- Beranda
- Stories from the Heart
Diamante
...
TS
robotpintar
Diamante

Quote:
Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Diubah oleh robotpintar 24-03-2025 14:55
ChocoChips098 dan 144 lainnya memberi reputasi
145
203.6K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#306
004-B The Hollow Surgeon
Spoiler for 004-B The Hollow Surgeon:
“Do me a favor…”pinta gua ke Ncek.
“What?” Tanyanya tanpa memalingkan pandangannya dari jalan.
“Kalo suatu saat lo nggak dapet forward email dari gue tentang kondisi Fira. Bisa kan lo cek langsung?”
Ncek berdecak, lalu menghela napasnya. “Kalo lo segitu khawatirnya kenapa harus pergi?”
“…”
“… sorry, pulang” ia meralat kata ‘pergi’.
“…” gua nggak menjawab, hanya bersandar pada kaca jendela mobil sisi penumpang. Sambil menatap marka putus-putus yang bergerak cepat di jalan bebas hambatan.
“…Woi”
“Ya kalo nggak mau gapapa. Gue minta tolong orang lain aja” jawab gua berlagak merajuk.
“Dih, ngambek? Kocak banget”
“…”
“… iya, iya lo tenang aja. Aman…”
“Nah gitu, jadi orang tuh berguna” balas gua.
“Bangke. Tapi ada saratnya ya”
Gua menoleh ke arahnya, nggak percaya dengan yang gua dengar barusan.
“Ada apa sih dengan orang-orang? Kenapa semua pake sarat?” balas gua.
“Mau nggak?”
“Yaudah, apa!”
“Pinjem Skyline lo” pintanya sambil memasang tampang memohon.
“Nggak! Enak aja…” gua menolak mentah-mentah.
“Yeee… pelit banget! Sekali doang, sekali lho…” Ncek memohon, jari telunjuk tangan kirinya diacungkan. Memberi kode angka satu.
“Nggak, Ncek… pake mobil gue yang lain, tapi jangan itu”
“Ah mobil lo yg lain kan nggak spesial…” bantahnya.
“Lo ngerti kata 'nggak' kan, Ncek?”
“Ck… pelit” gumamnya pelan, sangat pelan.
—
Beberapa jam kemudian, gua duduk di pesawat menuju London, rumah yang lebih terasa rumah dibanding Jakarta.
Setelah 18 jam menempuh penerbangan, gua akhirnya tiba di London. Dari Heathrow ke flat gua di Queen Square punya jarak sekitar 30km-an, atau mungkin bisa ditempuh selama setengah jam jika menggunakan kendaraan pribadi. Tapi, kalau harus menggunakan kendaraan umum, mungkin bakal makan waktu jauh lebih lama.
Waktu tempuhnya pun tergantung dengan mode transportasi yang dipilih. Bisa dengan bus atau tube (kereta bawah tanah).
Dari terminal 4 Heathrow gua turun ke bawah, ke stasiun kereta Elizabeth Line yang akan membawa gua melintasi 8 stasiun hingga tiba di Tottenham Tube station. Dari sana, gua akan berganti kereta, melewati dua stasiun hingga akhirnya tiba di Russell Square.
Stasiun bawah tanah Russel Square adalah sebuah bangunan dengan gaya British Art Nouveau. Bangunan dengan dinding berwarna merah darah yang khas. Begitu keluar dari Russell square tube station suara keramaian dan bising kendaraan yang tersendat menyambut gua. Sambil membetulkan posisi ransel, gua berbelok ke kiri, menyusuri trotoar dengan meja-meja milik kedai memenuhi sisi dalam jalan. Nggak jauh gua berbelok ke kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil dan jauh lebih sepi. Lalu, tepat di depan President Hotel gua kembali berbelok ke kiri, dimana lokasi apartemen gua berada nggak jauh dari sana.
Hal pertama yang gua lakukan begitu tiba di kamar flat adalah menjatuhkan diri tengkurap di atas ranjang, masih dengan ransel yang terpasang di punggung. Malam itu, gua terlelap, mengabaikan rasa dingin akibat lupa menyalakan pemanas ruangan, sambil menahan lapar.
Gua terbangun karena bunyi dering ponsel yang suaranya terdengar samar karena tertimpa bantal. Gua meraba-raba permukaan ranjang dan meraihnya.
“Ya…” Sapa gua dengan suara serak tanpa tau siapa yang menelpon.
“You absolute menace. Back from holiday and didn’t even shoot me a text? Harper saw you wearing a big backpack in the lift…” Reynard langsung bicara. Reynard, atau Dokter Reynard adalah Direktur Pelayanan Medis, di rumah sakit tempat gua bekerja.
Gua bangkit, melepas ransel dan menjatuhkannya ke lantai, kemudian kembali berbaring, kini dalam posisi telentang; “Ease up, mate. Was gonna message you after I’d slept off the jet lag. Still feel like my brain’s stuck in cloud...”
“Ah, the classic tactic. Brilliant. Did you buy batik shirts for me??” Ia bertanya.
“Nah, you should get that Batik online. Anyway, Thanks for this chance…” Ucap gua, mengucapkan terima kasih atas cuti yang ia berikan.
Karena satu dan lain hal, gua dulu pernah mengajukan surat pengunduran diri kepadanya. Tapi, alih-alih menerima permintaan pengunduran gua, Reynard malah memberikan gua cuti panjang. Berharap gua kembali dengan niatan resign yang sudah hilang.
“Yeah. Knew you just needed a proper break. But listen, Lian—you’re really back for good? Or…?
“Dunno yet. Thought I’d hate being away, but… Maybe I’ll stick to gardening. Less stress…” Jawab gua, tentu saja bercanda dengan bilang kalau gua bakal berhenti jadi dokter dan hanya akan berkebun.
“Gardening? You? The man who once sutured a carotid artery with a paperclip? Look, just pop by tomorrow. We’ll chat over proper tea—none of that vending machine swill” Balasnya, mengajak bertemu untuk sekedar ngobrol.
“Chat? This feels like a trap. Last time you said ‘chat’, I ended up on back to back in operating room” Balas gua.
“You’re still bitter about that? 10am. And wear something decent—Carter’s been telling the newbies you’re a myth. Reckons I invented you to scare him into studying…”
Gua terdiam sesaat, lalu memberi jawaban; “Fine…”
—
Besoknya, setelah lelah berkeliling rumah sakit untuk menyapa teman-teman yang lain, gua bergegas naik ke lantai paling atas gedung rumah sakit. Jam menunjukkan pukul 10 tepat saat gua sudah berada tepat di depan pintu ruangan Dokter Reynard. Dan tepat saat tangan gua bersiap mengetuk, pintu terbuka. Reynard muncul sambil menenteng gelas berisi wiski.
“Lian!!” Serunya, lalu mendekat dan memberikan pelukan. Ia kemudian mengajak gua masuk ke dalam ruang kerjanya. Kami berbincang, tentang pengalaman ‘cuti panjang’ gua dan tentu saja yang paling penting buatnya; ‘Rencana gua kedepannya’.
Apakah gua masih tetap dengan rencana awal; resign? Atau cuti panjang berhasil mengubah pikiran gua.
Gua bisa aja berhenti. Bisa aja cari jalan lain. Gua bahkan sempat mendapat tawaran untuk bekerja di salah satu perusahaan internasional terkenal dengan bayaran yang fantastis sebagai konsultan kesehatan. Tapi gua menolaknya, merasa kalau gua pergi dari sini; dari profesi ini. Siapa yang akan membantu Fira?
“I’ll stay…” jawab gua singkat.
Bukan, bukan cuti panjang yang jadi alasan gua nggak merubah pikiran. Melainkan sosok Fira.
Mendengar jawaban gua Dokter Reynard kembali memberi pelukan. Lalu mengambil gelas dari rak dan bersiap menuang wiski ke dalamnya. Namun, ia keburu sadar kalau gua nggak mengkonsumsi alkohol dan meletakkan kembali gelas ditangannya.
“Good to have you back…”
Gua bisa saja nggak melanjutkan bekerja sebagai dokter dan beralih ke profesi lain. Profesi yang tetap berhubungan erat dengan dunia kesehatan.
Jadi begini, dalam profesi medis terbagi dua jalur besar keprofesian; jalur klinis dan non klinis. Jalur klinis ya seperti gua saat ini. Bekerja sebagai dokter, membuat diagnosa, memberi perawatan langsung, serta pengobatannya. Sementara. jalur non klinis adalah kebalikannya; mereka nggak berhubungan langsung dengan pasien, dan nggak memberi perawatan. Misalnya, peneliti, konsultan kesehatan hingga mungkin menjadi pengacara yang spesialis menangangi kasus-kasus kesehatan.
Setelah selesai dengan perayaan kecil dari Reynard, gua turun ke lantai dua, ke ruang kerja gua di poli saraf. Rekan-rekan yang lain di poli saraf menyambut gua, dari ekspresi yang gua baca bisa terlihat kalau mereka benar-benar rindu.
Mathilda, salah satu asisten gua masuk ke dalam ruangan sambil membawa tumpukan pakaian yang terlipat rapi. Tumpukan scrub dokter berwarna hijau milik gua.
“Mathilda Jones, still terrorisin’ the blood trolley, I see. Miss me that much, did ya?” seru gua.
“Miss you? Nah. Just missed someone to blame when the ECG leads go walkabout…” Balasnya, sambil menahan senyum dan terus membenahi scrub ke dalam lemari.
“Hahahaha…. any news while i’m off…”
“Sure…” Ia mendekat, lalu bicara sambil berbisik; “… Ward’s been proper chaos without you. Dr. Carter tried to catheterise a bloke awake last week. Patient threatened to sue, then called him a posh wally”
“Gosh… And I thought I needed the break…”
“Reckon you do! anyway, Welcome back, Doc…” Ucapnya seraya menepuk bahu gua lalu bersiap keluar dari ruangan.
Hari itu, gua memutuskan langsung kembali bekerja ketimbang hanya diam dan tidur-tiduran di flat. Kembali ke dalam kesibukan, keriuhan penuh darah dan teriakan-teriakan meminta tindakan; iya ternyata gua memang merindukan ini.
—
Gua memulai semua ini kembali. Gua memulai sesuatu yang sebelumnya gua anggap sebuah kekosongan. Sebagai dokter, gua sudah berhasil mendapatkan semuanya; semuanya. Tapi, entah kenapa gua selalu merasa kosong, gua nggak merasakan keseruan yang sebelumnya gua cari.
Dan kini gua kembali lagi. Tapi kali ini gua sudah nggak merasakan kekosongan itu lagi. Saat ini gua merasa ada sesuatu untuk dikejar; Safira.
Baru saja gua menyelesaikan sesi konsultasi saat salah seorang perawat menghambur masuk ke dalam ruangan, memberi informasi kalau bakal ada operasi darurat yang membutuhkan gua.
Tanpa menunggu, gua berdiri, menuju ke lemari dan mulai mengganti pakaian dengan scrub hijau operasi. Sambil berjalan cepat menyusuri koridor menuju ke ruang operasi, perawat yang tadi, yang belum gua kenali namanya kembali mendekat. Ia dengan cepat membacakan data diri pasien beserta kondisi terkininya
Gua berhenti di ruang steril, memakai masker dan penutup kepala, lalu mendekat ke perangkat yang mirip dengan wastafel super besar di sudut ruangan. Dengan menginjak pedal di bagian bawah, air di keran mulai mengucur. Gua membasuh tangan, menggosok dengan sabun antiseptik sekali pakai dan membilasnya.
Kedua tangan terangkat ke atas, mirip seperti orang yang tengah memanjatkan doa. Gua melewati pintu otomatis, masuk ke ruang operasi. Suasana riuh di ruang operasi langsung hening begitu gua masuk ke dalam. Berganti dengan suara ‘beep’ cepat dari monitor EKG.
Saat memasuki ruang operasi, begitu mendengar suara bip monitor menggema, saat mencium aroma antiseptik khas ruang operasi, gua merasakan sedikit sensasi yang sebelumnya hilang. Sensasi kekosongan yang dulu bikin gua pergi. Kini gua merasa ada dorongan besar, dorongan agar terus berada di dunia ini, demi seseroang; demi Fira.
Mathilda mendekat, ia mulai memasangkan jubah, serta sarung lateks dikedua tangan gua. Setelah siap, gua mendekat ke bagian kepala pasien yang sudah dalam kondisi terbius. Gua menatap layar CT scan yang masih menyala. Terlihat gumpalan darah sebesar bola golf menekan lobus temporal kiri.
Berdiri di sebelah gua; Dokter Harry yang siap membantu.
“Good to see you, doc…” Ucapnya.
Gua mengangguk, tanpa tersenyum. Hal yang gua sukai saat berada di dalam ruang operasi dengan masker di wajah; nggak perlu lagi berpura-pura tersenyum.
“Harry, head clamp. 45 degrees right rotation, now” Ucap gua cepat.
“Clamped. Pressure’s 200 over 110, Doc..” Balasnya, sementara kedua tangannya sudah berhasil mengencangkan kerangka logam berbentuk pencapit di tulang tengkorak pasien. Krek. Suaranya selalu bikin bergidik.
“Sedation?” Tanya gua.
“Propofol running. He’s under…” Jawabnya, memberikan informasi zat bius yang digunakan.
“Scalpel…” Ucap gua sambil mengadahkan tangan. Mathilda dengan cepat mengambil pisau bedah no.15 dan meletakkanya di tangan. Gua mulai membuat sayatan, membelah kulit kepala dari belakang telinga ke garis tengah.
“Suction, suction… artery’s bleeding…” Seru gua begitu arteri mulai mengeluarkan darah. Harry dengan cepat mengarahkan corong metal, menghisap darah yang keluar.
“Bipolar…” Ucap gua lagi. Yang langsug direspon oleh Mathilda dengan mengulang ucapan gua dan menyerahkan alat semacam pena kecil yang tersambung dengan arus listrik.
Gua mulai memotong jaringan selaput dengan alat tersebut, menimbulkan bau daging terbakar yang nggak enak; ‘Dzzzzt…’
“High-speed drill. Bone wax ready?” Ucap gua, meminta Harry menyiapkan alat bor tengkorak dan Mathilda untuk bersiap dengan bone wax, semacam zat mirip lilin yang berfungsi untuk menutup pendarahan pada tulang selama operasi.
Gua mulai mengebor tengkorak. Getarannya merambat dari tangan ke bahu. Tulang temporal mulai terkikis. Serpihan putih beterbangan seperti kapur dan Klak! Potongan tulang seukuran telapak tangan terlepas. Harry dengan cepat mengangkat potongan, kemudian mengoleskan bone wax pada permukaan bekas potongan.
Terlihat membran abu-abu yang menutup otak menegang, berdenyut tak berirama.
“Microscope…” Ucap gua.
Mathilda, menurunkan mikroskop berbentuk kacamata yang sejak tadi terpasang di dahi gua.
“Ten-blade.… Steady….” Pinta gua.
“Ten-Blade…” Mathilda mengulang ucapan dan menyerahkan gunting khusus di tangan. Gua mulai membuat sayatan. Lalu, tiba-tiba cairan serebrospinal menyembur. Otak yang bengkak langsung terlihat dari celah sayatan.
“Hematoma’s deep. Suction at 50 mmHg” Gua meminta Harry menghisap cairan di permukaan otak.
Ia mengatur tekanan penghisap dan mengulang ucapan gua, kemudian mulai melakukan hisapan.
Melalui mikroskop operasi, gua melihat adanya gumpalan darah hitam pekat menempel seperti aspal. Dengan perlahan gua memasukkan ujung suction dan bayonet forceps. Kemudian berbisik ke Harry yang mengendalikan kontrol suction. "Aspirator 40 mmHg,"
‘Prrrt’ Darah kental tersedot perlahan. Otak mulai 'mengempis'.
Jauh di dalam, terlihat middle cerebral artery pecah, ujungnya robek tak beraturan. "Clip!"
Harry menyerahkan klip berbahan titanium berukuran sangat kecil yang dipernya dengan menggunakan penjepit. Perlahan, gua memasang klip tersebut, menghimpit arteri dan darah pun berhenti mengalir.
“Irrigation. Warm saline…” Pinta gua ke Harry, yang lalu merespon dengan menyemburkan cairan dengan selang metal berujung kecil ke tempat yang gua maksud, membersihkan area operasi.
Harry memasang mikroskop kacamata miliknya, lalu melakukan double check; “Clip’s secure. Hematoma’s clearing” Ucapnya yakin.
Operasi selesai, gua menyerahkan tugas selanjutnya kepada Harry; “Dural patch. 4-0 nylon sutures..” Gua memberikan instruksi ke Harry untuk menutup selaput dengan jahitan.
Sementara, Mathilda memberi informasi tentang kondisi terkini pasien; “Closing pressure’s stable. 140 over 85..”
Gua berpaling ke dokter anestesi di sudut ruangan yang sibuk mengamati beberapa monitor; “How’s his EEG?”
“Delta waves, but no seizures. He’s holding, doc..” Jawabnya sambil mengacungkan ibu jari.
Harry selesai memberi jahitan, kami lalu mengembalikan tulang tengkorak ke tempatnya, direkatkan dengan plat dan sekrup. Sementara kulit kepala ‘ditambal’ dengan alat semacam staples. Operasi selesai.
“Done. Time?” Tanya gua.
Mathilda mendongak, menatap ke arah jam digital super besar di atas pintu ruang operasi; “6:12 AM.. Check”
Pasien dipindahkan ke ruang ICU, sementara petugas lain masuk ke ruang operasi dengan pakaian APD lengkap; melakukan sterilisasi ruangan. Sementara, gua duduk di lantai ruangan, bersandar pada dinding ruang operasi masih dengan masker, sarung tangan dan penutup kepala terpasang.
Sudah cukup lama gua nggak merasakan sensasi ini, sensasi yang membuat ketagihan.
—
Watu berlalu, hari-hari gua diisi dengan hal-hal semacam itu. Cipratan cairan otak, bau daging terbakar, darah dan teriakan-teriakan di ruang operasi. Hal yang mulai mengalihkan gua dari sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang baru gua sadari kalau, sudah dua minggu ini Nyokapnya Fira nggak sama sekali mengirimkan email perkara kondisi terakhir anaknya.
Awalnya, gua merasa mungkin ia lupa karena kesibukannya. Tapi, lama kelamaan gua malah curiga. Tapi, kecurigaan gua nggak lengkap karena Ncek seharusnya sudah melakukan pengecekan.
Tapi, gua penasaran.
Gua menghubungi Ncek.
“Apa? Malem disini, nggak tau waktu lo…” Sapanya dari ujung sana.
“Sorry, sorry….”
“Kenapa?”
“Ncek, lo udah cek Fira?” Tanya gua. Nggak bertele-tele, karena dia juga sudah tau kalau, laporan kondisi Fira di email oleh Nyokapnya.
“Udah minggu kemaren, fine-fine aja…”
“Lo ngecek di mana?”
“Sosial media… Makanya bikin, biar bisa ngeliat langsung”
“Mmm, nanti lah kapan-kapan… Eh, tapi sekarang belum lo cek kan?”
“Belum, mau gue cek sekarang?” Tanyanya.
“Boleh..”
“Yaudah tunggu bentar, gue ambil HP satu lagi…”
“Ok…”
Lalu suaranya hilang, sepertinya ia tengah mengecek media sosial milik Fira. Nggak lama berselang suaranya kembali.
“Cuy…”
“Oi…”
“Last updated emang last week…”
“Berarti minggu ini belum ada kabar?” Tanya gua penasaran.
“Belum. Besok gue cek langsung deh…”
“Caranya?”
“Ya gue telpon aja…”
“Tapi, jangan bilang apa-apa tentang gue ya..”
“Iya…”
Sehari berselang. Malam itu, gua tengah merokok sambil duduk di anak tangga di halaman belakang rumah sakit. Layar ponsel yang menampilkan layar game berkedip, lalu berubah. Terlihat nama ‘Ncek’.
“Halo…”
“Fira!” Serunya.
Baru mendengar ia menyebutkan namanya saja, gua sudah merasa kalau ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang buruk.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Head trauma, tapi detailnya belum jelas…”
“Kok bisa?” Tanya gua, panik.
“Kan tadi gue bilang; belum jelas. Ini baru gue mau cari tau…”
“…” Gua terdiam, shock, nggak bisa berkata apa-apa. Head trauma buat para pengidap epilepsi adalah sesuatu yang gawat.
“… Halo, Cuy”
“Bisa lo take over, Ncek?”
“Wah, susah harus persetujuan Nyokapnya…”
“Ya usahakan…”
Ncek terdiam, sepertinya sedang mencoba berpikri; “Mmm.. gue coba ya… By the way, lo tau nggak siapa dokter dia sebelumnya?”
“Siapa?” Tanya gua.
“Nat…” Jawab Ncek singkat.
“Fck”* Gumam gua pelan.
--
“What?” Tanyanya tanpa memalingkan pandangannya dari jalan.
“Kalo suatu saat lo nggak dapet forward email dari gue tentang kondisi Fira. Bisa kan lo cek langsung?”
Ncek berdecak, lalu menghela napasnya. “Kalo lo segitu khawatirnya kenapa harus pergi?”
“…”
“… sorry, pulang” ia meralat kata ‘pergi’.
“…” gua nggak menjawab, hanya bersandar pada kaca jendela mobil sisi penumpang. Sambil menatap marka putus-putus yang bergerak cepat di jalan bebas hambatan.
“…Woi”
“Ya kalo nggak mau gapapa. Gue minta tolong orang lain aja” jawab gua berlagak merajuk.
“Dih, ngambek? Kocak banget”
“…”
“… iya, iya lo tenang aja. Aman…”
“Nah gitu, jadi orang tuh berguna” balas gua.
“Bangke. Tapi ada saratnya ya”
Gua menoleh ke arahnya, nggak percaya dengan yang gua dengar barusan.
“Ada apa sih dengan orang-orang? Kenapa semua pake sarat?” balas gua.
“Mau nggak?”
“Yaudah, apa!”
“Pinjem Skyline lo” pintanya sambil memasang tampang memohon.
“Nggak! Enak aja…” gua menolak mentah-mentah.
“Yeee… pelit banget! Sekali doang, sekali lho…” Ncek memohon, jari telunjuk tangan kirinya diacungkan. Memberi kode angka satu.
“Nggak, Ncek… pake mobil gue yang lain, tapi jangan itu”
“Ah mobil lo yg lain kan nggak spesial…” bantahnya.
“Lo ngerti kata 'nggak' kan, Ncek?”
“Ck… pelit” gumamnya pelan, sangat pelan.
—
Beberapa jam kemudian, gua duduk di pesawat menuju London, rumah yang lebih terasa rumah dibanding Jakarta.
Setelah 18 jam menempuh penerbangan, gua akhirnya tiba di London. Dari Heathrow ke flat gua di Queen Square punya jarak sekitar 30km-an, atau mungkin bisa ditempuh selama setengah jam jika menggunakan kendaraan pribadi. Tapi, kalau harus menggunakan kendaraan umum, mungkin bakal makan waktu jauh lebih lama.
Waktu tempuhnya pun tergantung dengan mode transportasi yang dipilih. Bisa dengan bus atau tube (kereta bawah tanah).
Dari terminal 4 Heathrow gua turun ke bawah, ke stasiun kereta Elizabeth Line yang akan membawa gua melintasi 8 stasiun hingga tiba di Tottenham Tube station. Dari sana, gua akan berganti kereta, melewati dua stasiun hingga akhirnya tiba di Russell Square.
Stasiun bawah tanah Russel Square adalah sebuah bangunan dengan gaya British Art Nouveau. Bangunan dengan dinding berwarna merah darah yang khas. Begitu keluar dari Russell square tube station suara keramaian dan bising kendaraan yang tersendat menyambut gua. Sambil membetulkan posisi ransel, gua berbelok ke kiri, menyusuri trotoar dengan meja-meja milik kedai memenuhi sisi dalam jalan. Nggak jauh gua berbelok ke kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil dan jauh lebih sepi. Lalu, tepat di depan President Hotel gua kembali berbelok ke kiri, dimana lokasi apartemen gua berada nggak jauh dari sana.
Hal pertama yang gua lakukan begitu tiba di kamar flat adalah menjatuhkan diri tengkurap di atas ranjang, masih dengan ransel yang terpasang di punggung. Malam itu, gua terlelap, mengabaikan rasa dingin akibat lupa menyalakan pemanas ruangan, sambil menahan lapar.
Gua terbangun karena bunyi dering ponsel yang suaranya terdengar samar karena tertimpa bantal. Gua meraba-raba permukaan ranjang dan meraihnya.
“Ya…” Sapa gua dengan suara serak tanpa tau siapa yang menelpon.
“You absolute menace. Back from holiday and didn’t even shoot me a text? Harper saw you wearing a big backpack in the lift…” Reynard langsung bicara. Reynard, atau Dokter Reynard adalah Direktur Pelayanan Medis, di rumah sakit tempat gua bekerja.
Gua bangkit, melepas ransel dan menjatuhkannya ke lantai, kemudian kembali berbaring, kini dalam posisi telentang; “Ease up, mate. Was gonna message you after I’d slept off the jet lag. Still feel like my brain’s stuck in cloud...”
“Ah, the classic tactic. Brilliant. Did you buy batik shirts for me??” Ia bertanya.
“Nah, you should get that Batik online. Anyway, Thanks for this chance…” Ucap gua, mengucapkan terima kasih atas cuti yang ia berikan.
Karena satu dan lain hal, gua dulu pernah mengajukan surat pengunduran diri kepadanya. Tapi, alih-alih menerima permintaan pengunduran gua, Reynard malah memberikan gua cuti panjang. Berharap gua kembali dengan niatan resign yang sudah hilang.
“Yeah. Knew you just needed a proper break. But listen, Lian—you’re really back for good? Or…?
“Dunno yet. Thought I’d hate being away, but… Maybe I’ll stick to gardening. Less stress…” Jawab gua, tentu saja bercanda dengan bilang kalau gua bakal berhenti jadi dokter dan hanya akan berkebun.
“Gardening? You? The man who once sutured a carotid artery with a paperclip? Look, just pop by tomorrow. We’ll chat over proper tea—none of that vending machine swill” Balasnya, mengajak bertemu untuk sekedar ngobrol.
“Chat? This feels like a trap. Last time you said ‘chat’, I ended up on back to back in operating room” Balas gua.
“You’re still bitter about that? 10am. And wear something decent—Carter’s been telling the newbies you’re a myth. Reckons I invented you to scare him into studying…”
Gua terdiam sesaat, lalu memberi jawaban; “Fine…”
—
Besoknya, setelah lelah berkeliling rumah sakit untuk menyapa teman-teman yang lain, gua bergegas naik ke lantai paling atas gedung rumah sakit. Jam menunjukkan pukul 10 tepat saat gua sudah berada tepat di depan pintu ruangan Dokter Reynard. Dan tepat saat tangan gua bersiap mengetuk, pintu terbuka. Reynard muncul sambil menenteng gelas berisi wiski.
“Lian!!” Serunya, lalu mendekat dan memberikan pelukan. Ia kemudian mengajak gua masuk ke dalam ruang kerjanya. Kami berbincang, tentang pengalaman ‘cuti panjang’ gua dan tentu saja yang paling penting buatnya; ‘Rencana gua kedepannya’.
Apakah gua masih tetap dengan rencana awal; resign? Atau cuti panjang berhasil mengubah pikiran gua.
Gua bisa aja berhenti. Bisa aja cari jalan lain. Gua bahkan sempat mendapat tawaran untuk bekerja di salah satu perusahaan internasional terkenal dengan bayaran yang fantastis sebagai konsultan kesehatan. Tapi gua menolaknya, merasa kalau gua pergi dari sini; dari profesi ini. Siapa yang akan membantu Fira?
“I’ll stay…” jawab gua singkat.
Bukan, bukan cuti panjang yang jadi alasan gua nggak merubah pikiran. Melainkan sosok Fira.
Mendengar jawaban gua Dokter Reynard kembali memberi pelukan. Lalu mengambil gelas dari rak dan bersiap menuang wiski ke dalamnya. Namun, ia keburu sadar kalau gua nggak mengkonsumsi alkohol dan meletakkan kembali gelas ditangannya.
“Good to have you back…”
Gua bisa saja nggak melanjutkan bekerja sebagai dokter dan beralih ke profesi lain. Profesi yang tetap berhubungan erat dengan dunia kesehatan.
Jadi begini, dalam profesi medis terbagi dua jalur besar keprofesian; jalur klinis dan non klinis. Jalur klinis ya seperti gua saat ini. Bekerja sebagai dokter, membuat diagnosa, memberi perawatan langsung, serta pengobatannya. Sementara. jalur non klinis adalah kebalikannya; mereka nggak berhubungan langsung dengan pasien, dan nggak memberi perawatan. Misalnya, peneliti, konsultan kesehatan hingga mungkin menjadi pengacara yang spesialis menangangi kasus-kasus kesehatan.
Setelah selesai dengan perayaan kecil dari Reynard, gua turun ke lantai dua, ke ruang kerja gua di poli saraf. Rekan-rekan yang lain di poli saraf menyambut gua, dari ekspresi yang gua baca bisa terlihat kalau mereka benar-benar rindu.
Mathilda, salah satu asisten gua masuk ke dalam ruangan sambil membawa tumpukan pakaian yang terlipat rapi. Tumpukan scrub dokter berwarna hijau milik gua.
“Mathilda Jones, still terrorisin’ the blood trolley, I see. Miss me that much, did ya?” seru gua.
“Miss you? Nah. Just missed someone to blame when the ECG leads go walkabout…” Balasnya, sambil menahan senyum dan terus membenahi scrub ke dalam lemari.
“Hahahaha…. any news while i’m off…”
“Sure…” Ia mendekat, lalu bicara sambil berbisik; “… Ward’s been proper chaos without you. Dr. Carter tried to catheterise a bloke awake last week. Patient threatened to sue, then called him a posh wally”
“Gosh… And I thought I needed the break…”
“Reckon you do! anyway, Welcome back, Doc…” Ucapnya seraya menepuk bahu gua lalu bersiap keluar dari ruangan.
Hari itu, gua memutuskan langsung kembali bekerja ketimbang hanya diam dan tidur-tiduran di flat. Kembali ke dalam kesibukan, keriuhan penuh darah dan teriakan-teriakan meminta tindakan; iya ternyata gua memang merindukan ini.
—
Gua memulai semua ini kembali. Gua memulai sesuatu yang sebelumnya gua anggap sebuah kekosongan. Sebagai dokter, gua sudah berhasil mendapatkan semuanya; semuanya. Tapi, entah kenapa gua selalu merasa kosong, gua nggak merasakan keseruan yang sebelumnya gua cari.
Dan kini gua kembali lagi. Tapi kali ini gua sudah nggak merasakan kekosongan itu lagi. Saat ini gua merasa ada sesuatu untuk dikejar; Safira.
Baru saja gua menyelesaikan sesi konsultasi saat salah seorang perawat menghambur masuk ke dalam ruangan, memberi informasi kalau bakal ada operasi darurat yang membutuhkan gua.
Tanpa menunggu, gua berdiri, menuju ke lemari dan mulai mengganti pakaian dengan scrub hijau operasi. Sambil berjalan cepat menyusuri koridor menuju ke ruang operasi, perawat yang tadi, yang belum gua kenali namanya kembali mendekat. Ia dengan cepat membacakan data diri pasien beserta kondisi terkininya
Gua berhenti di ruang steril, memakai masker dan penutup kepala, lalu mendekat ke perangkat yang mirip dengan wastafel super besar di sudut ruangan. Dengan menginjak pedal di bagian bawah, air di keran mulai mengucur. Gua membasuh tangan, menggosok dengan sabun antiseptik sekali pakai dan membilasnya.
Kedua tangan terangkat ke atas, mirip seperti orang yang tengah memanjatkan doa. Gua melewati pintu otomatis, masuk ke ruang operasi. Suasana riuh di ruang operasi langsung hening begitu gua masuk ke dalam. Berganti dengan suara ‘beep’ cepat dari monitor EKG.
Saat memasuki ruang operasi, begitu mendengar suara bip monitor menggema, saat mencium aroma antiseptik khas ruang operasi, gua merasakan sedikit sensasi yang sebelumnya hilang. Sensasi kekosongan yang dulu bikin gua pergi. Kini gua merasa ada dorongan besar, dorongan agar terus berada di dunia ini, demi seseroang; demi Fira.
Mathilda mendekat, ia mulai memasangkan jubah, serta sarung lateks dikedua tangan gua. Setelah siap, gua mendekat ke bagian kepala pasien yang sudah dalam kondisi terbius. Gua menatap layar CT scan yang masih menyala. Terlihat gumpalan darah sebesar bola golf menekan lobus temporal kiri.
Berdiri di sebelah gua; Dokter Harry yang siap membantu.
“Good to see you, doc…” Ucapnya.
Gua mengangguk, tanpa tersenyum. Hal yang gua sukai saat berada di dalam ruang operasi dengan masker di wajah; nggak perlu lagi berpura-pura tersenyum.
“Harry, head clamp. 45 degrees right rotation, now” Ucap gua cepat.
“Clamped. Pressure’s 200 over 110, Doc..” Balasnya, sementara kedua tangannya sudah berhasil mengencangkan kerangka logam berbentuk pencapit di tulang tengkorak pasien. Krek. Suaranya selalu bikin bergidik.
“Sedation?” Tanya gua.
“Propofol running. He’s under…” Jawabnya, memberikan informasi zat bius yang digunakan.
“Scalpel…” Ucap gua sambil mengadahkan tangan. Mathilda dengan cepat mengambil pisau bedah no.15 dan meletakkanya di tangan. Gua mulai membuat sayatan, membelah kulit kepala dari belakang telinga ke garis tengah.
“Suction, suction… artery’s bleeding…” Seru gua begitu arteri mulai mengeluarkan darah. Harry dengan cepat mengarahkan corong metal, menghisap darah yang keluar.
“Bipolar…” Ucap gua lagi. Yang langsug direspon oleh Mathilda dengan mengulang ucapan gua dan menyerahkan alat semacam pena kecil yang tersambung dengan arus listrik.
Gua mulai memotong jaringan selaput dengan alat tersebut, menimbulkan bau daging terbakar yang nggak enak; ‘Dzzzzt…’
“High-speed drill. Bone wax ready?” Ucap gua, meminta Harry menyiapkan alat bor tengkorak dan Mathilda untuk bersiap dengan bone wax, semacam zat mirip lilin yang berfungsi untuk menutup pendarahan pada tulang selama operasi.
Gua mulai mengebor tengkorak. Getarannya merambat dari tangan ke bahu. Tulang temporal mulai terkikis. Serpihan putih beterbangan seperti kapur dan Klak! Potongan tulang seukuran telapak tangan terlepas. Harry dengan cepat mengangkat potongan, kemudian mengoleskan bone wax pada permukaan bekas potongan.
Terlihat membran abu-abu yang menutup otak menegang, berdenyut tak berirama.
“Microscope…” Ucap gua.
Mathilda, menurunkan mikroskop berbentuk kacamata yang sejak tadi terpasang di dahi gua.
“Ten-blade.… Steady….” Pinta gua.
“Ten-Blade…” Mathilda mengulang ucapan dan menyerahkan gunting khusus di tangan. Gua mulai membuat sayatan. Lalu, tiba-tiba cairan serebrospinal menyembur. Otak yang bengkak langsung terlihat dari celah sayatan.
“Hematoma’s deep. Suction at 50 mmHg” Gua meminta Harry menghisap cairan di permukaan otak.
Ia mengatur tekanan penghisap dan mengulang ucapan gua, kemudian mulai melakukan hisapan.
Melalui mikroskop operasi, gua melihat adanya gumpalan darah hitam pekat menempel seperti aspal. Dengan perlahan gua memasukkan ujung suction dan bayonet forceps. Kemudian berbisik ke Harry yang mengendalikan kontrol suction. "Aspirator 40 mmHg,"
‘Prrrt’ Darah kental tersedot perlahan. Otak mulai 'mengempis'.
Jauh di dalam, terlihat middle cerebral artery pecah, ujungnya robek tak beraturan. "Clip!"
Harry menyerahkan klip berbahan titanium berukuran sangat kecil yang dipernya dengan menggunakan penjepit. Perlahan, gua memasang klip tersebut, menghimpit arteri dan darah pun berhenti mengalir.
“Irrigation. Warm saline…” Pinta gua ke Harry, yang lalu merespon dengan menyemburkan cairan dengan selang metal berujung kecil ke tempat yang gua maksud, membersihkan area operasi.
Harry memasang mikroskop kacamata miliknya, lalu melakukan double check; “Clip’s secure. Hematoma’s clearing” Ucapnya yakin.
Operasi selesai, gua menyerahkan tugas selanjutnya kepada Harry; “Dural patch. 4-0 nylon sutures..” Gua memberikan instruksi ke Harry untuk menutup selaput dengan jahitan.
Sementara, Mathilda memberi informasi tentang kondisi terkini pasien; “Closing pressure’s stable. 140 over 85..”
Gua berpaling ke dokter anestesi di sudut ruangan yang sibuk mengamati beberapa monitor; “How’s his EEG?”
“Delta waves, but no seizures. He’s holding, doc..” Jawabnya sambil mengacungkan ibu jari.
Harry selesai memberi jahitan, kami lalu mengembalikan tulang tengkorak ke tempatnya, direkatkan dengan plat dan sekrup. Sementara kulit kepala ‘ditambal’ dengan alat semacam staples. Operasi selesai.
“Done. Time?” Tanya gua.
Mathilda mendongak, menatap ke arah jam digital super besar di atas pintu ruang operasi; “6:12 AM.. Check”
Pasien dipindahkan ke ruang ICU, sementara petugas lain masuk ke ruang operasi dengan pakaian APD lengkap; melakukan sterilisasi ruangan. Sementara, gua duduk di lantai ruangan, bersandar pada dinding ruang operasi masih dengan masker, sarung tangan dan penutup kepala terpasang.
Sudah cukup lama gua nggak merasakan sensasi ini, sensasi yang membuat ketagihan.
—
Watu berlalu, hari-hari gua diisi dengan hal-hal semacam itu. Cipratan cairan otak, bau daging terbakar, darah dan teriakan-teriakan di ruang operasi. Hal yang mulai mengalihkan gua dari sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang baru gua sadari kalau, sudah dua minggu ini Nyokapnya Fira nggak sama sekali mengirimkan email perkara kondisi terakhir anaknya.
Awalnya, gua merasa mungkin ia lupa karena kesibukannya. Tapi, lama kelamaan gua malah curiga. Tapi, kecurigaan gua nggak lengkap karena Ncek seharusnya sudah melakukan pengecekan.
Tapi, gua penasaran.
Gua menghubungi Ncek.
“Apa? Malem disini, nggak tau waktu lo…” Sapanya dari ujung sana.
“Sorry, sorry….”
“Kenapa?”
“Ncek, lo udah cek Fira?” Tanya gua. Nggak bertele-tele, karena dia juga sudah tau kalau, laporan kondisi Fira di email oleh Nyokapnya.
“Udah minggu kemaren, fine-fine aja…”
“Lo ngecek di mana?”
“Sosial media… Makanya bikin, biar bisa ngeliat langsung”
“Mmm, nanti lah kapan-kapan… Eh, tapi sekarang belum lo cek kan?”
“Belum, mau gue cek sekarang?” Tanyanya.
“Boleh..”
“Yaudah tunggu bentar, gue ambil HP satu lagi…”
“Ok…”
Lalu suaranya hilang, sepertinya ia tengah mengecek media sosial milik Fira. Nggak lama berselang suaranya kembali.
“Cuy…”
“Oi…”
“Last updated emang last week…”
“Berarti minggu ini belum ada kabar?” Tanya gua penasaran.
“Belum. Besok gue cek langsung deh…”
“Caranya?”
“Ya gue telpon aja…”
“Tapi, jangan bilang apa-apa tentang gue ya..”
“Iya…”
Sehari berselang. Malam itu, gua tengah merokok sambil duduk di anak tangga di halaman belakang rumah sakit. Layar ponsel yang menampilkan layar game berkedip, lalu berubah. Terlihat nama ‘Ncek’.
“Halo…”
“Fira!” Serunya.
Baru mendengar ia menyebutkan namanya saja, gua sudah merasa kalau ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang buruk.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Head trauma, tapi detailnya belum jelas…”
“Kok bisa?” Tanya gua, panik.
“Kan tadi gue bilang; belum jelas. Ini baru gue mau cari tau…”
“…” Gua terdiam, shock, nggak bisa berkata apa-apa. Head trauma buat para pengidap epilepsi adalah sesuatu yang gawat.
“… Halo, Cuy”
“Bisa lo take over, Ncek?”
“Wah, susah harus persetujuan Nyokapnya…”
“Ya usahakan…”
Ncek terdiam, sepertinya sedang mencoba berpikri; “Mmm.. gue coba ya… By the way, lo tau nggak siapa dokter dia sebelumnya?”
“Siapa?” Tanya gua.
“Nat…” Jawab Ncek singkat.
“Fck”* Gumam gua pelan.
--
Franz Ferdinand - Walk Away
I swapped my innocence for pride
Crushed the end within my stride
Said I'm strong now I know that I'm a leaver
I love the sound of you walking away
You walking away
Mascara bleeds a blackened tear, oh
And I am cold, yes, I'm cold
But not as cold as you are
I love the sound of you walking away
You walking away
I love the sound of you walking away
Walking away, hey, hey
Why don't you walk away?
Why don't you walk away?
Why don't you walk away?
No buildings will fall down
Don't you walk away
No quake will split the ground
Won't you walk away?
The sun won't swallow the sky
Won't you walk away?
Statues will not cry
Don't you walk away
Why don't you walk away?
Why don't you walk away?
Why don't you walk away? Hey
I cannot stand to see those eyes
As apologies may rise
I must be strong, stay an unbeliever
And love the sound of you walking away
You walking away
Mascara bleeds into my eye, oh
And I'm not cold, I am old
At least as old as you are
La, la, la, la, la, la-la, la
La-la, la, la, la, la
La-la, la-la-la, la-la, la-la-la-la
La-la, la-la, la
And as you walk away
Oh, as you walk away
And as you walk away
My headstone crumbles down
As you walk away
The Hollywood wind's a howl
As you walk away
The Kremlin's falling
As you walk away
Radio 4 is static
As you walk away
Oh, as you walk away
Oh, as you walk away
Oh, as you walk away, hey
The stab of stiletto
On a silent night
Stalin smiles and Hitler laughs
Churchill claps Mao Tse-Tung on the back
Diubah oleh robotpintar 20-03-2025 21:55
percyjackson321 dan 44 lainnya memberi reputasi
45
Kutip
Balas
Tutup