- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.5K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#780
006-A The Scent Of You
Spoiler for 006-A The Scent Of You:
Natalie.
Nama itu sempat mati di kepala gua. Terkubur di antara marah dan putus asa. Tapi sekarang nama itu kembali hadir. Bukan dalam bentuk sebenarnya, tapi dalam bentuk kebencian.
Sejak hari itu gua mulai membencinya; membenci Natalie. Merasa kalau semua yang terjadi akibat ulahnya.
‘Ini jelas bukan gue!’
Lian, nggak pernah bersikap seperti ini. Tenggelam dalam kebencian sampai menutup mata dan hati akan alasan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Banyak cara bisa gua lakukan untuk mencari tau kebenaran. Gua bisa saja bertanya ke Tante Ana tentang bagaimana ia bisa menghubungi Ibu. Atau, bisa saja langsung bicara ke Natalie untuk mengkonfirmasi semuanya.
Pokoknya, banyak cara bisa gua lakukan untuk mencari tau. Tapi gua nggak mau. Gua nggak siap untuk mendengar alasan yang bisa bikin gua memberinya maaf.
Jadi gua memilih untuk terus membencinya. Karena lebih gampang begitu.
Lebih gampang pura-pura dia bukan siapa-siapa ketimbang harus jujur ke diri sendiri kalau gua pernah terluka karena kehilangannya.
—
Masih segar di ingatan gua sore itu. Saat perpisahan kami di tepian danau di hutan kota. Tangisnya yang pecah, punggungnya yang perlahan menghilang di kejauhan dan kata-katanya yang terus menempel di kepala. Kata-katanya yang berusaha memperjuangkan hubungan kami berdua.
Masih segar di ingatan gua, saat itu. Saat ia terbaring nggak berdaya di meja operasi. Saat ia perlahan kehilangan ingatannya tentang kita, tentang gua.
Dan setelah semuanya, saat merasa hidup ini sudah nggak lagi punya arti, sebuah pesan singkat dari Ibu membangkitkan semuanya. Membuka kembali kesempatan yang dulu sirna.
‘Nak, bisa kamu ke sini?’
‘Ke Solo, bu? Bisa’ balas gua melalui pesan singkat.
Gua tentu langsung menjawab ‘bisa’. Apapun kondisinya, gua nggak mau bilang ‘nggak’ ke ibu. Seberapa sulitnya tugas yang ia berikan, seberapa jauh pun jarak di antara kami, kalau ibu bilang A, gua akan melakukannya.
‘Ada apa bu? Ibu nggak lagi sakit kan?’ Tanya gua lagi.
‘Yang sakit bukan Ibu’
‘Terus siapa?’
Ibu nggak membalas pesan dengan kalimat, melainkan sebuah foto. Gua mengetuk layar, membuka foto kiriman ibu yang masih buram. Detik berikutnya, foto terlihat sempurna. Nampak seorang gadis tengah berbaring di atas ranjang, terlelap sambil memeluk buku.
Dari foto itu, gua langsung tau dimana ia berbaring. ‘Itu ranjang gue, dan yang dipeluknya adalah buku catatan gue. Dia di sana, bersama ibu’
Gua beralih ke panggilan video, yang lantas langsung dijawab oleh ibu.
‘Kenapa bu? Demam?’
Ibu mengangkat kedua bahunya; ‘Nggak tau, tadi mengeluh pusing. Sudah ibu kasih obat’
‘Baik bu, aku ke sana sekarang ya’
‘Naik apa malam-malam begini?’ Ibu balik bertanya dengan bahasa isyarat.
‘Mobil’
‘Sendiri?’
‘Iya’
‘Hati-hati ya nak, kalau mengantuk istirahat dulu’
‘Iya bu’ balas gua lantas mengakhiri panggilan.
Gua nggak mengepak pakaian apapun, hanya memasukkan steteskop dan beberapa peralatan media ke dalam tas kecil lalu bersiap berangkat. Sebelum pergi, gua menyempatkan diri menulis pesan untuk Kucay dan menempelkannya di pintu kulkas. Biar dia nggak bingung saat datang besok pagi.
Iya, sejak gua sering bolak-balik Jakarta-Singapore, Kucay jarang stand-by di rumah. Biasanya ia akan datang pagi hari untuk beres-beres lalu pulang menjelang sore.
Gua memacu mobil, cepat, sangat cepat hingga kendaraan-kendaraan lain terlihat samar dan terasa seperti berjalan mundur.
Sekitar kurang lebih 7 jam berikutnya, gua akhirnya tiba di Solo. Setelah mengisi bensin mobil dan membeli segelas kopi untuk sumber energi, gua langsung menuju ke tempat Ibu.
Mas Didi, membuka lebar gerbang dan membiarkan gua lewat. Ia lalu berlari kecil mengikuti mobil sambil memberi petunjuk arah.
“Yak, terus mas… sedikit lagi… Sip”Ujarnya sambil mengacungkan ibu jarinya.
Ia mendekat begitu gua keluar dari mobil.
“Pagi…” Sapa gua.
“Pagi, Mas… Ibu ada di kantor. Mau di anter?”
“Nggak usah, Mas. Makasih…” Jawab gua, lantas pergi dari area parkir.
Yayasan ini masih sama kayak terakhir kali gua ke sini, hanya saja sekarang terlihat lebih bersih dan ya, ada bangunan baru. Yang artinya, Ibu berhasil mengembangkan yayasan ini tanpa banyak campur tangan gua.
Dari area parkir, gua harus menyusuri lorong tegel tanpa dinding dengan atap rendah dan tiang-tiang penyangga dari beton untuk bisa ke aula bangunan utama. Namun, langkah gua terhenti saat melihat ke arah halaman, ke arah anak-anak yang sibuk bermain sepak bola. Di sana, si seberang lapangan, seorang gadis tengah duduk di atas kursi beton.
Gua keluar dari lorong, menyeberangi halaman rumput dengan papan tanda ‘Dilarang menginjak rumput’ dan terus ke arahnya. “Mas, jangan lewat situ…”. Seru Mas Didi ke arah gua.
Mau nggak mau, gua kembali. Lalu memutar, ke arah gerbang masuk agar bisa menuju ke area halaman tempat anak-anak bermain bola.
Langkah gua terhenti begitu melihatnya. Ia nampak tersenyum bahagia, sementara pandangannya terus berpindah mengikuti arah bola yang kesana-kemari ditendang anak-anak. Ia lalu menoleh dan menatap gua, pandangan kami lalu bertemu. Kami lalu sama-sama saling menatap dalam diam.
Dari posisi gua berdiri sekarang, bisa terlihat ada raut kesedihan di wajahnya. Sementara, kedua matanya mulai berlinang saat menatap gua.
Perlahan, Ia mulai berjalan mendekat, menyeberangi lapangan. Langkahnya pelan, namun pasti. Bola sempat melintas di depannya dan seorang anak bahkan hampir menabraknya. Tapi dia terus melangkah. Dengan matanya yang basah terus diarahkan ke gua.
Jarak antara kami berdua kini semakin dekat.
Dari sini, gua bisa mencium aroma parfumnya yang mengingatkan gua akan dirinya, akan banyak hal yang kami lalu di masa lalu. Aroma yang terasa sangat familiar.
Langkahnya lalu terhenti. Ia mendongak dan menatap gua.
Jujur saja, saat ini ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hati untuk segera memeluknya. Namun, gua mencoba menahannya. Nggak mungkin melakukan hal itu saat ini. Dia bahkan belum betul-betul mengenal gua.
Yang bisa gua lakukan hanyalah menyeka pipinya yang basah karena air mata. Sementara ia hanya terus menatap gua dengan ekspresi yang campur aduk; ada kesedihan, ada rasa rindu dan kebahagiaan di sana.
“Baca Aku…” Ucapnya pelan.
Gua nggak menjawab, hanya terus tersenyum sambil menatap wajahnya.
“Apa yang terlihat?” Tanyanya.
Saking dekatnya posisi kami berdua, gua bahkan bisa melihat pantulan wajah diri sendiri di matanya.
Gua menggeleng pelan.
Fira menundukkan kepalannya, lalu menjatuhkannya tepat di dada gua. Sementara, kedua tangannya mulai mencengkeram sisi kemeja. Erat, sangat erat.
“Aku ingat wangimu…” Gumamnya, masih dengan kepalanya di dada gua. “Suaramu bahkan terdengar akrab di telinga…” Tambahnya.
“…”
“Tapi…”
“Nggak ada aku di ingatanmu?” Gua menebak kalimat selanjutnya.
Fira kembali mendongak dan menatap gua sebentar, kemudian mengangguk pelan.
“Aku… aku nggak ingat apa-apa tentang kamu. Tapi entah kenapa, aku merasa… nyaman” Ucapnya lirih.
Kata-kata itu langsung membuat jantung gua berdegup kencang, sekaligus menyisakan luka yang lebih dalam. Nggak ada sama sekali ‘kita’ di dalam ingatannya. Mungkin buatnya, gua hanyalah perasaan samar yang nggak bisa ia jelaskan.
Gua menghela napas. Lalu, tiba-tiba air mata mulai menggenang.
Untuk ke sekian kalinya di dalam hidup, gua menangis. Bukan karena hal lain, tapi karena dirinya. Karena Fira.
“Apa dulu aku sayang banget sama kamu?” Tanyanya.
Pertanyaannya barusan terasa seperti pukulan di dada. Gua sangat ingin menjawab, ingin bilang ‘Iya’ bahwa dia begitu mencintai gua dan begitu juga sebaliknya. Tapi jawaban ‘Iya’ yang sederhana dan singkat terasa seperti tersangkut di tenggorokan, terlalu berat untuk diucapkan. Gua lalu hanya mengangguk pelan. Sementara, air mata kini sudah nggak lagi bisa tertahan dan mulai menetes membasahi pipi.
Fira menatap gua dengan lembut, lalu tangannya mulai terulur, menyeka air mata di pipi. “Jangan nangis,” bisiknya, suaranya terdengar begitu menenangkan. “Aku… aku nggak tahu kenapa aku begini, tapi nggak tau kenapa. Dadaku terasa sesak saat melihat kamu nangis…”
Gua menutup mata, merasakan sentuhan tangannya yang hangat. Sentuhan yang dulu selalu menenangkannya. “Fir…” gumam gua. “Aku yakin kamu lupa. Tapi, dulu aku sering bilang kalau cuma kamu yang bisa bikin aku tersenyum, bahkan menangis…” Gua menambahkan.
“…”
“… Tapi, sekarang. Kamu bahkan nggak mengingat aku”
Fira menarik tangannya perlahan, tapi ia nggak mundur. Ia tetap berdiri di depan gua, matanya penuh dengan rasa rindu yang nggak bisa dijelaskan.
“Aku bingung dan nggak tau harus ngapain…” Ucapnya lirih.
“Aku tau…” Balas gua singkat.
“Kamu memang nggak mengingat aku, dan kecil kemungkinan ingatan kamu bakal kembali. Tapi, kalau kamu dan dunia mengijinkan. Aku mau mencoba membuatmu jatuh cinta lagi…”
Fira nggak langsung menjawab. Ia hanya terus menatap gua dengan matanya yang kini terlihat sayu.
Ia lalu menggeleng pelan.
Kami sama-sama terdiam sejenak, hanya saling menatap, membiarkan angin pagi yang sejuk membawa perasaan yang nggak bisa terucap. Lalu, Fira mengulurkan tangannya, telapaknya terbuka, seakan menanti. “Ajak aku jalan-jalan. Ceritain tentang kita… tentang kamu. Aku mau tahu..”
Gua menatap tangannya, tangan yang dulu selalu ia genggam erat saat bersama. Ragu, gua meraih tangannya. Jari-jari gua mulai menyentuh ujung jemarinya. Lalu perlahan, Fira mulai menggenggam. Hangat, rasanya masih sama seperti dulu.
Kami berdua lalu berjalan perlahan menyusuri halaman yayasan, menuju ke area taman belakang dengan kedua tangan saling bertaut. Kini, langkah gua terasa ringan mesikpun penuh dengan beban. Tepat di bawa sebuah pohon sawo besar, gua mengajaknya duduk di bangku cor yang penuh dengan serpihan daun kering.
Gua menyeka permukaan bangku cor dan membiarkannya duduk.
Gua lalu mulai bercerita. Cerita tentang pertemuan pertama kami, tentang ia yang selalu berhasil membuat dunia ini terasa jungkir balik, tentang malam-malam panjang di rumah sakit dengan kenangan tentangnya. Sementara, Fira mendengarkan dengan seksama, berpangku tangan dan menatap gua. Sesekali ia tersenyum, sesekali menyeka air mata seolah bagian dari dirinya perlahan kembali. Meskipun gua yakin itu hanya perasaan, bukan sebuah ingatan.
“Kamu kayaknya nggak bakal bisa deh…” Ucapnya, menyela cerita gua yang belum selesai sepenuhnya.
“Maksudnya?” Tanya gua.
“Nggak bakal bisa bikin aku jatuh hati lagi sama kamu” Jawabnya.
“Hah!?” Jantung gua terasa seperti berhenti begitu mendengar ucapannya barusan. Genggaman tangan gua perlahan mengendur. Namun, Fira dengan cepat meraih kembali tangan gua dan menggenggamnya lagi.
“Belum apa-apa, aku udah jatuh cinta sama kamu…” Ucapnya, sambil tersenyum. “… Lagi” Tambahnya.
“Hah!?”
“Ayo kita mulai dari awal lagi. Kalau kamu mau, kita… kita bisa coba mulai dari awal. Aku nggak janji bisa jadi Fira yang sama. Fira yang dulu kamu kenal…”
“…”
“… Dan aku mau coba mengenal kamu lagi... Tanpa ada yang disembunyikan. Tanpa ada rahasia apapun” Tambahnya.
Kata-kata nya barusan berhasil membuat hati ini bergetar. ‘Mulai dari awal’ Itu adalah harapan yang selama ini gua takut untuk miliki, tapi juga sesuatu yang gua terus dambakan lebih dari apa pun. Gua menatap Fira, memandang jauh di matanya, nggak ada apapun, yang terlihat hanya ketulusan.
“Mulai dari awal…” Gua mengulang ucapannya. Dengan suara pelan seolah mencoba meyakinkan diri sendiri, “Serius?”
Fira mengangguk, lalu tersenyum kecil, senyum yang dulu selalu membuat dunia gua terasa lebih ‘hidup’. “Iya. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa… aku nggak mau kehilangan kamu, meskipun… meskipun aku nggak ingat kamu...” Ia tertawa kecil, seolah malu dengan kata-katanya sendiri. “Aneh, ya?”
Gua menggeleng, dan mulai tersenyum. “Nggak kok…”
Kami berdua lantas kembali terdiam. Hanya saling menatap dengan tangan sama-sama saling menggenggam.
“Sekarang. Baca aku…” Pintanya, sambil berpose dan pasang senyum. Senyum termanis yang pernah gua lihat.
Gua menggeleng. “Nggak bisa… kamu kan tau, cuma kamu yang bisa bikin aku tersenyum, menangis, menyeringai. Cuma kamu…”
Fira tersenyum lantas tangannya mulai menyentuh pipi gua dan membelainya lembut. Gua membalas senyumnya, kemudian menggumam pelan; “Aku periksa kamu sebentar ya…”
“Lho kenapa?” Tanyanya penasaran.
“Semalam katanya kamu demam” Balas gua. “Tunggu di sini ya…” Gua menambahkan, lalu berdiri dan beranjak pergi sebentar untuk mengambil tas berisi peralatan di mobil.
Gua berlari. Berlari sekuat tenaga, secepat mungkin ke area parkir mobil. Mengambil tas kecil yang tertinggal di kursi depan sisi penumpang. Lalu, kembali ke tempat yang sama, ke tempat di mana Fira sudah menunggu.
“Ya ampun, ngapain sampe lari-lari begitu sih?” Keluhnya begitu gua kembali.
Sementara, gua hanya tersenyum sambil menunduk dan mencoba mengatur napas yang tersengal. “Sini duduk dulu…” Ucapnya, seraya menepuk pelan area kosong di sebelahnya.
Gua mengangguk pelan, lalu duduk di sebelahnya. Setelah cukup tenang, barulah gua mulai mengeluarkan stateskop dari dalam tas, memasang ujungnya di kedua telinga dan ujung satu lagi gua arahkan ke bagian atas dadanya. Terdengar jantungnya berdetak cepat dan nggak beraturan, gua menatapnya. Fira tersenyum.
“Kenapa? deg-degan ya?” Tanyanya.
“Iya…”
Dengan perlahan, ia lalu melepas stateskop dari telinga. Meraih tangan gua dan menggenggamnya; “Aku nggak apa-apa kok…”
Gua menggaruk kepala yang nggak gatal; salah tingkah. Hal yang selama ini nggak pernah terjadi.
“Kamu selalu seperti itu? selalu lari-larian untuk menyelamatkan pasien?” Tanyanya.
“Dulu nggak. Dulu aku cuma begitu saat bertugas…”
“Terus…”
“Terus, ada orang yang mengingatkan aku, kalau dokter itu tugasnya nggak cuma di rumah sakit. Tapi di mana aja dan kapan aja…”
“Siapa?” Tanyanya, penasaran.
“Kamu…”
“Ah, masa sih? aku? sebijak itu?” Tanyanya lagi, nggak percaya.
“Iya. Kamu begitu”
Ditengah perbincangan kami tentang masa lalu, terlihat Ibu berjalan mendekat ke arah kami berdua. Dari kejauhan gua bisa melihat senyumnya yang terkembang. Senyum yang selama ini selalu terpasang, namun kali ini terlihat lebih merekah dari sebelumnya.
Gua berdiri, meraih tangan dan menciumnya. Nggak lupa memberikan kecupan di kedua pipi. ‘Ibu sehat kan?’ Tanya gua dengan menggerakan tangan, membuat bahasa isyarat.
‘Sehat dong. Sudah ngobrol?’ tanyanya lalu menunjuk ke arah Fira.
‘Sudah…’
‘Happy?’ tanyanya lagi.
‘Iya’ Gua mengangguk pelan.
‘Ngobrolnya, di dalam ya. Sambil makan’
‘Iya bu’
‘Nggak enak kalo berduaan di sini, terlihat anak-anak’ Tambahnya.
'Maaf bu’ Ucap gua, lalu beralih ke Fira dan meraih tangannya, mengajaknya ke arah rumah Ibu.
“Kenapa?” Tanya Fira penasaran.
“Gapapa… Sama ibu disuru pindah. Nggak enak keliatan berduaan…” Jawab gua.
Mendengar ucapan gua barusan, Fira sontak menghentikan langkahnya. Ia lalu berbalik ke arah Ibu lantas sedikit membungkukkan tubuhnya. Lalu, mengangkat tangan kanannya. Ibu jari dan telunjuk ia satukan, dengan tiga jari lain tetap lurus keatas seperti membentuk kepala kelinci. Kemudian meletakkannya di sisi pipi, dan menggerakkan maju-mundur. Gerakan yang gua ketahui sebagai bahasa isyarat untuk sebuah permintaan maaf.
Ibu tersenyum lalu meletakkan telapak tangannya di dagu, dan menurunkannya. Gerakan Isyarat untuk ‘Terima kasih’.
Fira kembali berpaling, meraih tangan gua dan bersiap melanjutkan langkah. Namun, gua hanya bergeming dan terus menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Siapa yang ngajarin?” Gua balik bertanya. Tentu saja yang gua maksud adalah bahasa isyarat yang baru ia peragakan ke Ibu.
“Nggak ada. Aku merhatiin aja dari kemarin” Jawabnya.
“Hebat..”
“Hehehe…”
“Tapi… ada sedikit masukkan”
“Apa?”
“Kalau menggunakan bahasa isyarat, harus disertai dengan ekspresi, apalagi untuk permintaan maaf dan terima kasih…”
“Ooh…”
Gua lalu mencontohkan gerakan bahasa isyarat untuk ‘Maaf’ sambil menunjukkan ekspresi ‘menyesal’ yang sudah terlatih.
“Kamu, aku, bisa tau orang tulus apa nggak dalam meminta maaf lewat nada bicara dan intonasi. Sementara, mereka nggak bisa mendengar apapun. Nah, untuk tau kalau kita meminta maaf atau berterima kasih dengan tulus, bisa lewat ekspresi…” Gua menjelaskan.
“Ooh, gitu…” Gumamnya seraya mengangguk dan mengulangi gerakan yang barusan gua contohkan. Kali ini sambil pasang ekspresi menyesal.
“Naah.. Bener…”
Fira lantas kembali menggerakkan tangannya, membuat gestur ‘Terima Kasih’. Dan, gua dengan cepat meresponnya, mengangkat ibu jari dan kelingking, sementara jemari yang lain menggenggam, lalu menggoyangkannya maju-mundur.
“Itu apa artinya?” Tanyanya.
“Artinya; ‘Sama-sama’….” Balas gua.
“Ooh…” Gumamnya. Lalu tersenyum dan menatap gua, “… Ajarin aku isyarat yang lain” Pintanya.
“Buat apa?” Tanya gua.
“Biar aku bisa mengerti Ibu…” Jawabnya, masih dengan senyum terpasang di wajahnya.
Gua tertegun begitu mendengar ucapannya barusan. Nggak percaya.
“Kenapa? Kenapa harus mengerti Ibu?” Tanya gua lagi, masih nggak percaya dengan inginnya.
Fira menundukkan kepalanya sebentar, sementara tangannya kembali menggenggam tangan gua. Ia lalu menjawab; “Ibu pasti capek. Karena harus nulis setiap mau ngomong sama aku…”
“…”
“… Kalau aku mengerti bahasa isyarat. Dia kan jadi nggak perlu capek-capek nulis lagi” Tambahnya.
Sebuah jawaban yang sederhana. Terlalu sederhana untuk dunia yang kompleks. Tapi, jawaban sederhana darinya sudah cukup. Lebih dari cukup untuk jadi alasan gua menjadikannya obsesi.
--
Nama itu sempat mati di kepala gua. Terkubur di antara marah dan putus asa. Tapi sekarang nama itu kembali hadir. Bukan dalam bentuk sebenarnya, tapi dalam bentuk kebencian.
Sejak hari itu gua mulai membencinya; membenci Natalie. Merasa kalau semua yang terjadi akibat ulahnya.
‘Ini jelas bukan gue!’
Lian, nggak pernah bersikap seperti ini. Tenggelam dalam kebencian sampai menutup mata dan hati akan alasan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Banyak cara bisa gua lakukan untuk mencari tau kebenaran. Gua bisa saja bertanya ke Tante Ana tentang bagaimana ia bisa menghubungi Ibu. Atau, bisa saja langsung bicara ke Natalie untuk mengkonfirmasi semuanya.
Pokoknya, banyak cara bisa gua lakukan untuk mencari tau. Tapi gua nggak mau. Gua nggak siap untuk mendengar alasan yang bisa bikin gua memberinya maaf.
Jadi gua memilih untuk terus membencinya. Karena lebih gampang begitu.
Lebih gampang pura-pura dia bukan siapa-siapa ketimbang harus jujur ke diri sendiri kalau gua pernah terluka karena kehilangannya.
—
Masih segar di ingatan gua sore itu. Saat perpisahan kami di tepian danau di hutan kota. Tangisnya yang pecah, punggungnya yang perlahan menghilang di kejauhan dan kata-katanya yang terus menempel di kepala. Kata-katanya yang berusaha memperjuangkan hubungan kami berdua.
Masih segar di ingatan gua, saat itu. Saat ia terbaring nggak berdaya di meja operasi. Saat ia perlahan kehilangan ingatannya tentang kita, tentang gua.
Dan setelah semuanya, saat merasa hidup ini sudah nggak lagi punya arti, sebuah pesan singkat dari Ibu membangkitkan semuanya. Membuka kembali kesempatan yang dulu sirna.
‘Nak, bisa kamu ke sini?’
‘Ke Solo, bu? Bisa’ balas gua melalui pesan singkat.
Gua tentu langsung menjawab ‘bisa’. Apapun kondisinya, gua nggak mau bilang ‘nggak’ ke ibu. Seberapa sulitnya tugas yang ia berikan, seberapa jauh pun jarak di antara kami, kalau ibu bilang A, gua akan melakukannya.
‘Ada apa bu? Ibu nggak lagi sakit kan?’ Tanya gua lagi.
‘Yang sakit bukan Ibu’
‘Terus siapa?’
Ibu nggak membalas pesan dengan kalimat, melainkan sebuah foto. Gua mengetuk layar, membuka foto kiriman ibu yang masih buram. Detik berikutnya, foto terlihat sempurna. Nampak seorang gadis tengah berbaring di atas ranjang, terlelap sambil memeluk buku.
Dari foto itu, gua langsung tau dimana ia berbaring. ‘Itu ranjang gue, dan yang dipeluknya adalah buku catatan gue. Dia di sana, bersama ibu’
Gua beralih ke panggilan video, yang lantas langsung dijawab oleh ibu.
‘Kenapa bu? Demam?’
Ibu mengangkat kedua bahunya; ‘Nggak tau, tadi mengeluh pusing. Sudah ibu kasih obat’
‘Baik bu, aku ke sana sekarang ya’
‘Naik apa malam-malam begini?’ Ibu balik bertanya dengan bahasa isyarat.
‘Mobil’
‘Sendiri?’
‘Iya’
‘Hati-hati ya nak, kalau mengantuk istirahat dulu’
‘Iya bu’ balas gua lantas mengakhiri panggilan.
Gua nggak mengepak pakaian apapun, hanya memasukkan steteskop dan beberapa peralatan media ke dalam tas kecil lalu bersiap berangkat. Sebelum pergi, gua menyempatkan diri menulis pesan untuk Kucay dan menempelkannya di pintu kulkas. Biar dia nggak bingung saat datang besok pagi.
Iya, sejak gua sering bolak-balik Jakarta-Singapore, Kucay jarang stand-by di rumah. Biasanya ia akan datang pagi hari untuk beres-beres lalu pulang menjelang sore.
Gua memacu mobil, cepat, sangat cepat hingga kendaraan-kendaraan lain terlihat samar dan terasa seperti berjalan mundur.
Sekitar kurang lebih 7 jam berikutnya, gua akhirnya tiba di Solo. Setelah mengisi bensin mobil dan membeli segelas kopi untuk sumber energi, gua langsung menuju ke tempat Ibu.
Mas Didi, membuka lebar gerbang dan membiarkan gua lewat. Ia lalu berlari kecil mengikuti mobil sambil memberi petunjuk arah.
“Yak, terus mas… sedikit lagi… Sip”Ujarnya sambil mengacungkan ibu jarinya.
Ia mendekat begitu gua keluar dari mobil.
“Pagi…” Sapa gua.
“Pagi, Mas… Ibu ada di kantor. Mau di anter?”
“Nggak usah, Mas. Makasih…” Jawab gua, lantas pergi dari area parkir.
Yayasan ini masih sama kayak terakhir kali gua ke sini, hanya saja sekarang terlihat lebih bersih dan ya, ada bangunan baru. Yang artinya, Ibu berhasil mengembangkan yayasan ini tanpa banyak campur tangan gua.
Dari area parkir, gua harus menyusuri lorong tegel tanpa dinding dengan atap rendah dan tiang-tiang penyangga dari beton untuk bisa ke aula bangunan utama. Namun, langkah gua terhenti saat melihat ke arah halaman, ke arah anak-anak yang sibuk bermain sepak bola. Di sana, si seberang lapangan, seorang gadis tengah duduk di atas kursi beton.
Gua keluar dari lorong, menyeberangi halaman rumput dengan papan tanda ‘Dilarang menginjak rumput’ dan terus ke arahnya. “Mas, jangan lewat situ…”. Seru Mas Didi ke arah gua.
Mau nggak mau, gua kembali. Lalu memutar, ke arah gerbang masuk agar bisa menuju ke area halaman tempat anak-anak bermain bola.
Langkah gua terhenti begitu melihatnya. Ia nampak tersenyum bahagia, sementara pandangannya terus berpindah mengikuti arah bola yang kesana-kemari ditendang anak-anak. Ia lalu menoleh dan menatap gua, pandangan kami lalu bertemu. Kami lalu sama-sama saling menatap dalam diam.
Dari posisi gua berdiri sekarang, bisa terlihat ada raut kesedihan di wajahnya. Sementara, kedua matanya mulai berlinang saat menatap gua.
Perlahan, Ia mulai berjalan mendekat, menyeberangi lapangan. Langkahnya pelan, namun pasti. Bola sempat melintas di depannya dan seorang anak bahkan hampir menabraknya. Tapi dia terus melangkah. Dengan matanya yang basah terus diarahkan ke gua.
Jarak antara kami berdua kini semakin dekat.
Dari sini, gua bisa mencium aroma parfumnya yang mengingatkan gua akan dirinya, akan banyak hal yang kami lalu di masa lalu. Aroma yang terasa sangat familiar.
Langkahnya lalu terhenti. Ia mendongak dan menatap gua.
Jujur saja, saat ini ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hati untuk segera memeluknya. Namun, gua mencoba menahannya. Nggak mungkin melakukan hal itu saat ini. Dia bahkan belum betul-betul mengenal gua.
Yang bisa gua lakukan hanyalah menyeka pipinya yang basah karena air mata. Sementara ia hanya terus menatap gua dengan ekspresi yang campur aduk; ada kesedihan, ada rasa rindu dan kebahagiaan di sana.
“Baca Aku…” Ucapnya pelan.
Gua nggak menjawab, hanya terus tersenyum sambil menatap wajahnya.
“Apa yang terlihat?” Tanyanya.
Saking dekatnya posisi kami berdua, gua bahkan bisa melihat pantulan wajah diri sendiri di matanya.
Gua menggeleng pelan.
Fira menundukkan kepalannya, lalu menjatuhkannya tepat di dada gua. Sementara, kedua tangannya mulai mencengkeram sisi kemeja. Erat, sangat erat.
“Aku ingat wangimu…” Gumamnya, masih dengan kepalanya di dada gua. “Suaramu bahkan terdengar akrab di telinga…” Tambahnya.
“…”
“Tapi…”
“Nggak ada aku di ingatanmu?” Gua menebak kalimat selanjutnya.
Fira kembali mendongak dan menatap gua sebentar, kemudian mengangguk pelan.
“Aku… aku nggak ingat apa-apa tentang kamu. Tapi entah kenapa, aku merasa… nyaman” Ucapnya lirih.
Kata-kata itu langsung membuat jantung gua berdegup kencang, sekaligus menyisakan luka yang lebih dalam. Nggak ada sama sekali ‘kita’ di dalam ingatannya. Mungkin buatnya, gua hanyalah perasaan samar yang nggak bisa ia jelaskan.
Gua menghela napas. Lalu, tiba-tiba air mata mulai menggenang.
Untuk ke sekian kalinya di dalam hidup, gua menangis. Bukan karena hal lain, tapi karena dirinya. Karena Fira.
“Apa dulu aku sayang banget sama kamu?” Tanyanya.
Pertanyaannya barusan terasa seperti pukulan di dada. Gua sangat ingin menjawab, ingin bilang ‘Iya’ bahwa dia begitu mencintai gua dan begitu juga sebaliknya. Tapi jawaban ‘Iya’ yang sederhana dan singkat terasa seperti tersangkut di tenggorokan, terlalu berat untuk diucapkan. Gua lalu hanya mengangguk pelan. Sementara, air mata kini sudah nggak lagi bisa tertahan dan mulai menetes membasahi pipi.
Fira menatap gua dengan lembut, lalu tangannya mulai terulur, menyeka air mata di pipi. “Jangan nangis,” bisiknya, suaranya terdengar begitu menenangkan. “Aku… aku nggak tahu kenapa aku begini, tapi nggak tau kenapa. Dadaku terasa sesak saat melihat kamu nangis…”
Gua menutup mata, merasakan sentuhan tangannya yang hangat. Sentuhan yang dulu selalu menenangkannya. “Fir…” gumam gua. “Aku yakin kamu lupa. Tapi, dulu aku sering bilang kalau cuma kamu yang bisa bikin aku tersenyum, bahkan menangis…” Gua menambahkan.
“…”
“… Tapi, sekarang. Kamu bahkan nggak mengingat aku”
Fira menarik tangannya perlahan, tapi ia nggak mundur. Ia tetap berdiri di depan gua, matanya penuh dengan rasa rindu yang nggak bisa dijelaskan.
“Aku bingung dan nggak tau harus ngapain…” Ucapnya lirih.
“Aku tau…” Balas gua singkat.
“Kamu memang nggak mengingat aku, dan kecil kemungkinan ingatan kamu bakal kembali. Tapi, kalau kamu dan dunia mengijinkan. Aku mau mencoba membuatmu jatuh cinta lagi…”
Fira nggak langsung menjawab. Ia hanya terus menatap gua dengan matanya yang kini terlihat sayu.
Ia lalu menggeleng pelan.
Kami sama-sama terdiam sejenak, hanya saling menatap, membiarkan angin pagi yang sejuk membawa perasaan yang nggak bisa terucap. Lalu, Fira mengulurkan tangannya, telapaknya terbuka, seakan menanti. “Ajak aku jalan-jalan. Ceritain tentang kita… tentang kamu. Aku mau tahu..”
Gua menatap tangannya, tangan yang dulu selalu ia genggam erat saat bersama. Ragu, gua meraih tangannya. Jari-jari gua mulai menyentuh ujung jemarinya. Lalu perlahan, Fira mulai menggenggam. Hangat, rasanya masih sama seperti dulu.
Kami berdua lalu berjalan perlahan menyusuri halaman yayasan, menuju ke area taman belakang dengan kedua tangan saling bertaut. Kini, langkah gua terasa ringan mesikpun penuh dengan beban. Tepat di bawa sebuah pohon sawo besar, gua mengajaknya duduk di bangku cor yang penuh dengan serpihan daun kering.
Gua menyeka permukaan bangku cor dan membiarkannya duduk.
Gua lalu mulai bercerita. Cerita tentang pertemuan pertama kami, tentang ia yang selalu berhasil membuat dunia ini terasa jungkir balik, tentang malam-malam panjang di rumah sakit dengan kenangan tentangnya. Sementara, Fira mendengarkan dengan seksama, berpangku tangan dan menatap gua. Sesekali ia tersenyum, sesekali menyeka air mata seolah bagian dari dirinya perlahan kembali. Meskipun gua yakin itu hanya perasaan, bukan sebuah ingatan.
“Kamu kayaknya nggak bakal bisa deh…” Ucapnya, menyela cerita gua yang belum selesai sepenuhnya.
“Maksudnya?” Tanya gua.
“Nggak bakal bisa bikin aku jatuh hati lagi sama kamu” Jawabnya.
“Hah!?” Jantung gua terasa seperti berhenti begitu mendengar ucapannya barusan. Genggaman tangan gua perlahan mengendur. Namun, Fira dengan cepat meraih kembali tangan gua dan menggenggamnya lagi.
“Belum apa-apa, aku udah jatuh cinta sama kamu…” Ucapnya, sambil tersenyum. “… Lagi” Tambahnya.
“Hah!?”
“Ayo kita mulai dari awal lagi. Kalau kamu mau, kita… kita bisa coba mulai dari awal. Aku nggak janji bisa jadi Fira yang sama. Fira yang dulu kamu kenal…”
“…”
“… Dan aku mau coba mengenal kamu lagi... Tanpa ada yang disembunyikan. Tanpa ada rahasia apapun” Tambahnya.
Kata-kata nya barusan berhasil membuat hati ini bergetar. ‘Mulai dari awal’ Itu adalah harapan yang selama ini gua takut untuk miliki, tapi juga sesuatu yang gua terus dambakan lebih dari apa pun. Gua menatap Fira, memandang jauh di matanya, nggak ada apapun, yang terlihat hanya ketulusan.
“Mulai dari awal…” Gua mengulang ucapannya. Dengan suara pelan seolah mencoba meyakinkan diri sendiri, “Serius?”
Fira mengangguk, lalu tersenyum kecil, senyum yang dulu selalu membuat dunia gua terasa lebih ‘hidup’. “Iya. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa… aku nggak mau kehilangan kamu, meskipun… meskipun aku nggak ingat kamu...” Ia tertawa kecil, seolah malu dengan kata-katanya sendiri. “Aneh, ya?”
Gua menggeleng, dan mulai tersenyum. “Nggak kok…”
Kami berdua lantas kembali terdiam. Hanya saling menatap dengan tangan sama-sama saling menggenggam.
“Sekarang. Baca aku…” Pintanya, sambil berpose dan pasang senyum. Senyum termanis yang pernah gua lihat.
Gua menggeleng. “Nggak bisa… kamu kan tau, cuma kamu yang bisa bikin aku tersenyum, menangis, menyeringai. Cuma kamu…”
Fira tersenyum lantas tangannya mulai menyentuh pipi gua dan membelainya lembut. Gua membalas senyumnya, kemudian menggumam pelan; “Aku periksa kamu sebentar ya…”
“Lho kenapa?” Tanyanya penasaran.
“Semalam katanya kamu demam” Balas gua. “Tunggu di sini ya…” Gua menambahkan, lalu berdiri dan beranjak pergi sebentar untuk mengambil tas berisi peralatan di mobil.
Gua berlari. Berlari sekuat tenaga, secepat mungkin ke area parkir mobil. Mengambil tas kecil yang tertinggal di kursi depan sisi penumpang. Lalu, kembali ke tempat yang sama, ke tempat di mana Fira sudah menunggu.
“Ya ampun, ngapain sampe lari-lari begitu sih?” Keluhnya begitu gua kembali.
Sementara, gua hanya tersenyum sambil menunduk dan mencoba mengatur napas yang tersengal. “Sini duduk dulu…” Ucapnya, seraya menepuk pelan area kosong di sebelahnya.
Gua mengangguk pelan, lalu duduk di sebelahnya. Setelah cukup tenang, barulah gua mulai mengeluarkan stateskop dari dalam tas, memasang ujungnya di kedua telinga dan ujung satu lagi gua arahkan ke bagian atas dadanya. Terdengar jantungnya berdetak cepat dan nggak beraturan, gua menatapnya. Fira tersenyum.
“Kenapa? deg-degan ya?” Tanyanya.
“Iya…”
Dengan perlahan, ia lalu melepas stateskop dari telinga. Meraih tangan gua dan menggenggamnya; “Aku nggak apa-apa kok…”
Gua menggaruk kepala yang nggak gatal; salah tingkah. Hal yang selama ini nggak pernah terjadi.
“Kamu selalu seperti itu? selalu lari-larian untuk menyelamatkan pasien?” Tanyanya.
“Dulu nggak. Dulu aku cuma begitu saat bertugas…”
“Terus…”
“Terus, ada orang yang mengingatkan aku, kalau dokter itu tugasnya nggak cuma di rumah sakit. Tapi di mana aja dan kapan aja…”
“Siapa?” Tanyanya, penasaran.
“Kamu…”
“Ah, masa sih? aku? sebijak itu?” Tanyanya lagi, nggak percaya.
“Iya. Kamu begitu”
Ditengah perbincangan kami tentang masa lalu, terlihat Ibu berjalan mendekat ke arah kami berdua. Dari kejauhan gua bisa melihat senyumnya yang terkembang. Senyum yang selama ini selalu terpasang, namun kali ini terlihat lebih merekah dari sebelumnya.
Gua berdiri, meraih tangan dan menciumnya. Nggak lupa memberikan kecupan di kedua pipi. ‘Ibu sehat kan?’ Tanya gua dengan menggerakan tangan, membuat bahasa isyarat.
‘Sehat dong. Sudah ngobrol?’ tanyanya lalu menunjuk ke arah Fira.
‘Sudah…’
‘Happy?’ tanyanya lagi.
‘Iya’ Gua mengangguk pelan.
‘Ngobrolnya, di dalam ya. Sambil makan’
‘Iya bu’
‘Nggak enak kalo berduaan di sini, terlihat anak-anak’ Tambahnya.
'Maaf bu’ Ucap gua, lalu beralih ke Fira dan meraih tangannya, mengajaknya ke arah rumah Ibu.
“Kenapa?” Tanya Fira penasaran.
“Gapapa… Sama ibu disuru pindah. Nggak enak keliatan berduaan…” Jawab gua.
Mendengar ucapan gua barusan, Fira sontak menghentikan langkahnya. Ia lalu berbalik ke arah Ibu lantas sedikit membungkukkan tubuhnya. Lalu, mengangkat tangan kanannya. Ibu jari dan telunjuk ia satukan, dengan tiga jari lain tetap lurus keatas seperti membentuk kepala kelinci. Kemudian meletakkannya di sisi pipi, dan menggerakkan maju-mundur. Gerakan yang gua ketahui sebagai bahasa isyarat untuk sebuah permintaan maaf.
Ibu tersenyum lalu meletakkan telapak tangannya di dagu, dan menurunkannya. Gerakan Isyarat untuk ‘Terima kasih’.
Fira kembali berpaling, meraih tangan gua dan bersiap melanjutkan langkah. Namun, gua hanya bergeming dan terus menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Siapa yang ngajarin?” Gua balik bertanya. Tentu saja yang gua maksud adalah bahasa isyarat yang baru ia peragakan ke Ibu.
“Nggak ada. Aku merhatiin aja dari kemarin” Jawabnya.
“Hebat..”
“Hehehe…”
“Tapi… ada sedikit masukkan”
“Apa?”
“Kalau menggunakan bahasa isyarat, harus disertai dengan ekspresi, apalagi untuk permintaan maaf dan terima kasih…”
“Ooh…”
Gua lalu mencontohkan gerakan bahasa isyarat untuk ‘Maaf’ sambil menunjukkan ekspresi ‘menyesal’ yang sudah terlatih.
“Kamu, aku, bisa tau orang tulus apa nggak dalam meminta maaf lewat nada bicara dan intonasi. Sementara, mereka nggak bisa mendengar apapun. Nah, untuk tau kalau kita meminta maaf atau berterima kasih dengan tulus, bisa lewat ekspresi…” Gua menjelaskan.
“Ooh, gitu…” Gumamnya seraya mengangguk dan mengulangi gerakan yang barusan gua contohkan. Kali ini sambil pasang ekspresi menyesal.
“Naah.. Bener…”
Fira lantas kembali menggerakkan tangannya, membuat gestur ‘Terima Kasih’. Dan, gua dengan cepat meresponnya, mengangkat ibu jari dan kelingking, sementara jemari yang lain menggenggam, lalu menggoyangkannya maju-mundur.
“Itu apa artinya?” Tanyanya.
“Artinya; ‘Sama-sama’….” Balas gua.
“Ooh…” Gumamnya. Lalu tersenyum dan menatap gua, “… Ajarin aku isyarat yang lain” Pintanya.
“Buat apa?” Tanya gua.
“Biar aku bisa mengerti Ibu…” Jawabnya, masih dengan senyum terpasang di wajahnya.
Gua tertegun begitu mendengar ucapannya barusan. Nggak percaya.
“Kenapa? Kenapa harus mengerti Ibu?” Tanya gua lagi, masih nggak percaya dengan inginnya.
Fira menundukkan kepalanya sebentar, sementara tangannya kembali menggenggam tangan gua. Ia lalu menjawab; “Ibu pasti capek. Karena harus nulis setiap mau ngomong sama aku…”
“…”
“… Kalau aku mengerti bahasa isyarat. Dia kan jadi nggak perlu capek-capek nulis lagi” Tambahnya.
Sebuah jawaban yang sederhana. Terlalu sederhana untuk dunia yang kompleks. Tapi, jawaban sederhana darinya sudah cukup. Lebih dari cukup untuk jadi alasan gua menjadikannya obsesi.
--
Acha Septriasa - Berdua Lebih Baik
Lihat awan di sana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahu
Ingin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus kujalani
Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut
Lihat awan di sana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahu
Ingin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus kujalani
Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut
Lihatlah awan di sana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahu
Ingin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus kujalani
Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut
Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut
percyjackson321 dan 54 lainnya memberi reputasi
55
Kutip
Balas
Tutup