobanannya untuk gadis pesakitan kayak gua.
“Karena ngoperasi kamu, Lian dicabut ijin prakteknya. Dan itu gara-gara Mamah….”
“Dicabut?” Tanya gua, lirih.
Nyokap mengangguk pelan; “Iya, dicabut karena dia nekad ngoperasi kamu tanpa ijin…”
“Lianmu itu nggak punya ijin untuk melakukan operasi di Indonesia. Padahal ia sudah menawarkan untuk membawa kamu ke London untuk dioperasi di sana, tapi Mamah bergeming. Mamah terlalu egois untuk menerima bantuannya. Juga, terlalu naif dan percaya apa kata-kata orang…” Jelasnya.
“Kata-kata siapa?” Tanya gua, penasaran.
“…” Nyokap terdiam, nggak memberi jawaban.
“Dokter Natalie?” Gua menebak. Bukan tebakan asal, tapi berdasarkan percakapan antara Lian dengan Dokter Ricky waktu di itu.
Nyokap mengangguk pelan; “Iya…” Jawabnya lirih.
“…”
“… Nggak cuma itu aja, Atas desakkan beberapa orang termasuk Dokter Natalie, Mamah bikin pengaduan yang akhirnya bikin Lian dihukum…”
“Mamah bikin orang yang bantu Fira dihukum…” Gua menambahkan. Dan hati gua seperti diremukkan oleh kenyataan itu
“… Gara-gara Mamah yang gampang terhasut, gampang percaya sama orang tapi sulit percaya padanya”
“…”
“… Mamah bener-bener malu” Tambahnya.
Mendengarnya hati ini semakin lama semakin terasa sesak. Bagaimana tidak, Nyokap sudah memperlakukan orang yang sudah banyak berkorban untuk anaknya ini dengan buruk. Sangat buruk.
Pun, ia mungkin saja sudah meminta maaf kepada Lian. Tapi, rasa marah masih tetap muncul di sinil di dalam hati.
Tangan gua mengepal, sementara kedua pipi sudah basah. Dengan tatapan yang kabur karena air mata gua memandang ke bawah. Ke arah jalanan di mana mulai banyak terlihat turis-turis keluar, memenuhi jalan-jalan berbatu sambil mengaggumi bangunan-bangunan eksotis yang memenuhi area.
Seorang pria bermantel hitam terlihat berjalan sambil menenteng sebuah paperbag coklat yang terisi penuh. Walau dari kejauhan, gua bisa dengan mudah mengenali sosoknya; Lian.
Gua berbalik, mengabaikan Nyokap yang masih melanjutkan cerita. Berlari keluar dari kamar, mengabaikan kaki yang tanpa alas dan mantel yang tertinggal, terus menuruni anak tangga dan keluar dari bangunan apartemen.
Suhu yang dingin nggak menyurutkan langkah gua. Terus berlari ke arah Lian yang masih berada di jalan. Ia menatap gua, dengan senyumnya yang terpasang.
Gua memberikan pelukan, mungkin pelukan paling erat yang selama ini pernah gua berikan.
Lian nggak langsung membalas pelukan gua. Ia meletakkan paperbag berisi belanjaan ke jalan, melepas mantel dan mulai memakaikannya ke gua; “Kenapa nggak pake jaket? emang nggak dingin?” Tanyanya.
Gua nggak menjawab, hanya mendongak dan terus menatapnya.
“Kenapa sih?” Tanyanya lagi.
“Maaf ya….”
“Maaf kenapa?”
“Maaf karena sudah terus-terusan menyulitkanmu…”
Ia tersenyum dan membelai kepala gua dengan lembut, lalu dengan perlahan memberi kecupan di dahi.
“Maaf cuma buat orang yang bikin salah… Kamu nggak salah apa-apa kok” Ucapnya lirih.
“Aku minta maaf juga buat Mamah…” Pinta gua, memohon.
Ia menggeleng. “Mamah juga nggak salah kok. Semua orang tua, semua ibu, kayaknya bakal melakukan hal yang sama jika ada di posisinya…”
Gua tentu semakin malu saat mendengar jawabannya barusan. Lalu, mulai kembali menangis dan mempererat pelukan.
Dengan mudah Lian mengangkat tubuh gua dan memindahkan ke punggungnya. Ia lalu meraih paperbag dari jalan dan berjalan ke arah apartemen sambil menggendong gua. Saat sadar kalau perilakunya mencuri perhatian turis-turis di sekitar. Gua lantas berbisik di dekat telinganya; “Malu tau diliatin orang-orang…”
Sementara, gua mulai menutupi wajah dengan kedua tangan.
Lian malah tersenyum lebar, seolah tak peduli dengan tatapan sekitar. Dengan suara keras yang menggema di antara bangunan-bangunan, ia berbicara dalam bahasa Jerman, menarik perhatian lebih banyak lagi; “Das ist meine Freundin... sie heist Fira. Ich liebe sie sehr!”
Kerumunan yang tadinya hanya melirik kini berubah menjadi sorak-sorai kecil dan tepuk tangan ringan, sisanya hanya bisa tersenyum simpati atau mengangguk penuh pengertian. Gua semakin menenggelamkan kepala dan menutupi dengan tangan.
—
Pagi itu kami berempat menghabiskan waktu sarapan bersama, kemudian berkeliling mengunjungi berbagai tempat indah di Bern. Berbelanja, berfoto atau hanya sekedar menganggumi keindahan kota kecil yang mirip seperti lukisan.
Adakalanya, Lian memberikan kesempatan ke gua dan Nyokap untuk duduk berduaan di tepian sungai Aare sambil menikmati langit sore yang sejuk dan tenang. Membiarkan kami ngobrol dan berbagi cerita antara anak dan Ibu, sesuatu yang selama ini hampir nggak pernah kami lakukan. Sementara, Lian dan Ibu juga melakukan hal yang sama. Keduanya berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Tak ada obrolan, hanya saling menyayangi dalam senyap.
Dua hari berlalu dengan cepat di Bern. Di hari ketiga, kami semua bersiap untuk pergi dan bertolak ke Korea. Atau, paling tidak itu yang awalnya gua ketahui.
Nyatanya, Kami berdua malah melepas Ibu dan Nyokap yang langsung terbang kembali ke Indonesia. Sementara, kami menunggu penerbangan lain. Tapi, bukannya menuju ke Korea. Lian malah mengajak gua ke Milan, Italia.
“Hah? ngapain?” Tanya gua, saat kami tiba di bandara.
Lian nggak menjawab, ia hanya pasang senyum yang misterius sambil terus membawa gua keluar dari bandara. Dengan menggunakan bus, ia membawa gua melewati kota Milan yang nggak kalah indah menuju ke salah satu stasiun kereta paling sibuk di sana. Melalui tanda pada gerbong kereta, gua bisa menebak kemana ia akan membawa gua; Venesia.
“Whaaaaattttt!!!! Serius?” Seru gua, lalu melepas genggaman tangannya dan mulai berlari kecil keluar dari stasiun begitu tiba di Venesia.
Gua memeluk lengannya di atas dermaga kecil yang basah, menatap ke arah gondola hitam yang mendekat ke arah kami. Sementara, aroma air asin dan kopi espresso yang tercium dari kafe-kafe kecil di sepanjang Piazza San Marco.
Untuk pertama kalinya, gua merasakan terombang-ambing di atas gondola, menyusuri kanal dengan langit sore yang menguning. Angin laut yang dingin terasa menggigit pipi, namun Lian menyelimuti bahu gua dengan lengannya.
Lampu-lampu kota berpendar, memantul di atas permukaan air. Sementara, si operator gondola atau Lian menyebutnya dengan gondolier terus bersenandung, menyanyikan lagu dengan bahasa yang nggak gua menerti. Tapi, entah kenapa semua terasa pas.
“Kamu ngerti?” Tanya gua sambil berbisik dekat telinganya, merujuk ke nyanyian si gondolier.
Lian mengangguk pelan. “Artinya; ‘kalau kamu bisa bertahan denganku di kapal kecil ini, mungkin kamu bisa bertahan denganku dalam hidup yang penuh badai’…” Ucapnya sambil mengikuti irama nyanyian si gondolier.
Gua menatapnya, penuh kebanggan.
“Kamu bisa berapa bahasa sih?” Tanya gua lagi.
Lian menunduk, mengangkat jari-jari kedua tangannya dan mulai menghitung. “Nggak tau, lima, mungkin enam, Tujuh kalau bahasa isyarat termasuk…” Jawabnya.
“Keren…” Gumam gua pelan.
Puas dengan berfoto di atas gondola sambil menyusuri kanal. Kami berdua lalu berjalan, keluar masuk gang sempit, mencari kedai pizza berdasarkan review di aplikasi maps. Hari itu, nggak bakal pernah gua lupakan, hanya kami berdua, nggak ada jas dokter, nggak ada mata kuliah, nggak ada tatapan orang yang menatap sirik, hanya gua dengan seorang pria yang diam-diam menggenggam tangan gua saat kami tersesat.
—
Puas ‘berkelana’ di Venesia, masih di hari yang sama Lian lantas mengajak gua kembali ke stasiun Santa Lucia. Mengambil tas dan koper yang sengaja dititipkan lalu beranjak ke bandara Marco polo dengan menggunakan kereta.
Dari Italia, kami bertolak menuju ke tempat lain. Tempat yang juga nggak gua ketahui tujuannya. Penerbangan berdurasi sekitar dua jam setengah membawa kami dari venesia yang sedikit hangat ke tempat dengan suhunya bahkan jauh lebih dingin ketimbang kulkas di Jakarta; Oslo.
Di bandara Oslo, kami bertukar dengan pesawat yang lebih kecil. Pesawat yang kemudian memabwa kami melintasi garis pantai dengan banyak teluk yang membiru dan pegunungan yang mulai diselimuti salju tipis
“Bagus deh….” Gumam gua.
“Namanya Fjord…” Lian bicara.
“Fjord?”
“Iya… teluk sempit yang ada tebing di kedua sisinya; namanya Fjord…” Lian menjelaskan.
“Oh…”
Kami lalu tiba di sebuah kota kecil berama Bode. Di mana udara di sini terasa jauh lebih dingin, ditambah hembusan angin laut yang terasa menusuk hingga menembus ke tulang. Lian, terus membuat gua berada dalam dekapannya, seakan takut gua hilang atau kedinginan.
Ia lalu membawa gua ke salah satu terminal Feri dengan menggunakan bus. Di sana, Lian membeli sepasan tiket untuk feri menuju ke sebuah tempat.
“Lofoten…” Gua mengeja nama yang tertera pada tiket feri. “Kita mau ke sini…” Tanya gua sambil menunjuk ke arah tiket.
“Iya…” Lian menjawab singkat.
“Emang ada apa di Lofoten?” Tanya gua lagi; penasaran.
“Liat aja nanti…”
Setelah menunggu hampir sekitar dua jam, kami akhirnya berhasil naik ke atas kapal feri. Sebuah kapal feri besar berwarna putih dengan dek luar yang luas. Kapal yang meluncur perlahan meninggalkan dermaga menerjang laut yang tampak ganas namun memukau. Di ujung horison terlihat ombak-ombak kecil yang berkejaran di bawah langit yang mulai gelap.
Kami berdua duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan laut sambil saling menggenggam tangan. Sementara bau solar dari mesin feri bercampur dengan aroma laut yang asin dan dengung suara mesin kapal menjadi latarnya.
Gua merebahkan kepala di bahunya, lalu bicara; “Apa rasanya mengoperasi aku?”
“Tersiksa…” Jawabnya singkat.
“Mamah…”Gumam gua lirih.
Sementara, Lian terus melangkah menuju ke dua meja bundar yang sepertinya sengaja dijadikan satu. Nyokap meletakkan alat makan yang sedang berada dalam genggamannya, lalu berdiri dan menatap gua sambil tersenyum.
Di sebelahnya, Ibu juga ikut berdiri dan mengumbar senyumnya.
Langkah gua masih terjebak di lantai marmer yang rasa dinginnya menembus sepatu hingga ke ujung kaki. Jika saja Lian nggak meraih tangan dan menariknya dengan lembut, gua mungkin bakal terus berdiri di sana dalam diam. Merasakan sensasi terkejut yang nggak bisa hilang.
Kini gua sudah berada dekat dengan Mamah yang lalu membentangkan kedua tangannya; bersiap memberikan pelukan. Tanpa ekspresi, gua mendekat dan memeluknya.
“Gimana Disneyland-nya, Seru?” Tanya Nyokap yang terkekeh sambil terus memeluk gua.
“Aaah, Mamaaah…” Keluh gua dan mulai menenggelamkan kepala dalam pelukannya; malu.
Masih sambil tertawa ringan, Nyokap memberikan tepukan pelan di punggung. Ia lalu berbisik; “Salam dulu sama ibu, Nak…”
Gua keluar dari pelukan Nyokap, menatap wajahnya sebentar hanya untuk sekedar memastikan apa betul ucapan barusan keluar dari mulutnya. Lalu, berpaling menatap Ibu. Menatap wajahnya yang sendu kemudian mendekat ke arahnya. Gua mencoba mengingat gerakan bahasa isyarat yang sempat dipelajari waktu itu, lalu ‘bicara’ kepadanya; ‘Apa kabar, bu?’
Masih sambil tersenyum, ibu lantas memberi jawaban; ‘Baik. Kamu sehat kan?’
Gua mengangguk, seraya terus mendekat ke arahnya lalu memberikan pelukan.
Di sisi lain, Lian sibuk mengatur kursi dan memberikan gua kode dengan tangannya agar duduk tepat di sebelahnya.
“Mamah kenapa ada di sini, sih? katanya keluar kota?” Tanya gua ke Nyokap, begitu sudah duduk di kursi.
“Lho ini kan keluar kota…” Jawabnya santai.
“Ih, Mamaaaah… bohong” Seru gua.
“Yee, emang kamu doang yang bisa bohong…”
“Kok bisa sih? ceritain dooong…” Pinta gua.
Permintaan yang lantas direspon dengan tepukan pelan di punggung tangan oleh Lian. “Makan dulu aja. Ceritanya nanti…”
“Kamu juga! Kamu pasti ikut dalam rencana ini kan?” Hardik gua ke Lian. Kemudian berpaling ke Ibu dan pasang senyum, merasa nggak enak sudah membentak anaknya.
“Iya, iya… Udah makan dulu…” Respon Lian, seraya menggeser piring berisi aneka makanan yang nampak lezat ke arah gua.
Malam itu, kami berempat makan malam bersama di sebuah resto kecil yang nampak mewah. Tepat di sisi jembatan batu dekat sungai Aare.
Selesai makan malam, kami berempat berjalan bersama menyusuri trotoar kecil yang rendah, yang tingginya hampir sama dengan kontur jalan raya. Sesekali, gua melangkah lebih cepat lalu berbalik dan mengambil swafoto dengan mereka bertiga bersama-sama sebagai latarnya.
Lian mengajak kami mampir ke kedai kecil yang lokasinya nggak begitu jauh dari apartemen. Sambil melipat dan menggulung kertas tisue, gua mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang alasan Nyokap bisa berada di sini, bersama kami.
“Lian yang ngajak…” Jawab Nyokap setelah menyeruput teh camomile dari cangkir miliknya.
“Iya, Fira tau… Tapi, kenapa kok tiba-tiba Mamah mau? bukannya Mamah sebel sama dia?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah Lian yang masih berdiri di depan counter.
“Iya, sampai sekarang juga Mamah masih sebel…” Jawabnya. Lalu berpaling ke Ibu yang duduk di sebelahny. “Maaf ya bu…” Tambahnya.
Ibu menggerakkan tangannya; membuat bahasa isyarat yang belum gua mengerti.
Sementara Nyokap langsung menatap gua. Tatapan yang seakan meminta bantuan untuk menerjemahkan maksud dari gerakan bahasa isyarat yang ia tunjukkan.
“Iya, dia memang menyebalkan” Terdengar suara Lian dari arah belakang kami. Ia lalu duduk, di sebelah gua. “Artinya, dia memang menyebalkan” Lian menambahkan, menerjemahkan maksud dari bahasa isyarat Ibu barusan ke gua dan Nyokap.
Mendengar ucapan Lian barusan, Nyokap menepuk kedua tangannya, lalu berpaling lagi ke arah Ibu dan bicara; “Nah, Ibu setuju kan…”
“Mamah… Udah deh, buruan ceritain. Kenapa Mamah tiba-tiba mau diajak sama dia nih…” Tanya gua lagi.
Nyokap kembali menyeruput teh miliknya. Ia terdiam sebentar, setelahnya barulah memberi jawaban. “Karena Mamah sayang sama kamu…” Ucapnya lirih.
“…”
Nyokap melirik sebentar ke arah Lian, lalu berpaling ke arah Ibu, tersenyum sebentar, lalu kembali melanjutkan; “Semakin kuat kamu mencengkeram pasir, maka akan semakin sedikit yang tersisa dalam genggaman. Begitu pula saat kamu terlalu lemah memegangnya, maka pasir juga akan terlepas dari genggaman…”
“…”
“… Jadi, memang harus digenggam dengan perlahan dan hati-hati agar pasirnya nggak menghilang” Tambahnya.
“Pasir?” Gumam gua pelan; bingung.
“Kamu adalah pasirnya. Dan selama ini Mamah kayaknya terlalu kuat ‘mencengkeram’ kamu. Dan Mamah nggak mau kehilangan lagi…”
Gua terdiam begitu mendengar penjelasnnya yang nggak lazim. Karena nggak biasa-biasanya, Nyokap memberi penjelasan atau bicara dengan menggunakan istilah-istilah pengganti seperti ini.
Ia lalu berdiri, mendekat ke arah gua kemudian memberikan pelukan.
Malam sudah cukup larut, sementara udara dingin terasa semakin menusuk, masuk menelusup melalui celah-celah kecil ke dalam kedai. Di luar terlihat salju yang turun semakin lebat, bikin suasana bertambah syahdu.
Lian mengantar Ibu ke salah satu kamar di apartemen lantai dasar, sementara gua dan Nyokap diarahkan ke kamar pertama yang gua datangi tadi.
“Kamu di mana?” Tanya gua sebelum Lian pergi.
“Di atas…” jawabnya sambil menunjuk ke arah lantai paling atas.
“Oh masih ada kamar lagi? Punya kamu juga?”
“Nggak, sewa kok. Punyaku yang ini aja” jawabnya, lalu mulai meraih kepala gua, bersiap memberikan kecupan.
Terdengar seruan dari Nyokap; “Eit, Eit, Eit….” Kemudian meraih tangan, membuat gua masuk ke dalam kamar. Lalu, Nyokap dengan cepat menutup pintunya, meninggalkan Lian yang masih berdiri sambil tertegun.
Nggak lama berselang, gua sudah jatuh terlelap; kelelahan.
—
Besok paginya, Nyokap sengaja membangunkan gua lebih awal. Ia lantas mengajak gua untuk duduk di balkon kamar.
“Sini Fir…” ucapnya sambil menepuk permukaan kursi kayu panjang yang baru saja disekanya.
Dengan berselimut bed cover yang sama, kami berdua duduk sambil menatap ke arah pegungan Alpen yang kini nampak jelas. Walau masih terlihat kabut tebal yang berarak pelan menuju ke bawah. Sementara, gua memainkan tumpukan salju tipis berada di selasar balkon sambil mendengarkan Nyokap yang melanjutkan cerita semalam.
Cerita yang sempat tertunda. Cerita tentang bagaimana Lian berhasil meluluhkan hatinya.
Mendengar ceritanya barusan bikin hati gua semakin jatuh hati padanya. Bikin gua semakin menghargai dia dan juga Ibunya.
Bagaimana mungkin ada orang di dunia ini yang seperti mereka. Yang bisa tetap bertahan dalam badai kehidupan dan masih mampu menyebarkan rasa sayangnya ke orang lain. Bahkan ke orang seperti Nyokap yang jelas-jelas menentangnya.
Cerita Nyokap beralih ke momen di mana ia begitu menderita saat menemani gua yang berada di kondisi kritis. Saat gua berkali-kali kehilangan kesadaran akibat trauma berat dikepala. Momen di mana, Lian yang memohon dengan sangat untuk melakukan operasi.
“Mamah udah salah menilainya…”
“…”
“… Padahal, dia, mengorbankan segalanya buat kamu”
“…”
“… Karir dan dunianya. Semua sudah lagi nggak ia pedulikan. Yang ada di benaknya hanya satu; kamu”
Sambil terus mendengar Nyokap bercerita, kedua mata gua mulai basah. Gua tau dan paham betul kalau Lian benar-benar menyayangi gua. Tapi, ini kali pertama gua mendengar semua pengrobanannya untuk gadis pesakitan kayak gua.
“Karena ngoperasi kamu, Lian dicabut ijin prakteknya. Dan itu gara-gara Mamah….”
“Dicabut?” Tanya gua, lirih.
Nyokap mengangguk pelan; “Iya, dicabut karena dia nekad ngoperasi kamu tanpa ijin…”
“Lianmu itu nggak punya ijin untuk melakukan operasi di Indonesia. Padahal ia sudah menawarkan untuk membawa kamu ke London untuk dioperasi di sana, tapi Mamah bergeming. Mamah terlalu egois untuk menerima bantuannya. Juga, terlalu naif dan percaya apa kata-kata orang…” Jelasnya.
“Kata-kata siapa?” Tanya gua, penasaran.
“…” Nyokap terdiam, nggak memberi jawaban.
“Dokter Natalie?” Gua menebak. Bukan tebakan asal, tapi berdasarkan percakapan antara Lian dengan Dokter Ricky waktu di itu.
Nyokap mengangguk pelan; “Iya…” Jawabnya lirih.
“…”
“… Nggak cuma itu aja, Atas desakkan beberapa orang termasuk Dokter Natalie, Mamah bikin pengaduan yang akhirnya bikin Lian dihukum…”
“Mamah bikin orang yang bantu Fira dihukum…” Gua menambahkan. Dan hati gua seperti diremukkan oleh kenyataan itu
“… Gara-gara Mamah yang gampang terhasut, gampang percaya sama orang tapi sulit percaya padanya”
“…”
“… Mamah bener-bener malu” Tambahnya.
Mendengarnya hati ini semakin lama semakin terasa sesak. Bagaimana tidak, Nyokap sudah memperlakukan orang yang sudah banyak berkorban untuk anaknya ini dengan buruk. Sangat buruk.
Pun, ia mungkin saja sudah meminta maaf kepada Lian. Tapi, rasa marah masih tetap muncul di sinil di dalam hati.
Tangan gua mengepal, sementara kedua pipi sudah basah. Dengan tatapan yang kabur karena air mata gua memandang ke bawah. Ke arah jalanan di mana mulai banyak terlihat turis-turis keluar, memenuhi jalan-jalan berbatu sambil mengaggumi bangunan-bangunan eksotis yang memenuhi area.
Seorang pria bermantel hitam terlihat berjalan sambil menenteng sebuah paperbag coklat yang terisi penuh. Walau dari kejauhan, gua bisa dengan mudah mengenali sosoknya; Lian.
Gua berbalik, mengabaikan Nyokap yang masih melanjutkan cerita. Berlari keluar dari kamar, mengabaikan kaki yang tanpa alas dan mantel yang tertinggal, terus menuruni anak tangga dan keluar dari bangunan apartemen.
Suhu yang dingin nggak menyurutkan langkah gua. Terus berlari ke arah Lian yang masih berada di jalan. Ia menatap gua, dengan senyumnya yang terpasang.
Gua memberikan pelukan, mungkin pelukan paling erat yang selama ini pernah gua berikan.
Lian nggak langsung membalas pelukan gua. Ia meletakkan paperbag berisi belanjaan ke jalan, melepas mantel dan mulai memakaikannya ke gua; “Kenapa nggak pake jaket? emang nggak dingin?” Tanyanya.
Gua nggak menjawab, hanya mendongak dan terus menatapnya.
“Kenapa sih?” Tanyanya lagi.
“Maaf ya….”
“Maaf kenapa?”
“Maaf karena sudah terus-terusan menyulitkanmu…”
Ia tersenyum dan membelai kepala gua dengan lembut, lalu dengan perlahan memberi kecupan di dahi.
“Maaf cuma buat orang yang bikin salah… Kamu nggak salah apa-apa kok” Ucapnya lirih.
“Aku minta maaf juga buat Mamah…” Pinta gua, memohon.
Ia menggeleng. “Mamah juga nggak salah kok. Semua orang tua, semua ibu, kayaknya bakal melakukan hal yang sama jika ada di posisinya…”
Gua tentu semakin malu saat mendengar jawabannya barusan. Lalu, mulai kembali menangis dan mempererat pelukan.
Dengan mudah Lian mengangkat tubuh gua dan memindahkan ke punggungnya. Ia lalu meraih paperbag dari jalan dan berjalan ke arah apartemen sambil menggendong gua. Saat sadar kalau perilakunya mencuri perhatian turis-turis di sekitar. Gua lantas berbisik di dekat telinganya; “Malu tau diliatin orang-orang…”
Sementara, gua mulai menutupi wajah dengan kedua tangan.
Lian malah tersenyum lebar, seolah tak peduli dengan tatapan sekitar. Dengan suara keras yang menggema di antara bangunan-bangunan, ia berbicara dalam bahasa Jerman, menarik perhatian lebih banyak lagi; “Das ist meine Freundin... sie heist Fira. Ich liebe sie sehr!”
Kerumunan yang tadinya hanya melirik kini berubah menjadi sorak-sorai kecil dan tepuk tangan ringan, sisanya hanya bisa tersenyum simpati atau mengangguk penuh pengertian. Gua semakin menenggelamkan kepala dan menutupi dengan tangan.
—
Pagi itu kami berempat menghabiskan waktu sarapan bersama, kemudian berkeliling mengunjungi berbagai tempat indah di Bern. Berbelanja, berfoto atau hanya sekedar menganggumi keindahan kota kecil yang mirip seperti lukisan.
Adakalanya, Lian memberikan kesempatan ke gua dan Nyokap untuk duduk berduaan di tepian sungai Aare sambil menikmati langit sore yang sejuk dan tenang. Membiarkan kami ngobrol dan berbagi cerita antara anak dan Ibu, sesuatu yang selama ini hampir nggak pernah kami lakukan. Sementara, Lian dan Ibu juga melakukan hal yang sama. Keduanya berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Tak ada obrolan, hanya saling menyayangi dalam senyap.
Dua hari berlalu dengan cepat di Bern. Di hari ketiga, kami semua bersiap untuk pergi dan bertolak ke Korea. Atau, paling tidak itu yang awalnya gua ketahui.
Nyatanya, Kami berdua malah melepas Ibu dan Nyokap yang langsung terbang kembali ke Indonesia. Sementara, kami menunggu penerbangan lain. Tapi, bukannya menuju ke Korea. Lian malah mengajak gua ke Milan, Italia.
“Hah? ngapain?” Tanya gua, saat kami tiba di bandara.
Lian nggak menjawab, ia hanya pasang senyum yang misterius sambil terus membawa gua keluar dari bandara. Dengan menggunakan bus, ia membawa gua melewati kota Milan yang nggak kalah indah menuju ke salah satu stasiun kereta paling sibuk di sana. Melalui tanda pada gerbong kereta, gua bisa menebak kemana ia akan membawa gua; Venesia.
“Whaaaaattttt!!!! Serius?” Seru gua, lalu melepas genggaman tangannya dan mulai berlari kecil keluar dari stasiun begitu tiba di Venesia.
Gua memeluk lengannya di atas dermaga kecil yang basah, menatap ke arah gondola hitam yang mendekat ke arah kami. Sementara, aroma air asin dan kopi espresso yang tercium dari kafe-kafe kecil di sepanjang Piazza San Marco.
Untuk pertama kalinya, gua merasakan terombang-ambing di atas gondola, menyusuri kanal dengan langit sore yang menguning. Angin laut yang dingin terasa menggigit pipi, namun Lian menyelimuti bahu gua dengan lengannya.
Lampu-lampu kota berpendar, memantul di atas permukaan air. Sementara, si operator gondola atau Lian menyebutnya dengan gondolier terus bersenandung, menyanyikan lagu dengan bahasa yang nggak gua menerti. Tapi, entah kenapa semua terasa pas.
“Kamu ngerti?” Tanya gua sambil berbisik dekat telinganya, merujuk ke nyanyian si gondolier.
Lian mengangguk pelan. “Artinya; ‘kalau kamu bisa bertahan denganku di kapal kecil ini, mungkin kamu bisa bertahan denganku dalam hidup yang penuh badai’…” Ucapnya sambil mengikuti irama nyanyian si gondolier.
Gua menatapnya, penuh kebanggan.
“Kamu bisa berapa bahasa sih?” Tanya gua lagi.
Lian menunduk, mengangkat jari-jari kedua tangannya dan mulai menghitung. “Nggak tau, lima, mungkin enam, Tujuh kalau bahasa isyarat termasuk…” Jawabnya.
“Keren…” Gumam gua pelan.
Puas dengan berfoto di atas gondola sambil menyusuri kanal. Kami berdua lalu berjalan, keluar masuk gang sempit, mencari kedai pizza berdasarkan review di aplikasi maps. Hari itu, nggak bakal pernah gua lupakan, hanya kami berdua, nggak ada jas dokter, nggak ada mata kuliah, nggak ada tatapan orang yang menatap sirik, hanya gua dengan seorang pria yang diam-diam menggenggam tangan gua saat kami tersesat.
—
Puas ‘berkelana’ di Venesia, masih di hari yang sama Lian lantas mengajak gua kembali ke stasiun Santa Lucia. Mengambil tas dan koper yang sengaja dititipkan lalu beranjak ke bandara Marco polo dengan menggunakan kereta.
Dari Italia, kami bertolak menuju ke tempat lain. Tempat yang juga nggak gua ketahui tujuannya. Penerbangan berdurasi sekitar dua jam setengah membawa kami dari venesia yang sedikit hangat ke tempat dengan suhunya bahkan jauh lebih dingin ketimbang kulkas di Jakarta; Oslo.
Di bandara Oslo, kami bertukar dengan pesawat yang lebih kecil. Pesawat yang kemudian memabwa kami melintasi garis pantai dengan banyak teluk yang membiru dan pegunungan yang mulai diselimuti salju tipis
“Bagus deh….” Gumam gua.
“Namanya Fjord…” Lian bicara.
“Fjord?”
“Iya… teluk sempit yang ada tebing di kedua sisinya; namanya Fjord…” Lian menjelaskan.
“Oh…”
Kami lalu tiba di sebuah kota kecil berama Bode. Di mana udara di sini terasa jauh lebih dingin, ditambah hembusan angin laut yang terasa menusuk hingga menembus ke tulang. Lian, terus membuat gua berada dalam dekapannya, seakan takut gua hilang atau kedinginan.
Ia lalu membawa gua ke salah satu terminal Feri dengan menggunakan bus. Di sana, Lian membeli sepasan tiket untuk feri menuju ke sebuah tempat.
“Lofoten…” Gua mengeja nama yang tertera pada tiket feri. “Kita mau ke sini…” Tanya gua sambil menunjuk ke arah tiket.
“Iya…” Lian menjawab singkat.
“Emang ada apa di Lofoten?” Tanya gua lagi; penasaran.
“Liat aja nanti…”
Setelah menunggu hampir sekitar dua jam, kami akhirnya berhasil naik ke atas kapal feri. Sebuah kapal feri besar berwarna putih dengan dek luar yang luas. Kapal yang meluncur perlahan meninggalkan dermaga menerjang laut yang tampak ganas namun memukau. Di ujung horison terlihat ombak-ombak kecil yang berkejaran di bawah langit yang mulai gelap.
Kami berdua duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan laut sambil saling menggenggam tangan. Sementara bau solar dari mesin feri bercampur dengan aroma laut yang asin dan dengung suara mesin kapal menjadi latarnya.
Gua merebahkan kepala di bahunya, lalu bicara; “Apa rasanya mengoperasi aku?”
“Tersiksa…” Jawabnya singkat.
Starship - Nothing's Gonna Stop Us Now
Lookin' in your eyes
I see a paradise
This world that I found
Is too good to be true
Standin' here beside you
Want so much to give you
This love in my heart
That I'm feelin' for you
Let 'em say we're crazy
I don't care 'bout that
Put your hand in my hand
Baby, don't ever look back
Let the world around us
Just fall apart
Baby, we can make it
If we're heart to heart
And we can build this dream together
Standing strong forever
Nothing's gonna stop us now
And if this world runs out of lovers
We'll still have each other
Nothing's gonna stop us
Nothing's gonna stop us now
Oh, whoa
I'm so glad I found you
I'm not gonna lose you
Whatever it takes
I will stay here with you
Take it to the good times
See it through the bad times
Whatever it takes
Is what I'm gonna do
Let 'em say we're crazy
What do they know
Put your arms around me
Baby, don't ever let go
Let the world around us
Just fall apart
Baby, we can make it
If we're heart to heart
And we can build this dream together
Standing strong forever
Nothing's gonna stop us now
And if this world runs out of lovers
We'll still have each other
Nothing's gonna stop us
Nothing's gonna stop us
Ooh, all that I need is you
All that I ever need
And all that I want to do
Is hold you forever ever and ever, hey
And we can build this dream together
Standing strong forever
Nothing's gonna stop us now
percyjackson321 dan 49 lainnya memberi reputasi
50
Kutip
Balas
Tutup