- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.5K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#710
Spoiler for 001-I Get Along (Cont):
Satu-satunya tempat paling dekat yang terpikir untuk melepas burung-burung ini adalah hutan kota yang letaknya nggak begitu jauh dari SMA tempat gua bersekolah dulu. Dan nggak begitu jauh juga dari tempat gua berada sekarang.
Hanya butuh waktu nggak sampe 10 menit untuk akhirnya gua tiba di area parkir hutan kota. Gua turun dari mobil sambil membawa kardus berisi burung-burung dan mulai menyusuri jalan setapak berkonblok yang akan membawa gua ke tepian danau.
Tempat ini terlihat jauh berbeda dengan saat terakhir gua kunjungi dulu. Kini semua terasa lebih rapi dan bersih. Bahkan terlihat beberapa area yang dilengkapi dengan berbagai jenis permainan anak-anak. Ya walaupun masih terlihat baru, tapi entah kenapa sudah banyak yang rusak dan hanya jadi pajangan karena nggak bisa digunakan.
Pohon-pohon rindang tinggi menjulang seakan membuat kanopi alam yang melindungi jalan setapak dari cahaya matahari pagi. Di ujung sana, terlihat pantulan permukaan air danau yang menyilaukan mata.
Nggak ada siapapun di area tepian danau. Hanya gua yang berdiri sendirian sambil membawa kardus. Tanpa menunggu lama, gua membuka penutup kardus dan membiarkan burung-burung di dalamnya keluar, terbang, menjelang kebebasannya.
Sambil memandang ke arah burung terakhir yang bebas, gua duduk di beton pembatas tepian danau. Mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Lalu memejamkan kedua mata dan mencoba mendengarkan desiran angin yang menerpa dedaunan. Hal, yang sulit dilakukan karena suara deru mesin kendaraan dan klakson yang mengganggu.
Entah sudah berapa batang rokok yang gua habiskan. Entah sudah berapa lama waktu gua buang percuma dengan duduk dan berdiam diri di sini. ‘Ah, siapa peduli dengan waktu?’ batin gua, lalu tetap tinggal di sana hingga batang rokok terakhir gua habis.
Ternyata, rokok lah yang bikin gua akhirnya beranjak.
Matahari mulai terasa panas dan menyengat. Gua mempercepat langkah, mengabaikan mobil yang terparkir di halaman hutan kota menuju ke mini market yang tepat berada di seberang gerbang. Setelah membeli beberapa bungkus rokok, gua kembali ke area parkir dan bersiap pergi.
“10 ribu mas…”Ucap seorang pria yang menyodorkan sobekan kertas ke arah gua. Terlihat robekan kertas tiket parkir dengan coretan pada bagian harga parkir 5.000.
Gua mengabaikan sodoran kertas tiket parkir darinya. Lalu, masuk ke dalam mobil. Tepat sebelum pergi, gua menurunkan jendela dan merogoh saku celana dan mengacungkan jari tengah ke arah pria itu. Kemudian pergi.
Nggak punya tujuan, gua hanya mengikuti kemana tangan gua menggerakkan kemudi.
Muscle Memory membawa gua ke sebuah area pemukiman. Gua memarkir mobil tepat di depan toko yang kebetulan tutup, lalu masuk ke sebuah gang yang terasa familiar dengan berjalan kaki. Nggak mau suara deru mesin menganggu penduduk sekitar.
Iya, terasa familiar karena dulu gua pernah tinggal di area ini sewaktu SMA.
Gua terus berjalan hingga langkah gua terhenti tepat depan pagar sebuah bangunan memanjang dengan deretan pintu berwarna coklat. Masing-masing pintu mewakili tiap unit kontrakan yang jumlahnya 8 pintu. Empat pintu di sisi sebelah kanan pagar depan, empat pintu di sisi sebelah kiri. Gua menatap ke arah salah satu pintu coklat yang berada di ujung, rumah petakan tempat dulu sempat gua mengontrak.
Seorang Ibu yang terlihat masuk melewati pagar terbuka dengan sepeda motornya, di boncengan seorang anak kecil dengan seragam sekolah duduk sambil memeluk si ibu. Gua mengikutinya masuk dan mendekat ke si Ibu yang berhenti di muka rumah paling dekat dengan pagar.
“Pagi, Bu..” Sapa gua.
Si Ibu yang baru saja turun dari sepeda motornya lantas menoleh. Ia pasang tampang curiga dan mulai menatap gua dari ujung kepala hingga ke ujung kaki; seakan tengah memindai.
“Kenapa?” Tanyanya, ketus.
“Mau tanya..”
Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Si Ibu sudah memotong ucapan gua; “Tanya apa?”
“Ini kontrakan masih punya Haji Hasan?” Tanya gua, menyebut nama pemilik kontrakan sewaktu gua masih tinggal di sana.
“Haji Hasan? Siapa tuh? Yang punya kontrakan namanya Bu Ana…” Jawab si Ibu, masih ketus.
“Ooh…”
“Kenapa emang? mau ngontrak?” Tanyanya.
“…” Gua nggak menjawab, hanya melangkah menjauh darinya ke arah kontrakan paling ujung. Rumah petakan tempat gua tinggal dulu.
Gua menatap bagian teras yang kotor dan nggak terurus, sementara jendela besar bagian depan hampir sepenuhnya tertutup debu. Dengan dua tangan yang gua bentuk menyerupai corong, gua mengintip ke dalam; kosong. Lalu beralih ke sekeliling, mencoba mengingat tempat ini; Nggak banyak yang berubah. Tata letak, bahkan bentuk bangunannya masih terlihat sama,. Hanya saja beberapa pintu, jendela dan cat bangunannnya yang sepertinya terus diperbarui.
Terdengar seruan si Ibu dari depan rumahnya; “Woy, Mas… Mau ngapain sih?”
“…”
“… Mau ngontrak apa mau ngapain?” Tambahnya. Kini tampangnya semakin curiga.
“Iya…” Jawab gua asal. Ya daripada terus terusan dicurigai.
Si Ibu lalu berjalan mendekat. Ia mengeluarkan ponsel dan mulai menyebutkan nomor ponsel si pemilik kontrakan; Bu Ana.
“Nggak mau di catet?” Tanyanya.
Gua menggeleng; “Sebutin aja, saya inget kok”
Ia lantas menyebutkan deretan nomor sambil sesekali menatap gua. Kecurigaan di wajahnya masih terpasang.
—
Di rumah, gua masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan diri di atas ranjang empuk yang masih baru. Bahkan plastik pembungkusnya saja masih terpasang. Merasa nggak nyaman, gua lantas pindah, turun dan berbaring di lantai.
Gua meraih ponsel, lalu mulai mengetik deretan nomor yang tadi disebutkan si Ibu di kontrakan. Ragu, tangan gua mengambang di atas ikon ‘panggil’.
Menit berikutnya, terdengar nada sambung dari pengeras suara ponsel. Di susul suara seorang perempuan menyambut gua.
“Halo?” Sapanya.
“Halo, dengan Bu Ana?”
“Iya betul, dengan siapa ya?” Ia balik bertanya.
“Lian…” Gua menjawab, menyebutkan nama.
“Lian? Lian siapa ya?” Tanyanya lagi.
“Gini, Bu. Tadi saya sempat ke kontrakan. Dan dapet nomor ibu dari…..”
“Bu Lilik? Yang tinggal di kontrakan depan?”
“Mungkin”
“Kalo mau ngontrak….” Ia lantas menjelaskan tentang fasilitas dan harga sewa yang harus gua bayarkan.
Akhirnya, gua malah terjebak di transaksi sewa-menyewa yang sejatinya nggak gua perlukan. Tapi, ya udahlah. Itung-itung sekalian nostalgia.
Beberapa hari berikutnya, sesuai dengan kesepakatan yang sudah gua dan Bu Ana buat via panggilan telepon. Gua datang kembali ke rumah kontrakan itu.
“Nanti ketemu sama anak saya ya, nanti dia yang kasih kunci, jelasin dan ngasih kuitansi pembayarannya” Ucap Bu Ana kala itu.
Sebelum pergi, gua bercerita ke Kucay tentang rencana aneh gua untuk mengontrak. Ya jelas saja Kucay terlihat bingung. Walaupun, tampang bingungnya langsung berubah menjadi tawa.
“Saya yang ngontrak aja pengen punya rumah. Lha ini udah punya rumah, gede, malah mau ngontrak…” Ujarnya sambil terkekeh.
“Hahaha, paling cuma seminggu, Cay…”
“Ya mau sehari juga tetep aneh”
“Hahaha…”
“Lebih aneh lagi kalo mau pindah tapi nggak bawa apa-apa sih” Tambahnya, seraya menunjuk ke arah gua.
“Oh iya… bener juga” Gua menepuk dahi lalu kembali ke kamar, memasukkan asal baju-baju dan beberapa buku ke dalam ransel.
Berbeda dengan Kucay yang terkejut saat gua mengemukakan rencana untuk mengontrak. Ncek justru terdengar biasa saja merespon hal tersebut.
“Ya nggak aneh buat orang yang masuk kuliah kedokteran cuma karena seru…”
“…”
“… Nggak bakal ada yang aneh buat orang yang belajar nyetir mobilnya cuma dari pengalaman main GTA” Tambahnya.
Menit berikutnya, gua sudah tiba di rumah kontrakan dengan diantar oleh Kucay menggunakan sepeda motor miliknya.
Si Ibu yang kemarin, menyambut gua. Masih terlihat tatapan curiganya. Mungkin karena gua yang hanya membawa sebuah tas ransel.
“Jadi ngontrak, Mas?” Tanyanya.
“Iya…”
“Udah janjian?”
“Udah..” Jawab gua sambil terus melangkah ke ara kontrakan paling ujung.
Gua berdiri dan bersandar pada dinding teras dan mengirim pesan ke Bu Ana. Memberi kabar kalau gua sudahh tiba di sini. Kemudian mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.
‘Tunggu sebentar ya’ Isi balasan pesan dari Bu Ana.
Setelah cukup lama menunggu, terdengar suara langkah kaki. Gua menoleh ke arah datangnya suara. Terlihat seorang gadis mendekat ke arah gua.
Gua tertegun menatapnya.
Hoodie sweater abu-abu yang menutupi kepala sama sekali nggak mengurangi kecantikannya. Nggak hanya cantik, ia juga entah bagaimana terlihat berbeda. Selama hidup gua banyak bertemu dengan gadis yang punya paras cantik nan memikat. Beberapa pasien gua dulu bahkan berasal dari kalangan artis atau model papan atas, yang jangan di tanya bagaimana cantiknya mereka. Tapi, gadis ini berbeda. Ia seakan punya ‘sesuatu’ yang menggetarkan hati.
Gua tersenyum, senyum yang sudah sejak lama terlatih.
“Halo…” Gua menyapa lebih dulu, seraya menyodorkan tangan ke arahnya.
“Hai…” Balasnya. Namun, nggak menyambut ajakan bersalaman gua.
Ia terlihat dingin dan nggak bersahabat. Berbeda dengan auranya yang entah kenapa terasa menyenangkan.
“Yang punya kontrakan ya?” Tanya gua sambil mengumbar senyum.
Ia nggak menjawab, hanya mengangguk pelan seraya mendekat ke arah pintu kontrakan.
“… Kenalin; Lian” Gua menambahkan, masih dengan tangan terjulur.
—
Hanya butuh waktu nggak sampe 10 menit untuk akhirnya gua tiba di area parkir hutan kota. Gua turun dari mobil sambil membawa kardus berisi burung-burung dan mulai menyusuri jalan setapak berkonblok yang akan membawa gua ke tepian danau.
Tempat ini terlihat jauh berbeda dengan saat terakhir gua kunjungi dulu. Kini semua terasa lebih rapi dan bersih. Bahkan terlihat beberapa area yang dilengkapi dengan berbagai jenis permainan anak-anak. Ya walaupun masih terlihat baru, tapi entah kenapa sudah banyak yang rusak dan hanya jadi pajangan karena nggak bisa digunakan.
Pohon-pohon rindang tinggi menjulang seakan membuat kanopi alam yang melindungi jalan setapak dari cahaya matahari pagi. Di ujung sana, terlihat pantulan permukaan air danau yang menyilaukan mata.
Nggak ada siapapun di area tepian danau. Hanya gua yang berdiri sendirian sambil membawa kardus. Tanpa menunggu lama, gua membuka penutup kardus dan membiarkan burung-burung di dalamnya keluar, terbang, menjelang kebebasannya.
Sambil memandang ke arah burung terakhir yang bebas, gua duduk di beton pembatas tepian danau. Mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Lalu memejamkan kedua mata dan mencoba mendengarkan desiran angin yang menerpa dedaunan. Hal, yang sulit dilakukan karena suara deru mesin kendaraan dan klakson yang mengganggu.
Entah sudah berapa batang rokok yang gua habiskan. Entah sudah berapa lama waktu gua buang percuma dengan duduk dan berdiam diri di sini. ‘Ah, siapa peduli dengan waktu?’ batin gua, lalu tetap tinggal di sana hingga batang rokok terakhir gua habis.
Ternyata, rokok lah yang bikin gua akhirnya beranjak.
Matahari mulai terasa panas dan menyengat. Gua mempercepat langkah, mengabaikan mobil yang terparkir di halaman hutan kota menuju ke mini market yang tepat berada di seberang gerbang. Setelah membeli beberapa bungkus rokok, gua kembali ke area parkir dan bersiap pergi.
“10 ribu mas…”Ucap seorang pria yang menyodorkan sobekan kertas ke arah gua. Terlihat robekan kertas tiket parkir dengan coretan pada bagian harga parkir 5.000.
Gua mengabaikan sodoran kertas tiket parkir darinya. Lalu, masuk ke dalam mobil. Tepat sebelum pergi, gua menurunkan jendela dan merogoh saku celana dan mengacungkan jari tengah ke arah pria itu. Kemudian pergi.
Nggak punya tujuan, gua hanya mengikuti kemana tangan gua menggerakkan kemudi.
Muscle Memory membawa gua ke sebuah area pemukiman. Gua memarkir mobil tepat di depan toko yang kebetulan tutup, lalu masuk ke sebuah gang yang terasa familiar dengan berjalan kaki. Nggak mau suara deru mesin menganggu penduduk sekitar.
Iya, terasa familiar karena dulu gua pernah tinggal di area ini sewaktu SMA.
Gua terus berjalan hingga langkah gua terhenti tepat depan pagar sebuah bangunan memanjang dengan deretan pintu berwarna coklat. Masing-masing pintu mewakili tiap unit kontrakan yang jumlahnya 8 pintu. Empat pintu di sisi sebelah kanan pagar depan, empat pintu di sisi sebelah kiri. Gua menatap ke arah salah satu pintu coklat yang berada di ujung, rumah petakan tempat dulu sempat gua mengontrak.
Seorang Ibu yang terlihat masuk melewati pagar terbuka dengan sepeda motornya, di boncengan seorang anak kecil dengan seragam sekolah duduk sambil memeluk si ibu. Gua mengikutinya masuk dan mendekat ke si Ibu yang berhenti di muka rumah paling dekat dengan pagar.
“Pagi, Bu..” Sapa gua.
Si Ibu yang baru saja turun dari sepeda motornya lantas menoleh. Ia pasang tampang curiga dan mulai menatap gua dari ujung kepala hingga ke ujung kaki; seakan tengah memindai.
“Kenapa?” Tanyanya, ketus.
“Mau tanya..”
Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, Si Ibu sudah memotong ucapan gua; “Tanya apa?”
“Ini kontrakan masih punya Haji Hasan?” Tanya gua, menyebut nama pemilik kontrakan sewaktu gua masih tinggal di sana.
“Haji Hasan? Siapa tuh? Yang punya kontrakan namanya Bu Ana…” Jawab si Ibu, masih ketus.
“Ooh…”
“Kenapa emang? mau ngontrak?” Tanyanya.
“…” Gua nggak menjawab, hanya melangkah menjauh darinya ke arah kontrakan paling ujung. Rumah petakan tempat gua tinggal dulu.
Gua menatap bagian teras yang kotor dan nggak terurus, sementara jendela besar bagian depan hampir sepenuhnya tertutup debu. Dengan dua tangan yang gua bentuk menyerupai corong, gua mengintip ke dalam; kosong. Lalu beralih ke sekeliling, mencoba mengingat tempat ini; Nggak banyak yang berubah. Tata letak, bahkan bentuk bangunannya masih terlihat sama,. Hanya saja beberapa pintu, jendela dan cat bangunannnya yang sepertinya terus diperbarui.
Terdengar seruan si Ibu dari depan rumahnya; “Woy, Mas… Mau ngapain sih?”
“…”
“… Mau ngontrak apa mau ngapain?” Tambahnya. Kini tampangnya semakin curiga.
“Iya…” Jawab gua asal. Ya daripada terus terusan dicurigai.
Si Ibu lalu berjalan mendekat. Ia mengeluarkan ponsel dan mulai menyebutkan nomor ponsel si pemilik kontrakan; Bu Ana.
“Nggak mau di catet?” Tanyanya.
Gua menggeleng; “Sebutin aja, saya inget kok”
Ia lantas menyebutkan deretan nomor sambil sesekali menatap gua. Kecurigaan di wajahnya masih terpasang.
—
Di rumah, gua masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan diri di atas ranjang empuk yang masih baru. Bahkan plastik pembungkusnya saja masih terpasang. Merasa nggak nyaman, gua lantas pindah, turun dan berbaring di lantai.
Gua meraih ponsel, lalu mulai mengetik deretan nomor yang tadi disebutkan si Ibu di kontrakan. Ragu, tangan gua mengambang di atas ikon ‘panggil’.
Menit berikutnya, terdengar nada sambung dari pengeras suara ponsel. Di susul suara seorang perempuan menyambut gua.
“Halo?” Sapanya.
“Halo, dengan Bu Ana?”
“Iya betul, dengan siapa ya?” Ia balik bertanya.
“Lian…” Gua menjawab, menyebutkan nama.
“Lian? Lian siapa ya?” Tanyanya lagi.
“Gini, Bu. Tadi saya sempat ke kontrakan. Dan dapet nomor ibu dari…..”
“Bu Lilik? Yang tinggal di kontrakan depan?”
“Mungkin”
“Kalo mau ngontrak….” Ia lantas menjelaskan tentang fasilitas dan harga sewa yang harus gua bayarkan.
Akhirnya, gua malah terjebak di transaksi sewa-menyewa yang sejatinya nggak gua perlukan. Tapi, ya udahlah. Itung-itung sekalian nostalgia.
Beberapa hari berikutnya, sesuai dengan kesepakatan yang sudah gua dan Bu Ana buat via panggilan telepon. Gua datang kembali ke rumah kontrakan itu.
“Nanti ketemu sama anak saya ya, nanti dia yang kasih kunci, jelasin dan ngasih kuitansi pembayarannya” Ucap Bu Ana kala itu.
Sebelum pergi, gua bercerita ke Kucay tentang rencana aneh gua untuk mengontrak. Ya jelas saja Kucay terlihat bingung. Walaupun, tampang bingungnya langsung berubah menjadi tawa.
“Saya yang ngontrak aja pengen punya rumah. Lha ini udah punya rumah, gede, malah mau ngontrak…” Ujarnya sambil terkekeh.
“Hahaha, paling cuma seminggu, Cay…”
“Ya mau sehari juga tetep aneh”
“Hahaha…”
“Lebih aneh lagi kalo mau pindah tapi nggak bawa apa-apa sih” Tambahnya, seraya menunjuk ke arah gua.
“Oh iya… bener juga” Gua menepuk dahi lalu kembali ke kamar, memasukkan asal baju-baju dan beberapa buku ke dalam ransel.
Berbeda dengan Kucay yang terkejut saat gua mengemukakan rencana untuk mengontrak. Ncek justru terdengar biasa saja merespon hal tersebut.
“Ya nggak aneh buat orang yang masuk kuliah kedokteran cuma karena seru…”
“…”
“… Nggak bakal ada yang aneh buat orang yang belajar nyetir mobilnya cuma dari pengalaman main GTA” Tambahnya.
Menit berikutnya, gua sudah tiba di rumah kontrakan dengan diantar oleh Kucay menggunakan sepeda motor miliknya.
Si Ibu yang kemarin, menyambut gua. Masih terlihat tatapan curiganya. Mungkin karena gua yang hanya membawa sebuah tas ransel.
“Jadi ngontrak, Mas?” Tanyanya.
“Iya…”
“Udah janjian?”
“Udah..” Jawab gua sambil terus melangkah ke ara kontrakan paling ujung.
Gua berdiri dan bersandar pada dinding teras dan mengirim pesan ke Bu Ana. Memberi kabar kalau gua sudahh tiba di sini. Kemudian mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.
‘Tunggu sebentar ya’ Isi balasan pesan dari Bu Ana.
Setelah cukup lama menunggu, terdengar suara langkah kaki. Gua menoleh ke arah datangnya suara. Terlihat seorang gadis mendekat ke arah gua.
Gua tertegun menatapnya.
Hoodie sweater abu-abu yang menutupi kepala sama sekali nggak mengurangi kecantikannya. Nggak hanya cantik, ia juga entah bagaimana terlihat berbeda. Selama hidup gua banyak bertemu dengan gadis yang punya paras cantik nan memikat. Beberapa pasien gua dulu bahkan berasal dari kalangan artis atau model papan atas, yang jangan di tanya bagaimana cantiknya mereka. Tapi, gadis ini berbeda. Ia seakan punya ‘sesuatu’ yang menggetarkan hati.
Gua tersenyum, senyum yang sudah sejak lama terlatih.
“Halo…” Gua menyapa lebih dulu, seraya menyodorkan tangan ke arahnya.
“Hai…” Balasnya. Namun, nggak menyambut ajakan bersalaman gua.
Ia terlihat dingin dan nggak bersahabat. Berbeda dengan auranya yang entah kenapa terasa menyenangkan.
“Yang punya kontrakan ya?” Tanya gua sambil mengumbar senyum.
Ia nggak menjawab, hanya mengangguk pelan seraya mendekat ke arah pintu kontrakan.
“… Kenalin; Lian” Gua menambahkan, masih dengan tangan terjulur.
—
Netral - Cahaya Bulan
Cahaya bulan menemani aku
Cahaya bulan menemani aku
Mencumbu mesra singgasana malam
Bersenda gurau hibur bintang-bintang
Walaupun sedih
Dan senang melanda hati
Kau tetap cahaya bulanku
Cahaya bulan menemani aku
Cahaya bulan menemani aku
Mencumbu mesra singgasana malam
Bersenda gurau hibur bintang-bintang
Walaupun sedih
Dan senang melanda hati
Kau tetap cahaya bulanku
Cahaya bulanku
Cahaya bulanku
Cahaya bulanku
Cahaya bulan menemani aku
Cahaya bulan menemani aku
Mencumbu mesra singgasana malam
Bersenda gurau hibur bintang-bintang
Walaupun sedih
Dan senang melanda hati
Kau tetap cahaya bulanku
Cahaya bulan menemani aku
Cahaya bulanku
Cahaya bulan menemani aku
Cahaya bulanku
percyjackson321 dan 46 lainnya memberi reputasi
47
Kutip
Balas
Tutup