- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.5K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#324
004-C Between Life and Letting Go
Spoiler for 004-C Between Life and Letting Go:
“Tapi, sekarang Nat nya cuti. Mau ngelahirin doi…”Ncek memberikan informasi.
“Too much information… Like i care” Balas gua.
“Hahaha, Sekarang yang handle Fira Dokter Adhi. Lo kenal nggak?” Tanya Ncek.
“Lo kenal?” Gua balik bertanya.
“Nggak, baru juga denger namanya…” Jawab Ncek.
“Lo aja nggak kenal, gimana gue…” Balas gua.
“Oh.. Yaudah gua coba ngomong lagi ke Nyokapnya deh. Mudah-mudahan dia setuju…” Jawabnya. Ia ingin mencoba sekali lagi untuk meyakinkan Nyokapnya Fira agar mau dipindahkan perawatannya ke Ncek, setelah sebelumnya dirawat di rumah sakit tempat Natalie bekerja.
“…” Gua terdiam sesaat begitu mendengar jawaban dari Ncek. Merasa nggak berguna, merasa nggak punya kontrol. Sesuatu yang bikin gua selalu nggak nyaman.
“..Gimana?” Ncek meminta konfirmasi.
“Yaudah…” Jawab gua singkat.
Lalu, suaranya nggak lagi terdengar; Ncek memutuskan panggilan.
Malam itu, gua hanya berjalan mondar-mandir di ruang depan flat. Tepat di area kecil diantara sofa panjang berwarna abu-abu dan meja kopi kayu sederhana dengan permukaan yang polos. Sementara ponsel terus berada di genggaman, ponsel yang setiap beberapa menit sekali layarnya gua pandangi. Mengecek apakah ada informasi terbaru dari Ncek tentang kondisi Fira.
Nggak lama berselang, Ncek kembali mengirim pesan singkat. Pesan yang isinya memberi informasi tentang ia yang akhirnya berhasil membujuk Nyokapnya Fira agar mau memindahkan anaknya ke rumah sakit tempat Ncek bekerja. Tentu saja Ncek yang sekaligus bakal menjadi dokter penanggung jawabnya.
‘Minta detail-nya’ Balas gua ke Ncek. Meminta detail kondisi Fira.
‘Blm dapet. Mngkn br bsk di krm’ Balasnya.
Gua menghela napas dalam-dalam, mengutuki betapa lambannya proses birokrasi kesehatan di Indonesia. Di sini, di banyak negara maju, begitu pasien ditransfer atau dipindahkan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, apapun alasannya. Maka rumah sakit tujuan juga akan langsung mendapat rekam medisnya. Bahkan di beberapa kasus, rekam medis milik pasien akan dikirimkan lebih dulu. Gunanya? agar rumah sakit atau fasilitas medis tujuan bisa menyiapkan kebutuhan pasien.
Detail tentang kondisi Fira, baru gua dapatkan besok paginya.
Ncek mengirim detailnya melalui email, email yang diketiknya secara manual, tanpa ada lampiran hasil CT, MRI atau bahkan hasil tes-tes lainnya. Karena memang dilarang membagikan rekam medis pasien ke dokter lain yang tidak bertanggung jawab, apalagi ke orang asing. Jadi, Ncek mengakalinya dengan menulisnya seakan tengah bercerita melalui email.
Gua membacanya perlahan dan hati-hati.
Dari email tersebut, gua menyimpulkan kalau kondisinya nggak begitu baik. Jujur, ini terbilang gawat. Fira mendapat benturan benda tumpul tepat di bagian kepalanya. Ada dua kemungkinan, tergantung lokasi benturan. Jika lokasi benturan berada di fokus area epilepsi maka bisa jadi kejang berulang Fira karena fokus area semakin parah bahkan menyebar. Sementara, jika lokasi benturan di lokasi yang berbeda bisa jadi bakal menimbulkan fokus area epilepsi baru.
Iya, buat orang dengan kondisi normal benturan di kepala adalah hal yang gawat. Bisa gegar otak atau seperti yang terjadi pada Fira; pembengkakan pembuluh darah. Tapi, buat mereka yang normal, dengan menjalani operasi sederhana, kondisi bisa langsung stabil. Berbeda untuk para penderita epilepsi yang mana benturan sekecil apapun bisa memperburuk kondisinya.
Gua bersandar pada kursi, sambil menatap ke arah langit-langit ruangan. Mencoba memikirkan gimana caranya agar gua bisa merawat Fira. Kemungkinan untuk gua kembali dan merawatnya di Jakarta tentu bukan sebuah pilihan. Opsi lainnya adalah merawatnya di tempat lain; pilihan satu-satunya adalah dengan membawanya ke sini; ke London.
Tapi apa mungkin?
Pindah rumah sakit aja, Nyokapnya sulit memberi persetujuan. Apalagi harus dipindahkan ke London untuk di rawat oleh orang yang nggak disukainya.
‘Ah, paling nggak gue harus mencobanya’ Gumam gua lalu meraih mantel dan bergegas menuju ke rumah sakit.
Tempat yang gua datangi adalah ruang kerja Reynard. Tanpa berbasa-basi, gua menghambur masuk dan langsung menceritakan tentang Fira dan kondisinya ke Reynard. Kemudian menyampaikan maksud dan tujuan gua datang; ingin meminta persetujuannya untuk menyediakan fasilitas untuk Fira.
Reynard setuju.
Nggak menunggu lama, gua mulai membalas email dari Ncek dan mengungkapkan rencana tersebut. Tentang gua rencana untuk membawa Fira ke sini, ke London.
‘Kayaknya mustahil deh. Pindah ke rumah sakit ini aja Nyokapnya ribet banget’ Balas Ncek melalui email.
—
Gua duduk menatap ke arah layar laptop yang menampilkan summary panggilan video yang baru selesai. Asap ringan mengepul dari ujung rokok yang gua biarkan menyala di atas piring keramik kecil di sisi laptop. Piring pengganti asbak yang sudah dipenuhi dengan puntung dan abu yang berkerak. Malam ini, gua sudah bicara ke beberapa dokter yang punya pengaruh penting di Jakarta, meminta saran akan rencana gua untuk membawa Fira ke London beserta kendalanya.
Jawaban mereka semua sama; termasuk Dokter Deden yang bilang kalau gua harus bicara ke Nyokapnya secara personal. Karena Fira masih di bawah umur dan semua tindakan medis yang akan dilakukan termasuk memindahkannya ke London tentu butuh persetuan wali; dalam hal ini Nyokapnya.
“Tunggu, Lian. Apa urgensi-nya sampai harus memindahkan pasien ke sana?” Tanya Dokter Deden.
“Untuk dapet perawatan yang terbaik” Jawab gua.
“…”
“… Bukan berarti kualitas kesehatan di sana nggak bagus, dok” Gua menambahkan, takut menyinggungnya.
“I do understand…” Jawabnya singkat.
“Please tell me doc, where should i go to get SEEG test in Jakarta?” Tanya gua. Merujuk ke fasilitas pemindaian terkini untuk melacak fokus epilepsi yang ada di otak. Di mana saat ini, Indonesia belum memiliki teknologinya.
“Iya sih, untuk itu memang nggak ada di sini… Tapi, apa kamu nggak nyoba pendekatan lain kayak; VNS?” Tanyanya. Merujuk ke prosedur Vagus Nerve Stimulation. Di mana dengan menggunakan teknik neuromodulasi, pasien akan dengan dipasang alat semacam chip yang bisa mengontrol sel saraf vagus. Dengan alat ini, kejang yang muncul bisa di kontrol, bahkan bisa menghilangkannya sama sekali.
“Bisa aja. Tapi, kasus Fira beda karena ada Aneurisma-nya dok. Implan VNS nggak banyak membantu, hanya bakal menunda-nya. Dan lagipula, sekarang ini VNS juga kayaknya belum ada di Indonesia. Iya kan?”
“Mmm… I See…”
“…”
“…Ya sudah kalau begitu, kamu coba jelasin kayak tadi ke wali-nya. Nanti, saya bantu meyakinkan” Jawab Dokter Deden sebelum mengakhiri panggilan.
Selain sebagai Dokter Senior, Dokter Deden juga dihormati karena pendidikan dan skill-nya. Kami pernah beberapa kali mengikuti beberapa kuliahnya saat kebetulan ia menjadi dosen tamu di kampus. Sejak saat itu, walau berbeda negara kami jadi sering berbincang melalui sambungan telepon atau internet. Selain itu, Gua dan Ncek juga seringkali meminta pendapat juga saran darinya, hal yang bikin kami memiliki hubungan yang cukup dekat.
Masih di malam yang sama, Ncek menghubungi gua melalui panggilan video. Terdengar suara notifikasi yang disusul munculnya jendela kecil di layar laptop. Menampilkan wajah Ncek yang sibuk membetulkan rambutnya.
“Gimana kondisi terakhirnya, Ncek?” Tanya gua.
“Hmm… Nggak stabil. Interval kejang semakin pendek. Dia bahkan kejang saat nggak sadar. Udah gue CT dan MRI. EEG nanti begitu dia sadar…” Ia memberi penjelasan singkat. Gua mencengkeram pinggiran meja, jari-jari menegang. Di kepala, bayangan Fira kejang lagi-lagi muncul. Udara mendadak terasa lebih berat.
“Jadi, sampe sekarang belum sadar?” Tanya gua lagi.
Ncek menggeleng; “Belum. Tapi kayak yang udah gue info di email. Kondisi vitalnya juga jadi ngedrop akibat interval kejang yang pendek..”
“Ck…”
“So, gimana?” Tanyanya.
“Besok gue baru mau ngomong ke Nyokapnya. Mudah-mudahan di setuju…” Jawab gua.
“Kalo dia nggak setuju?” Ncek kembali bertanya.
“Ya gue yang bakal ke sana…”
“Ah gila lo!…” Serunya.
“Nggak ada pilihan lain”
“Ada, tapi lo yang nggak mau ngambil pilihan itu…” Jawabnya.
“Apa pilihan yang tersedia? menyerahkan operasi Fira ditangan orang lain dengan fasilitas seadanya?” Tanya gua. Nggak mau mengambil pilihan itu. Nggak mau kalau gua harus menaruh harapan ke orang lain untuk sesuatu yang bisa gua tangani. Gua nggak suka dengan situasi seperti itu, situasi di mana gua nggak punya kontrol.
“Hhh….” Ncek menghela napas dalam-dalam, sambil memijat keningnya.
“…”
“… Ok. Let say, lo harus datang ke sini. Di mana lo bakal melakukan operasi? Lo pikir operasi otak kayak operasi usus buntu yang bisa lo lakukan di klinik?” Tanyanya.
“Di rumah sakit Dokter Deden…”
“Emang dia bersedia. Dengan lo ngoperasi di sana, bisa aja ijin rumah sakitnya dibekukan…”
“…”
“… Buat jaga-jaga, urus aja ijin lo. Gue usahakan cari orang dalem biar bisa cepet…” Ncek memberi saran.
“…”
“… Gimana?” Tanyanya.
“Yaudah…” Gua menyerah.
“Kirim dokumen lo, sekarang” Pintanya.
“Ok, abis ini gue kirim. Now on, pantau Fira terus ya Ncek… Gue minta tolong banget. Dan kasih dia ini” Ucap gua seraya mengetik lewat kolom chat tentang jenis terapi obat yang perlu diberikan kepadanya.
Ncek membaca pesan gua, lalu mengangguk pelan; “Ok..”
“Once, Fira udah sadar. Tunggu sambil pantau selama 12 jam. Catet durasi dan interval kejangnya. Abis itu baru lo EEG…”
“Anjir, kayak di kasih kuliah gue…” Jawabnya terkekeh.
“Dan, kabarin gue terus ya..” Gua bicara, lirih sangat lirih.
Gua mengakhiri panggilan, lalu mulai mengirim dokumen-dokumen berisi seluruh sertifikasi gua ke Ncek, untuk mengurus ijin praktek gua di sana; di Indonesia.
—
Hari berikutnya, gua bekerja seperti orang kesetanan. Jarang menggunakan waktu istirahat dan acap kali melakukan jadwal operasi yang back to back. Sengaja melakukan ini semua untuk mengalihkan pikiran yang terus-terusan hanya tentang dirinya; hanya tentang Fira.
Sore itu, gua mendapat kabar dari Ncek kalau Fira baru saja siuman. Ia akan melakukan tes EEG kemudian memberi penjelasan tentang kondisi Fira ke Nyokapnya. Dan gua berencana akan menghubungi Nyokapnya Fira begitu Ncek selesai memberi penjelasan. Agar setidaknya ia punya penjelasan singkat sebagai ‘pegangan’ tentang kondisi Fira.
Di sela-sela jadwal visit pasien, gua duduk di salah satu anak tangga menuju ke pintu akses karyawan bagian belakang rumah sakit. Sambil merokok, gua menatap layar ponsel yang menampilkan tombol dial.
Gua menekan angka-angka berisi nomor ponsel Nyokapnya Fira, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suara Nyokapnya Fira menyambut gua; ramah.
“Halo?” Sapanya. Suaranya terdengar serak, seperti baru saja menangis.
“Halo, Tan. Apa kabar?” Balas gua.
Ia terdiam sebentar, sepertinya tengah berusaha mengenali suara gua. Sesaat, setelah ia berhasil mengenali suara gua, ia bicara; “Apa?” Tanyanya.
“Apa saya ganggu?”
“Udah Langsung aja deh… ada apa?” Tanyanya lagi ketus. Gua maklum, sungguh maklum dengan sikapnya yang ketus. Gimana nggak, di obrolan kami sebelumnya, gua sudah bilang kalau nggak bakal mengganggu mereka.
Gua menghela napas dalam-dalam, lalu mulai bicara. Mengemukakan pendapat gua tentang kondisi Fira.
“Siapa yang ngasih tau kamu?” Tanyanya, masih dengan nada ketus. Rupanya, ia memang belum tau kalau gua adalah sosok dibalik pindahnya Fira ke bawah kendali Ncek.
Gua nggak menjawab, merasa itu bukan hal yang penting sekarang.
“Tau dari mana sekarang nggak penting, Tan. Begitu juga dengan masalah diantara kita sebelumnya. Yang penting adalah kondisi Fira…”
“…”
“… Tante mungkin udah tau detail kondisi Fira dari Ncek, eh Sorry, dari Dokter Ricky. Kondisi Fira nggak OK, bener-bener nggak OK. Trauma di kepala yang bikin pembengkakan pembuluh darah di otak. Kalau nggak segera ditangani, bisa pecah kapan aja…”
“…”
“… pun, nggak pecah. Benturan di kepala itu hal gawat buat penderita epilepsi. Bisa aja benturan itu bikin fokus epilepsinya menyebar atau parahnya. Seandainya benturan terjadi di area fokus. Epilepsinya malah semakin menjadi…”
“Lian, Stop, Stop…” Ucapnya, membuat gua berhenti bicara.
“…”
“… Langsung aja ke intinya. Saya udah nggak kuat denger diagnosa-diagnosa kayak gitu”
Gua kembali menghela napas, mencoba bersiap diri seandainya ia nggak setuju dengan rencana yang akan gua ajukan.
Dengan perlahan gua bicara, menjelaskan rencana gua beserta alasan-alasan kenapa Fira harus dibawa ke sini, ke London. Sementara gua terus bicara, ia mendengarkan dengan seksama, nggak pernah sekalipun berusaha menyela.
Setelah gua selesai menjelaskan, ia nggak memberi respon apapun; hanya terdiam.
“Kenapa harus kamu sih?” Gumamnya pelan.
“…”
“… dari sekian banyak cowok di dunia ini, kenapa Fira harus milih kamu?” Tambahnya.
Gua sadar kalau itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan sebuah keluhan. Keluhan yang mungkin ditujukan kepada Tuhan. Keluhan yang sengaja diucapkan agar gua mendengarnya.
Setelah kembali terdiam cukup lama, ia bicara. Masih dengan intonasi dan nada rendah yang sama; “Berapa besar kemungkinan berhasilnya?”
“Ya semakin cepat dioperasi, semakin besar kemungkinan berhasil…” jawab gua.
“Boleh saya pikir-pikir dulu?” Pintanya, masih dengan suara lirih.
“Tapi, tan…”
“Besok saya kabari…” Tambahnya, lalu mengakhiri panggilan.
Ok, setidaknya ia nggak langsung menolak. Masih ada kesempatan untuk membawa Fira ke sini. Sekarang, gua hanya perlu bersabar dan berharap kalau kondisi Fira nggak memburuk dengan cepat.
Besoknya, gua terus menunggu jawaban dari Nyokapnya Fira, namun nggak ada kabar sama sekali. Barulah setelah tiga hari berselang, ditengah-tengah gua memberi konsultasi ke pasien. Ponsel gua bergetar. Gua melirik ke arah layarnya yang menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk. Pesan dari deretan nomor yang gua kenali sebahai nomor Nyokapnya Fira.
“One minute ma’am…” Ucap gua ke si pasien yang tengah menyampaikan keluhannya. Lalu membaca pesan tersebut. Pesan yang berisi kabar kalau ia nggak bersedia dengan rencana yang gua ajukan sebelumnya; rencana membawa Fira ke London.
Gua terus bekerja, walaupun pikiran ini nggak bersama gua. Mengawang di langit, memikirkan langkah yang harus dilakukan selanjutnya. Di waktu yang lain, Ncek memberi kabar kalau kondisi Fira saat ini semakin gawat. Interval kejangnya semakin pendek. Dan dalam waktu dekat, ia akan menjalani operasi.
“Siapa? Siapa yang pimpin operasinya?” Tanya gua.
“Belum tau…” Ncek memberi jawaban.
“Tunggu gue!”
—
Nggak seperti sebelumnya. Kali ini gua benar-benar mengajukan permintaan pengunduran diri ke Reynard. Dan kali ini, ia sama sekali nggak mampu mencegah gua.
Reynard menghela napasnya dalam-dalam, lalu bicara tepat sebelum gua keluar dari ruangannya; “If… fine, when you stop being a stubborn git, the door always open. I’ll be here, pretending I didn’t wait…”
“Thanks, Rey…” Balas gua lantas melangkah keluar dari ruangannya.
Kini gua hanya bisa berharap dokumen pengajuan ijin gua lewat Ncek bisa selesai lebih cepat.
Sambil bicara dengan Ncek melalui sambungan telepon, gua memasukkan beberapa pasang pakaian dan dokumen-dokumen penting ke dalam ransel. Kemudian bergegas menuju ke bandara dengan menggunakan taksi. Sementara di ujung sana, Ncek terus berusaha mencegah gua berangkat, merasa kedatangan gua nantinya bakal sia-sia. Karena belum tentu ijin praktek gua bisa terbit dalam waktu dekat, sementara kondisi Fira nggak mungkin bisa menunggu lagi.
“Udah lah cuy, biar dokter di sini aja yang ngoperasi…” Pinta Ncek, memohon.
“Nggak… Gue bakal ke sana, harus gue yang ngoperasi dia, dengan atau tanpa bantuan lo…” Jawab gua, lalu mengakhiri panggilan.
Rasanya belum lama gua merasakan hangatnya suhu pagi Jakarta, kini gua sudah kembali lagi. Sebuah mobil sedan eropa berhenti tepat di depan gua, di area penjemputan kedatangan bandara Soekarno Hatta. Mobil sedan itu membunyikan klakson, sementara jendela sisi sebelah kiri-nya turun perlahan; wajah Kucay yang berada di balik kemudi dan menatap gua.
“Mas…” Panggilnya.
Gua mematikan rokok, menginjaknya dengan ujung sepatu lalu bergegas masuk ke dalam mobil.
“Ke rumah, Mas?” Tanya Kucay begitu gua masuk ke dalam mobil.
“Ke Pondok Indah, Cay…” Jawab gua.
“Mall?”
“Rumah sakit…”
“Oh, Ok…” Ia menjawab singkat dan mulai memacu mobil.
Kurang lebih satu jam berikutnya, kami sudah berada di area parkir rumah sakit. Gua bersiap keluar dari mobil.
“Mau ditungguin apa gimana, Mas?” Tanya Kucay.
“Tinggal aja, nanti gue naik taksi atau ojek…” Jawab gua.
“Lama nggak? kalo cuma sebentar saya tunggu aja..”
“Nggak usah, lo pulang duluan aja…” Jawab gua lalu keluar dari mobil dan berjalan cepat menyusuri area parkir; masuk ke dalam gedung.
Koridor demi koridor gua lalui, hingga akhirnya tiba di bangsal spesialis saraf. Gua mendekat ke nurse station di tengah bangsal, lalu bertanya ke salah satu perawat yang berjaga di sana; “Ricky ada kan?”
“Ada, mas…” Jawabnya seraya mengumbar senyum.
Gua berbalik, kembali menyusuri koridor pendek di belakang nurse station menuju ke ruang pemeriksaan Ncek. Tepat saat gua mendekat, pintu ruangan terbuka. Seorang pasien keluar, disusul perawat yang menyusul untuk memanggil pasien lain. Gua menerobos masuk, mengabaikan protes si perawat.
Ncek terlihat duduk di balik meja kerjanya. Ia menatap gua, lalu memijat keningnya. Seakan tau apa yang gua mau. Ia menunjuk ke pintu keluar dan bicara; “Tunggu diluar, gue masih ada satu pasien lagi…”
“Make it fast…” Gumam gua pelan, lalu kembali keluar. Menunggu sambil berdiri, bersandar pada dinding di depan ruang pemeriksaan Ncek.
Pasien terakhirnya selesai, Ncek menyusul keluar.
“Udah makan belom?” Tanyanya sambil menatap gua.
Gua menggeleng; “Nanti aja, gampang…”
Ia lalu pergi, menyusuri koridor ke arah luar bangsal dengan langkah yang cepat. Sementara gua terus mengikutinya. Masih di lantai yang sama, kami akhirnya tiba di sebuah bangsal. Bangsal ICU besar dengan deretan ruang kecil di sebelah kanan pintu masuk. Ruang-ruang kecil dengan dinding berwarna hijau sebagai pembatas antar ruang. Dan, pintu kaca geser super besar menjadi satu-satunya akses untuk keluar masuk ruang kecil tersebut.
Di dalam masing-masing ruangan terdapat ranjang dengan tabung besar dan monitor pemantau kondisi vital pasien yang menampilkan tekanan darah, detak jantung, laju napas, saturasi oksigen, serta suhu tubuh. Di sisi yang berlawanan dengan deretan ruang kecil ICU terdapat nurse station yang panjangnya nggak sampai setengah dari deretan ruang ICU.
Duduk sambil menundukkan kepala, Nyokapnya Fira terlihat lesu tanpa semangat. Wajahnya pucat dengan kedua mata yang sembab menatap ke depan, ke arah salah satu ruang ICU. Gua mendekat, lalu mengikuti arah pandangannya, ke arah ruang ICU, melalui pintu kaca besar, di mana terlihat sosok seorang gadis yang terbaring nggak berdaya. Setiap beberapa menit sekali, tubuhnya menegang, kedua tangannya terkepal, matanya terbuka dengan pupil ke atas; kejang. Kejang yang lalu berhenti dan akan kembali beberapa menit berikutnya.
Kini, obat penekan saraf dosis paling tinggi sekalipun nggak bisa membuat kejangnya berhenti.
“Too much information… Like i care” Balas gua.
“Hahaha, Sekarang yang handle Fira Dokter Adhi. Lo kenal nggak?” Tanya Ncek.
“Lo kenal?” Gua balik bertanya.
“Nggak, baru juga denger namanya…” Jawab Ncek.
“Lo aja nggak kenal, gimana gue…” Balas gua.
“Oh.. Yaudah gua coba ngomong lagi ke Nyokapnya deh. Mudah-mudahan dia setuju…” Jawabnya. Ia ingin mencoba sekali lagi untuk meyakinkan Nyokapnya Fira agar mau dipindahkan perawatannya ke Ncek, setelah sebelumnya dirawat di rumah sakit tempat Natalie bekerja.
“…” Gua terdiam sesaat begitu mendengar jawaban dari Ncek. Merasa nggak berguna, merasa nggak punya kontrol. Sesuatu yang bikin gua selalu nggak nyaman.
“..Gimana?” Ncek meminta konfirmasi.
“Yaudah…” Jawab gua singkat.
Lalu, suaranya nggak lagi terdengar; Ncek memutuskan panggilan.
Malam itu, gua hanya berjalan mondar-mandir di ruang depan flat. Tepat di area kecil diantara sofa panjang berwarna abu-abu dan meja kopi kayu sederhana dengan permukaan yang polos. Sementara ponsel terus berada di genggaman, ponsel yang setiap beberapa menit sekali layarnya gua pandangi. Mengecek apakah ada informasi terbaru dari Ncek tentang kondisi Fira.
Nggak lama berselang, Ncek kembali mengirim pesan singkat. Pesan yang isinya memberi informasi tentang ia yang akhirnya berhasil membujuk Nyokapnya Fira agar mau memindahkan anaknya ke rumah sakit tempat Ncek bekerja. Tentu saja Ncek yang sekaligus bakal menjadi dokter penanggung jawabnya.
‘Minta detail-nya’ Balas gua ke Ncek. Meminta detail kondisi Fira.
‘Blm dapet. Mngkn br bsk di krm’ Balasnya.
Gua menghela napas dalam-dalam, mengutuki betapa lambannya proses birokrasi kesehatan di Indonesia. Di sini, di banyak negara maju, begitu pasien ditransfer atau dipindahkan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, apapun alasannya. Maka rumah sakit tujuan juga akan langsung mendapat rekam medisnya. Bahkan di beberapa kasus, rekam medis milik pasien akan dikirimkan lebih dulu. Gunanya? agar rumah sakit atau fasilitas medis tujuan bisa menyiapkan kebutuhan pasien.
Detail tentang kondisi Fira, baru gua dapatkan besok paginya.
Ncek mengirim detailnya melalui email, email yang diketiknya secara manual, tanpa ada lampiran hasil CT, MRI atau bahkan hasil tes-tes lainnya. Karena memang dilarang membagikan rekam medis pasien ke dokter lain yang tidak bertanggung jawab, apalagi ke orang asing. Jadi, Ncek mengakalinya dengan menulisnya seakan tengah bercerita melalui email.
Gua membacanya perlahan dan hati-hati.
Dari email tersebut, gua menyimpulkan kalau kondisinya nggak begitu baik. Jujur, ini terbilang gawat. Fira mendapat benturan benda tumpul tepat di bagian kepalanya. Ada dua kemungkinan, tergantung lokasi benturan. Jika lokasi benturan berada di fokus area epilepsi maka bisa jadi kejang berulang Fira karena fokus area semakin parah bahkan menyebar. Sementara, jika lokasi benturan di lokasi yang berbeda bisa jadi bakal menimbulkan fokus area epilepsi baru.
Iya, buat orang dengan kondisi normal benturan di kepala adalah hal yang gawat. Bisa gegar otak atau seperti yang terjadi pada Fira; pembengkakan pembuluh darah. Tapi, buat mereka yang normal, dengan menjalani operasi sederhana, kondisi bisa langsung stabil. Berbeda untuk para penderita epilepsi yang mana benturan sekecil apapun bisa memperburuk kondisinya.
Gua bersandar pada kursi, sambil menatap ke arah langit-langit ruangan. Mencoba memikirkan gimana caranya agar gua bisa merawat Fira. Kemungkinan untuk gua kembali dan merawatnya di Jakarta tentu bukan sebuah pilihan. Opsi lainnya adalah merawatnya di tempat lain; pilihan satu-satunya adalah dengan membawanya ke sini; ke London.
Tapi apa mungkin?
Pindah rumah sakit aja, Nyokapnya sulit memberi persetujuan. Apalagi harus dipindahkan ke London untuk di rawat oleh orang yang nggak disukainya.
‘Ah, paling nggak gue harus mencobanya’ Gumam gua lalu meraih mantel dan bergegas menuju ke rumah sakit.
Tempat yang gua datangi adalah ruang kerja Reynard. Tanpa berbasa-basi, gua menghambur masuk dan langsung menceritakan tentang Fira dan kondisinya ke Reynard. Kemudian menyampaikan maksud dan tujuan gua datang; ingin meminta persetujuannya untuk menyediakan fasilitas untuk Fira.
Reynard setuju.
Nggak menunggu lama, gua mulai membalas email dari Ncek dan mengungkapkan rencana tersebut. Tentang gua rencana untuk membawa Fira ke sini, ke London.
‘Kayaknya mustahil deh. Pindah ke rumah sakit ini aja Nyokapnya ribet banget’ Balas Ncek melalui email.
—
Gua duduk menatap ke arah layar laptop yang menampilkan summary panggilan video yang baru selesai. Asap ringan mengepul dari ujung rokok yang gua biarkan menyala di atas piring keramik kecil di sisi laptop. Piring pengganti asbak yang sudah dipenuhi dengan puntung dan abu yang berkerak. Malam ini, gua sudah bicara ke beberapa dokter yang punya pengaruh penting di Jakarta, meminta saran akan rencana gua untuk membawa Fira ke London beserta kendalanya.
Jawaban mereka semua sama; termasuk Dokter Deden yang bilang kalau gua harus bicara ke Nyokapnya secara personal. Karena Fira masih di bawah umur dan semua tindakan medis yang akan dilakukan termasuk memindahkannya ke London tentu butuh persetuan wali; dalam hal ini Nyokapnya.
“Tunggu, Lian. Apa urgensi-nya sampai harus memindahkan pasien ke sana?” Tanya Dokter Deden.
“Untuk dapet perawatan yang terbaik” Jawab gua.
“…”
“… Bukan berarti kualitas kesehatan di sana nggak bagus, dok” Gua menambahkan, takut menyinggungnya.
“I do understand…” Jawabnya singkat.
“Please tell me doc, where should i go to get SEEG test in Jakarta?” Tanya gua. Merujuk ke fasilitas pemindaian terkini untuk melacak fokus epilepsi yang ada di otak. Di mana saat ini, Indonesia belum memiliki teknologinya.
“Iya sih, untuk itu memang nggak ada di sini… Tapi, apa kamu nggak nyoba pendekatan lain kayak; VNS?” Tanyanya. Merujuk ke prosedur Vagus Nerve Stimulation. Di mana dengan menggunakan teknik neuromodulasi, pasien akan dengan dipasang alat semacam chip yang bisa mengontrol sel saraf vagus. Dengan alat ini, kejang yang muncul bisa di kontrol, bahkan bisa menghilangkannya sama sekali.
“Bisa aja. Tapi, kasus Fira beda karena ada Aneurisma-nya dok. Implan VNS nggak banyak membantu, hanya bakal menunda-nya. Dan lagipula, sekarang ini VNS juga kayaknya belum ada di Indonesia. Iya kan?”
“Mmm… I See…”
“…”
“…Ya sudah kalau begitu, kamu coba jelasin kayak tadi ke wali-nya. Nanti, saya bantu meyakinkan” Jawab Dokter Deden sebelum mengakhiri panggilan.
Selain sebagai Dokter Senior, Dokter Deden juga dihormati karena pendidikan dan skill-nya. Kami pernah beberapa kali mengikuti beberapa kuliahnya saat kebetulan ia menjadi dosen tamu di kampus. Sejak saat itu, walau berbeda negara kami jadi sering berbincang melalui sambungan telepon atau internet. Selain itu, Gua dan Ncek juga seringkali meminta pendapat juga saran darinya, hal yang bikin kami memiliki hubungan yang cukup dekat.
Masih di malam yang sama, Ncek menghubungi gua melalui panggilan video. Terdengar suara notifikasi yang disusul munculnya jendela kecil di layar laptop. Menampilkan wajah Ncek yang sibuk membetulkan rambutnya.
“Gimana kondisi terakhirnya, Ncek?” Tanya gua.
“Hmm… Nggak stabil. Interval kejang semakin pendek. Dia bahkan kejang saat nggak sadar. Udah gue CT dan MRI. EEG nanti begitu dia sadar…” Ia memberi penjelasan singkat. Gua mencengkeram pinggiran meja, jari-jari menegang. Di kepala, bayangan Fira kejang lagi-lagi muncul. Udara mendadak terasa lebih berat.
“Jadi, sampe sekarang belum sadar?” Tanya gua lagi.
Ncek menggeleng; “Belum. Tapi kayak yang udah gue info di email. Kondisi vitalnya juga jadi ngedrop akibat interval kejang yang pendek..”
“Ck…”
“So, gimana?” Tanyanya.
“Besok gue baru mau ngomong ke Nyokapnya. Mudah-mudahan di setuju…” Jawab gua.
“Kalo dia nggak setuju?” Ncek kembali bertanya.
“Ya gue yang bakal ke sana…”
“Ah gila lo!…” Serunya.
“Nggak ada pilihan lain”
“Ada, tapi lo yang nggak mau ngambil pilihan itu…” Jawabnya.
“Apa pilihan yang tersedia? menyerahkan operasi Fira ditangan orang lain dengan fasilitas seadanya?” Tanya gua. Nggak mau mengambil pilihan itu. Nggak mau kalau gua harus menaruh harapan ke orang lain untuk sesuatu yang bisa gua tangani. Gua nggak suka dengan situasi seperti itu, situasi di mana gua nggak punya kontrol.
“Hhh….” Ncek menghela napas dalam-dalam, sambil memijat keningnya.
“…”
“… Ok. Let say, lo harus datang ke sini. Di mana lo bakal melakukan operasi? Lo pikir operasi otak kayak operasi usus buntu yang bisa lo lakukan di klinik?” Tanyanya.
“Di rumah sakit Dokter Deden…”
“Emang dia bersedia. Dengan lo ngoperasi di sana, bisa aja ijin rumah sakitnya dibekukan…”
“…”
“… Buat jaga-jaga, urus aja ijin lo. Gue usahakan cari orang dalem biar bisa cepet…” Ncek memberi saran.
“…”
“… Gimana?” Tanyanya.
“Yaudah…” Gua menyerah.
“Kirim dokumen lo, sekarang” Pintanya.
“Ok, abis ini gue kirim. Now on, pantau Fira terus ya Ncek… Gue minta tolong banget. Dan kasih dia ini” Ucap gua seraya mengetik lewat kolom chat tentang jenis terapi obat yang perlu diberikan kepadanya.
Ncek membaca pesan gua, lalu mengangguk pelan; “Ok..”
“Once, Fira udah sadar. Tunggu sambil pantau selama 12 jam. Catet durasi dan interval kejangnya. Abis itu baru lo EEG…”
“Anjir, kayak di kasih kuliah gue…” Jawabnya terkekeh.
“Dan, kabarin gue terus ya..” Gua bicara, lirih sangat lirih.
Gua mengakhiri panggilan, lalu mulai mengirim dokumen-dokumen berisi seluruh sertifikasi gua ke Ncek, untuk mengurus ijin praktek gua di sana; di Indonesia.
—
Hari berikutnya, gua bekerja seperti orang kesetanan. Jarang menggunakan waktu istirahat dan acap kali melakukan jadwal operasi yang back to back. Sengaja melakukan ini semua untuk mengalihkan pikiran yang terus-terusan hanya tentang dirinya; hanya tentang Fira.
Sore itu, gua mendapat kabar dari Ncek kalau Fira baru saja siuman. Ia akan melakukan tes EEG kemudian memberi penjelasan tentang kondisi Fira ke Nyokapnya. Dan gua berencana akan menghubungi Nyokapnya Fira begitu Ncek selesai memberi penjelasan. Agar setidaknya ia punya penjelasan singkat sebagai ‘pegangan’ tentang kondisi Fira.
Di sela-sela jadwal visit pasien, gua duduk di salah satu anak tangga menuju ke pintu akses karyawan bagian belakang rumah sakit. Sambil merokok, gua menatap layar ponsel yang menampilkan tombol dial.
Gua menekan angka-angka berisi nomor ponsel Nyokapnya Fira, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suara Nyokapnya Fira menyambut gua; ramah.
“Halo?” Sapanya. Suaranya terdengar serak, seperti baru saja menangis.
“Halo, Tan. Apa kabar?” Balas gua.
Ia terdiam sebentar, sepertinya tengah berusaha mengenali suara gua. Sesaat, setelah ia berhasil mengenali suara gua, ia bicara; “Apa?” Tanyanya.
“Apa saya ganggu?”
“Udah Langsung aja deh… ada apa?” Tanyanya lagi ketus. Gua maklum, sungguh maklum dengan sikapnya yang ketus. Gimana nggak, di obrolan kami sebelumnya, gua sudah bilang kalau nggak bakal mengganggu mereka.
Gua menghela napas dalam-dalam, lalu mulai bicara. Mengemukakan pendapat gua tentang kondisi Fira.
“Siapa yang ngasih tau kamu?” Tanyanya, masih dengan nada ketus. Rupanya, ia memang belum tau kalau gua adalah sosok dibalik pindahnya Fira ke bawah kendali Ncek.
Gua nggak menjawab, merasa itu bukan hal yang penting sekarang.
“Tau dari mana sekarang nggak penting, Tan. Begitu juga dengan masalah diantara kita sebelumnya. Yang penting adalah kondisi Fira…”
“…”
“… Tante mungkin udah tau detail kondisi Fira dari Ncek, eh Sorry, dari Dokter Ricky. Kondisi Fira nggak OK, bener-bener nggak OK. Trauma di kepala yang bikin pembengkakan pembuluh darah di otak. Kalau nggak segera ditangani, bisa pecah kapan aja…”
“…”
“… pun, nggak pecah. Benturan di kepala itu hal gawat buat penderita epilepsi. Bisa aja benturan itu bikin fokus epilepsinya menyebar atau parahnya. Seandainya benturan terjadi di area fokus. Epilepsinya malah semakin menjadi…”
“Lian, Stop, Stop…” Ucapnya, membuat gua berhenti bicara.
“…”
“… Langsung aja ke intinya. Saya udah nggak kuat denger diagnosa-diagnosa kayak gitu”
Gua kembali menghela napas, mencoba bersiap diri seandainya ia nggak setuju dengan rencana yang akan gua ajukan.
Dengan perlahan gua bicara, menjelaskan rencana gua beserta alasan-alasan kenapa Fira harus dibawa ke sini, ke London. Sementara gua terus bicara, ia mendengarkan dengan seksama, nggak pernah sekalipun berusaha menyela.
Setelah gua selesai menjelaskan, ia nggak memberi respon apapun; hanya terdiam.
“Kenapa harus kamu sih?” Gumamnya pelan.
“…”
“… dari sekian banyak cowok di dunia ini, kenapa Fira harus milih kamu?” Tambahnya.
Gua sadar kalau itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan sebuah keluhan. Keluhan yang mungkin ditujukan kepada Tuhan. Keluhan yang sengaja diucapkan agar gua mendengarnya.
Setelah kembali terdiam cukup lama, ia bicara. Masih dengan intonasi dan nada rendah yang sama; “Berapa besar kemungkinan berhasilnya?”
“Ya semakin cepat dioperasi, semakin besar kemungkinan berhasil…” jawab gua.
“Boleh saya pikir-pikir dulu?” Pintanya, masih dengan suara lirih.
“Tapi, tan…”
“Besok saya kabari…” Tambahnya, lalu mengakhiri panggilan.
Ok, setidaknya ia nggak langsung menolak. Masih ada kesempatan untuk membawa Fira ke sini. Sekarang, gua hanya perlu bersabar dan berharap kalau kondisi Fira nggak memburuk dengan cepat.
Besoknya, gua terus menunggu jawaban dari Nyokapnya Fira, namun nggak ada kabar sama sekali. Barulah setelah tiga hari berselang, ditengah-tengah gua memberi konsultasi ke pasien. Ponsel gua bergetar. Gua melirik ke arah layarnya yang menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk. Pesan dari deretan nomor yang gua kenali sebahai nomor Nyokapnya Fira.
“One minute ma’am…” Ucap gua ke si pasien yang tengah menyampaikan keluhannya. Lalu membaca pesan tersebut. Pesan yang berisi kabar kalau ia nggak bersedia dengan rencana yang gua ajukan sebelumnya; rencana membawa Fira ke London.
Gua terus bekerja, walaupun pikiran ini nggak bersama gua. Mengawang di langit, memikirkan langkah yang harus dilakukan selanjutnya. Di waktu yang lain, Ncek memberi kabar kalau kondisi Fira saat ini semakin gawat. Interval kejangnya semakin pendek. Dan dalam waktu dekat, ia akan menjalani operasi.
“Siapa? Siapa yang pimpin operasinya?” Tanya gua.
“Belum tau…” Ncek memberi jawaban.
“Tunggu gue!”
—
Nggak seperti sebelumnya. Kali ini gua benar-benar mengajukan permintaan pengunduran diri ke Reynard. Dan kali ini, ia sama sekali nggak mampu mencegah gua.
Reynard menghela napasnya dalam-dalam, lalu bicara tepat sebelum gua keluar dari ruangannya; “If… fine, when you stop being a stubborn git, the door always open. I’ll be here, pretending I didn’t wait…”
“Thanks, Rey…” Balas gua lantas melangkah keluar dari ruangannya.
Kini gua hanya bisa berharap dokumen pengajuan ijin gua lewat Ncek bisa selesai lebih cepat.
Sambil bicara dengan Ncek melalui sambungan telepon, gua memasukkan beberapa pasang pakaian dan dokumen-dokumen penting ke dalam ransel. Kemudian bergegas menuju ke bandara dengan menggunakan taksi. Sementara di ujung sana, Ncek terus berusaha mencegah gua berangkat, merasa kedatangan gua nantinya bakal sia-sia. Karena belum tentu ijin praktek gua bisa terbit dalam waktu dekat, sementara kondisi Fira nggak mungkin bisa menunggu lagi.
“Udah lah cuy, biar dokter di sini aja yang ngoperasi…” Pinta Ncek, memohon.
“Nggak… Gue bakal ke sana, harus gue yang ngoperasi dia, dengan atau tanpa bantuan lo…” Jawab gua, lalu mengakhiri panggilan.
Rasanya belum lama gua merasakan hangatnya suhu pagi Jakarta, kini gua sudah kembali lagi. Sebuah mobil sedan eropa berhenti tepat di depan gua, di area penjemputan kedatangan bandara Soekarno Hatta. Mobil sedan itu membunyikan klakson, sementara jendela sisi sebelah kiri-nya turun perlahan; wajah Kucay yang berada di balik kemudi dan menatap gua.
“Mas…” Panggilnya.
Gua mematikan rokok, menginjaknya dengan ujung sepatu lalu bergegas masuk ke dalam mobil.
“Ke rumah, Mas?” Tanya Kucay begitu gua masuk ke dalam mobil.
“Ke Pondok Indah, Cay…” Jawab gua.
“Mall?”
“Rumah sakit…”
“Oh, Ok…” Ia menjawab singkat dan mulai memacu mobil.
Kurang lebih satu jam berikutnya, kami sudah berada di area parkir rumah sakit. Gua bersiap keluar dari mobil.
“Mau ditungguin apa gimana, Mas?” Tanya Kucay.
“Tinggal aja, nanti gue naik taksi atau ojek…” Jawab gua.
“Lama nggak? kalo cuma sebentar saya tunggu aja..”
“Nggak usah, lo pulang duluan aja…” Jawab gua lalu keluar dari mobil dan berjalan cepat menyusuri area parkir; masuk ke dalam gedung.
Koridor demi koridor gua lalui, hingga akhirnya tiba di bangsal spesialis saraf. Gua mendekat ke nurse station di tengah bangsal, lalu bertanya ke salah satu perawat yang berjaga di sana; “Ricky ada kan?”
“Ada, mas…” Jawabnya seraya mengumbar senyum.
Gua berbalik, kembali menyusuri koridor pendek di belakang nurse station menuju ke ruang pemeriksaan Ncek. Tepat saat gua mendekat, pintu ruangan terbuka. Seorang pasien keluar, disusul perawat yang menyusul untuk memanggil pasien lain. Gua menerobos masuk, mengabaikan protes si perawat.
Ncek terlihat duduk di balik meja kerjanya. Ia menatap gua, lalu memijat keningnya. Seakan tau apa yang gua mau. Ia menunjuk ke pintu keluar dan bicara; “Tunggu diluar, gue masih ada satu pasien lagi…”
“Make it fast…” Gumam gua pelan, lalu kembali keluar. Menunggu sambil berdiri, bersandar pada dinding di depan ruang pemeriksaan Ncek.
Pasien terakhirnya selesai, Ncek menyusul keluar.
“Udah makan belom?” Tanyanya sambil menatap gua.
Gua menggeleng; “Nanti aja, gampang…”
Ia lalu pergi, menyusuri koridor ke arah luar bangsal dengan langkah yang cepat. Sementara gua terus mengikutinya. Masih di lantai yang sama, kami akhirnya tiba di sebuah bangsal. Bangsal ICU besar dengan deretan ruang kecil di sebelah kanan pintu masuk. Ruang-ruang kecil dengan dinding berwarna hijau sebagai pembatas antar ruang. Dan, pintu kaca geser super besar menjadi satu-satunya akses untuk keluar masuk ruang kecil tersebut.
Di dalam masing-masing ruangan terdapat ranjang dengan tabung besar dan monitor pemantau kondisi vital pasien yang menampilkan tekanan darah, detak jantung, laju napas, saturasi oksigen, serta suhu tubuh. Di sisi yang berlawanan dengan deretan ruang kecil ICU terdapat nurse station yang panjangnya nggak sampai setengah dari deretan ruang ICU.
Duduk sambil menundukkan kepala, Nyokapnya Fira terlihat lesu tanpa semangat. Wajahnya pucat dengan kedua mata yang sembab menatap ke depan, ke arah salah satu ruang ICU. Gua mendekat, lalu mengikuti arah pandangannya, ke arah ruang ICU, melalui pintu kaca besar, di mana terlihat sosok seorang gadis yang terbaring nggak berdaya. Setiap beberapa menit sekali, tubuhnya menegang, kedua tangannya terkepal, matanya terbuka dengan pupil ke atas; kejang. Kejang yang lalu berhenti dan akan kembali beberapa menit berikutnya.
Kini, obat penekan saraf dosis paling tinggi sekalipun nggak bisa membuat kejangnya berhenti.
Thirty Seconds To Mars - The Kill (Bury Me)
percyjackson321 dan 44 lainnya memberi reputasi
45
Kutip
Balas
Tutup