- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.3K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#624
001-C Distance (Cont)
Spoiler for 001-C Distance (Cont):
Hubungan kami yang baik-baik saja lalu mulai terancam saat ia berhasil menyelesaikan studi dan mendapat gelar dokter. Bokap dan Nyokapnya, memberi titah agar ia segera kembali ke Jakarta dan melanjutkan apapun yang ia mau disana; entah mengambil gelar spesialis atau bekerja sebagai dokter umum.
Natalie dilanda keraguan.
“Pulanglah, Nat…”Ucap gua.
“…” Ia nggak merespon, hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya.
“… Gapapa, Nat…” Gua menambahkan.
Ia mendongak dan menatap gua, terlihat kedua matanya basah. Air matanya mulai mengalir di kedua pipi. Sambil sesenggukan, ia lalu bicara; “Terus kita gimana?”
“Gue gapapa, gue nggak lebih penting dari keluarga lo, dari Bokap dan Nyokap lo…” Gua menjelaskan.
“Tapi, Lo bakal nyusul kan, pulang ke Jakarta?” Tanyanya.
“…” Kini, giliran gua yang terdiam. Merasa, nggak lagi punya tempat untuk pulang. Di sini, London adalah rumah gua sekarang.
“… Ya kan?” Tambahnya, menagih jawaban.
“…”
“… Kalo lo nggak mau nyusul, gue juga nggak mau pulang” Natalie memberi ancaman, sambil terus terisak.
Gua menghela nafas, lalu duduk di sebelahnya. Dengan lembut, gua meraih pundak dan memeluknya. Wangi tubuhnya membius, aroma dari shampo favoritnya tercium, sesuatu yang mungkin nggak bakal gua rasakan lagi dalam waktu lama.
“Iya… nanti gue nyusul…” Jawab gua terbata-bata; tentu berbohong. Nggak yakin apa gua masih bisa kembali ke sana, ke Jakarta.
Ia menatap gua, mencoba membaca ekspresi gua, melakukan hal yang selama ini terus gua lakukan terhadapnya. Namun, tentu saja gagal. Siapa juga yang bisa membaca wajah tanpa ekspresi ini?
“Janji?” Tanyanya, sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Gua menepis jari kelingkingnya; “Iya Janji…”
Lagi, Natalie mengacungkan jari kelingkingnya. Kini sambil pasang ekspresi memaksa; “Janji?”
“Orang dewasa nggak melakukan ini, Nat…” Balas gua.
“Terus melakukan apa?” Tanyanya.
Gua lantas memberikan kecupan tepat di bibirnya. Kecupan yang terasa asin, karena bibirnya yang basah karena air mata.
—
Natalie akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta, sementara gua tetap tinggal di sini; di London. Terpisah oleh jarak 11.000 km, terpisah oleh perbedaan zona waktu.
Baru satu minggu ia berada di Jakarta, sudah cukup banyak hal-hal yang ia keluhkan ke gua. Tentang matahari yang terasa lebih menyengat, tentang asap knalpot yang bikin mata perih dan yang paling penting; proses validasi gelar dokternya.
Memang berdasarkan undang-undang, kami para dokter diaspora nggak bisa langsung bekerja atau buka praktek begitu kembali ke Indonesia. Walaupun punya paspor Indonesia dan lahir di sana, kami para dokter lulusan luar negeri masih harus mengikuti ujian kompetensi untuk bisa bekerja atau membuka praktek. Nggak cuma itu, di beberapa kasus sebagian besar bahkan harus ‘mengulang’ proses internship atau magang di sana.
Persis seperti yang dialami oleh Natalie.
“Males banget deh…” Keluhnya melalui sambungan telepon.
“…”
“… Harus ikut ujian lagi, masa nggak percaya sama ijazah gue; Oxford lho ini…” Tambahnya.
“…”
“… Halo, lo denger nggak sih?” Serunya.
“Denger…”
“Terus kenapa diem aja?” Tanyanya, berapi-api.
“Ya gue bisa apa? ikut marah-marah juga nggak merubah apapun kan?” Balas gua, mencoba nggak ikut terbawa emosi.
“Hhh…. Ya support kek…”
“Yaudah… semangat, ikutin aja ujiannya, lo pasti bisa kok…” Ucap gua, mencoba mengikuti inginnya; memberi semangat.
“Nah gitu…”
“Mau ditemenin belajar nggak?”
“Nggak ah males… Bodo amat, nggak lulus juga gapapa…” Gerutunya.
Beberapa pekan berikutnya, gua mendapat kabar kalau ia berhasil menyelesaikan ujian kompetensinya. “Ternyata ‘nggak sesulit’ yang dibayangkan” Ucapnya kala itu.
Tantangan Natalie berikutnya setelah menyelesaikan ujian kompetensi adalah mencari pekerjaan. Pun, ia lulusan kampus bergengsi dari luar negeri nggak ada jaminan ia bisa dengan mudah mencari pekerjaan. Di Indonesia masih sangat kental dengan budaya nepotisme, dimana para Dokter senior bakal lebih memprioritaskan kandidat dokter yang berada di almamater yang sama dengannya. Sejatinya, praktek seperti ini lumrah terjadi bahkan di beberapa negara maju seperti di Korea selatan atau di Jepang.
Beruntung, berkat koneksi dari Bokapnya, Natalie akhirnya bisa masuk dan bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Dimana, ia harusnya senang.
“Kenapa lagi?” Tanya gua melalui sambungan telepon, sesaat setelah menerima pesan singkat darinya yang berisi keluhan.
“Capek…” Jawabnya singkat.
“…”
“… Jadi, Dokter… Kuliahnya capek, internshipnya capek, kerjanya capek, gajinya nggak seberapa” Tambahnya.
Buat orang-orang diluar sana yang masih mengira kalau para dokter itu bergaji besar; kalian nggak sepenuhnya benar. Buat para dokter junior, gaji kami nggak lebih besar dari para karyawan swasta lho. Selain gaji pokok yang kecil, biasanya para dokter bergantung dari ‘Honorarium’. Atau jasa medis yang diberikan, hal ini tergantung pada jumlah pasien dan jenis layanan yang diberikan.
Sedangkan bagi para dokter junior yang belum punya reputasi tinggi tentu nggak bisa mendapat pasien sebanyak dokter senior. Yang tentu bikin Honorarium mereka jadi sedikit jumlahnya.
“Ya sabar, namanya juga masih junior…” Gua mencoba menghiburnya.
“Hhh… Enak kali ya kalo pulang praktek, capek, terus ada yang ngasih pelukan…” Ucapnya.
“…”
“… Enak kali ya, kalo pulang kerja ada yang jemput…” Tambahnya, nada bicaranya seakan memberi sindiran.
Gua yang memang kurang peka lantas memberi jawaban santai; “Enak itu mah, gue juga mau…”
“Farid!!” Natalie berseru, lalu disusul pecah tawanya.
—
Beberapa bulan setelahnya, gua yang sudah mengatur waktu cuti memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Tempat yang pertama gua kunjungi adalah Solo untuk bertemu dan melepas rindu dengan Ibu. Beberapa hari di Solo barulah gua terbang ke Jakarta. Tentu saja tanpa memberinya kabar; ingin membuat kejutan. Sebelumnya, gua sudah banyak mengorek banyak informasi tentang kebiasaannya, tentang jadwal shift-nya, tentang banyak hal remeh lainnya.
Bertahun-tahun, gua meninggalkan kota ini. Jakarta kini berubah, jalan-jalan fly-over yang dulu nggak ada, kini banyak terlihat. Gedung dan bangunannya yang semakin tinggi, kendaraan mewah miliaran rupiah yang lewat bersisian dengan angkot karatan yang gua tumpangi. Dan tentu saja cuaca panas yang sepertinya jauh lebih menyengat dari yang ada diingatan gua.
Setelah bolak-balik berganti angkot, nyasar kesana kemari, gua akhirnya tiba di rumah sakit tempat Natalie praktek.
Gua berdiri di lobi rumah sakit yang dingin dan sejuk. Menatap orang wara-wiri, mondar-mandir kesana kemari mengurus administrasi, menebus obat dan mungkin menjenguk kerabatnya. Jam menunjukkan pukul 7 malam, jam dimana sebentar lagi Natalie akan selesai bekerja.
Tanpa bertanya, gua masuk jauh lebih dalam, hingga ke bagian belakang rumah sakit, ke pintu lain yang sering digunakan oleh dokter, atau karyawan untuk mengakses area parkir di belakang gedung. Hal ini tentu gua ketahui dari cerita-cerita Natalie yang kerap menelpon gua saat perjalanan dari ruang praktek ke mobilnya di area parkir.
Sambil membayangkan dirinya yang berjalan dan menelpon, gua melangkah menyusuri koridor, keluar gedung, menuju ke area parkir sambil mencari mobil sedan kuning miliknya. Yang juga gua ketahui dari cerita-ceritanya. Menit berikutnya, gua hanya berdiri, bersandar pada mobil sedan kuning yang gua yakini adalah miliknya.
Setelah beberapa lama menunggua, terlihat beberapa orang perempuan keluar dari pintu gedung; berjalan bersama sambil berbincang seru, salah satunya gua kenali sebagai Natalie. Seperti biasa, ia selalu terlihat cantik dan menawan. Rambutnya yang kini panjang diikat kuncir kuda, sementara sisa helaian rambutnya menutupi wajahnya; menghalangi senyumnya yang gua yakin terlihat indah.
Tawa dan obrolannya terhenti begitu melihat gua dari kejauhan. Mengabaikan rekan di sebelahnya, ia menjatuhkan tas dan berlari secepat mungkin dan memberikan pelukan. Pelukan paling erat yang pernah gua rasakan.
Perlahan, ia melepas pelukan dan mendongak, menatap gua dengan matanya yang mulai berlinang. Lalu pasang tampang cemberut dan menggumam pelan; “Liar!”
“No, i’m not…” Balas gua, sambil membelai rambutnya.
“Yes, you are…” ucapnya, memaksa.
Terasa tetesan air menyentuh ujung kepala; hujan mulai turun; gerimis. Nggak mau ia kehujanan, gua lantas meminta ia segera masuk ke dalam mobil. Namun, kunci mobilnya ada di dalam tas yang ia tinggalkan. Gua melangkah, ke arah tas miliknya yang kini sudah berada di genggaman salah satu rekan Natalie.
“Terima Kasih…” Ucap gua seraya mengambil tas milik Natalie.
Gua mempercepat langkah kembali ke Natalie yang terlihat ‘berpayung’ telapak tangan, mencoba mencegah tetesan air hujan mengenai kepalanya. Ia meraih tas dari tangan gua, mengambil kunci mobil, membukanya dan langsung masuk ke dalam; melaui pintu sisi penumpang bagian depan. Mau nggak mau, gua hanya punya pilihan duduk di kursi kemudi.
“Gue yang nyetir?” Tanya gua begitu masuk ke dalam mobil.
“…” Natalie nggak menjawab, hanya beringsut, mendekat kemudian kembali memberi pelukan. Lalu, mulai memberi kecupan berkali-kali di pipi sebelah kiri gua.
“.. Udah, geli…”
Natalie melepas pelukannya, kembali duduk dengan benar di kursinya. Lalu bicara; “Kamu dateng kesini buat siapa? buat aku kan?”
“Iya…” Gua menjawab singkat.
“Nah, yaudah nyetir…” Titahnya.
“Ya…”
—
Natalie dilanda keraguan.
“Pulanglah, Nat…”Ucap gua.
“…” Ia nggak merespon, hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya.
“… Gapapa, Nat…” Gua menambahkan.
Ia mendongak dan menatap gua, terlihat kedua matanya basah. Air matanya mulai mengalir di kedua pipi. Sambil sesenggukan, ia lalu bicara; “Terus kita gimana?”
“Gue gapapa, gue nggak lebih penting dari keluarga lo, dari Bokap dan Nyokap lo…” Gua menjelaskan.
“Tapi, Lo bakal nyusul kan, pulang ke Jakarta?” Tanyanya.
“…” Kini, giliran gua yang terdiam. Merasa, nggak lagi punya tempat untuk pulang. Di sini, London adalah rumah gua sekarang.
“… Ya kan?” Tambahnya, menagih jawaban.
“…”
“… Kalo lo nggak mau nyusul, gue juga nggak mau pulang” Natalie memberi ancaman, sambil terus terisak.
Gua menghela nafas, lalu duduk di sebelahnya. Dengan lembut, gua meraih pundak dan memeluknya. Wangi tubuhnya membius, aroma dari shampo favoritnya tercium, sesuatu yang mungkin nggak bakal gua rasakan lagi dalam waktu lama.
“Iya… nanti gue nyusul…” Jawab gua terbata-bata; tentu berbohong. Nggak yakin apa gua masih bisa kembali ke sana, ke Jakarta.
Ia menatap gua, mencoba membaca ekspresi gua, melakukan hal yang selama ini terus gua lakukan terhadapnya. Namun, tentu saja gagal. Siapa juga yang bisa membaca wajah tanpa ekspresi ini?
“Janji?” Tanyanya, sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Gua menepis jari kelingkingnya; “Iya Janji…”
Lagi, Natalie mengacungkan jari kelingkingnya. Kini sambil pasang ekspresi memaksa; “Janji?”
“Orang dewasa nggak melakukan ini, Nat…” Balas gua.
“Terus melakukan apa?” Tanyanya.
Gua lantas memberikan kecupan tepat di bibirnya. Kecupan yang terasa asin, karena bibirnya yang basah karena air mata.
—
Natalie akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta, sementara gua tetap tinggal di sini; di London. Terpisah oleh jarak 11.000 km, terpisah oleh perbedaan zona waktu.
Baru satu minggu ia berada di Jakarta, sudah cukup banyak hal-hal yang ia keluhkan ke gua. Tentang matahari yang terasa lebih menyengat, tentang asap knalpot yang bikin mata perih dan yang paling penting; proses validasi gelar dokternya.
Memang berdasarkan undang-undang, kami para dokter diaspora nggak bisa langsung bekerja atau buka praktek begitu kembali ke Indonesia. Walaupun punya paspor Indonesia dan lahir di sana, kami para dokter lulusan luar negeri masih harus mengikuti ujian kompetensi untuk bisa bekerja atau membuka praktek. Nggak cuma itu, di beberapa kasus sebagian besar bahkan harus ‘mengulang’ proses internship atau magang di sana.
Persis seperti yang dialami oleh Natalie.
“Males banget deh…” Keluhnya melalui sambungan telepon.
“…”
“… Harus ikut ujian lagi, masa nggak percaya sama ijazah gue; Oxford lho ini…” Tambahnya.
“…”
“… Halo, lo denger nggak sih?” Serunya.
“Denger…”
“Terus kenapa diem aja?” Tanyanya, berapi-api.
“Ya gue bisa apa? ikut marah-marah juga nggak merubah apapun kan?” Balas gua, mencoba nggak ikut terbawa emosi.
“Hhh…. Ya support kek…”
“Yaudah… semangat, ikutin aja ujiannya, lo pasti bisa kok…” Ucap gua, mencoba mengikuti inginnya; memberi semangat.
“Nah gitu…”
“Mau ditemenin belajar nggak?”
“Nggak ah males… Bodo amat, nggak lulus juga gapapa…” Gerutunya.
Beberapa pekan berikutnya, gua mendapat kabar kalau ia berhasil menyelesaikan ujian kompetensinya. “Ternyata ‘nggak sesulit’ yang dibayangkan” Ucapnya kala itu.
Tantangan Natalie berikutnya setelah menyelesaikan ujian kompetensi adalah mencari pekerjaan. Pun, ia lulusan kampus bergengsi dari luar negeri nggak ada jaminan ia bisa dengan mudah mencari pekerjaan. Di Indonesia masih sangat kental dengan budaya nepotisme, dimana para Dokter senior bakal lebih memprioritaskan kandidat dokter yang berada di almamater yang sama dengannya. Sejatinya, praktek seperti ini lumrah terjadi bahkan di beberapa negara maju seperti di Korea selatan atau di Jepang.
Beruntung, berkat koneksi dari Bokapnya, Natalie akhirnya bisa masuk dan bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Dimana, ia harusnya senang.
“Kenapa lagi?” Tanya gua melalui sambungan telepon, sesaat setelah menerima pesan singkat darinya yang berisi keluhan.
“Capek…” Jawabnya singkat.
“…”
“… Jadi, Dokter… Kuliahnya capek, internshipnya capek, kerjanya capek, gajinya nggak seberapa” Tambahnya.
Buat orang-orang diluar sana yang masih mengira kalau para dokter itu bergaji besar; kalian nggak sepenuhnya benar. Buat para dokter junior, gaji kami nggak lebih besar dari para karyawan swasta lho. Selain gaji pokok yang kecil, biasanya para dokter bergantung dari ‘Honorarium’. Atau jasa medis yang diberikan, hal ini tergantung pada jumlah pasien dan jenis layanan yang diberikan.
Sedangkan bagi para dokter junior yang belum punya reputasi tinggi tentu nggak bisa mendapat pasien sebanyak dokter senior. Yang tentu bikin Honorarium mereka jadi sedikit jumlahnya.
“Ya sabar, namanya juga masih junior…” Gua mencoba menghiburnya.
“Hhh… Enak kali ya kalo pulang praktek, capek, terus ada yang ngasih pelukan…” Ucapnya.
“…”
“… Enak kali ya, kalo pulang kerja ada yang jemput…” Tambahnya, nada bicaranya seakan memberi sindiran.
Gua yang memang kurang peka lantas memberi jawaban santai; “Enak itu mah, gue juga mau…”
“Farid!!” Natalie berseru, lalu disusul pecah tawanya.
—
Beberapa bulan setelahnya, gua yang sudah mengatur waktu cuti memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Tempat yang pertama gua kunjungi adalah Solo untuk bertemu dan melepas rindu dengan Ibu. Beberapa hari di Solo barulah gua terbang ke Jakarta. Tentu saja tanpa memberinya kabar; ingin membuat kejutan. Sebelumnya, gua sudah banyak mengorek banyak informasi tentang kebiasaannya, tentang jadwal shift-nya, tentang banyak hal remeh lainnya.
Bertahun-tahun, gua meninggalkan kota ini. Jakarta kini berubah, jalan-jalan fly-over yang dulu nggak ada, kini banyak terlihat. Gedung dan bangunannya yang semakin tinggi, kendaraan mewah miliaran rupiah yang lewat bersisian dengan angkot karatan yang gua tumpangi. Dan tentu saja cuaca panas yang sepertinya jauh lebih menyengat dari yang ada diingatan gua.
Setelah bolak-balik berganti angkot, nyasar kesana kemari, gua akhirnya tiba di rumah sakit tempat Natalie praktek.
Gua berdiri di lobi rumah sakit yang dingin dan sejuk. Menatap orang wara-wiri, mondar-mandir kesana kemari mengurus administrasi, menebus obat dan mungkin menjenguk kerabatnya. Jam menunjukkan pukul 7 malam, jam dimana sebentar lagi Natalie akan selesai bekerja.
Tanpa bertanya, gua masuk jauh lebih dalam, hingga ke bagian belakang rumah sakit, ke pintu lain yang sering digunakan oleh dokter, atau karyawan untuk mengakses area parkir di belakang gedung. Hal ini tentu gua ketahui dari cerita-cerita Natalie yang kerap menelpon gua saat perjalanan dari ruang praktek ke mobilnya di area parkir.
Sambil membayangkan dirinya yang berjalan dan menelpon, gua melangkah menyusuri koridor, keluar gedung, menuju ke area parkir sambil mencari mobil sedan kuning miliknya. Yang juga gua ketahui dari cerita-ceritanya. Menit berikutnya, gua hanya berdiri, bersandar pada mobil sedan kuning yang gua yakini adalah miliknya.
Setelah beberapa lama menunggua, terlihat beberapa orang perempuan keluar dari pintu gedung; berjalan bersama sambil berbincang seru, salah satunya gua kenali sebagai Natalie. Seperti biasa, ia selalu terlihat cantik dan menawan. Rambutnya yang kini panjang diikat kuncir kuda, sementara sisa helaian rambutnya menutupi wajahnya; menghalangi senyumnya yang gua yakin terlihat indah.
Tawa dan obrolannya terhenti begitu melihat gua dari kejauhan. Mengabaikan rekan di sebelahnya, ia menjatuhkan tas dan berlari secepat mungkin dan memberikan pelukan. Pelukan paling erat yang pernah gua rasakan.
Perlahan, ia melepas pelukan dan mendongak, menatap gua dengan matanya yang mulai berlinang. Lalu pasang tampang cemberut dan menggumam pelan; “Liar!”
“No, i’m not…” Balas gua, sambil membelai rambutnya.
“Yes, you are…” ucapnya, memaksa.
Terasa tetesan air menyentuh ujung kepala; hujan mulai turun; gerimis. Nggak mau ia kehujanan, gua lantas meminta ia segera masuk ke dalam mobil. Namun, kunci mobilnya ada di dalam tas yang ia tinggalkan. Gua melangkah, ke arah tas miliknya yang kini sudah berada di genggaman salah satu rekan Natalie.
“Terima Kasih…” Ucap gua seraya mengambil tas milik Natalie.
Gua mempercepat langkah kembali ke Natalie yang terlihat ‘berpayung’ telapak tangan, mencoba mencegah tetesan air hujan mengenai kepalanya. Ia meraih tas dari tangan gua, mengambil kunci mobil, membukanya dan langsung masuk ke dalam; melaui pintu sisi penumpang bagian depan. Mau nggak mau, gua hanya punya pilihan duduk di kursi kemudi.
“Gue yang nyetir?” Tanya gua begitu masuk ke dalam mobil.
“…” Natalie nggak menjawab, hanya beringsut, mendekat kemudian kembali memberi pelukan. Lalu, mulai memberi kecupan berkali-kali di pipi sebelah kiri gua.
“.. Udah, geli…”
Natalie melepas pelukannya, kembali duduk dengan benar di kursinya. Lalu bicara; “Kamu dateng kesini buat siapa? buat aku kan?”
“Iya…” Gua menjawab singkat.
“Nah, yaudah nyetir…” Titahnya.
“Ya…”
—
Prahara Cinta - Hedi Yunus
Pertama kali berjumpa
Denganmu kekasihku
Dunia seolah kan runtuh
Makanpun tak enak
Tidurkupun tiada nyenyak
Selalu teringat oh dirimu
Inikah oh namanya
Insan sedang jatuh cinta
Mengapa semua begitu indah dilihat
Begitu sedap dipandang
Seolah kuingin selalu tersenyum
Tapi ah aku malu
Padamu
Aku malu..
Aku malu
Aku malu
Tiap kata kau ucapkan terasa indah saja
Selalu teringat dan tak lupa
Kau katakan kau sayang padaku oh kasihku
Masih banyak lagi rayuanmu
Inikah oh namanya
Insan sedang jatuh cinta
Mengapa semua begitu indah dilihat
Begitu sedap dipandang
Seolah kuingin selalu tersenyum
Tapi ah aku malu
Padamu
Kasihku
Eiyeiye
Aku malu
Aku malu
percyjackson321 dan 51 lainnya memberi reputasi
52
Kutip
Balas
Tutup