Disclaimer
Cerita ini mengandung elemen dramatisasi dari situasi dan tindakan medis. Semua prosedur, tindakan, dan teknik medis yang digambarkan dalam cerita ini dibuat untuk tujuan naratif. Dan besar kemungkinan nggak akurat atau sesuai dengan praktik medis yang sebenarnya. Please, jangan nyoba atau ngikutin tindakan medis apa pun yang disebutkan dalam cerita ini kecuali kalian memang tenaga kesehatan profesional yang berkualifikasi. Konsultasi ke dokter atau profesional medis kalo kalian punya pertanyaan atau kebutuhan medis. Cerita ini bukandimaksudkan sebagai panduan atau saran medis.
Sulit untuk menyukainya. Tapi, ternyata lebih sulit melupakannya.
Dan, gua memilih untuk nggak melupakannya. Seandainya takdir mempertemukan kami kembali di situasi yang berbeda dan gua masih menyimpan perasaan yang sama, gua tentu mau mengulang lagi masa itu. Tapi, seandainya nasib mengatakan sebaliknya ya biarlah Lian menjadi memori baik yang tersimpan.
Gua mulai membiasakan diri menjalani hari-hari tanpa dirinya; tanpa Lian.
Hal pertama yang gua lakukan untuk nggak cepat melupakannya adalah, meminta dokter Natalie untuk melakukan cek MRI di kunjungan berikutnya.
Dokter Natalie, langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar permintaan gua barusan. “Eh, buat apa… Mahal lho, lagian kondisi kamu tuh masih bisa ditekan sama obat ini…”Jawab Dokter Natalie sambil tersenyum.
“Tapi, bukannya dengan tes MRI kita malah bisa dapet informasi makin lengkap, Dok?” Tanya gua.
Mendengar ucapan gua barusan, Nyokap langsung mencubit lengan gua dan ikut nimbrung bicara; “Nggak usah, dok. Jangan dengerin…” Ucap Nyokap sambil menggoyangkan tangannya ke arah Dokter Natalie.
“Emang kenapa sih, kok tiba-tiba mau tes MRI. Kondisi kamu kan masih dalam tahap wajar…” Respon Dokter Natalie seraya mengelus perutnya yang semakin besar.
“… Udah, treatment kayak biasa aja. Dok…” Tambah, Nyokap.
Dokter Natalie tersenyum, dan mulai menulis resep obat. Kali ini, gua mulai masuk tahap dimana minum obat satu kali sehari. Dengan catatan, gua sama sekali nggak boleh lupa untuk meminumnya. Kalau, sampai lupa dan kejang. Gua bakal kembali ke tahap awal dengan minum obat 3 kali sehari.
“Nah, pertemuan depan aku kan cuti. Ini aku referensiin dokter penggantinya ya…” Dokter Natalie memberi saran. Ia menyodorkan beberapa lembar kartu nama dokter spesialis saraf dari rumah sakit yang sama.
Nyokap meraih lembaran kartu nama dari Dokter Natalie dan menatapnya. Sementara gua menggeser kursi, mencoba mengintip ke arah kartu tersebut.
“Ah, Dokter aja yang pilihin...” Ucap Nyokap seraya mengembalikan kartu nama ke Dokter Natalie.
“Coba liat…” Gua merebut lembaran kartu dari tangan Nyokap dan melihatnya satu persatu. Kemudian menatap Dokter Natalie dan bicara; “Boleh nggak kalo dokternya dari rumah sakit lain?” Tanya gua.
Dokter Natali tertawa, lalu bertanya ke gua; “Emang mau ke dokter siapa?”
Gua menatap ke atas, ke arah langit-langit ruang pemeriksaan, mencoba mengingat; “Dokter Ricky… Ricky Saputra” Jawab gua, ragu-ragu.
Begitu mendengar jawaban gua, terlihat perubahan ekspresi wajah Dokter Natalie. Ia nampak kaget. “Kamu kenal, Dokter Ricky?” Tanyanya.
“Kenal…” Jawab gua singkat.
“Kenal dari mana?” Tanyanya lagi.
“Ada yang ngenalin…”
Nyokap yang sudah bisa menebak siapa yang gua maksud langsung menyela obrolan. Ia bicara ke Dokter Natalie; “Udah, Dokter Natalie aja yang pilihin…”
“Yaudah…” Balas Dokter Natalie.
“Udah kan Dok, Kita pamit ya…” Ucap Nyokap sambil berdiri dan menarik tangan gua keluar dari ruangan. Baru beberapa langkah, Nyokap kembali masuk. Dari ambang pintu ia bicara pelan; “Mudah-mudahan lancar persalinannya ya, Dok…”
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit ke rumah; Nyokap hanya pasang tampang cemberut dan sesekali menceramahi gua tentang usaha untuk melupakan Lian. Tentu saja beserta ancaman-ancaman seperti menyita ponsel hingga yang paling parah mengusir gua dari rumah.
Sejak saat itu, jangankan membahasnya; menyebut nama Lian adalah sebuah larangan di rumah. Namanya seakan kata haram yang nggak boleh diucapkan. Sejak saat itu juga, kebencian gua nyokap perlahan mulai tumbuh. Kami berdua mulai menjauh, saling menjaga jarak satu sama lain.
Nggak ada lagi, momen-momen menonton film atau pergi ke mall bersama. Nggak pernah lagi ia menyambangi kamar gua hanya sekedar untuk mengucapkan selamat malam. Begitu pula gua yang sudah enggan menyiapkan atau membeli makan malam untuknya. Pokoknya, kami seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal bersama.
Beruntung, gua punya The Lontongers yang selalu menamani dan memberi dukungan. Salah satu bentuk dukungan yang mereka usahakan adalah; menjodohkan gua dengan salah satu cowok paling populer di sekolah; Anes.
“Ogah, ah…” Jawab gua begitu mendengar ide tersebut.
“Lah, kenapa?” Tanya Gaby.
“Ya kalian kan tau, Cinta tuh bukan buat gue…”
“Lah, terus Lian itu apa?” Kali ini Liv yang bicara.
“Ya itu kan beda” Respon gua, berusaha mencari alasan.
“Terus apa bedanya Anes sama Lian? Kalo lo bisa jatuh cinta sama Lian, lo harusnya juga bisa jatuh cinta sama Anes?” Gaby kembali buka suara.
“Gue kan belum kenal sama orangnya, Geboy…” Balas gua, terus mencari celah beralasan.
“Dulu, Lo juga nggak kenal sama Lian. Bahkan lo bencinya bukan main sama dia. Tapi, at the end; kepatil juga kan lo?” Balas Gaby.
“…” Gua nggak menjawab, hanya menghela napas panjang lalu terdiam. Nggak ada lagi hal yang bisa gua pakai sebagai alasan.
“… Iya kita ngerti, lo nggak mau lupain Lian. It’s Okay, Gapapa, Fir. Tapi, di sisi lain, kan nggak ada salahnya juga nyoba…” Liv menambahkan.
Akhirnya, mau nggak mau gua menerima ide dari mereka; berkenalan dengan Anes.
Sejatinya, Anes juga bukan cowok yang biasa-biasa aja. Dia tampan dan populer. Hanya saja, ia kerap dikenal karena perilaku ‘nakal’-nya. Mungkin ia merasa tampil sebagai ‘bad boy’ bakal menarik perhatian cewek-cewek di sekolah. Dan terbukti, Gaby, Liv dan Fidel adalah korban-nya. Mereka ‘tertarik’ oleh Anes, tapi karena sudah punya pasangan masing-masing, gua yang jadi tumbalnya.
Hubungan gua dengan Anes berjalan normal dan santai. Gua nggak perlu susah payah menahan diri agar nggak terlalu ‘dekat’ dengannya. Ya karena memang sejak kenal sampai sekarang gua belum merasakan apa-apa, belum ada rasa ‘klik’ di dalam hati.
Nggak tau, gua juga bingung dengan diri ini. Dulu, gua mati-matian menolak cinta masuk dalam kehidupan. Lantas, Lian berhasil menghancurkan pertahanan gua, hingga akhirnya gua mengenal apa yang namanya cinta. Tapi, begitu lepas darinya, gua nggak lagi punya motivasi yang sama, gua seperti kembali seperti Fira yang sebelumnya; Fira yang bikin tembok tinggi untuk apa yang namanya cinta.
Rasanya memang masuk akal. Dulu gua berusaha menjauhi cinta karena pengalaman dan rasa trauma akan Bokap yang pergi meninggalkan Nyokap. Lalu, cinta juga berhasil bikin gua merana gara-gara Lian. Lengkap sudah alasan gua untuk nggak lagi percaya sama cinta.
Hidup gua jadi penuh kepura-puraan; gua pasang senyum dan tawa palsu saat sedang bersama Anes. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, gua merasa ini adalah sesuatu yang salah. Hal yang jika dibiarkan begini terus bakal menumpuk lalu pecah. Gua nggak mau Anes terus-terusan dibohongi dengan kepalsuan. Gua nggak mau waktu dan tenaganya habis untuk cewek kayak gua yang nggak memilihnya.
Hingga di suatu momen, gua mengajaknya bertemu untuk menjelaskan semuanya; iya, semuanya.
Gua membuka cerita tentang kondisi kesehatan, tentang epilepsi yang gua idap. Awalnya, Anes memang tampak berlapang dada, bahkan terdengar supportive; “Ah, Santai aja Fir… Gue bakal jagain sampe lo sembuh kok…”
Berikutnya, gua beralih ke cerita tentang perasaan gua yang ‘kosong’ terhadapnya dan kepalsuan yang gua bangun selama ini. Di momen ini, mulai terlihat perubahan ekspresi di wajahnya, mulai nampak sedikit keraguan; “Serius, Fir?”
Begitu pula tentang sosok pria yang masih terus berada di dalam ingatan dan nggak ada sama sekali rencana untuk melupakannya. Tentu tanpa menyebutkan nama dan latar belakangnya. Kali ini Anes berdiri dan memandang gua. Tatapannya tajam, giginya dikatupkan, sementara kedua tangannya ia kepalkan; “Lo bohong kan? Bilang kalo ini bohong?”
“…” Gua menggeleng pelan.
“… Gue mungkin masih bisa terima dengan penyakit lo, Gue juga mungkin masih terima kalo lo nggak ada perasaan apa-apa sama gua. Gua mungkin masih bisa mengusahakannya, bikin lo jatuh cinta…”
“…”
“… Tapi, buat yang terakhir. Gue kayaknya nggak bisa terima sih…” Tambahnya.
“Iya, makanya gue bilang sama lo. Biar hubungan ini nggak terus berjalan ke arah yang salah…” Ucap gua, mencoba memberi penjelasan.
“Anjing, Lah! Kenapa nggak bilang dari awal?” Anes, yang sepertinya semakin terbakar emosi lalu menghantamkan tangannya ke dinding rumah gua. Terlihat buku tangannya sedikit lecet dan berdarah, namun Anes mengabaikannya, ia berbalik dan beranjak pergi.
“Iya, gue emang salah. Sorry. Tapi, gue kan…” Belum sempat gua menyelesaikan kalimat. Anes yang sudah berdiri di sisi sepeda motornya kembali mendekat. Kali ini dengan helm berada ditangannya.
Gua mundur beberapa langkah; takut. Tiba-tiba, ia mengangkat helm tinggi-tinggi ke atas, seakan bersiap untuk memukul. Reflek, gua mengangkat tangan, mencoba menangkis. Namun, itu hanya gertakannya saja.
“Kalo bukan cewek, udah gue hantem lo Fir…” Ancamnya.
“Banci lo, kalo berani sama cewek!” Balas gua. Marah, karena hal ini sudah kelewat batas. Mana ada cowok yang berani-beraninya mencoba memukul cewek. Pun, hanya sebuah ancaman.
Tapi, yang nggak gua duga-duga setelahnya. Seakan dirasuki setan, Anes berteriak lalu mengayunkan helm di tangannya. Sesaat, gua merasakan nyeri yang sangat di bagian kepala, lalu ingatan-ingatan tentang masa lalu berkelebat di kepala. Tentang ucapan Lian di waktu perpisahan kami; "… Kamu tahu, Fir, kadang ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan mengalir. Sama seperti danau ini. Kalau dipaksakan penuh terlalu cepat, airnya malah meluap, merusak semuanya…"
Iya, seharusnya gua nggak mengatakan ini semua ke Anes. Seharusnya gua tetap diam dan membiarkan semuanya mengalir.
Lalu, semua gelap.
Gelap.
Semua terasa jauh, seperti mimpi yang nggak bisa gua pahami. Ada suara-suara samar di sekitar, tapi entah kenapa gua nggak bisa menangkapnya dengan jelas. Kepala gue terasa berat, seakan ada beban yang menekan dari segala arah. Gua berusaha membuka mata, tapi kelopak mata ini terasa lengket, seperti enggan berpisah dari kegelapan.
Perlahan, setelah beberapa kali mencoba, gua berhasil membuka mata. Cahaya putih langsung menyilaukan pandangan, bikin kepala semakin berdenyut nyeri. Napas terasa berat, dada naik turun dengan ritme yang lambat. Suara mesin berbunyi di samping, detak monoton yang mengisi ruangan.
‘Di mana gue?’
Gua mencoba menggerakkan tangan, dan baru sadar ada sesuatu yang membuat nyeri di punggung tangan; jarum infus. Gua menoleh perlahan ke samping dan menemukan sosok Nyokap duduk di kursi dengan wajah cemas. Begitu mata kami bertemu, dia buru-buru mendekat.
"Fir, kamu sadar?"
Gua mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mencerna kata-katanya. Sadar? Gua nggak paham. Kenapa dia kelihatan panik? Gua mau bicara, tapi tenggorokan terasa kering dan sakit.
"Tunggu, Mamah panggil dokter…" katanya sambil tergesa-gesa menekan tombol yang berada di kabinet tepat di atas ranjang.
Gua masih menatapnya kosong. Sama kosongnya dengan kepala gua. Ada sesuatu yang harusnya bisa gua ingat, tapi entah kenapa, semakin gua mencoba pikiran ini malah seperti ruangan kosong yang bergema.
Beberapa saat kemudian, dokter datang, seorang pria yang sepertinya gua kenali. Dia mendekat sambil tersenyum dan menyapa; “Hai, Fir…” Lalu mengeluarkan senter kecil yang serupa dengan pulpen dari saku jubah dokternya dan mulai memeriksa kondisi pupil mata gua dengan tenang.
Selesai memeriksa, ia menatap gua dan bertanya lembut; “Kamu bisa sebutin nama lengkap kamu nggak?”
Gua mengangguk. ‘Pertanyaan macam apa ini? siapa sih orang yang nggak bisa nyebutin nama lengkapnya sendiri?’ Batin gua.
Gue terdiam.
Harusnya gampang. Harusnya ini hal paling dasar yang bisa gua jawab. Tapi, lidah terasa kelu. Gua tahu nama lengkap gua. Gua juga sadar kalau harusnya pertanyaan ini bisa dijawab dengan mudah. Tapi kenapa mulut gue nggak bisa mengucapkannya?
Nyokap meraih tangan gue erat, seakan ingin memberi dukungan.
“Fira…” Jawab gua pelan. Tapi, apalagi?
Nyokap menghela napas tajam. Matanya langsung berkaca-kaca. Dokter menenangkan dengan suara pelan. “Tenang ya, jangan dipaksa… Sekarang coba pejamkan matanya…”
Gua mengangguk, lalu mulai memejamkan mata.
“… Tarik nafas dalam-dalam..” Tambahnya. Yang lantas gua respon dengan mengikutinya; menarik napas dalam-dalam. Terasa nyeri di kepala, tapi gua abaikan.
“…”
Sesaat berikutnya, gua membuka mata. Dan kembali mencoba; “Safira… Gayatri…” “Good…” Gumam si dokter pelan.
Gua menatap ke arah tanda pengenal yang tergantung pada jubah dokter, terlihat sekilas namanya; ‘Ricky Saputra’.
Dokter Ricky lalu beralih ke Nyokap dan bicara pelan; “Tunggu sampai sedikit stabil, ya. Abis ini kita tes EEG…”
“Iya Dok. Terus hasil tes MRI dan CT nya gimana?” Tanya Nyokap.
“Iya nanti dijelaskan sekalian ya…”
“Tapi, dia baik-baik aja kan Dok. Ingatannya gapapa kan?” Tanya Nyokap lagi sesaat sebelum Dokter Ricky pergi.
“Bisa panggilin Lian…” Ucap gua lirih ke Dokter Ricky.
Dokter Ricky tersenyum dan menatap Nyokap; “See, ingatannya baik-baik aja kok…”
—
Passenger - Let Her Go
Well you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
And you let her go
Staring at the bottom of your glass
Hoping one day you'll make a dream last
But dreams come slow and they go so fast
You see her when you close your eyes
Maybe one day you'll understand why
Everything you touch surely dies
But you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
Cause love comes slow and it goes so fast
Well you see her when you fall asleep
But never to touch and never to keep
Cause you loved her too much and you dived too deep
Well you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
And you let her go
Ohhh, oh no
And you let her go
Ohhh, oh no
Well you let her go
Cause you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
Cause you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
And you let her go