- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.4K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#359
004-E When Silence Screams (Cont)
Spoiler for 004-E When Silence Screams (Cont):
“Shall we continue?”Tanya gua ke yang lain.
Dokter Kristop mengangguk, lalu disusul oleh anggukan darai yang lain kecuali Dokter Deden. Ia terlihat kepayahan. Maklum, sudah lama ia nggak lagi menangangi operasi dengan durasi sepanjang ini. Gua mendekat dan berbisik; “Istirahat aja Dok…”
“Nggak, Gapapa, santai…” Jawabnya, menolak.
Namun, Mammy yang kenal betul bagaimana tabiat Dokter Deden ikut memaksa. Memintanya beristirahat sejenak dan kembali jika kondisi sudah fit lagi. Dokter Deden, setuju. Ia melangkah pelan menuju ke sudut ruang operasi lalu duduk dan beristirahat di sana. Nggak lama berselang, pintu ruang operasi terbuka.
Ncek yang kini sudah terlihat mengenakan scrub operasi, masker, penutup kepala dan dengan kedua tangan terangkat ke atas masuk ke dalam ruangan.
“Pemain cadangan, masuk… hehehe…” Gumamnya sambil terkekeh. Lalu mendekat ke arah Mammy yang dengan cekatan membantunya memasang sarung tangan lateks dan mengikat jubah di belakang.
Karena ada ‘pemain’ baru, gua kembali mengulang brief ke semua yang ada di dalam ruangan. Sekaligus memberi penjelasn ke Ncek tentang apa yang sudah dilakukan tadi. Di mana kami mengatasi pembuluh darahnya yang hampir pecah karena benturan. Sementara, masalah utamanya; Epilepsi belum sama sekali ditangani.
Seandainya.
Seandainya saja, operasi ini dilakukan di London, di rumah sakit tempat gua bekerja, tentu nggak bakal makan waktu selama ini dan dengan prosedur yang nggak sesulit ini. Dengan alat dan teknologi terbaru, kami para dokter bedah nggak perlu membelah tengkorak pasien. Hanya butuh membuat lubang kecil, di mana nanti akan menggunakan alat semacam laser untuk ‘membakar’ bagian otak yang abnormal.
Kali ini kami akan melanjutkan proses operasi.
Gua menoleh ke arah Dokter Fadil, memberi tanda agar ia mengatur anestesi sesuai brief; di tahap awal ini, gua butuh Fira dalam kondisi tetap sadar.
Gua membuka selubung putih yang menutupi selaput otak yang terekspos.
"ECoG," Ucap gua.
Mammy dengan cepat meraih sebuah alat dari sisinya, menggeser alat tersebut ke dekat gua dan menyiapkannya. Sementara Ncek berusaha menahan selaput otak agar nggak menutup dan Dokter Krsitop terus memberikan irrigation ringan. Dengan perlahan gua meletakan Elektrode grid membran di permukaan otaknya.
Grid ini berbentuk mirip koyo tempel berbahan silikon yang punya titik-titik membran kecil. Jumlah membran-nya bervariasi tergantung kebutuhan. Untuk kasus ini, gua menggunakan membran berjumlah 36 titik. Setiap membran punya label yang bisa dalam bentuk angka atau abjad.
Grid tersebut tergubung ke sebuah alat yang akan membaca aktivitas di otak. Jadi, saat ada aktivitas ‘nggak lazim’ di otak, alat tersebut akan memberitahu kami melalui layar monitor yang menampilkan label pada membran. Jadi, kita bisa tau dimana lokasi tepat aktivitas itu terjadi.
Setelah Elektrode grid terpasang, Dokter Fadil mulai mengurangi asupan anestesi-nya. Hal ini bertujuan untuk ‘melepas’ tekanan pada saraf yang menimbulkan epilepsi. Iya, di saat seperti inilah kami malah berharap epilepsi dan kejang itu datang.
Gua lantas mendekat, membungkuk agar bisa lebih dekat ke wajahnya.
“Hai, cantik… apa kabar?” Tanya gua sambil tersenyum, walau nggak yakin apa senyum gua itu bisa dilihat olehnya karena tesembunyi dibalik masker.
“Hai…” Fira menjawan dengan suara yang serak dan lirih.
“Kamu ingat tempat dimana kita terakhir bertemu?” Tanya gua lagi.
Fira mengangguk pelan, lalu menjawab; “Danau…”
Dengan cepat gua menoleh dan melirik ke arah monitor. Terlihat ada aktivfitas ringan di area hipokampus. Bagian otak yang bertugas memproses ingatan jangan pendek.
Gua kembali bertanya akan hal-hal lain, seperti tanggal lahir dan nama lengkap Nyokapnya. Agar bisa mengetahui kalau semua membran pada Elektrode grid bekerja secara normal. Sambil terus menunggu kejang datang.
Nggak seberapa lama, kedua pupil matanya mulai bergerak cepat ke atas. Gigi-giginya ia rapatkan sementara seluruh ototnya mengejang.
Gua menoleh ke arah, monitor ECoG dan terlihat gelombang otak Fira bergerak liar, paku epileptiform muncul di area amygdala anterior. ”Di sini sumber kejangmu, Sayang” Gumam gua pelan.
“Microscope 40x, amygdala anterior…” Ucap gua.
Mammy lalu menggeser alat besar yang tergantung tepat di bagian atas kepala pasien. Sebuah super mikroskop yang biasa digunakan untuk melihat detail yang sangat kecil. Cara menggunakannya, mirip seperti periskop pada kapal selam. Alat ini punya semacam setang yang bisa digunakan untuk menaik-turun atau menggeser posisinya. Mammy, mengatur pembesaran ke angka 40x, lalu mengarahkannya ke amygdala anterior.
Perlahan mulai nampak jelas jaringan otak yang sehat berwarna merah muda pucat, sementara lesi epileptik terlihat seperti kawah kecil berwarna kuning kecoklatan; tanda adanya kelainan.
"Suction dan bipolar," bisik gua sambil mengadahkan tangan. Sementara pandangan masih gua arhkan ke bagian otak melalui mikroskop besar. Jarum suctiun gua arahkan mendekat, masuk lebih dalam. Tiba-tiba tangan gua terasa bergetar hebat, hal yang tak pernah terjadi bahkan di operasi yang lebih rumitd dari ini.
‘Ini Fira. Kalau gue salah, Gue kehilangan dua kali: sebagai pasien dan sebagai orang yang gue sayang’ Batin gua. Lalu dengan cepat meraih tangan dan memegangnya dengan tangan satu lagi, berusaha menahan getaran.
Gua bisa merasakan Ncek dan yang lain menatap bingung. Gua menarik napas dalam-dalam kemudian melanjutkan. Ujung bipolar gua arahkan mendekat, masuk lebih dalam. Sementara, tangan kiri gua siap dengan jarum suction yang siap menghisap dengan tekanan sangat rendah. Cauterization pertama. Dssst! Bau daging terbakar menusuk hidung. Dengan hati-hati gua mulai mengangkat jaringan abnormal.
Di tepi area operasi, gua bisa melihat korteks temporal superior atau area Wernicke salah satu bagian otak yang bertanggung jawab terhadap pemahaman bahasa. Seandainya saja gue meleset satu milimeter ke arah sana, Fira nggak akan lagi mampu memahami bahasa.
Gua berhasil mengangkat bagian abnormal. Kemudian beralih ke layar monitor dan menunduk; “Halo cantik… Masih bisa dengar aku kan?”
“Masih…” Jawabnya lirih dan parau.
“Hebat…” Balas gua. Mendapati responnya, gua bisa tau kalau Wernicke area-nya baik-baik saja.
Tiba-tiba, monitor EEG menunjukkan aktivitas baru di hipokampus.
“Fokus-nya meluas dok” Ucap Dokter Kristop sambil menatap ke arah layar monitor.
Hal yang gua takutkan akhirnya terjadi. Proses benturan dan trauma yang ia terima benar-benar berhasil bikin area fokus epilepsinya menyebar. Dan kenapa harus ke hipokampus?
Dada gua terasa sesak. Protokol medis mengatakan gua harus mengambil 2cm lebih dalam. Tapi di sana, di area hipokampus ada memori tentang kita. Pertemuan pertama kami, acara kencan yang terasa canggung, hingga rengekan-rengekannya yang menggemaskan.
“Dok?” Panggil Dokter Kristop, seraya menyentuh perlan ujung lengan gua.
Gua mengangguk seraya mengedipkan mata untuk mencegar keringat mengalir ke mata dan mengaburkan pandangan.
Nggak ada pilihan lain; Gua harus melakukannya, mengorbankan ingatan tentang gua agar ia bisa hidup. Agar ia bisa tetap menjadi Fira yang ceria dan penuh semangat, agar ia bisa menari lagi.
Gua berpaling ke Dokter Fadil; “General Anesthesia”
“General Anesthesia, injected… Vital stabil” Balas Dokter Fadil.
Gua kembali menunduk dan mendekat ke ujung telinga Fira. Lalu, berbisik pelan, sangat pelan; “Safira, Aku sayang kamu…”
Kini ia nggak lagi merespon. Kelopak matanya perlahan menutup. Begitu pula dengan denyut di permukaan otaknya yang melemah.
“Microtome…” Pinta gua.
Mammy dengan cepat meletakkan pisau mikroskopis di tangan. Gua menarik napas dalam-dalam dan mulai membuat sayatan sepanjang 1 cm dari jaringan abnormal. Sementara, dengan tangan kiri gua mulai mengarahkan ujung selang super kecil, menghisap jaringan tersebut; terangkat.
Darah mulai menggenang.
"Irrigation…" Pinta gua.
Dokter Kristop dengan cepat mengalirkan cairan saline dingin. Di bawah mikroskop, setiap kapiler terlihat jelas. Seperti mencabut akar kenangan buruk dari tanah otaknya.
Gua melakukan sayatan berikutnya, dua sentimeter kubik jaringan abnormal terangkat. Sesekali, menatap ke arah monitor EEG yang kini mulai menampilkan gelombang tenang. Gua kembali mengecek melalui mikroskop, terlihat hipokampus berdenyut pelan. Nggak banyak bagian yang ‘terbuang’, gua berharap masih menyisakan ‘Gua’ di denyut pelan hipokampus.
Operasi pengangkatan jaringan abnormal selesai. Kini gua kembali memasang Elektrode grid dan memantaunya selama beberapa saat.
"Dural patch 4x4…" Ucap gua. Setelah yakin kalau nggak ada lagi fokus epilepsi di otaknya. Gua mulai menutup selubung tipis dura. Kemudian memasang kembali tulang tengkorak ke tempatnya semula dengan memasang plat titanium kecil di ke empat sisinya. “Suture nylon 3-0…” Pinta gua. Mammy menyiapkan alat jahit dan meletakkanya di tangan.
“Closing…” Ucap gua lirih. Lalu mulai menutup kulit kepala dan menjahitnya dengan hati-hati, nggak mau lukanya sampai membekas jelas.
Dokter Kristop membantu gua menutup bagian kepala Fira dengan perban berwarna putih yang dibuat melingkar. Kemudian melapisnya dengan jaring kepala antibiotik.
“Monitor vital, Dok?” tanya gua
“Stabil…” Jawab Dokter Fadil.
“Time?” Tanya gua lagi. Yang lantas direspon cepat oleh Mammy yang dengan cepat menyebutkan waktu.
Dokter Fadil keluar dari pos-nya, ia mendekat ke gua dan memberi tepukan di bahu, sebelum akhirnya keluar dari ruang operasi. "Istirahatlah, Dok…" Ucap gua.
“Thank you dok…” Ucap gua kepada meeka satu persatu.
Dokter Deden dan Ncek bergantian menepuk bahu gua lalu langsung keluar dari ruangan; iya, mereka pasti kelelahan. Sementara, Mammy mulai membereskan peralatan; memasukkannya ke dalam wadah metal untuk nantinya di strelisasi agar bisa digunakan kembali.
Mammy meletakkan tangan di bahu, kemudian berbisik; “Istirahat lah sebentar, Lian…”
Gua menggeleng lalu meraih kursi kecil dari sudut ruangan, meletakkannya tepat di sisi ranjang tempat Fira terbaring. Jari-jari gua masih gemetar saat melepas sarung tangan. Kemudian meraih tangan kanan Fira dan mendekapnya sambil menciumnya berkali-kali.
Pintu ruang operasi terbuka, beberapa perawat yang bersiap membawa Fira ke ruang ICU berdiri mematung. Mungkin terkejut melihat ada dokter yang memperlakukan pasiennya seperti sekarang ini. Dokter Kristop memberi tanda ke para perawat itu untuk menunggu diluar, memberi waktu untuk gua. Begitu pula dengan dirinya yang menyusul keluar. Meninggalkan kami hanya berdua di dalam ruang operasi.
Gua hanya terus duduk dan memandangi tubuh kecilnya di bawah selimut hijau. Besok, saat dia bangun, mungkin dia nggak lagi mengenali gua. Tapi seenggaknya; dia nggak lagi dihantui rasa takut akan kejang. Setidaknya, ia bisa kembali melakukan hal ia sukai; menari.
---
Three Days Grace - Never Too Late
This world will never be
What I expected
And if I don't belong
Who would have guessed it?
I will not leave alone
Everything that I own
To make you feel like it's not too late
It's never too late
Even if I say
It'll be alright
Still I hear you say
You want to end your life
Now and again we try
To just stay alive
Maybe we'll turn it all around
'Cause it's not too late
It's never too late
No one will ever see
This side reflected
And if there's something wrong
Who would have guessed it?
And I have left alone
Everything that I own
To make you feel like
It's not too late
It's never too late
Even if I say
It'll be alright
Still I hear you say
You want to end your life
Now and again we try
To just stay alive
Maybe we'll turn it all around
'Cause it's not too late
It's never too late
The world we knew
Won't come back
The time we've lost
Can't get it back
The life we had
Won't be ours again
This world will never be
What I expected
And if I don't belong
Even if I say
It'll be alright
Still I hear you say
You want to end your life
Now and again we try
To just stay alive
Maybe we'll turn it all around
'Cause it's not too late
It's never too late
Maybe we'll turn it all around
'Cause it's not too late
It's never too late (It's never too late)
It's not too late
It's never too late
percyjackson321 dan 55 lainnya memberi reputasi
56
Kutip
Balas
Tutup