- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ooogggyyy dan 145 lainnya memberi reputasi
146
204.6K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#466
005-A Through the Fields of Time
Spoiler for 005-A Through the Fields of Time:
Anes mengamuk seperti kerasukan, menghantam kepala gua dengan helm. Saat itu, kilasan ingatan tentang Lian muncul. Gua sadar telah salah menceritakan segalanya pada Anes.
Lalu, gelap.
Gua terbangun di rumah sakit dengan kepala berat dan kebingungan. Dokter Ricky memberi beberapa pertanyaan, pertanyaan yang seharusnya bisa gua jawab dengan mudah. Namun, entah kenapa gua malah sulit melakukannya. Gua bahkan kesulitan mengingat nama lengkap gua sendiri. Anehnya, hanya Lian yang benar-benar gua ingat dengan sempurna.
Dokter Ricky lalu beralih ke Nyokap dan bicara pelan; “Tunggu sampai sedikit stabil, ya. Abis ini kita tes EEG…”
“Iya Dok. Terus hasil tes MRI dan CT nya gimana?”Tanya Nyokap.
“Iya nanti dijelaskan sekalian ya…” Jawab Dokter Ricky.
“Tapi, dia baik-baik aja kan Dok. Ingatannya gapapa kan?” Tanya Nyokap lagi sesaat sebelum Dokter Ricky pergi.
Gua langsung angkat bicara, ingin bertemu dengan Lian; “Bisa panggilin Lian…” Pinta gua ke Dokter Ricky.
Bukannya menjawab gua, Dokter Ricky malah tersenyum dan menatap Nyokap; “See, ingatannya baik-baik aja kan…”
—
Entah kenapa, tubuh gua terasa sama sekali nggak bertenaga. Padahal, sejauh yang gua ingat, gua hanya mengalami cedera di kepala yang seharusnya nggak terlalu berdampak pada bagian tubuh yang lain.
“Kok aku lemes banget ya, Mah?” Tanya gua ke Nyokap, lirih.
“Ya gimana nggak lemes Fir, tiga hari kamu cuma ‘makan’ dari infus” Jawabnya, seraya menyeka lengan gua dengan lap basah.
“Tiga hari?” Tanya gua lagi, bingung.
“Iya. Kamu pingsan dan nggak sadar tiga hari” Jawab Nyokap, masih sambil menyeka lengan gua.
“Hah?” Seru gua, jelas nggak percaya. Merasa kejadian menakutkan saat menerima pukulan dari Anes baru saja terjadi kemarin.
“Kamu laper ya?” Tanya Nyokap. Yang lantas gua respon dengan mengangguk pelan.
“Bentar ya, Mamah tanya ke suster dulu. Kamu boleh makan apa nggak…” Jawabnya, lantas keluar dari ruang perawatan.
Nyokap kembali ke kamar sambil tersenyum dan bicara; “Boleh, Fir… Nanti di bawain”
Nggak lama berselang, seorang petugas masuk ke dalam ruang perawatan sambil mendorong troli metal dengan beberapa piring makanan di atasnya. Piring yang dilapis plastik transparan agar tetap higienis.
“Ini nanti obatnya di minum setelah makan ya…” Ucap si petugas seraya memindahkan cup kecil berisi beberapa pil obat ke atas meja dan membiarkan troli berisi makanan berada di sisi ranjang. Ia lalu pamit dan pergi.
Nyokap langsung meraih piring, membuka penutup plastiknya dan bersiap untuk menyuapi gua. Sambil makan, Nyokap lantas bercerita ke gua tentang kronologi yang terjadi setelah Anes memukul gua. Menurut penuturannya, ia menemukan gua terbaring nggak sadarkan diri di teras rumah dengan kondisi darah mengucur di kepala. Beruntung, Nyokap saat itu pulang lebih cepat dari biasanya. “Nggak tau deh, gimana kalau Mamah pulang telat..” Ucapnya.
Panik, Nyokap langsung meminta bantuan tetangga untuk membopong gua ke mobil. Kemudian bergegas pergi ke rumah sakit. Tentu saja, ke rumah sakit tempat biasa kami berkonsultasi. Di rumah sakit, gua masuk ke ruang IGD dan langsung mendapatkan perawatan awal; membersihkan luka dan menutupnya dengan plester khusus sebagai ganti jahitan.
Lalu, Nyokap berhenti bercerita.
“Terus?” Tanya gua sambil mengunyah.
Terlihat perubahan di wajahnya. Ia nampak khawatir, takut yang bercampur cemas.
“Abis itu kamu kejang… Kejang yang terjadi hampir setiap dua jam sekali” Jawab Nyokap.
Tapi, entah kenapa dokter dan pihak rumah sakit nggak melakukan apa-apa. Mereka hanya bilang agar kami menunggu karena katanya gua masih dalam tahap observasi. Nyokap menghubungi Dokter Natalie dan meminta saran darinya. Namun, Dokter Natalie juga mengatakan hal yang sama; Gua memang harus menjalani observasi selama beberapa hari.
Hari berikutnya, Dokter Ricky datang ke ruang UGD. Ia memperkenalkan diri ke Nyokap dan mulai bicara. Menyarankan agar gua dipindahkan ke rumah sakit tempatnya bekerja agar bisa mendapatkan perawatan semaksimal mungkin. Nyokap yang ragu lantas menghubungi Dokter Natalie dan kembali meminta pendapatnya. Dokter Natalie keukeuh agar tetap melanjutkan perawatan di sana dan nggak memindahkan gua.
“Tapi, Mamah khawatir banget sama, kejang kamu lama-lama makin sering. Dan, Dokter Adhi, dokter yang merawat kamu sebelumnya nggak bisa berbuat apa-apa…” Nyokap menjelaskan.
Karena rasa khawatirnya semakin besar, Nyokap akhirnya setuju dengan tawaran Dokter Ricky.
Nggak lama setelah mengurus surat ini itu yang memusingkan, Gua berhasil dipindahkan ke rumah sakit tempat Dokter Ricky bekerja, tentu saja ia yang sekaligus menjadi dokter penanggung jawabnya.
Masih dari penuturan Nyokap. Setelah dipindahkan, gua langsung menjalani tes CT dan MRI. Sementara, Dokter Ricky langsung memberi gua obat untuk menekan saraf agar gua nggak kejang. Namun, rupanya dosis obat yang diberikan oleh Dokter Ricky nggak begitu banyak membantu. Kejang gua kembali muncul dan intervalnya semakin dekat.
Nyokap selesai bercerita tepat dengan porsi makan gua yang juga hampir habis. Lalu tiba-tiba semua terasa gelap.
Sesaat gua seperti terasa tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Tempat yang mirip padang penuh bunga yang cantik dan indah. Di sana, berdiri seorang pria dengan kemeja putih yang lengannya di lipat sembarangan. Sosok yang begitu gua kenali; Lian. Baru saja ia berbalik, menatap gua dengan matanya yang tegas dan bersiap bicara, gua kembali tersadar.
Terlihat Nyokap berdiri di sisi ranjang di sebelah gua. Wajahnya nampak panik dan takut. Sementara, rasa sakit luar biasa terasa di bagian belakang kepala. Gua memegangi bagian kepala yang sakit seraya bertanya ke Nyokap; “Aku kenapa Mah?”
“Kamu kejang lagi…” Jawabnya, masih dengan wajah yang nampak khawatir.
“Aku di mana?” Tanya gua. Merasa asing dengan tempat gua berada sekarang.
Mendengar pertanyaan gua barusany, Nyokap lantas mengernyitkan dahinya; bingung.
“Lho, kamu lupa?”
“Iya…”
Pintu ruang perawatan terbuka, Dokter Ricky dan seorang perawat masuk ke dalam dengan langkah yang cepat. Ia mendekat dan mulai memeriksa gua; Ia menyorot kedua mata dengan senter dan meminta gua mengikuti gerakan cahaya.
“Obatnya udah diminum?” Tanyanya ke Nyokap yang lantas dijawabnya dengan gelengan kepala.
“Ok! Jangan diminum dulu…” Ucapnya. Lalu berpaling ke perawat yang datang bersamanya. “Sus, siapain ruang EEG” Tambahnya. Perawat itu lantas mengangguk dan keluar dari ruangan.
Sambil menyiapkan gua untuk menjalani tes EEG, Nyokap menjelaskan hal yang barusan terjadi. Tentang bagaimana gua kejang dan gua yang lupa tentang posisinya sekarang.
Dokter Ricky menatap gua, lalu bicara pelan; “Setelah habis kejang, biasanya memang bakal sedikit linglung…”
“Normal?” Tanya Nyokap.
“Buat orang dengan kondisi Epilepsi, Normal. Tapi, kalau dibiarkan lama-lama ingatannya bisa terkikis. Apalagi interval kejangnya semakin dekat…” Jawabnya.
Menit berikutnya gua sudah dipindahkan ke ruang tes EEG, ruang yang sama dengan yang pernah gua datangi dulu sewaktu bersama dengan Lian. Seorang perawat mulai memasang alat semacam membran elektroda di seluruh bagian kepala gua.
Dokter Ricky masuk ke dalam ruangan, terlihat kalau ia tengah bicara dengan seseorang melalui ponselnya; mengabaikan larangan menggunakan ponsel yang terpasang di bagian dalam pintu ruangan. Ia nggak bicara, hanya mendengarkan dengan seksama seakan ada yang memberi instruksi melalui panggilan telepon.
“Hai, Fir…” Sapanya setelah selesai dengan panggilan.
“…” Gua mengangguk dan mencoba tersenyum.
“… Jadi, gini. Biasanya pasien dengan riwayat kejang akan dikasih obat anti-kejang sebelum tes EEG. Gunanya untuk mencegah aktivitas listrik abnormal yang berlebihan saat tes. Tapi, kali ini kita mau bagaimana otakmu bekerja tanpa intervensi obat terlebih dahulu ya. Jadi, mungkin selama tes kamu nanti bakal kejang” Dokter Ricky memberi penjelasan.
“…” Gua kembali mengangguk.
Tes dimulai.
Saat tengah menjalani tes, tepat seperti apa yang dikatakan Dokter Ricky, gua kembali mengalami hal yang sama; kejang. Tiba-tiba kehilangan kesadaran, merasa tubuh ini tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Kali ini gua kembali ke tempat yang sama seperti sebelumnya; padang penuh bunga yang cantik dan indah. Lian berdiri sambil menggenggam tangan gua. Gua mendongak dan menatapnya, namun yang gua lihat adalah wajah yang tanpa ekspresi. Wajah yang datar tanpa mata, tanpa hidung dan mulut; rata. Lalu gua kembali tersadar.
Gua menoleh ke kiri dan kanan, menatap sekeliling, mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Terasa benda-benda aneh berada di kepala dengan banyak kabel yang menjulur. Setelah beberapa menit barulah gua kembali mengingat apa yang terjadi.
Kondisi gua perlahan berubah semakin memburuk. Kejang gua semakin sering terjadi. Gua pun semakin sering masuk ke ruang dan waktu yang berbeda, lebih sering bertemu dengan Lian di padang bunga yang cantik.
Setiap kali gua tersadar dari kejang, gua merasakan rasa sakit yang luar biasa di bagian kepala. Semakin lama, gua bahkan nggak lagi tahan untuk membuka mata begitu sadar dari kejang. Jangankan membuka mata, berusaha membuka mulut saja sudah bikin kepala ini terasa sakit luar biasa. Namun, gua tetap bisa merasakan dan mendengar apa yang terjadi di sekitar.
Beberapa kali gua mendengar tentang rencana operasi yang nggak begitu jelas.
Makin sering gua kehilangan kesadaran, semakin menyiksa rasa sakit di kepala. Gua mulai kehilangan hitungan, nggak lagi mengenal waktu, nggak mengenal jam dan hari. Yang gua tau, gua hanya terbaring di ruang kecil dengan pintu kaca besar di depan. Sementara, suara bip dari monitor di sisi ranjang terdengar begitu mengganggu.
Dalam siksaan rasa sakit yang luar biasa dan kesadaran yang sering kali hilang. Gua sempat mendengar sebuah suara yang begitu menenangkan; suara Lian yang samar. ‘Ah, lagi-lagi gua tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Ke padang bunga yang sama seperti sebelumnya. Namun, kali ini terasa jauh berbeda dengan bunga-bunga yang mulai menghitam. Angin yang berhembus juga nggak lagi terasa lembut dan menenangkan; terasa berat dan menusuk.
—
Samar terdengar suara sirine meraung-raung, suara yang lalu bercampur dengan isak tangis dari Nyokap yang berada di sebelah gua. Hanya itu yang gua ingat hingga kembali kehilangan kesadaran.
Gua bangun dengan kondisi yang sedikit berbeda. Rasanya seperti ‘nge-fly’, tubuh yang terasa ringan dan santai. ‘Apa gua sudah mati?’ gua membatin.
Tebakan gua terasa semakin nyata saat melihat sosok yang selama ini selalu gua harapkan. Lian muncul, masuk ke dalam ruangan. Ia terlihat berbeda. Kali ini ia terlihat jauh lebih tampan dengan pakaian dokter hijau muda, lengkap dengan penutup kepala berwarna senada. Ia meraih kursi kecil dari sudut ruangan, lalu duduk di sebelah gua, di sisi ranjang.
Dengan kondisi gua saat ini, gua kesulitan tersenyum, pun sekeras apapun gua mencoba. Begitu juga saat gua hendak mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya yang gua rindukan. Semua sulit dilakukan.
“Jangan… Jangan ngomong apapun” Ucapnya sambil meletakkan telunjuk di bibir saat sadar gua hendak mencoba bicara.
Ia lalu mulai membelai wajah, dan menggenggam tangan gua. Ujung mata gua terasa basah dan hangat. Gua begitu merindukannya.
“Kamu percaya kan sama aku?” Tanyanya sambil berbisik, dekat di telinga gua.
Gua mengangguk perlahan, lalu sebisa mungkin tersenyum.
Tiba-tiba gelap. Gua kembali kejang. Gua kembali ke padang berbunga. Namun kali ini Lian nggak berada di sana. Hanya kekosongan dan hembusan angin yang terasa menenangkan.
Saat tersadar, gua merasakan sebuah pelukan. Pelukan dari seorang pria yang entah siapa. Setelah beberapa menit barulah gua teringat kalau sosok itu adalah Lian.
“Kamu percaya sama aku kan?” Tanyanya.
Gua mencoba sebisa mungkin untuk menjawab; “Iya…”
“Sebentar lagi, aku mulai operasinya ya…”
Mendengar kalau ia akan melakukan operasi gua, Seketika, seperti mendapat kekuatan yang entah datang dari mana. Gua mendongak dan bicara; “Kamu yang operasi?”
Lian mengangguk pelan seraya tersenyum. Namun, dibalik senyumnya terlihat air matanya menggenang, lalu menetes. Untuk pertama kalinya, gua melihatnya menangis.
“Kamu nangis…” Tanya gua lirih.
“Iya…” Lian menjawab dengan suara yang bergetar.
“…”
“… Kamu inget nggak dulu aku pernah bilang kalau kamu satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku tersenyum?” Tanyanya. Pertanyaan yang entah kenapa diajukan di momen seperti ini. Tapi, gua sama sekali nggak masalah. Gua mau ia tetap bertanya tentang hal-hal sepele seperti ini.
“…” Gua mengangguk pelan.
“Sekarang, kamu juga satu-satunya orang yang bikin aku menangis..” Tambahnya.
Gua merasa tersanjung. Begitu pula dengan dia. Dia adalah satu-satunya alasan gua bisa bertahan dengan kondisi ini.
“… Nanti, mungkin kamu akan sadar saat operasi. Dan aku akan bertanya beberapa hal yang perlu kamu respon. It is okay?” Tanyanya, seakan meminta persetujuan gua.
“Iya. Sakit nggak?” Gua balik bertanya.
“Nggak kok…” Jawabnya.
“…”
“… Nanti kamu bakal tetap sadar selama operasi. Jadi, jangan kaget ya kalau kamu mungkin masih bisa dengar sesuatu…” Ucapnya.
“…” Gua mengangguk.
“… Jangan takut, kamu nggak bakal merasakan apa-apa kok” Tambahnya. Seraya sedikit menjelaskan tentang prosedur awake craniotomy yang bakal gua jalani.
“… Kamu harus kuat. Kamu mau menari lagi kan?”
“…” Gua kembali mengangguk.
Tiba-tiba gua kembali kehilangan kesadaran; lagi. Tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Berada di padang bunga yang kini mulai kembali bermekaran. Hembusan angin yang terasa lembut dan menenangkan. Gua melangkah pelan dengan ujung jemari meraba ujung bunga-bunga yang indah, mendekat ke arah Lian yang berdiri di ujung sana. Samar terdengar ia bicara; “Tahan sebentar lagi ya…” Lalu gelap.
—
Entah berapa lama waktu yang berlalu.
Kini gua sudah berada di sebuah ruangan dingin yang beraroma antiseptik kuat, dengan lampu yang terang benderang tergantung di bagian atas, tepat di kepala. Terlihat beberapa orang berjubah hijau muda mengeliling tubuh gua yang terbaring. Samar, gua bisa mendengar suara Lian yang bicara ke orang-orang di sekitar, sementara gua nggak bisa melihatnya dengan jelas karena penutup yang berada tepat di kepala gua. Penutup mirip tirai yang mengisolasi bagian atas kepala.
Suara Lian terdengar semakin dekat.
“Fir, Fira… Kalau bisa dengar aku, berkedip sekali ya…” Pintanya.
Gua mengikuti perintahnya, lalu berkedip satu kali.
“Aku sentuh kepala kamu, kalau sudah nggak terasa berkedip sekali ya, sayang…” Pintanya lagi.
Gua mencoba tersenyum namun nggak berhasil. Bayangkan di momen seperti ini saja ia masih menyempatkan diri memanggil gua; ‘Sayang’. Lalu, mengikuti perintahnya; berkedip sekali.
Beberapa saat kemudian gua mulai mendengar ucapan Lian yang memberi yang disusul denting metal, suara deru sebuah mesin hingga getaran aneh yang tarasa di kepala gua.
Gua sudah berjanji kepadanya; gua akan mencoba sebisa mungkin bertahan.
Setelah beberapa lama, Lian kembali membungkuk dan bicara di dekat wajah gua; “Hai, cantik… apa kabar?”
‘Bisa-bisanya ia bilang gue cantik di depan semua orang-orang ini’ Batin gua, sebelum akhirnya berusaha menjawab; “Hai…”
“Kamu ingat tempat dimana kita terakhir bertemu?” Tanyanya lagi.
Gua mencoba mengingat, lalu menjawab singkat “Danau…”
Lalu, tiba-tiba gua kembali kehilangan kesadaran.
Gua tersadar. Tapi, kali ini nggak lagi dalam kondisi linglung. Gua langsung bisa mengingat apa yang terjadi sebelum kejang.
Lian kembali membungkuk dan bertanya lagi; “Halo cantik… Masih bisa dengar aku kan?”
“Masih…” Gua menjawab singkat.
“Hebat…” Balasnya.
Lalu, tiba-tiba rasa kantuk yang amat sangat mulai menyerang. Mata ini seperti dipaksa untuk menutup. Gua mulai tertidur. Samar, gua mendengar suara Lian; “Safira, Aku sayang kamu…”
Gua mencoba sekuat mungkin untuk memberi jawaban. Namun, nggak bisa. Tubuh ini sudah nggak bisa lagi gua kendalikan. Lalu segalanya menghilang dalam kegelapan.
—
Gua membuka mata, cahaya matahari yang menyilaukan menyambut. Gua menyipitkan mata seraya mencoba menghalau sinar dengan tangan. Namun, gua merasakan sedikit nyeri di bagian lengan. Terlihat sebuah jarum di pergelangan tangan bagian dalam, terhubung ke botol infus. Bingung, gua mencoba bangkir dan memandang ke sekeliling.
“Dimana nih?” Gumam gua pelan, sambil terus menatap ruangan yang nampak seperti ruang perawatan intensif rumah sakit.
Gua menoleh, menatap ke arah jendela di sisi sebelah kiri ruangan dan mendapati pantulan diri sendiri yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit dengan perban jaring melingkar di kepala.
Di depan ruangan kecil tempat gua berada, terlihat Nyokap tengah duduk di kursi kecil; sibuk dengan ponselnya.
“Mah…” Panggil gua.
Nyokap mendongak, lalu berdiri sambil pasang senyum lebar. Ia lantas mendekat cepat, menggenggam tangan gua dan bicara; “Gimana Fir? apa rasanya?” Tanyanya.
“Apanya yang gimana? ya baik-baik aja. Aku kenapa di sini Mah?” Gua balik bertanya.
“…” Nyokap nggak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum. “Kamu pingsan kemarin..” Jawabnya.
Nggak lama seorang dokter yang terlihat senior datang dan memeriksa kondisi gua. Disusul seorang perawat yang datang dengan kursi roda. Rencananya gua akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa.
Nyokap mencoba membantu gua turun dari ranjang, namun gua menolak. “Apaan sih Mah, kayak orang sakit apaan aja sampe dibantu turun dari ranjang…” Gua menolak, lalu turun dari ranjang dan duduk di atas kursi roda.
Seorang perawat mendorong kursi roda keluar dari ruang perawatan intensif. Begitu keluar dari ruangan, terlihat seorang pria dengan kemeja putih yang bagian lengannya tergulung asal-asalan berdiri dan menatap gua. Kami saling beradu pandang; wajahnya nampak aneh, nampak ada sesuatu yang penuh rasa sakit.
Gua tersenyum kepadanya.
—
Lalu, gelap.
Gua terbangun di rumah sakit dengan kepala berat dan kebingungan. Dokter Ricky memberi beberapa pertanyaan, pertanyaan yang seharusnya bisa gua jawab dengan mudah. Namun, entah kenapa gua malah sulit melakukannya. Gua bahkan kesulitan mengingat nama lengkap gua sendiri. Anehnya, hanya Lian yang benar-benar gua ingat dengan sempurna.
Dokter Ricky lalu beralih ke Nyokap dan bicara pelan; “Tunggu sampai sedikit stabil, ya. Abis ini kita tes EEG…”
“Iya Dok. Terus hasil tes MRI dan CT nya gimana?”Tanya Nyokap.
“Iya nanti dijelaskan sekalian ya…” Jawab Dokter Ricky.
“Tapi, dia baik-baik aja kan Dok. Ingatannya gapapa kan?” Tanya Nyokap lagi sesaat sebelum Dokter Ricky pergi.
Gua langsung angkat bicara, ingin bertemu dengan Lian; “Bisa panggilin Lian…” Pinta gua ke Dokter Ricky.
Bukannya menjawab gua, Dokter Ricky malah tersenyum dan menatap Nyokap; “See, ingatannya baik-baik aja kan…”
—
Entah kenapa, tubuh gua terasa sama sekali nggak bertenaga. Padahal, sejauh yang gua ingat, gua hanya mengalami cedera di kepala yang seharusnya nggak terlalu berdampak pada bagian tubuh yang lain.
“Kok aku lemes banget ya, Mah?” Tanya gua ke Nyokap, lirih.
“Ya gimana nggak lemes Fir, tiga hari kamu cuma ‘makan’ dari infus” Jawabnya, seraya menyeka lengan gua dengan lap basah.
“Tiga hari?” Tanya gua lagi, bingung.
“Iya. Kamu pingsan dan nggak sadar tiga hari” Jawab Nyokap, masih sambil menyeka lengan gua.
“Hah?” Seru gua, jelas nggak percaya. Merasa kejadian menakutkan saat menerima pukulan dari Anes baru saja terjadi kemarin.
“Kamu laper ya?” Tanya Nyokap. Yang lantas gua respon dengan mengangguk pelan.
“Bentar ya, Mamah tanya ke suster dulu. Kamu boleh makan apa nggak…” Jawabnya, lantas keluar dari ruang perawatan.
Nyokap kembali ke kamar sambil tersenyum dan bicara; “Boleh, Fir… Nanti di bawain”
Nggak lama berselang, seorang petugas masuk ke dalam ruang perawatan sambil mendorong troli metal dengan beberapa piring makanan di atasnya. Piring yang dilapis plastik transparan agar tetap higienis.
“Ini nanti obatnya di minum setelah makan ya…” Ucap si petugas seraya memindahkan cup kecil berisi beberapa pil obat ke atas meja dan membiarkan troli berisi makanan berada di sisi ranjang. Ia lalu pamit dan pergi.
Nyokap langsung meraih piring, membuka penutup plastiknya dan bersiap untuk menyuapi gua. Sambil makan, Nyokap lantas bercerita ke gua tentang kronologi yang terjadi setelah Anes memukul gua. Menurut penuturannya, ia menemukan gua terbaring nggak sadarkan diri di teras rumah dengan kondisi darah mengucur di kepala. Beruntung, Nyokap saat itu pulang lebih cepat dari biasanya. “Nggak tau deh, gimana kalau Mamah pulang telat..” Ucapnya.
Panik, Nyokap langsung meminta bantuan tetangga untuk membopong gua ke mobil. Kemudian bergegas pergi ke rumah sakit. Tentu saja, ke rumah sakit tempat biasa kami berkonsultasi. Di rumah sakit, gua masuk ke ruang IGD dan langsung mendapatkan perawatan awal; membersihkan luka dan menutupnya dengan plester khusus sebagai ganti jahitan.
Lalu, Nyokap berhenti bercerita.
“Terus?” Tanya gua sambil mengunyah.
Terlihat perubahan di wajahnya. Ia nampak khawatir, takut yang bercampur cemas.
“Abis itu kamu kejang… Kejang yang terjadi hampir setiap dua jam sekali” Jawab Nyokap.
Tapi, entah kenapa dokter dan pihak rumah sakit nggak melakukan apa-apa. Mereka hanya bilang agar kami menunggu karena katanya gua masih dalam tahap observasi. Nyokap menghubungi Dokter Natalie dan meminta saran darinya. Namun, Dokter Natalie juga mengatakan hal yang sama; Gua memang harus menjalani observasi selama beberapa hari.
Hari berikutnya, Dokter Ricky datang ke ruang UGD. Ia memperkenalkan diri ke Nyokap dan mulai bicara. Menyarankan agar gua dipindahkan ke rumah sakit tempatnya bekerja agar bisa mendapatkan perawatan semaksimal mungkin. Nyokap yang ragu lantas menghubungi Dokter Natalie dan kembali meminta pendapatnya. Dokter Natalie keukeuh agar tetap melanjutkan perawatan di sana dan nggak memindahkan gua.
“Tapi, Mamah khawatir banget sama, kejang kamu lama-lama makin sering. Dan, Dokter Adhi, dokter yang merawat kamu sebelumnya nggak bisa berbuat apa-apa…” Nyokap menjelaskan.
Karena rasa khawatirnya semakin besar, Nyokap akhirnya setuju dengan tawaran Dokter Ricky.
Nggak lama setelah mengurus surat ini itu yang memusingkan, Gua berhasil dipindahkan ke rumah sakit tempat Dokter Ricky bekerja, tentu saja ia yang sekaligus menjadi dokter penanggung jawabnya.
Masih dari penuturan Nyokap. Setelah dipindahkan, gua langsung menjalani tes CT dan MRI. Sementara, Dokter Ricky langsung memberi gua obat untuk menekan saraf agar gua nggak kejang. Namun, rupanya dosis obat yang diberikan oleh Dokter Ricky nggak begitu banyak membantu. Kejang gua kembali muncul dan intervalnya semakin dekat.
Nyokap selesai bercerita tepat dengan porsi makan gua yang juga hampir habis. Lalu tiba-tiba semua terasa gelap.
Sesaat gua seperti terasa tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Tempat yang mirip padang penuh bunga yang cantik dan indah. Di sana, berdiri seorang pria dengan kemeja putih yang lengannya di lipat sembarangan. Sosok yang begitu gua kenali; Lian. Baru saja ia berbalik, menatap gua dengan matanya yang tegas dan bersiap bicara, gua kembali tersadar.
Terlihat Nyokap berdiri di sisi ranjang di sebelah gua. Wajahnya nampak panik dan takut. Sementara, rasa sakit luar biasa terasa di bagian belakang kepala. Gua memegangi bagian kepala yang sakit seraya bertanya ke Nyokap; “Aku kenapa Mah?”
“Kamu kejang lagi…” Jawabnya, masih dengan wajah yang nampak khawatir.
“Aku di mana?” Tanya gua. Merasa asing dengan tempat gua berada sekarang.
Mendengar pertanyaan gua barusany, Nyokap lantas mengernyitkan dahinya; bingung.
“Lho, kamu lupa?”
“Iya…”
Pintu ruang perawatan terbuka, Dokter Ricky dan seorang perawat masuk ke dalam dengan langkah yang cepat. Ia mendekat dan mulai memeriksa gua; Ia menyorot kedua mata dengan senter dan meminta gua mengikuti gerakan cahaya.
“Obatnya udah diminum?” Tanyanya ke Nyokap yang lantas dijawabnya dengan gelengan kepala.
“Ok! Jangan diminum dulu…” Ucapnya. Lalu berpaling ke perawat yang datang bersamanya. “Sus, siapain ruang EEG” Tambahnya. Perawat itu lantas mengangguk dan keluar dari ruangan.
Sambil menyiapkan gua untuk menjalani tes EEG, Nyokap menjelaskan hal yang barusan terjadi. Tentang bagaimana gua kejang dan gua yang lupa tentang posisinya sekarang.
Dokter Ricky menatap gua, lalu bicara pelan; “Setelah habis kejang, biasanya memang bakal sedikit linglung…”
“Normal?” Tanya Nyokap.
“Buat orang dengan kondisi Epilepsi, Normal. Tapi, kalau dibiarkan lama-lama ingatannya bisa terkikis. Apalagi interval kejangnya semakin dekat…” Jawabnya.
Menit berikutnya gua sudah dipindahkan ke ruang tes EEG, ruang yang sama dengan yang pernah gua datangi dulu sewaktu bersama dengan Lian. Seorang perawat mulai memasang alat semacam membran elektroda di seluruh bagian kepala gua.
Dokter Ricky masuk ke dalam ruangan, terlihat kalau ia tengah bicara dengan seseorang melalui ponselnya; mengabaikan larangan menggunakan ponsel yang terpasang di bagian dalam pintu ruangan. Ia nggak bicara, hanya mendengarkan dengan seksama seakan ada yang memberi instruksi melalui panggilan telepon.
“Hai, Fir…” Sapanya setelah selesai dengan panggilan.
“…” Gua mengangguk dan mencoba tersenyum.
“… Jadi, gini. Biasanya pasien dengan riwayat kejang akan dikasih obat anti-kejang sebelum tes EEG. Gunanya untuk mencegah aktivitas listrik abnormal yang berlebihan saat tes. Tapi, kali ini kita mau bagaimana otakmu bekerja tanpa intervensi obat terlebih dahulu ya. Jadi, mungkin selama tes kamu nanti bakal kejang” Dokter Ricky memberi penjelasan.
“…” Gua kembali mengangguk.
Tes dimulai.
Saat tengah menjalani tes, tepat seperti apa yang dikatakan Dokter Ricky, gua kembali mengalami hal yang sama; kejang. Tiba-tiba kehilangan kesadaran, merasa tubuh ini tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Kali ini gua kembali ke tempat yang sama seperti sebelumnya; padang penuh bunga yang cantik dan indah. Lian berdiri sambil menggenggam tangan gua. Gua mendongak dan menatapnya, namun yang gua lihat adalah wajah yang tanpa ekspresi. Wajah yang datar tanpa mata, tanpa hidung dan mulut; rata. Lalu gua kembali tersadar.
Gua menoleh ke kiri dan kanan, menatap sekeliling, mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Terasa benda-benda aneh berada di kepala dengan banyak kabel yang menjulur. Setelah beberapa menit barulah gua kembali mengingat apa yang terjadi.
Kondisi gua perlahan berubah semakin memburuk. Kejang gua semakin sering terjadi. Gua pun semakin sering masuk ke ruang dan waktu yang berbeda, lebih sering bertemu dengan Lian di padang bunga yang cantik.
Setiap kali gua tersadar dari kejang, gua merasakan rasa sakit yang luar biasa di bagian kepala. Semakin lama, gua bahkan nggak lagi tahan untuk membuka mata begitu sadar dari kejang. Jangankan membuka mata, berusaha membuka mulut saja sudah bikin kepala ini terasa sakit luar biasa. Namun, gua tetap bisa merasakan dan mendengar apa yang terjadi di sekitar.
Beberapa kali gua mendengar tentang rencana operasi yang nggak begitu jelas.
Makin sering gua kehilangan kesadaran, semakin menyiksa rasa sakit di kepala. Gua mulai kehilangan hitungan, nggak lagi mengenal waktu, nggak mengenal jam dan hari. Yang gua tau, gua hanya terbaring di ruang kecil dengan pintu kaca besar di depan. Sementara, suara bip dari monitor di sisi ranjang terdengar begitu mengganggu.
Dalam siksaan rasa sakit yang luar biasa dan kesadaran yang sering kali hilang. Gua sempat mendengar sebuah suara yang begitu menenangkan; suara Lian yang samar. ‘Ah, lagi-lagi gua tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Ke padang bunga yang sama seperti sebelumnya. Namun, kali ini terasa jauh berbeda dengan bunga-bunga yang mulai menghitam. Angin yang berhembus juga nggak lagi terasa lembut dan menenangkan; terasa berat dan menusuk.
—
Samar terdengar suara sirine meraung-raung, suara yang lalu bercampur dengan isak tangis dari Nyokap yang berada di sebelah gua. Hanya itu yang gua ingat hingga kembali kehilangan kesadaran.
Gua bangun dengan kondisi yang sedikit berbeda. Rasanya seperti ‘nge-fly’, tubuh yang terasa ringan dan santai. ‘Apa gua sudah mati?’ gua membatin.
Tebakan gua terasa semakin nyata saat melihat sosok yang selama ini selalu gua harapkan. Lian muncul, masuk ke dalam ruangan. Ia terlihat berbeda. Kali ini ia terlihat jauh lebih tampan dengan pakaian dokter hijau muda, lengkap dengan penutup kepala berwarna senada. Ia meraih kursi kecil dari sudut ruangan, lalu duduk di sebelah gua, di sisi ranjang.
Dengan kondisi gua saat ini, gua kesulitan tersenyum, pun sekeras apapun gua mencoba. Begitu juga saat gua hendak mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya yang gua rindukan. Semua sulit dilakukan.
“Jangan… Jangan ngomong apapun” Ucapnya sambil meletakkan telunjuk di bibir saat sadar gua hendak mencoba bicara.
Ia lalu mulai membelai wajah, dan menggenggam tangan gua. Ujung mata gua terasa basah dan hangat. Gua begitu merindukannya.
“Kamu percaya kan sama aku?” Tanyanya sambil berbisik, dekat di telinga gua.
Gua mengangguk perlahan, lalu sebisa mungkin tersenyum.
Tiba-tiba gelap. Gua kembali kejang. Gua kembali ke padang berbunga. Namun kali ini Lian nggak berada di sana. Hanya kekosongan dan hembusan angin yang terasa menenangkan.
Saat tersadar, gua merasakan sebuah pelukan. Pelukan dari seorang pria yang entah siapa. Setelah beberapa menit barulah gua teringat kalau sosok itu adalah Lian.
“Kamu percaya sama aku kan?” Tanyanya.
Gua mencoba sebisa mungkin untuk menjawab; “Iya…”
“Sebentar lagi, aku mulai operasinya ya…”
Mendengar kalau ia akan melakukan operasi gua, Seketika, seperti mendapat kekuatan yang entah datang dari mana. Gua mendongak dan bicara; “Kamu yang operasi?”
Lian mengangguk pelan seraya tersenyum. Namun, dibalik senyumnya terlihat air matanya menggenang, lalu menetes. Untuk pertama kalinya, gua melihatnya menangis.
“Kamu nangis…” Tanya gua lirih.
“Iya…” Lian menjawab dengan suara yang bergetar.
“…”
“… Kamu inget nggak dulu aku pernah bilang kalau kamu satu-satunya perempuan yang bisa bikin aku tersenyum?” Tanyanya. Pertanyaan yang entah kenapa diajukan di momen seperti ini. Tapi, gua sama sekali nggak masalah. Gua mau ia tetap bertanya tentang hal-hal sepele seperti ini.
“…” Gua mengangguk pelan.
“Sekarang, kamu juga satu-satunya orang yang bikin aku menangis..” Tambahnya.
Gua merasa tersanjung. Begitu pula dengan dia. Dia adalah satu-satunya alasan gua bisa bertahan dengan kondisi ini.
“… Nanti, mungkin kamu akan sadar saat operasi. Dan aku akan bertanya beberapa hal yang perlu kamu respon. It is okay?” Tanyanya, seakan meminta persetujuan gua.
“Iya. Sakit nggak?” Gua balik bertanya.
“Nggak kok…” Jawabnya.
“…”
“… Nanti kamu bakal tetap sadar selama operasi. Jadi, jangan kaget ya kalau kamu mungkin masih bisa dengar sesuatu…” Ucapnya.
“…” Gua mengangguk.
“… Jangan takut, kamu nggak bakal merasakan apa-apa kok” Tambahnya. Seraya sedikit menjelaskan tentang prosedur awake craniotomy yang bakal gua jalani.
“… Kamu harus kuat. Kamu mau menari lagi kan?”
“…” Gua kembali mengangguk.
Tiba-tiba gua kembali kehilangan kesadaran; lagi. Tersedot ke ruang dan waktu yang berbeda. Berada di padang bunga yang kini mulai kembali bermekaran. Hembusan angin yang terasa lembut dan menenangkan. Gua melangkah pelan dengan ujung jemari meraba ujung bunga-bunga yang indah, mendekat ke arah Lian yang berdiri di ujung sana. Samar terdengar ia bicara; “Tahan sebentar lagi ya…” Lalu gelap.
—
Entah berapa lama waktu yang berlalu.
Kini gua sudah berada di sebuah ruangan dingin yang beraroma antiseptik kuat, dengan lampu yang terang benderang tergantung di bagian atas, tepat di kepala. Terlihat beberapa orang berjubah hijau muda mengeliling tubuh gua yang terbaring. Samar, gua bisa mendengar suara Lian yang bicara ke orang-orang di sekitar, sementara gua nggak bisa melihatnya dengan jelas karena penutup yang berada tepat di kepala gua. Penutup mirip tirai yang mengisolasi bagian atas kepala.
Suara Lian terdengar semakin dekat.
“Fir, Fira… Kalau bisa dengar aku, berkedip sekali ya…” Pintanya.
Gua mengikuti perintahnya, lalu berkedip satu kali.
“Aku sentuh kepala kamu, kalau sudah nggak terasa berkedip sekali ya, sayang…” Pintanya lagi.
Gua mencoba tersenyum namun nggak berhasil. Bayangkan di momen seperti ini saja ia masih menyempatkan diri memanggil gua; ‘Sayang’. Lalu, mengikuti perintahnya; berkedip sekali.
Beberapa saat kemudian gua mulai mendengar ucapan Lian yang memberi yang disusul denting metal, suara deru sebuah mesin hingga getaran aneh yang tarasa di kepala gua.
Gua sudah berjanji kepadanya; gua akan mencoba sebisa mungkin bertahan.
Setelah beberapa lama, Lian kembali membungkuk dan bicara di dekat wajah gua; “Hai, cantik… apa kabar?”
‘Bisa-bisanya ia bilang gue cantik di depan semua orang-orang ini’ Batin gua, sebelum akhirnya berusaha menjawab; “Hai…”
“Kamu ingat tempat dimana kita terakhir bertemu?” Tanyanya lagi.
Gua mencoba mengingat, lalu menjawab singkat “Danau…”
Lalu, tiba-tiba gua kembali kehilangan kesadaran.
Gua tersadar. Tapi, kali ini nggak lagi dalam kondisi linglung. Gua langsung bisa mengingat apa yang terjadi sebelum kejang.
Lian kembali membungkuk dan bertanya lagi; “Halo cantik… Masih bisa dengar aku kan?”
“Masih…” Gua menjawab singkat.
“Hebat…” Balasnya.
Lalu, tiba-tiba rasa kantuk yang amat sangat mulai menyerang. Mata ini seperti dipaksa untuk menutup. Gua mulai tertidur. Samar, gua mendengar suara Lian; “Safira, Aku sayang kamu…”
Gua mencoba sekuat mungkin untuk memberi jawaban. Namun, nggak bisa. Tubuh ini sudah nggak bisa lagi gua kendalikan. Lalu segalanya menghilang dalam kegelapan.
—
Gua membuka mata, cahaya matahari yang menyilaukan menyambut. Gua menyipitkan mata seraya mencoba menghalau sinar dengan tangan. Namun, gua merasakan sedikit nyeri di bagian lengan. Terlihat sebuah jarum di pergelangan tangan bagian dalam, terhubung ke botol infus. Bingung, gua mencoba bangkir dan memandang ke sekeliling.
“Dimana nih?” Gumam gua pelan, sambil terus menatap ruangan yang nampak seperti ruang perawatan intensif rumah sakit.
Gua menoleh, menatap ke arah jendela di sisi sebelah kiri ruangan dan mendapati pantulan diri sendiri yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit dengan perban jaring melingkar di kepala.
Di depan ruangan kecil tempat gua berada, terlihat Nyokap tengah duduk di kursi kecil; sibuk dengan ponselnya.
“Mah…” Panggil gua.
Nyokap mendongak, lalu berdiri sambil pasang senyum lebar. Ia lantas mendekat cepat, menggenggam tangan gua dan bicara; “Gimana Fir? apa rasanya?” Tanyanya.
“Apanya yang gimana? ya baik-baik aja. Aku kenapa di sini Mah?” Gua balik bertanya.
“…” Nyokap nggak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum. “Kamu pingsan kemarin..” Jawabnya.
Nggak lama seorang dokter yang terlihat senior datang dan memeriksa kondisi gua. Disusul seorang perawat yang datang dengan kursi roda. Rencananya gua akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa.
Nyokap mencoba membantu gua turun dari ranjang, namun gua menolak. “Apaan sih Mah, kayak orang sakit apaan aja sampe dibantu turun dari ranjang…” Gua menolak, lalu turun dari ranjang dan duduk di atas kursi roda.
Seorang perawat mendorong kursi roda keluar dari ruang perawatan intensif. Begitu keluar dari ruangan, terlihat seorang pria dengan kemeja putih yang bagian lengannya tergulung asal-asalan berdiri dan menatap gua. Kami saling beradu pandang; wajahnya nampak aneh, nampak ada sesuatu yang penuh rasa sakit.
Gua tersenyum kepadanya.
—
木村カエラ「リルラ リルハ」
percyjackson321 dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Kutip
Balas
Tutup