- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.4K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#591
001-A A Mask of Smiles
Spoiler for 001-A A Mask of Smiles:
Dunia nggak pernah adil.
Pun buat anak sekecil gua.
Gua kesulitan melihat, karena darah yang mengucur deras menutupi pandangan. Sementara, Ibu terbujur kaku di lantai kamar sementara Bapak sibuk meneriaki kami berdua dengan stik golf masih dalam genggamanya. Entah darah siapa yang terlihat masih menetes di ujung stik golf, darah gua atau darah Ibu. Dengan stik golf yang sama, Bapak menghantam guci pajangan raksasa di ujung ruangan. Kemudian membanting stik golf ke lantai.
Samar terdengar suara langkah kakinya menjauh, keluar dari rumah dan pergi dengan menggunakan mobilnya.
Berkali-kali gua mengguncang tubuh Ibu sambil memanggilnya, namun ia nggak merespon. Gua berlari ke bawah sambil berteriak, meminta tolong kepada siapapun yang bisa mendengarnya. Tapi, nggak ada yang datang.
Dengan sekuat tenaga, gua mencoba mengangkat ibu dengan tubuh mungil ini. Tentu saja nggak berhasil. Gua kembali berlari keluar, kali ini berlari lebih jauh hingga salah satu tetangga merespon teriakan minta tolong gua.
Beberapa saat berikutnya, gua sudah terbaring di ranjang ruang UGD rumah sakit dengan rasa sakit yang sangat di bagian kepala. Perlahan gua meraba bagian kepala dan mendapati kalau perban sudah membalut hampir seluruh kepala. Mengabaikan rasa nyeri, gua bangkit dari ranjang dan mencoba mencari Ibu.
Salah satu dokter yang berada di sana, lantas mendekat dan menghampiri gua. Dokter muda itu membungkuk dan memberitahu kalau Ibu sedang menjalani operasi.
Gua menatap wajahnya, wajah si dokter yang entah kenapa kesulitan gua pahami ekspresinya. Berkali-kali gua mengucek kedua mata dan hasilnya tetap sama; Gua nggak bisa mengenali ekspresinya.
“Den, Ini Ibunya udah selesai di operasi. Sekarang di ICU”Ucap dokter lain kepada Dokter muda yang bersama gua.
“Oh iya…” Jawab Dokter yang dipanggil Deden itu. “Tuh, Ibu kamu sudah selesai di operasi, mau ketemu nggak?” Tanyanya.
Gua mengangguk pelan.
Sejak saat itu, gua nggak lagi bisa mengenali ekspresi orang lai. Gua nggak bisa merasakan emosi dan begitu pula sebaliknya; Gua juga nggak bisa menunjukkan ekspresi dan emosi. Menurut Dokter, hal yang menimpa gua ini nggak bisa diklasifikasi sebagai kondisi medis. Karena menurut hasil pemeriksaan, nggak ada yang salah dengan otak dan saraf gua. Jadi, secara klinis gua sehat wal afiat tanpa kelainan apapun.
Sementara, Ibu lebih menderita lagi. Sejak saat itu ia kehilangan pendengarannya. Hal yang lantas mulai mengikis kemampuan bicaranya. Butuh waktu sangat lama baginya untuk bisa kembali bertemu dengan orang lain. Rasa traumanya benar-benar membuatnya terlihat sebagai sosok yang berbeda.
—
Sejak kejadian itu, Bapak dan Ibu berpisah. Dengan memupuk kebencian yang mendalam ke Bapak, Ibu membawa gua pindah ke Solo. Pulang ke rumah orang tuanya, ke rumah Kakek dan Nenek. Awalnya gua sedikit keberatan dengan kepindahan kami, karena merasa gua sudah punya banyak teman di Jakarta. Tapi, gua nggak punya pilihan lain. Ibu lebih penting daripada gua.
Sementara dari yang nggak sengaja gua dengar, Bapak lolos dari jerat hukum karena Ibu yang nggak mau memberikan kesaksian. Kini ia sudah menikah lagi dan membina keluarga barunya di Jakarta.
Masa kecil gua di Solo nggak berjalan mulus.
Gua harus kembali beradaptasi dan lingkungan dan orang-orang baru. Hal yang tentu saja sulit gua lakukan karena kondisi gua yang nggak bisa mengenali ekspresi dan emosi orang lain.
Untuk mengakali hal itu, gua lantas mulai berlatih.
Gua menghapal berbagai macam ekspresi manusia melalui potongan gambar yang diambil dari koran atau majalah, kemudian menempelkannya di sebuah buku. Begitu pula sebaliknya, gua melatih otot wajah untuk menampilkan ekspresi yang sesuai terhadap lawan bicara. Jadi, misalnya lawan bicara bercanda atau mengeluarkan jokes, maka gua sudah siap untuk menunjukkan ekspresi senyum dan tertawa. Yang tentu saja palsu.
Sambil belajar memahami emosi dan ekspresi, gua juga harus mempelajari bahasa isyarat karena Ibu yang semakin lama semakin nggak mampu berkomunikasi secara verbal.
Gua menghapal setiap detail anatomi wajah dari lawan bicara; alis, mata, bibir, kerutan di dahi dan hal-hal kecil lainnya. Misalnya; saat tersenyum orang bakal menaikkan dua ujung bibir dan matanya yang naik ke atas. Jika, hanya satu sudut bibir saja yang dinaikkan maka arti dari ekspresi wajahnya bakal jadi berbeda juga. Saat sedih, biasanya orang akan menurunkan alisnya dan bibirnya.
Nggak cuma ekspresi wajah, Gua juga mempelajari cara bicara melalui nada suara dan intonasi. Hal ini gua pelajari melalui dialog di film-film, yang gua tonton berulang-ulang. Sama seperti ekspresi wajah, setiap orang punya penekanan suara yang sama saat bicara. Misalnya, kala sedang marah; volume suaranya keras dan intonasinya tajam. Saat tengah sedih, maka suaranya bakal terdengar pelan dan berat, sedangkan jika sedang Happy; suaranya terdengar cerah dan cepat.
Gerak-gerik tubuh juga jadi bahan latihan gua. Secara umum, orang bakal melakukan sesuatu hal yang diluar kesadarannya, seperti saat gugup dimana orang biasa memainkan tangan atau menggoyang-goyangkan kaki saat gelisah. Tubuh tegak dan bahu yang terbuka adalah tanda orang yang percaya diri.
Tapi belajar dengan menghapal aja nggak cukup. Sesekali, setiap ada kesempatan gua melatihnya dengan ngobrol bersama orang lain, mencoba fokus dengan ekspresi mereka. Memperhatikan mata, bibir, alis, bahkan cara mereka menarik napas. Menebak apa yang mereka rasakan, lalu memberikan respon sesuai dengan ekspresi yang sudah gua pelajari. Nggak jarang gua salah, tapi lama-lama gua mulai terlatih, dan bisa menebak lebih akurat.
Semakin hari, tentu saja gua semakin lihai. Mampu membaca ekspresi wajah lawan bicara. Tapi, tetap hanya kulit luarnya yang mampu gua pahami. Jauh di dalam hati, gua tetap nggak mengerti apa-apa. Gua bahkan kesulitan melatih merasakan emosi sendiri.
Gua kesulitan memberi label pada perasaan yang muncul di dalam diri; antara marah, sedih, atau kecewa. Misalnya; saat gua tahu kalau dibohongi oleh salah satu teman di sekolah. Gua akan merasakan sensasi seperti ada yang bergolak di dalam hati, yang disertai dengan rasa terbakar. Begitupula saat gua kehilangan mainan kesayangan; gua akan merasakan hal yang sama; sensasi bergolak yang disertai rasa terbakar di dalam hati. Gua nggak bisa membedakannya.
Karena nggak bisa mengandalkan emosi, gua secara naluriah mulai mengalihkan semua hal melalui logika. Menurut gua; Logika memberikan struktur dan kepastian yang jelas, yang selama ini nggak bisa gua dapatkan dari ‘perasaan’. Logika bisa dipelajari, diukur, dan diuji. Logika nggak membingungkan dan nggak bercabang seperti emosi yang nggak bisa gua rasakan. Dengan bergantung pada logika, Gua jadi merasa lebih aman. Pada akhirnya, Logika jadi satu-satunya alat untuk memahami dunia dan berinteraksi dengan orang lain.
Karenanya, Gua juga jadi cenderung memandang emosi sebagai sesuatu yang nggak penting; sesuatu yang nggak relevan. Buat gua, logika adalah cara yang lebih efisien dan efektif untuk memecahkan masalah atau membuat keputusan, mengesampingkan perasaan.
Pun, begitu gua tetap berpura-pura merasa kalau emosi dan perasaan itu penting. Ya tentu saja agar bisa diterima di lingkungan sosial. Nggak terbayang rasanya kalau orang-orang tau kalau gua nggak bisa ngerasain emosi lalu nggak punya teman dan bersosialisasi. Ujung-ujungnya gua bakal mati bunuh diri.
Tapi, ada hal yang sama sekali nggak gua tutupi dengan kepura-puraan; hal berbau mistis. Seakan bertuhan logika, gua jadi sosok yang dikemudian hari sama sekali nggak percaya dengan hal mistis. Gua nggak percaya adanya hantu yang mampu berinteraksi dengan manusia. Gua nggak percaya dukun, paranormal atau apapun jenisnya. Buat gua, semua hal berbau mistis selalu bisa dijelaskan dengan logika dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Jangan salah dipahami, bukan gua nggak percaya dengan hal gaib. Gua jelas percaya hal gaib. Gua percaya kalau Tuhan itu ada; walaupun nggak adil. Gua bahkan percaya kalau setan itu benar-benar ada. Tapi, mereka berada ‘di dunianya’ sendiri. Dunia yang sama sekali nggak beririsan dengan dunia manusia.
—
Oiya; Nama gua Farid Berliansyah, alih-alih dipanggil dengan nama Farid, gua justru dipanggil dengan sebutan ‘Lian’. Konon katanya sewaktu kecil, gua kesulitan menyebut nama sendiri; Farid. Merasa nama ‘Lian’ lebih mudah dilafalkan, Ibu mulai melatih gua menyebut diri sendiri sebagai Lian.
Bapak adalah seorang pejabat tinggi dengan latar belakang ahli ekonomi. Sementara, Ibu adalah bankir yang bekerja di salah satu bank multi nasional. Setelah melahirkan gua, Ibu berhenti dari pekerjaannya dan menjalani kehidupan sehari-hari sebagai Ibu rumah tangga. Tentu saja Ibu rumah tangga yang cerdas dan pintar. Hal yang terus jadi kebanggaannya.
Jangan tanya tentang bagaimana hubungan antara anak dan bapak, karena gua nggak tau gimana rasanya.
Sejak kecil gua hanya memahami kalau keberadaan Bapak hanyalah sebagai pemberi uang untuk membayar semua kebutuhan kami. Saat mendengar teman-teman yang lain bercerita tentang mereka yang bermain, berlibur dan bahkan makan malam bersama bapaknya; gua jelas nggak relate. “Hah? kok gitu?”
Bapak lebih banyak memukuli kami berdua ketimbang mengajak bercengkerama. Entah apa alasannya, sampai sekarang gua nggak tau dan nggak mau tau.
Sejak mulai tinggal di Solo, gua menjalani hari-hari dengan kesepian. Gua nggak punya teman dan kesulitan bergaul. Sadar kalau gua nggak bisa ‘berkembang’ di Solo, begitu masuk SMP, Ibu memindahkan gua kembali ke Jakarta. Selama di Jakarta, gua tinggal bersama dengan salah satu kerabat Kakek. Dan setiap beberapa bulan sekali, gua akan pulang ke Solo dengan menggunakan bus atau kereta.
Rumah kerabat Kakek tempat gua tinggal terbilang cukup luas. Iya, beliau memang seorang pebisnis ulung yang kaya raya. Gua bahkan diberikan kamar sendiri yang bersebelahan dengan kamar pembantu.
Selama tinggal di sana, gua tentu nggak mau terlalu bikin repot. Jadi, gua banyak membantu pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menguras kolam ikan, membersihkan kamar mandi, mengantar ke pasar dan mencuci mobil. Sementara, di sisa waktu selain sekolah gua habiskan seperti layaknya remaja kebanyakan; bermain dan nongkrong sambil belajar merokok. Ya walau kendala membaca dan memperlihatkan ekspresi tetap masih ada.
Tinggal bersama orang lain yang bukan keluarga tentu rasanya nggak begitu nyaman. That’s why gua mencoba sebisa mungkin mencari cara agar nggak terlalu lama tinggal di sini. Cara paling cepat yang terpikir adalah dengan mengikuti kelas akselerasi. Dengan mengikuti kelas akselerasi, gua bisa menempuh masa SMP lebih singkat, hingga bisa keluar dari rumah ini juga lebih cepat.
Jangan terlalu pusing mikirin gimana gua bisa masuk kelas akselerasi. Buat gua itu hal gampang. Iya, bener. Gampang! Entah apa yang salah dengan teman-teman lain, yang selalu mengeluhkan pelajaran di sekolah itu susah. Apanya yang susah? Buat gua semuanya terlihat gampang. Apalagi pelajaran yang membutuhkan hitung-hitungan, seperti matematika. Gampangnya bukan main.
Kenapa gampang?
Matematika itu ilmu eksakta, ilmu yang konkrit, yang punya jawaban pasti. Yang benar yang benar, yang salah ya salah. Nggak ada ambiguitas dan nggak ada kira-kira, semuanya pasti. Sesuatu yang pasti tentu lebih mudah digapai. Ya kan?
Aslinya, gua bukan orang yang lahir dengan tingkat kecerdasan yang tinggi. Gua hanya mampu bertahan melakukan sesuatu hingga batasnya. Gua juga suka mengutak-atik sesuatu yang berbentuk hitungan, seperti rumus dan teori. Gua nggak akan berhenti sampai berhasil menemukan hasilnya. Nggak cuma itu, gua juga tergila-gila membaca. Buat gua, membaca adalah sesuatu yang menyenangkan. Bahkan sama menyenangkannya dengan bermain game. Semua jenis buku gua baca; mulai dari komik, novel romansa hingga buku-buku tentang sejarah.
Gua tentu berhasil masuk kelas akselerasi tanpa kendala sama sekali. Imbasnya, gua semakin dikenal sebagai siswa yang cerdas dan pintar. Ditambah, usaha keras untuk mempelajari ekspresi dan sering melatihnya dengan ngobrol dan berbincang, bikin gua dianggap jadi sosok yang supel, ramah dan gampang berteman. Nggak ada satupun yang tahu kalau semua ekspresi yang gua tunjukkan adalah palsu.
Nggak ada satu pun yang tahu tentang kekosongan yang nggak bisa dijelaskan.
—
Lulus SMP, gua keluar dari rumah kerabat Kakek. Lalu, mengontrak rumah kontrakan yang lokasinya nggak begitu jauh dari sekolah. Untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dan membayar uang sewa kontrakan, gua mencari uang tambahan dengan memberi les ke anak-anak SD dan SMP. Nggak perlu capek dan mengeluarkan banyak tenaga, uang terus mengalir; easy money.
Sejatinya, Bapak tetap memberikan uang bulanan untuk Ibu dan gua. Tapi, kami sama sekali nggak pernah menyentuh uang tersebut dan membiarkannya tetap berada di rekening bank yang nggak pernah sekalipun di cek jumlahnya.
Sementara, masa-masa SMA gua bisa dibilang hampir sama dengan remaja-remaja lain, tentu saja selain karena perbedaan usia gua yang lebih muda ketimbang yang lain dan kepalsuan ekspresi yang selalu gua tunjukkan. Gua suka nongkrong sepulang sekolah, menggoda cewek populer, nge-band, bermain futsal dan hal-hal seru lainnya.
Gua mungkin satu-satunya siswa yang punya irisan diantara kelompok-kelompok yang berada di sekolah. Umumnya, di setiap sekolah selalu ‘terbagi’ menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok siswa pintar dan cerdas yang anti nongkrong dan menghabiskan waktu untuk hal nggak jelas. Ada kelompok yang lebih suka nongkrong, karena merasa masa SMA adalah masa yang seharusnya dihabiskan untuk bersosialisasi, bukan tempat belajar. Ada pula kelompok siswa yang gila olahraga dan banyak kelompok-kelompok kecil lainnya. Dan gua selalu berada hampir semua kelompok, terus berusaha membaur dan melatih kemampuan gua berekspresi.
Nggak cuma populer karena gua pintar dan pandai bergaul. Gua juga dikenal karena kepongahan dan tingkah gua yang, ya kadang bisa dibilang terlalu sombong. Tentu saja kesombongan gua beralasan, gua selalu menyombongkan diri sebagai orang yang pintar; kalau ada yang nggak terima; ayo diadu. Dan tentu saja; untuk menutupi sesuatu, menutupi kepalsuan juga kekosongan di dalam hati.
Gua bahkan sempat beberapa kali menjalin hubungan asmara. Hubungan cinta-cintaan ala anak SMA yang isinya cuma main-main aja. Awalnya, gua hanya mencoba untuk melatih ekspresi dan komunikasi. Lalu mulai memasang target tinggi dengan merayu seorang gadis yang paling populer di sekolah. Eh, malah berhasil. Ya walaupun ujung-ujungnya, hubungan tersebut kandas karena dia akhirnya sadar kalau gua hanya main-main.
Tapi, gua merasakan ada sensasi yang berbeda. Sensasi jantung berdebar saat tengah merayu ada menggoda lawan jenis. Hal yang kemudian kerap gua lakukan, hanya untuk merasakan sensasi unik itu.
Sementara, untuk urusan prestasi akademik nggak perlu diragukan lagi; gua berhasil mendapat nilai terbaik di semua mata pelajaran. Beberapa guru, dan teman-teman lalu menyarankan agar gua masuk ke universitas negeri melalui jalur prestasi. Hal umum yang dilakukan orang pintar seperti gua. Tapi, gua jelas nggak mau jadi yang ‘umum’, gua nggak mau jadi yang biasa-biasa saja.
“Kuliah apa yang paling susah menurut lo, Cek?” Tanya gua ke Ncek saat kami tengah nongkrong sambil merokok di gang depan sekolah.
Ncek, menyipitkan matanya yang sudah sipit; mencoba berpikir.
“Kedokteran?” Tebaknya.
“Seru, nggak?” Tanya gua lagi.
“Kayaknya seru…”
“Ok, kalo gitu gue mau ambil kuliah kedokteran…” Ucap gua, santai.
Ncek mengernyitkan dahinya dan menatap gua bingung; “Lo, milih kedokteran cuma gara-gara seru?”
“Iya…” Gua menjawab santai. “… Dan kata lo itu yang paling susah” Gua menambahkan.
“Belagu lo…” Serunya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Buat gue, kayaknya semua jurusan gampang…” Gua berkelakar, sombong.
“Seni?” Tanyanya, kini mulai terkekeh.
Gua yang sebelumnya pongah, lalu menunduk; “Ya kalo itu nggak sih..” Jawab gua lirih.
“Kuliah jurusan kedokteran, pilih kampus xxxxxx di Inggris, pake jalur beasiswa… Kalo lo bisa, jago sih…” Tantangnya.
Begitu mendengar ucapannya yang berbau tantangan barusan, gua langsung menoleh dan menatapnya; “Kalo gue bisa lo mau ngasih apa?”
Ia mengangkat bahunya ke atas; “…”
Ricky, nama aslinya. Ia dipanggil dengan sebutan Ncek karena kedua matanya yang sipit dan kulitnya yang putih. Mirip seperti kokoh-kokoh keturunan tionghoa. Padahal ia adalah orang asli Sunda. Ncek atau encek sendiri merupakan sebuah panggilan untuk orang tiongha; adik dari ayah atau paman.
Ncek salah satu teman terdekat gua. Kami sama-sama ikut program akselerasi sejak SMP hingga SMA. Ia merupakan anak dari salah satu kepala instansi BUMN di Indonesia, juga anak orang kaya yang nasibnya sedikit mirip dengan gua. Sama-sama berasal dari keluarga broken home. Bedanya, Bapaknya Ncek nggak gampang main tangan dan hobi memukul istri dan anaknya. Dia hanya gila perempuan.
Hingga kini, Ncek merupakan satu-satunya orang diluar keluarga yang tahu tentang kondisi yang gua alami.
—
Awalnya gua mendapat pertentangan dari Ibu saat bilang kalau mau kuliah di luar negeri. Menurutnya, kampus-kampus di Indonesia juga cukup bagus untuk mengakomodir rencana gua menjadi dokter.
‘Tapi nggak seru kalo di sini’ Balas gua ke Ibu dengan gerakan isyarat.
‘Memang mau kuliah di mana?’
‘Nggak tau, London?’ Jawab gua.
Sengaja memilih London karena beberapa alasan. Pertama; karena disana berada beberapa kampus terbaik di dunia kedokteran, jurusan yang mau gua ambil.
Kedua; karena kebetulan ada beberapa orang kakak kelas dari program akselerasi yang sudah berada di sana untuk berkuliah. Jadi, paling nggak gua sudah punya teman di sana nanti.
‘Boleh?’
Ibu terdiam sebentar, kemudian mengangguk pelan.
‘Kalau butuh uang, pakai saja uang dari Bapak’ Ucap Ibu dengan bahasa isyarat.
‘Nggak perlu’ Balas gua.
Sepanjang sisa masa SMA, Gua dan Ncek mulai mencari kampus-kampus yang membuka program beasiswa, kemudian mengajukannya. Sembari terus menyusun rencana keuangan yang super detail; rencana keuangan yang dibuat sejak hari pertama hingga lulus kuliah nanti.
Bukan hal sulit buat gua untuk dapet beasiswa kuliah di luar negeri. Gancil! Gampang! Sejatinya, gua bisa saja mengambil jalur umum. Tapi, karena tantangan dari Ncek, gua terdorong ingin masuk melalui jalur beasiswa. Lagian, ini emang gaya gua; ngasih tantangan ke diri sendiri, untuk bisa lulus tes baesiswa di salah satu kampus tertua di Inggris, salah satu kampus paling ternama.
Gua berhasil masuk fakultas kedokteran dengan jalur beasiswa penuh dan nilai terbaik. Sementara, Ncek juga berhasil masuk di fakultas dan kampus yang sama. Hanya saja, ia berada di peringkat kedua dari akhir. Buat mahasiswa dengan beasiswa penuh semua biaya pendidikan, termasuk berbagai fasilitas seperti asrama dan uang jajan ditanggung oleh pihak yayasan. Jadi, gua nggak perlu repot-repot nyari kerja sampingan yang melelahkan.
—
Pun buat anak sekecil gua.
Gua kesulitan melihat, karena darah yang mengucur deras menutupi pandangan. Sementara, Ibu terbujur kaku di lantai kamar sementara Bapak sibuk meneriaki kami berdua dengan stik golf masih dalam genggamanya. Entah darah siapa yang terlihat masih menetes di ujung stik golf, darah gua atau darah Ibu. Dengan stik golf yang sama, Bapak menghantam guci pajangan raksasa di ujung ruangan. Kemudian membanting stik golf ke lantai.
Samar terdengar suara langkah kakinya menjauh, keluar dari rumah dan pergi dengan menggunakan mobilnya.
Berkali-kali gua mengguncang tubuh Ibu sambil memanggilnya, namun ia nggak merespon. Gua berlari ke bawah sambil berteriak, meminta tolong kepada siapapun yang bisa mendengarnya. Tapi, nggak ada yang datang.
Dengan sekuat tenaga, gua mencoba mengangkat ibu dengan tubuh mungil ini. Tentu saja nggak berhasil. Gua kembali berlari keluar, kali ini berlari lebih jauh hingga salah satu tetangga merespon teriakan minta tolong gua.
Beberapa saat berikutnya, gua sudah terbaring di ranjang ruang UGD rumah sakit dengan rasa sakit yang sangat di bagian kepala. Perlahan gua meraba bagian kepala dan mendapati kalau perban sudah membalut hampir seluruh kepala. Mengabaikan rasa nyeri, gua bangkit dari ranjang dan mencoba mencari Ibu.
Salah satu dokter yang berada di sana, lantas mendekat dan menghampiri gua. Dokter muda itu membungkuk dan memberitahu kalau Ibu sedang menjalani operasi.
Gua menatap wajahnya, wajah si dokter yang entah kenapa kesulitan gua pahami ekspresinya. Berkali-kali gua mengucek kedua mata dan hasilnya tetap sama; Gua nggak bisa mengenali ekspresinya.
“Den, Ini Ibunya udah selesai di operasi. Sekarang di ICU”Ucap dokter lain kepada Dokter muda yang bersama gua.
“Oh iya…” Jawab Dokter yang dipanggil Deden itu. “Tuh, Ibu kamu sudah selesai di operasi, mau ketemu nggak?” Tanyanya.
Gua mengangguk pelan.
Sejak saat itu, gua nggak lagi bisa mengenali ekspresi orang lai. Gua nggak bisa merasakan emosi dan begitu pula sebaliknya; Gua juga nggak bisa menunjukkan ekspresi dan emosi. Menurut Dokter, hal yang menimpa gua ini nggak bisa diklasifikasi sebagai kondisi medis. Karena menurut hasil pemeriksaan, nggak ada yang salah dengan otak dan saraf gua. Jadi, secara klinis gua sehat wal afiat tanpa kelainan apapun.
Sementara, Ibu lebih menderita lagi. Sejak saat itu ia kehilangan pendengarannya. Hal yang lantas mulai mengikis kemampuan bicaranya. Butuh waktu sangat lama baginya untuk bisa kembali bertemu dengan orang lain. Rasa traumanya benar-benar membuatnya terlihat sebagai sosok yang berbeda.
—
Sejak kejadian itu, Bapak dan Ibu berpisah. Dengan memupuk kebencian yang mendalam ke Bapak, Ibu membawa gua pindah ke Solo. Pulang ke rumah orang tuanya, ke rumah Kakek dan Nenek. Awalnya gua sedikit keberatan dengan kepindahan kami, karena merasa gua sudah punya banyak teman di Jakarta. Tapi, gua nggak punya pilihan lain. Ibu lebih penting daripada gua.
Sementara dari yang nggak sengaja gua dengar, Bapak lolos dari jerat hukum karena Ibu yang nggak mau memberikan kesaksian. Kini ia sudah menikah lagi dan membina keluarga barunya di Jakarta.
Masa kecil gua di Solo nggak berjalan mulus.
Gua harus kembali beradaptasi dan lingkungan dan orang-orang baru. Hal yang tentu saja sulit gua lakukan karena kondisi gua yang nggak bisa mengenali ekspresi dan emosi orang lain.
Untuk mengakali hal itu, gua lantas mulai berlatih.
Gua menghapal berbagai macam ekspresi manusia melalui potongan gambar yang diambil dari koran atau majalah, kemudian menempelkannya di sebuah buku. Begitu pula sebaliknya, gua melatih otot wajah untuk menampilkan ekspresi yang sesuai terhadap lawan bicara. Jadi, misalnya lawan bicara bercanda atau mengeluarkan jokes, maka gua sudah siap untuk menunjukkan ekspresi senyum dan tertawa. Yang tentu saja palsu.
Sambil belajar memahami emosi dan ekspresi, gua juga harus mempelajari bahasa isyarat karena Ibu yang semakin lama semakin nggak mampu berkomunikasi secara verbal.
Gua menghapal setiap detail anatomi wajah dari lawan bicara; alis, mata, bibir, kerutan di dahi dan hal-hal kecil lainnya. Misalnya; saat tersenyum orang bakal menaikkan dua ujung bibir dan matanya yang naik ke atas. Jika, hanya satu sudut bibir saja yang dinaikkan maka arti dari ekspresi wajahnya bakal jadi berbeda juga. Saat sedih, biasanya orang akan menurunkan alisnya dan bibirnya.
Nggak cuma ekspresi wajah, Gua juga mempelajari cara bicara melalui nada suara dan intonasi. Hal ini gua pelajari melalui dialog di film-film, yang gua tonton berulang-ulang. Sama seperti ekspresi wajah, setiap orang punya penekanan suara yang sama saat bicara. Misalnya, kala sedang marah; volume suaranya keras dan intonasinya tajam. Saat tengah sedih, maka suaranya bakal terdengar pelan dan berat, sedangkan jika sedang Happy; suaranya terdengar cerah dan cepat.
Gerak-gerik tubuh juga jadi bahan latihan gua. Secara umum, orang bakal melakukan sesuatu hal yang diluar kesadarannya, seperti saat gugup dimana orang biasa memainkan tangan atau menggoyang-goyangkan kaki saat gelisah. Tubuh tegak dan bahu yang terbuka adalah tanda orang yang percaya diri.
Tapi belajar dengan menghapal aja nggak cukup. Sesekali, setiap ada kesempatan gua melatihnya dengan ngobrol bersama orang lain, mencoba fokus dengan ekspresi mereka. Memperhatikan mata, bibir, alis, bahkan cara mereka menarik napas. Menebak apa yang mereka rasakan, lalu memberikan respon sesuai dengan ekspresi yang sudah gua pelajari. Nggak jarang gua salah, tapi lama-lama gua mulai terlatih, dan bisa menebak lebih akurat.
Semakin hari, tentu saja gua semakin lihai. Mampu membaca ekspresi wajah lawan bicara. Tapi, tetap hanya kulit luarnya yang mampu gua pahami. Jauh di dalam hati, gua tetap nggak mengerti apa-apa. Gua bahkan kesulitan melatih merasakan emosi sendiri.
Gua kesulitan memberi label pada perasaan yang muncul di dalam diri; antara marah, sedih, atau kecewa. Misalnya; saat gua tahu kalau dibohongi oleh salah satu teman di sekolah. Gua akan merasakan sensasi seperti ada yang bergolak di dalam hati, yang disertai dengan rasa terbakar. Begitupula saat gua kehilangan mainan kesayangan; gua akan merasakan hal yang sama; sensasi bergolak yang disertai rasa terbakar di dalam hati. Gua nggak bisa membedakannya.
Karena nggak bisa mengandalkan emosi, gua secara naluriah mulai mengalihkan semua hal melalui logika. Menurut gua; Logika memberikan struktur dan kepastian yang jelas, yang selama ini nggak bisa gua dapatkan dari ‘perasaan’. Logika bisa dipelajari, diukur, dan diuji. Logika nggak membingungkan dan nggak bercabang seperti emosi yang nggak bisa gua rasakan. Dengan bergantung pada logika, Gua jadi merasa lebih aman. Pada akhirnya, Logika jadi satu-satunya alat untuk memahami dunia dan berinteraksi dengan orang lain.
Karenanya, Gua juga jadi cenderung memandang emosi sebagai sesuatu yang nggak penting; sesuatu yang nggak relevan. Buat gua, logika adalah cara yang lebih efisien dan efektif untuk memecahkan masalah atau membuat keputusan, mengesampingkan perasaan.
Pun, begitu gua tetap berpura-pura merasa kalau emosi dan perasaan itu penting. Ya tentu saja agar bisa diterima di lingkungan sosial. Nggak terbayang rasanya kalau orang-orang tau kalau gua nggak bisa ngerasain emosi lalu nggak punya teman dan bersosialisasi. Ujung-ujungnya gua bakal mati bunuh diri.
Tapi, ada hal yang sama sekali nggak gua tutupi dengan kepura-puraan; hal berbau mistis. Seakan bertuhan logika, gua jadi sosok yang dikemudian hari sama sekali nggak percaya dengan hal mistis. Gua nggak percaya adanya hantu yang mampu berinteraksi dengan manusia. Gua nggak percaya dukun, paranormal atau apapun jenisnya. Buat gua, semua hal berbau mistis selalu bisa dijelaskan dengan logika dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Jangan salah dipahami, bukan gua nggak percaya dengan hal gaib. Gua jelas percaya hal gaib. Gua percaya kalau Tuhan itu ada; walaupun nggak adil. Gua bahkan percaya kalau setan itu benar-benar ada. Tapi, mereka berada ‘di dunianya’ sendiri. Dunia yang sama sekali nggak beririsan dengan dunia manusia.
—
Oiya; Nama gua Farid Berliansyah, alih-alih dipanggil dengan nama Farid, gua justru dipanggil dengan sebutan ‘Lian’. Konon katanya sewaktu kecil, gua kesulitan menyebut nama sendiri; Farid. Merasa nama ‘Lian’ lebih mudah dilafalkan, Ibu mulai melatih gua menyebut diri sendiri sebagai Lian.
Bapak adalah seorang pejabat tinggi dengan latar belakang ahli ekonomi. Sementara, Ibu adalah bankir yang bekerja di salah satu bank multi nasional. Setelah melahirkan gua, Ibu berhenti dari pekerjaannya dan menjalani kehidupan sehari-hari sebagai Ibu rumah tangga. Tentu saja Ibu rumah tangga yang cerdas dan pintar. Hal yang terus jadi kebanggaannya.
Jangan tanya tentang bagaimana hubungan antara anak dan bapak, karena gua nggak tau gimana rasanya.
Sejak kecil gua hanya memahami kalau keberadaan Bapak hanyalah sebagai pemberi uang untuk membayar semua kebutuhan kami. Saat mendengar teman-teman yang lain bercerita tentang mereka yang bermain, berlibur dan bahkan makan malam bersama bapaknya; gua jelas nggak relate. “Hah? kok gitu?”
Bapak lebih banyak memukuli kami berdua ketimbang mengajak bercengkerama. Entah apa alasannya, sampai sekarang gua nggak tau dan nggak mau tau.
Sejak mulai tinggal di Solo, gua menjalani hari-hari dengan kesepian. Gua nggak punya teman dan kesulitan bergaul. Sadar kalau gua nggak bisa ‘berkembang’ di Solo, begitu masuk SMP, Ibu memindahkan gua kembali ke Jakarta. Selama di Jakarta, gua tinggal bersama dengan salah satu kerabat Kakek. Dan setiap beberapa bulan sekali, gua akan pulang ke Solo dengan menggunakan bus atau kereta.
Rumah kerabat Kakek tempat gua tinggal terbilang cukup luas. Iya, beliau memang seorang pebisnis ulung yang kaya raya. Gua bahkan diberikan kamar sendiri yang bersebelahan dengan kamar pembantu.
Selama tinggal di sana, gua tentu nggak mau terlalu bikin repot. Jadi, gua banyak membantu pekerjaan-pekerjaan rumah seperti menguras kolam ikan, membersihkan kamar mandi, mengantar ke pasar dan mencuci mobil. Sementara, di sisa waktu selain sekolah gua habiskan seperti layaknya remaja kebanyakan; bermain dan nongkrong sambil belajar merokok. Ya walau kendala membaca dan memperlihatkan ekspresi tetap masih ada.
Tinggal bersama orang lain yang bukan keluarga tentu rasanya nggak begitu nyaman. That’s why gua mencoba sebisa mungkin mencari cara agar nggak terlalu lama tinggal di sini. Cara paling cepat yang terpikir adalah dengan mengikuti kelas akselerasi. Dengan mengikuti kelas akselerasi, gua bisa menempuh masa SMP lebih singkat, hingga bisa keluar dari rumah ini juga lebih cepat.
Jangan terlalu pusing mikirin gimana gua bisa masuk kelas akselerasi. Buat gua itu hal gampang. Iya, bener. Gampang! Entah apa yang salah dengan teman-teman lain, yang selalu mengeluhkan pelajaran di sekolah itu susah. Apanya yang susah? Buat gua semuanya terlihat gampang. Apalagi pelajaran yang membutuhkan hitung-hitungan, seperti matematika. Gampangnya bukan main.
Kenapa gampang?
Matematika itu ilmu eksakta, ilmu yang konkrit, yang punya jawaban pasti. Yang benar yang benar, yang salah ya salah. Nggak ada ambiguitas dan nggak ada kira-kira, semuanya pasti. Sesuatu yang pasti tentu lebih mudah digapai. Ya kan?
Aslinya, gua bukan orang yang lahir dengan tingkat kecerdasan yang tinggi. Gua hanya mampu bertahan melakukan sesuatu hingga batasnya. Gua juga suka mengutak-atik sesuatu yang berbentuk hitungan, seperti rumus dan teori. Gua nggak akan berhenti sampai berhasil menemukan hasilnya. Nggak cuma itu, gua juga tergila-gila membaca. Buat gua, membaca adalah sesuatu yang menyenangkan. Bahkan sama menyenangkannya dengan bermain game. Semua jenis buku gua baca; mulai dari komik, novel romansa hingga buku-buku tentang sejarah.
Gua tentu berhasil masuk kelas akselerasi tanpa kendala sama sekali. Imbasnya, gua semakin dikenal sebagai siswa yang cerdas dan pintar. Ditambah, usaha keras untuk mempelajari ekspresi dan sering melatihnya dengan ngobrol dan berbincang, bikin gua dianggap jadi sosok yang supel, ramah dan gampang berteman. Nggak ada satupun yang tahu kalau semua ekspresi yang gua tunjukkan adalah palsu.
Nggak ada satu pun yang tahu tentang kekosongan yang nggak bisa dijelaskan.
—
Lulus SMP, gua keluar dari rumah kerabat Kakek. Lalu, mengontrak rumah kontrakan yang lokasinya nggak begitu jauh dari sekolah. Untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dan membayar uang sewa kontrakan, gua mencari uang tambahan dengan memberi les ke anak-anak SD dan SMP. Nggak perlu capek dan mengeluarkan banyak tenaga, uang terus mengalir; easy money.
Sejatinya, Bapak tetap memberikan uang bulanan untuk Ibu dan gua. Tapi, kami sama sekali nggak pernah menyentuh uang tersebut dan membiarkannya tetap berada di rekening bank yang nggak pernah sekalipun di cek jumlahnya.
Sementara, masa-masa SMA gua bisa dibilang hampir sama dengan remaja-remaja lain, tentu saja selain karena perbedaan usia gua yang lebih muda ketimbang yang lain dan kepalsuan ekspresi yang selalu gua tunjukkan. Gua suka nongkrong sepulang sekolah, menggoda cewek populer, nge-band, bermain futsal dan hal-hal seru lainnya.
Gua mungkin satu-satunya siswa yang punya irisan diantara kelompok-kelompok yang berada di sekolah. Umumnya, di setiap sekolah selalu ‘terbagi’ menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok siswa pintar dan cerdas yang anti nongkrong dan menghabiskan waktu untuk hal nggak jelas. Ada kelompok yang lebih suka nongkrong, karena merasa masa SMA adalah masa yang seharusnya dihabiskan untuk bersosialisasi, bukan tempat belajar. Ada pula kelompok siswa yang gila olahraga dan banyak kelompok-kelompok kecil lainnya. Dan gua selalu berada hampir semua kelompok, terus berusaha membaur dan melatih kemampuan gua berekspresi.
Nggak cuma populer karena gua pintar dan pandai bergaul. Gua juga dikenal karena kepongahan dan tingkah gua yang, ya kadang bisa dibilang terlalu sombong. Tentu saja kesombongan gua beralasan, gua selalu menyombongkan diri sebagai orang yang pintar; kalau ada yang nggak terima; ayo diadu. Dan tentu saja; untuk menutupi sesuatu, menutupi kepalsuan juga kekosongan di dalam hati.
Gua bahkan sempat beberapa kali menjalin hubungan asmara. Hubungan cinta-cintaan ala anak SMA yang isinya cuma main-main aja. Awalnya, gua hanya mencoba untuk melatih ekspresi dan komunikasi. Lalu mulai memasang target tinggi dengan merayu seorang gadis yang paling populer di sekolah. Eh, malah berhasil. Ya walaupun ujung-ujungnya, hubungan tersebut kandas karena dia akhirnya sadar kalau gua hanya main-main.
Tapi, gua merasakan ada sensasi yang berbeda. Sensasi jantung berdebar saat tengah merayu ada menggoda lawan jenis. Hal yang kemudian kerap gua lakukan, hanya untuk merasakan sensasi unik itu.
Sementara, untuk urusan prestasi akademik nggak perlu diragukan lagi; gua berhasil mendapat nilai terbaik di semua mata pelajaran. Beberapa guru, dan teman-teman lalu menyarankan agar gua masuk ke universitas negeri melalui jalur prestasi. Hal umum yang dilakukan orang pintar seperti gua. Tapi, gua jelas nggak mau jadi yang ‘umum’, gua nggak mau jadi yang biasa-biasa saja.
“Kuliah apa yang paling susah menurut lo, Cek?” Tanya gua ke Ncek saat kami tengah nongkrong sambil merokok di gang depan sekolah.
Ncek, menyipitkan matanya yang sudah sipit; mencoba berpikir.
“Kedokteran?” Tebaknya.
“Seru, nggak?” Tanya gua lagi.
“Kayaknya seru…”
“Ok, kalo gitu gue mau ambil kuliah kedokteran…” Ucap gua, santai.
Ncek mengernyitkan dahinya dan menatap gua bingung; “Lo, milih kedokteran cuma gara-gara seru?”
“Iya…” Gua menjawab santai. “… Dan kata lo itu yang paling susah” Gua menambahkan.
“Belagu lo…” Serunya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Buat gue, kayaknya semua jurusan gampang…” Gua berkelakar, sombong.
“Seni?” Tanyanya, kini mulai terkekeh.
Gua yang sebelumnya pongah, lalu menunduk; “Ya kalo itu nggak sih..” Jawab gua lirih.
“Kuliah jurusan kedokteran, pilih kampus xxxxxx di Inggris, pake jalur beasiswa… Kalo lo bisa, jago sih…” Tantangnya.
Begitu mendengar ucapannya yang berbau tantangan barusan, gua langsung menoleh dan menatapnya; “Kalo gue bisa lo mau ngasih apa?”
Ia mengangkat bahunya ke atas; “…”
Ricky, nama aslinya. Ia dipanggil dengan sebutan Ncek karena kedua matanya yang sipit dan kulitnya yang putih. Mirip seperti kokoh-kokoh keturunan tionghoa. Padahal ia adalah orang asli Sunda. Ncek atau encek sendiri merupakan sebuah panggilan untuk orang tiongha; adik dari ayah atau paman.
Ncek salah satu teman terdekat gua. Kami sama-sama ikut program akselerasi sejak SMP hingga SMA. Ia merupakan anak dari salah satu kepala instansi BUMN di Indonesia, juga anak orang kaya yang nasibnya sedikit mirip dengan gua. Sama-sama berasal dari keluarga broken home. Bedanya, Bapaknya Ncek nggak gampang main tangan dan hobi memukul istri dan anaknya. Dia hanya gila perempuan.
Hingga kini, Ncek merupakan satu-satunya orang diluar keluarga yang tahu tentang kondisi yang gua alami.
—
Awalnya gua mendapat pertentangan dari Ibu saat bilang kalau mau kuliah di luar negeri. Menurutnya, kampus-kampus di Indonesia juga cukup bagus untuk mengakomodir rencana gua menjadi dokter.
‘Tapi nggak seru kalo di sini’ Balas gua ke Ibu dengan gerakan isyarat.
‘Memang mau kuliah di mana?’
‘Nggak tau, London?’ Jawab gua.
Sengaja memilih London karena beberapa alasan. Pertama; karena disana berada beberapa kampus terbaik di dunia kedokteran, jurusan yang mau gua ambil.
Kedua; karena kebetulan ada beberapa orang kakak kelas dari program akselerasi yang sudah berada di sana untuk berkuliah. Jadi, paling nggak gua sudah punya teman di sana nanti.
‘Boleh?’
Ibu terdiam sebentar, kemudian mengangguk pelan.
‘Kalau butuh uang, pakai saja uang dari Bapak’ Ucap Ibu dengan bahasa isyarat.
‘Nggak perlu’ Balas gua.
Sepanjang sisa masa SMA, Gua dan Ncek mulai mencari kampus-kampus yang membuka program beasiswa, kemudian mengajukannya. Sembari terus menyusun rencana keuangan yang super detail; rencana keuangan yang dibuat sejak hari pertama hingga lulus kuliah nanti.
Bukan hal sulit buat gua untuk dapet beasiswa kuliah di luar negeri. Gancil! Gampang! Sejatinya, gua bisa saja mengambil jalur umum. Tapi, karena tantangan dari Ncek, gua terdorong ingin masuk melalui jalur beasiswa. Lagian, ini emang gaya gua; ngasih tantangan ke diri sendiri, untuk bisa lulus tes baesiswa di salah satu kampus tertua di Inggris, salah satu kampus paling ternama.
Gua berhasil masuk fakultas kedokteran dengan jalur beasiswa penuh dan nilai terbaik. Sementara, Ncek juga berhasil masuk di fakultas dan kampus yang sama. Hanya saja, ia berada di peringkat kedua dari akhir. Buat mahasiswa dengan beasiswa penuh semua biaya pendidikan, termasuk berbagai fasilitas seperti asrama dan uang jajan ditanggung oleh pihak yayasan. Jadi, gua nggak perlu repot-repot nyari kerja sampingan yang melelahkan.
—
Our Lady Peace - Superman's Dead
Do you worry that you're not liked
How long 'til you break
You're happy cause you smile
But how much can you fake
An ordinary boy, an ordinary name
But ordinary's just not good enough today
Alone
I'm thinking
Why-eieieie yeah, is Superman dead
Eieieie, yeah, is it in my head?
Eieieie, yeah, we'll just laugh instead
You worry about the weather
Whether not you should hate hate hate
Are you worried about your faith
Kneel down and obey
You're happy you're in love
You need someone to hate
An ordinary girl, an ordinary waist
But ordinary's just not good enough today
Alone
I'm thinking
Why-eieieie yeah, is Superman dead
Eieieie, yeah, is it in my head?
Eieieie, yeah, we'll just laugh instead
You worry about the weather
Whether not you should hate hate hate
percyjackson321 dan 46 lainnya memberi reputasi
47
Kutip
Balas
Tutup