- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.3K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#609
001-B Between the Lines (Cont)
Spoiler for 001-B Between the Lines (Cont):
Hari berikutnya, setiap ada kesempatan, selepas dari rumah sakit, gua selalu menyempatkan diri untuk ke kampus, hanya untuk sekedar ‘mengganggunya’. Sekeras apapun ia mencoba menghindar, gua selalu bisa menemukannya. Gua terus mengajaknya ngobrol, walaupun ia sama sekali nggak pernah menggubris, ia hanya terus diam tanpa bicara sepatah katapun, seakan gua nggak ada. Tapi, gua nggak pernah menyerah, gua seperti kecanduan. Kecanduan sensasi jantung yang berdebar.
Hingga gua mulai merasakan sesak di dalam dada saat tengah bersamanya. Perasaan yang nggak pernah gua alami sebelumnya. Perasaan yang semakin lama semakin mengganggu.
Penasaran, gua menceritakan apa yang gua rasa ke Ncek. Begitu mendengar cerita gua, Ncek hanya tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
“Hahahaha… Penasaran gue, cakep nggak sih anaknya?”Ujarnya, nggak menjawab rasa penasaran gua.
“….”
“… Lo, jatuh cinta beneran bray” Tambahnya, kini pasang tampang serius.
“Hah? Nggak mungkin” Balas gua. Merasa, gua nggak mungkin bisa merasakan hal-hal seperti itu.
Gua berhenti menemuinya. Mungkin dengan begitu rasa sesak di dalam dada bisa berkurang lalu hilang. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Saat nggak bertemu, nggak melihatnya, rasa sesak malah semakin menyiksa. Gua jadi kehilangan fokus, sulit berkonsentrasi. Akibatnya, berimbas di performa gua saat di rumah sakit.
Biasanya, para mahasiswa rotasi klinis banyak menghabiskan waktunya di emergency room dan di poli umum; membantu dokter konsulennya. Dokter konsulen sendiri adalah semacam dokter pembimbing untuk para mahasiswa kedokteran. Satu dokter konsulen membawahi 3 sampai 4 mahasiswa. Umumnya, mahasiswa mendapat jatah ‘piket’ untuk standby di emergendy room seminggu dua kali. Dan, besar kemungkinannya kami mendapat giliran jaga di saat weekend.
Saat itu, gua tengah bertugas si emergency room, menemani dokter Rithcie yang kebetulan adalah dokter konsulen gua. Jam menunjukkan pukul 9 malam saat kami mulai menangani pesien korban kekerasan rumah tangga yang mendapat luka tusukan di bagian punggungnya. Saat gua tengah menyelesaikan jahitan pada luka, terdengar suara ribut-ribut dari pintu emergency room. Disusul, ramai suara langkah mendekat ke arah gua. Sosok pria lusuh, terlihat memegang pisau menghambur ke arah gua sambil mengayunkan pisau.
Pikiran yang sejak kemarin hanya diisi oleh Natalie, mulai kehilangan fokus, bikin gua terlambat menghindar. Sabetan pisau tepat mengenai lengan kiri gua. Rupanya, pria itu adalah pasangan dari pasien yang tengah gua tangani.
Menit berikutnya, petugas keamanan dibantu oleh beberapa perawat yang berada di emergency room berhasil mengamankan pria itu. Sementara, gua langsung mendapat perawatan dari dokter Ritchie, yang sigap membersihkan luka sayatan di lengan, kemudian menjahitnya.
Karena luka tersebut, gua akhirnya diijinkan untuk beristirahat selama beberapa hari oleh pihak rumah sakit dengan persetujuan dokter Ritchie.
—
Sore itu, setelah selesai membuat laporan kegiatan praktek. Gua merebahkan tubuh di atas ranjang di kamar asrama sembari membuka perban di lengan kiri gua; berniat membersihkannya. Perlahan dan hati-hati, gua melepas perban. Terlihat luka bekas jahitan yang diberikan dokter Ritchie mulai mengering. Lalu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar asrama.
“Ngapain ngetok segala sih, Ncek” Gumam gua dan mengabaikan ketukan.
Kembali terdengar suara ketokan pada pintu kamar.
“Ck…” Gua berdiri, dan bergegas membuka pintu.
Tepat di depan pintu, berdiri sosok perempuan yang mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan nggak sudi menatap gua. Sementara, jemari tangannya terlihat meremas kuat-kuat buku-buku dan jurnal medis dalam pelukan.
Kehadiranya jujur saja bikin gua terkejut, sangat terkejut. Diantara semua hal yang ada di dunia ini, dia merupakan sosok satu-satunya yang nggak pernah gua harapkan untuk datang ke sini, ke kamar asrama gua yang kosong dan hampa.
Gua nggak bicara, hanya berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar sambil tetap membiarkan posisi pintu dalam keadaan terbuka. Sementara, ia masih berdiri tanpa berani mengarahkan pandangannya ke gua.
Melalui ujung mata, terlihat ia dengan penuh keraguan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar gua. Perlahan ia mendekat, lalu duduk di lantai dengan melipat kedua kakinya; mirip dengan gaya orang jepang, meletakkan tumpukan buku-bukunya di lantai dan mulai meraih tangan kiri gua; memperhatikan luka bekas jahitan yang baru saja gua lepas perban penutupnya.
Kepalanya menoleh, matanya seakan mencari sesuatu. Ia berdiri, meraih kotak plastik transparan berisi peralatan P3K dari atas meja belajar, kemudian kembali duduk di tempatnya semula.
Sore itu, di dalam kamar asrama gua, Natalie membersihkan luka bekas jahitan di lengan kiri gua dan memasangkan kembali perban penutup yang baru.
“Kenapa nggak bilang?” Tanyanya tanpa menatap gua.
“Gimana caranya?” Gua balik bertanya.
Masih sambil menyelesaikan menutup luka, ia mendongak, menatap gua; “Sebelumnya, Lo bisa tau nama gue, selalu bisa nemenuin gue di kampus… Selalu berhasil pura-pura ada di tempat yang sama dengan gue…”
“…”
“… Terus, apa susahnya sih buat lo cari nomor HP gue?” Tambahnya seraya membetulkan poni rambutnya yang hitam dan berkilau.
Natalie membereskan peralatan dan meletakkan kembali kotak P3K di atas meja. Lalu, duduk di tepian ranjang tepat di sebelah gua.
“Sekarang apa susahnya, ngasih nomor lo ke gue?” Tanya gua, lantas meraih ponsel.
Ia meraih ponsel dari genggaman gua dan mulai memasukkan nomornya sendiri. Sementara, gua bangkit dari ranjang, mengambil gelas, mengisinya dengan air bening dari keran di wastafel, dan meletakkannya di atas meja. Lalu kembali duduk di tepian ranjang, di sebelahnya.
Ditengah keheningan, tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka disusul suara Ncek yang berdendang sambil bergoyang dengan headphone menyumbat kedua telinganya. Ncek nggak menyadari kehadiran orang lain di dalam kamar gua, ia langsung menuju ke meja; mengeluarkan kaset dari walkman yang sejak tadi di genggamnya, memindahkan kaset tersebut ke radio tape dan menekan tombol play.
Ia bersiap bicara dan menoleh ke arah kami; seketika tubuhnya kaku.
“Eh, sorry…” Gumamnya pelan, lalu berjalan mundur keluar dari kamar.
Sementara, JAP-nya Sheila On 7 mulai mengalun dari radio tape di atas meja belajar.
‘Untaian bunga canda, Tempat kau lepaskan tawa, Tenang hati terbaca’
Dengan lagu yang terus berputar, Natalie meraih salah satu buku miliknya dan mulai membaca. Sesekali ia menggoyangkan kepalanya, mengikuti irama. Goyangan kepalanya terhenti mendadak saat ia sadar kalau gua menatap ke arahnya. Lalu, kembali melakukan hal yang sama nggak lama berselang. Gua meraih buku lain miliknya, kemudian memberanikan diri membaringkan diri di atas pengkuannya.
“Eh…” Ia jelas terkejut dengan sikap gua itu. Tapi, gua masa bodoh dan mulai membaca sambil berbaring di pangkuannya.
Perlahan, rasa sesak yang sebelumnya terus menekan hilang. Berganti dengan kelegaan luar biasa dan debar yang semakin kuat di dalam dada. Gua mengalihkan pandangan dari lembaran buku dan menatapnya. Sementara, suaranya Duta masih terus terdengar.
Gua nggak pernah bisa membaca ekspresi manusia dengan baik. Buat gua, semua orang terlihat sama; hanya komposisi organ yang tersusun simetris. Nggak mengenal definisi cantik dan rupawan. Tapi, kali ini berbeda. Gadis yang saat ini berada dekat dengan gua terlihat berbeda, segala sesuatu yang ada padanya bikin debar semakin kuat. Alisnya tebal dan melengkung, kedua matanya yang bulat, hidung mungil dan mancung, bibirnya walau nggak tersenyum tapi tetap terlihat lembut. Sementara, rambutnya yang hitam dan panjang tergerai, sesekali tersibak angin; ia cantik.
Hari mulai gelap saat Natalie menutup buku yang dibacanya. “Gue balik ya…” Gumamnya pelan.
Gua bangkit dari pangkuannya, dan meletakkan kembali buku di atas lantai bersama tumpukan lainnya. Natalie menepuk-nepuk pelan kedua kakinya; mungkin kebas karena menahan beban tubuh gua cukup lama.
“Gue anter ya?”
“Nggak usah, sendiri aja…” Jawabnya. Lalu, meraih tumpukan buku miliknya, berdiri dan pergi keluar dari kamar.
Gua buru-buru menyambar jaket dari gantungan di balik pintu dan berlari menuruni tangga; mengejarnya. Gua terus mengikuti langkahnya. Ingin memastikan kalau ia tiba dengan selamat di tempatnya, di apartemen, di flat, di asrama, atau dimanapun ia tinggal. Setiap beberapa langkah, Natalie menoleh ke belakang, menatap gua yang masih mengikutinya, lalu tersenyum.
Untuk pertama kalinya, gua melihat ekspresinya yang itu. Ekspresinya wajah dengan kedua ujung bibir terangkat, kedua matanya menyipit; ia tersenyum.
Natalie terus berjalan, menyusuri trotoar lebar yang mengarah ke kampus. Tepat satu belokan sebelum komplek kampus, ia berbelok ke kiri, kembali menyusuri jalan tanpa pembatas dengan bangunan-bangunan tinggi di kedua sisinya. Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah gedung apartemen bercat krem, dengan pintu kayu besar berukir berwarna hitam. Tangannya menggenggam gagang pintu, lalu terdiam. Ia menoleh ke arah gua lalu kembali tersenyum.
Gua membalasnya dengan senyuman. Dan melepasnya masuk ke dalam.
Alih-alih langsung pulang, gua tetap berdiri di sana sambil mendongak menatap satu persatu ke arah jendela-jendela besar simetris di sisi depan gedung. Nggak lama, salah satu jendela di sebelah kanan pintu utama lantai dua terbuka; wajahnya masih terlihat sama walau dari kejauhan; cantik.
Ia melambaikan tangan ke arah gua, sementara senyumnya masih terpasang. Gua berbalik dan pergi.
—
Hingga gua mulai merasakan sesak di dalam dada saat tengah bersamanya. Perasaan yang nggak pernah gua alami sebelumnya. Perasaan yang semakin lama semakin mengganggu.
Penasaran, gua menceritakan apa yang gua rasa ke Ncek. Begitu mendengar cerita gua, Ncek hanya tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
“Hahahaha… Penasaran gue, cakep nggak sih anaknya?”Ujarnya, nggak menjawab rasa penasaran gua.
“….”
“… Lo, jatuh cinta beneran bray” Tambahnya, kini pasang tampang serius.
“Hah? Nggak mungkin” Balas gua. Merasa, gua nggak mungkin bisa merasakan hal-hal seperti itu.
Gua berhenti menemuinya. Mungkin dengan begitu rasa sesak di dalam dada bisa berkurang lalu hilang. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Saat nggak bertemu, nggak melihatnya, rasa sesak malah semakin menyiksa. Gua jadi kehilangan fokus, sulit berkonsentrasi. Akibatnya, berimbas di performa gua saat di rumah sakit.
Biasanya, para mahasiswa rotasi klinis banyak menghabiskan waktunya di emergency room dan di poli umum; membantu dokter konsulennya. Dokter konsulen sendiri adalah semacam dokter pembimbing untuk para mahasiswa kedokteran. Satu dokter konsulen membawahi 3 sampai 4 mahasiswa. Umumnya, mahasiswa mendapat jatah ‘piket’ untuk standby di emergendy room seminggu dua kali. Dan, besar kemungkinannya kami mendapat giliran jaga di saat weekend.
Saat itu, gua tengah bertugas si emergency room, menemani dokter Rithcie yang kebetulan adalah dokter konsulen gua. Jam menunjukkan pukul 9 malam saat kami mulai menangani pesien korban kekerasan rumah tangga yang mendapat luka tusukan di bagian punggungnya. Saat gua tengah menyelesaikan jahitan pada luka, terdengar suara ribut-ribut dari pintu emergency room. Disusul, ramai suara langkah mendekat ke arah gua. Sosok pria lusuh, terlihat memegang pisau menghambur ke arah gua sambil mengayunkan pisau.
Pikiran yang sejak kemarin hanya diisi oleh Natalie, mulai kehilangan fokus, bikin gua terlambat menghindar. Sabetan pisau tepat mengenai lengan kiri gua. Rupanya, pria itu adalah pasangan dari pasien yang tengah gua tangani.
Menit berikutnya, petugas keamanan dibantu oleh beberapa perawat yang berada di emergency room berhasil mengamankan pria itu. Sementara, gua langsung mendapat perawatan dari dokter Ritchie, yang sigap membersihkan luka sayatan di lengan, kemudian menjahitnya.
Karena luka tersebut, gua akhirnya diijinkan untuk beristirahat selama beberapa hari oleh pihak rumah sakit dengan persetujuan dokter Ritchie.
—
Sore itu, setelah selesai membuat laporan kegiatan praktek. Gua merebahkan tubuh di atas ranjang di kamar asrama sembari membuka perban di lengan kiri gua; berniat membersihkannya. Perlahan dan hati-hati, gua melepas perban. Terlihat luka bekas jahitan yang diberikan dokter Ritchie mulai mengering. Lalu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar asrama.
“Ngapain ngetok segala sih, Ncek” Gumam gua dan mengabaikan ketukan.
Kembali terdengar suara ketokan pada pintu kamar.
“Ck…” Gua berdiri, dan bergegas membuka pintu.
Tepat di depan pintu, berdiri sosok perempuan yang mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan nggak sudi menatap gua. Sementara, jemari tangannya terlihat meremas kuat-kuat buku-buku dan jurnal medis dalam pelukan.
Kehadiranya jujur saja bikin gua terkejut, sangat terkejut. Diantara semua hal yang ada di dunia ini, dia merupakan sosok satu-satunya yang nggak pernah gua harapkan untuk datang ke sini, ke kamar asrama gua yang kosong dan hampa.
Gua nggak bicara, hanya berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar sambil tetap membiarkan posisi pintu dalam keadaan terbuka. Sementara, ia masih berdiri tanpa berani mengarahkan pandangannya ke gua.
Melalui ujung mata, terlihat ia dengan penuh keraguan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar gua. Perlahan ia mendekat, lalu duduk di lantai dengan melipat kedua kakinya; mirip dengan gaya orang jepang, meletakkan tumpukan buku-bukunya di lantai dan mulai meraih tangan kiri gua; memperhatikan luka bekas jahitan yang baru saja gua lepas perban penutupnya.
Kepalanya menoleh, matanya seakan mencari sesuatu. Ia berdiri, meraih kotak plastik transparan berisi peralatan P3K dari atas meja belajar, kemudian kembali duduk di tempatnya semula.
Sore itu, di dalam kamar asrama gua, Natalie membersihkan luka bekas jahitan di lengan kiri gua dan memasangkan kembali perban penutup yang baru.
“Kenapa nggak bilang?” Tanyanya tanpa menatap gua.
“Gimana caranya?” Gua balik bertanya.
Masih sambil menyelesaikan menutup luka, ia mendongak, menatap gua; “Sebelumnya, Lo bisa tau nama gue, selalu bisa nemenuin gue di kampus… Selalu berhasil pura-pura ada di tempat yang sama dengan gue…”
“…”
“… Terus, apa susahnya sih buat lo cari nomor HP gue?” Tambahnya seraya membetulkan poni rambutnya yang hitam dan berkilau.
Natalie membereskan peralatan dan meletakkan kembali kotak P3K di atas meja. Lalu, duduk di tepian ranjang tepat di sebelah gua.
“Sekarang apa susahnya, ngasih nomor lo ke gue?” Tanya gua, lantas meraih ponsel.
Ia meraih ponsel dari genggaman gua dan mulai memasukkan nomornya sendiri. Sementara, gua bangkit dari ranjang, mengambil gelas, mengisinya dengan air bening dari keran di wastafel, dan meletakkannya di atas meja. Lalu kembali duduk di tepian ranjang, di sebelahnya.
Ditengah keheningan, tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka disusul suara Ncek yang berdendang sambil bergoyang dengan headphone menyumbat kedua telinganya. Ncek nggak menyadari kehadiran orang lain di dalam kamar gua, ia langsung menuju ke meja; mengeluarkan kaset dari walkman yang sejak tadi di genggamnya, memindahkan kaset tersebut ke radio tape dan menekan tombol play.
Ia bersiap bicara dan menoleh ke arah kami; seketika tubuhnya kaku.
“Eh, sorry…” Gumamnya pelan, lalu berjalan mundur keluar dari kamar.
Sementara, JAP-nya Sheila On 7 mulai mengalun dari radio tape di atas meja belajar.
‘Untaian bunga canda, Tempat kau lepaskan tawa, Tenang hati terbaca’
Dengan lagu yang terus berputar, Natalie meraih salah satu buku miliknya dan mulai membaca. Sesekali ia menggoyangkan kepalanya, mengikuti irama. Goyangan kepalanya terhenti mendadak saat ia sadar kalau gua menatap ke arahnya. Lalu, kembali melakukan hal yang sama nggak lama berselang. Gua meraih buku lain miliknya, kemudian memberanikan diri membaringkan diri di atas pengkuannya.
“Eh…” Ia jelas terkejut dengan sikap gua itu. Tapi, gua masa bodoh dan mulai membaca sambil berbaring di pangkuannya.
Perlahan, rasa sesak yang sebelumnya terus menekan hilang. Berganti dengan kelegaan luar biasa dan debar yang semakin kuat di dalam dada. Gua mengalihkan pandangan dari lembaran buku dan menatapnya. Sementara, suaranya Duta masih terus terdengar.
Gua nggak pernah bisa membaca ekspresi manusia dengan baik. Buat gua, semua orang terlihat sama; hanya komposisi organ yang tersusun simetris. Nggak mengenal definisi cantik dan rupawan. Tapi, kali ini berbeda. Gadis yang saat ini berada dekat dengan gua terlihat berbeda, segala sesuatu yang ada padanya bikin debar semakin kuat. Alisnya tebal dan melengkung, kedua matanya yang bulat, hidung mungil dan mancung, bibirnya walau nggak tersenyum tapi tetap terlihat lembut. Sementara, rambutnya yang hitam dan panjang tergerai, sesekali tersibak angin; ia cantik.
Hari mulai gelap saat Natalie menutup buku yang dibacanya. “Gue balik ya…” Gumamnya pelan.
Gua bangkit dari pangkuannya, dan meletakkan kembali buku di atas lantai bersama tumpukan lainnya. Natalie menepuk-nepuk pelan kedua kakinya; mungkin kebas karena menahan beban tubuh gua cukup lama.
“Gue anter ya?”
“Nggak usah, sendiri aja…” Jawabnya. Lalu, meraih tumpukan buku miliknya, berdiri dan pergi keluar dari kamar.
Gua buru-buru menyambar jaket dari gantungan di balik pintu dan berlari menuruni tangga; mengejarnya. Gua terus mengikuti langkahnya. Ingin memastikan kalau ia tiba dengan selamat di tempatnya, di apartemen, di flat, di asrama, atau dimanapun ia tinggal. Setiap beberapa langkah, Natalie menoleh ke belakang, menatap gua yang masih mengikutinya, lalu tersenyum.
Untuk pertama kalinya, gua melihat ekspresinya yang itu. Ekspresinya wajah dengan kedua ujung bibir terangkat, kedua matanya menyipit; ia tersenyum.
Natalie terus berjalan, menyusuri trotoar lebar yang mengarah ke kampus. Tepat satu belokan sebelum komplek kampus, ia berbelok ke kiri, kembali menyusuri jalan tanpa pembatas dengan bangunan-bangunan tinggi di kedua sisinya. Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah gedung apartemen bercat krem, dengan pintu kayu besar berukir berwarna hitam. Tangannya menggenggam gagang pintu, lalu terdiam. Ia menoleh ke arah gua lalu kembali tersenyum.
Gua membalasnya dengan senyuman. Dan melepasnya masuk ke dalam.
Alih-alih langsung pulang, gua tetap berdiri di sana sambil mendongak menatap satu persatu ke arah jendela-jendela besar simetris di sisi depan gedung. Nggak lama, salah satu jendela di sebelah kanan pintu utama lantai dua terbuka; wajahnya masih terlihat sama walau dari kejauhan; cantik.
Ia melambaikan tangan ke arah gua, sementara senyumnya masih terpasang. Gua berbalik dan pergi.
—
SHEILA ON 7 - J.A.P
Lelap haru di taman
Bias makna yang terpendam
Alas tonggak harapan
Belai indah matamu
Teman mimpi tanpa jemu
Biar terkadang semu
Untaian bunga canda
Tempat kau lepaskan tawa
Tenang hati terbaca
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang
Untuk katakan cinta
Jadikan aku pacarmu
Kan kubingkai s'lalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu
Iringilah kisahku
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang
Untuk katakan cinta
Jangan pernah lari dariku
Jangan engkau lupakan aku
percyjackson321 dan 41 lainnya memberi reputasi
42
Kutip
Balas
Tutup